Jumat, 27 Oktober 2017

Makalah MASA KOLONIALISME TERHADAP DUNIA ISLAM

Makalah Sejarah Peradaban Islam (SPI)

MASA KOLONIALISME TERHADAP DUNIA ISLAM

PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Periode modern dalam sejarah Islam bermula dari tahun 1800 M dan berlangsung sampai sekarang. Di awal periode ini kondisi dunia Islam secara politis berada di bawah penetrasi kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke-20 M, dunia Islam bangkit memer­dekakan negerinya dari penjajah Barat.
Periode ini memang merupakan zaman kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami kemunduran di periode pertengahan. Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran pembaharuan dalam Islam. Gerakan pembaharuan itu paling tidak muncul karena dua hal. Pertama, timbulnya kesadaran di kalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran asing yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam. Ajaran-ajaran itu bertentangan dengan semangat ajaran Islam yang Sebenarnya, seperti bid’ah, khurafat, dan takhyul. Ajaran-ajaran inilah, menurut mereka, yang membawa Islam menjadi mundur. Oleh karena itu, mereka bangkit untuk mem­bersihkan Islam dari ajaran atau paham seperti itu. Gerakan ini dikenal sebagai gerakan reforrnasi. Kedua, pada periode ini Barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka. Karena itu mereka berusaha bangkit dengan mencontoh barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of power.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah kondisi islam setelah eropa menjadi negara maju ?
2.      Mengapa di asia tenggara tempat islam mulai baru berkembang justru menjadi rebutan negara eropa ?
3.      Sejak kapan kerajaan usmani mendapat serangan besar dari Barat ?
4.      Adakah faktor yang mendorong islam untuk memulihkan kembali kekuatan Islam atas kemundurannya ?
5.      Dengan cara apa Negara-negara islam merdeka dari penjajahan ?


PEMBAHASAN
A.  Renaisans di Eropa
Kata renaisans berasal dari bahsa Perancis renaitre, secara etimologi berarti kelahiran kembali (rebirth) atau kebangkitan kembali (revival).[1] Renaisans merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki gagasan serta sikap yang secara umum bertujuan untuk menyusun standar dunia baru yang modern. Ciri yang mencolok pada masa ini adalah sikap optimisme, hedonisme, naturalisme, individualisme, tetapi yang paling menonjol adalah humanisme. Dalam visi yang lebih luas, humanisme dapat didefinisikan sebagai pemujaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan naturalisme serta pengingkaran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan. Gaya atau mode inilah yang menjadi inti atau jiwa renaisans. Humanisme juga memiliki makna yang lebih terbatas, yaitu sekadar semangat kandungan tulisan-tulisan klasik bagi tujuan-tujuan kemanusiaan. Perasaan kemanusiaan inilah yang sering diungkapkan oleh para penulis di masa-masa awal lahirnya renaisans.[2]
Pada awal kebangkitannya, eropa menghadapi tantangan yang sangat berat, dihadapannya masih terdapat kekuatan-kekuatan perang islam yang sulit dikalahkan, terutama kerajaan usmani yang berpusat di turki. Tidak ada jalan lain, mereka harus menembus lautan yang sebelumnya hanya dipandang sebagai dinding yang membatasi gerak mereka. Mereka melakukan berbagai penelitian tentang rahasia alam. Berusaha menaklukan lautan, dan menjelajahi benua yang sebelumnya masih diliputi kegelapan, setelah christoper colombus menemukan benua amerika (1492 M) dan vasco menemukan jalan ke timur melalui tanjung harapan (1498 M), benua amerika dan kepulauan hindia segera jatuh kebawah kekuasaan eropa. Dua penemuan itu sungguh tak terkirakan nilainya, eropa menjadi maju dalam dunia perdagangan, karena tidak tergantung lagi kepada jalur lama yang dikuasai umat islam. L stoddard menggambarkan, dengan sekejap mata dinding laut itu berubah menjadi jalan raya dan eropa yang semula terpojok segera menjadi yang dipertuankan di laut dan dengan demikian, yang dipertuan di dunia. Terjadilah perputaran nasib yang maha hebat dalam sejarah seluruh umat manusia.[3]
Perekonomian bangsa-bangsa Eropa pun semakin maju kare­na daerah-daerah baru terbuka baginya. Mereka dapat memper­oleh kekayaan yang tak berhingga untuk meningkatkan kesejahte­raan negerinya. Tak lama setelah itu, mulailah kemajuan Barat melampaui kemajuan Islam yang sejak lama mengalami kemun­duran. Kemajuan Barat itu dipercepat oleh penemuan dan perkem­bangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Penemuan mesin uap yang kemudian melahirkan revolusi industri di Eropa semakin memantapkan kemajuan mereka. Teknologi perkapalan dan militer berkembang dengan pesat. Dengan demikian, sebagaimana telah disebutkan dalam bab sebelum ini, Eropa menjadi penguasa lautan dan bebas melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan ke seluruh dunia, tanpa mendapat hambatan berarti dari lawan- lawan mereka. Bahkan, satu demi satu negeri Islam jatuh ke bawah kekuasaannya sebagai negeri jajahan.
Negeri-negeri Islam yang pertama kali jatuh ke bawah kekua­saan Eropa adalah negeri-negeri yang jauh dari pusat kekuasaan Kerajaan Usmani, karena kerajaan ini meskipun terus mengalami kemunduran, ia masih disegani dan dipandang masih cukup kuat untuk berhadapan dengan kekuatan militer Eropa waktu itu. Negeri- negeri Islam yang pertama dapat dikuasai Barat itu adalah negeri- negeri Islam di Asia Tenggara dan di Anak Benua India. Sementara, negeri-negeri Islam di Timur Tengah yang berada di bawah ke­kuasaan Kerajaan Usmani, baru diduduki Eropa pada masa berikutnya.[4]
Analisa:    
Jadi, ciri yang paling menonjol pada masa ini adalah humanisme yang berarti aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik lagi. Dan hal itu memang terbukti yaitu ketika eropa mengalami rintangan yang sangat besar, kita bisa menganalisa dari segi positifnya bahwasanya orang-orang eropa sebelum menjadi negara maju mereka tidak pantang menyerah ingin menggapai apa yang diinginkan untuk bebas dari keterpurukannya dari umat islam. Sehingga dengan usaha menembus lautan, menaklukan lautan dan menjelajahi benua bisa membuahkan hasil yang pada akhirnya menghantarkan kehidupan mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya.
B.  Penjajahan Barat Terhadap Dunia Islam Di Anak Benua India Dan Asia Tenggara
India ketika berada pada masa kemajuan pemerintahan kera­jaan Mughal adalah negeri yang kaya dengan hasil pertanian. Hal itu mengundang Eropa yang sedang mengalami kemajuan untuk berdagang ke sana. Di awal abad ke-17 M, Inggris dan Belanda mulai menginjakkan kaki di India. Pada tahun 1611 M, Inggris mendapat izin menanamkan modal, dan pada tahun 1617 M Belanda, mendapatkan izin yang sama.
Kongsi dagang Inggris, British East India Company (BEIC), mulai berusaha menguasai wilayah India bagian timur ketika ia merasa cukup kuat. Penguasa-penguasa setempat mencoba mempertahankan kekuasaan dan berperang melawan Inggris tahun 1761 M. Namun, mereka tidak berhasil mengalahkan Inggris. Akibatnya, daerah-daerah Bengal dan Orissa jatuh ke tangan Inggris. Pada tahun 1803 M, delhi ibukota kerajaan Mughal juga berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Inggris, karena bantuan yang diberikan Inggris kepada raja ketika mengalahkan aliansi Sikh-Hindu berusaha menguasai kerajaan. Mulai saat itulah Inggris leluasa mengembangkan sayap kekuasaannya di anak benua India dan sekitarnya. Pada tahun 1842 M, Keamiran J Muslim Sind di India dikuasainya.Tahun 1857 M kerajaan Mughal bahkan dikuasai penuh dan setahun kemudian rajanya yang terakhir dipaksa meninggalkan istana. Sejak itu, India berada di bawah kekuasaan Inggris yang menegakkan pemerintahannya, di sana Pada tahun 1879 M, Inggris berusaha menguasai Afghanistan dan Kesultanan Muslim Baluchistan dimasukkan di bawah kekuasaan India-Inggris, tahun 1899 M.[5]
Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru mulai berkembang, yang merupakan daerah rempah-rempah terkenal pada masa itu, justru menjadi ajang perebutan negara-negara Eropa. Kekuatan Eropa malah lebih awal menancapkan kekuasaannya di negeri ini. Hal itu karena, dibandingkan dengan Mughal, kerajaan- kerajaan Islam di Asia Tenggara lebih lemah sehingga dengan mudah dapat ditaklukkan. Kerajaan Islam Malaka yang berdiri pada awal abad ke-15 M di Semenanjung Malaya yang strategis dan merupakan kerajaan Islam kedua di Asia Tenggara setelah Samudera Pasai, ditakluk­kan Portugis tahun 1511 M. Sejak itu, peperangan-peperangan antara Portugis melawan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia seringkali berkobar. Pedagang-pedagang Portugis terutama ber­upaya menguasai Maluku yang sangat kaya akan rempah-rempah. Penjajahan Portugis yang terlama di Nusantara adalah di Timor-Timur.
Pada tahun 1521 M, Spanyol datang ke Maluku dengan tujuan dagang. Spanyol berhasil menguasai Filipina, termasuk di dalamnya beberapa kerajaan Islam, seperti Kesultanan Maguindanao, Kesultanan Buayan, dan Kesultanan Sulu. Akhir abad ke-16 M, giliran Belanda, Inggris, Denmark, dan Prancis yang datang ke Asia Tenggara. Akan tetapi, dua negara yang disebut terakhir tidak berhasil menjajah negeri di Asia Tenggara dan hanya datang untuk berdagang. Belanda datang tahun 1595 M dan dengan segera dapat memonopoli perdagangan di kepulauan Nusantara. Kongsi dagangnya, VOC, segera pula memainkan peran politik. Tentu saja, kehadirannya ditantang oleh penduduk setempat. Oleh karena itu, seringkali terjadi peperangan antara Belanda dengan penduduk, walaupun akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh Belanda. Yang terbesar di antaranya adalah Perang Aceh, Perang Paderi di Minangkabau, dan Perang Dipo­negoro di Jawa. Sementara itu, setelah Inggris datang ke Asia Tenggara, ia segera menjadi kekuatan yang cukup dominan, menyaingi kekuatan Belanda. Kekuasaan Inggris tertancap di Semenanjung Malaya, termasuk Singapura sekarang, dan Kali­mantan Barat, termasuk Brunai. Inggris bahkan juga sempat menguasai seluruh Indonesia untuk jangka waktu yang tidak terlalu lama di awal abad ke-l9 M. Sebagaimana di India, di Asia Tenggara kekuasaan politik negara-negara Eropa itu berlanjut terus sampai pertengahan abad ke-20 M, ketika negeri-negeri jajahan tersebut memerdekakan diri dari kekuasaan asing.[6]
Analisa:    
Politik barat menjajah dunia islam di anak benua india dan asia tenggara memang tidak kekurangan akal, banyak sekali cara untuk melemahkan dan merebut kekuasa’an yang mereka inginkan. India mudah percaya dengan strategi barat, padahal mereka ingin menguasai daerah kekuasaannya. Di asia tenggara memang pertumbuhan islam mulai berkembang dalam arti masih lemah belum memiliki kemampuan yang maksimal untuk bisa mempertahankan daerahnya sehingga dengan mudah eropa menaklukan daerah tersebut.
C.  Kemunduran Kerajaan Usmani Dan Ekspansi Barat Ketimur Tengah
Kemajuan-kemajuan Eropa dalam teknologi militer dan industri perang membuat Kerajaan Usmani menjadi kecil di hadapan Eropa. Akan tetapi, nama besar Turki Usmani masih membuat Eropa Barat segan untuk menyerang atau mengalahkan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Islam ini, termasuk daerah-daerah yang berada di Eropa Timur. Namun, kekalahan besar Kerajaan Usmani dalam menghadapi serangan Eropa di Wina tahun 1683 M membuka mata, bahwa Kerajaan Usmani telah mundur jauh sekali. Sejak itulah Kerajaan Usmani mendapat serangan-serangan besar dari Barat Sejak kekalahan dalam pertempuran Wina itu, Kerajaan usmani juga menyadari akan kemundurannya dan kemajuan Barat Usaha-usaha pembaharuan  mulai dilaksanakan dengan mengirim duta-duta ke negara-negara Eropa, terutama Prancis, untuk mempelajari suasana kemajuan di sana didekat Celebi Mehmed diutus ke Paris tahun 1720 M dan diinstruksikan untuk mengunjungi pabrik-pabrik, benteng-benteng pertahanan, dan institusi-institusi lainnya. Ia kemudian memberi laporan tentang kemajuan teknik, organisasi angkatan perang modern, dan kemajuan lembaga- lembaga sosial lainnya. Laporan-laporan itu mendorong Sultan Ahmad III (1703-1730 M) untuk memulai pembaharuan di kerajaannya. Pada masa kekuasaannya didatangkan ahli-ahli militer dari Eropa untuk tujuan pembaharuan militer dalam Kerajaan Usmani. Pada tahun 1717 M, seorang perwira Prancis, De Roche- fort, datang ke Istambul dalam rangka membentuk korp artileri dan melatih tentara Usmani dalam ilmu-ilmu kemiliteran modem. Pada tahun 1729 M, datang lagi Comte de Bonneval, juga dari Prancis, untuk memberi latihan penggunaan meriam modern. Ia dibantu oleh Macarthy dari Irlandia, Ramsay dari Skotlandia, L. Stoddard dan Momai dari Prancis. Pada tahun 1734 M, untuk pertama kalinya Sekolah Teknik Militer dibuka Usaha pembaruan ini tidak terbatas dalam bidang militer. Dalam bidang-bidang yang lain pembaruan juga dilaksanakan, seperti pembukaan percetakan di Istambul tahun 1727 M, untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan. Demikian juga, gerakan penerjemahan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Turki.
Meskipun demikian, usaha-usaha pembaharuan itu bukan saja gagal menahan kemunduran Kerajaan Turki Usmani yang tenis mengalami kemerosotan, tetapi juga tidak membawa hasil yang diharapkan. Penyebab kegagalan itu terutama adalah kele­mahan raja-raja Usmani karena wewenangnya sudah jauh menu­run. Di samping itu, keuangan negara yang terus mengalami kebangkrutan sehingga tidak mampu menunjang usaha pemba­ruan. Faktor terpenting lainnya yang membawa kegagalan itu ada­lah karena ulama dan tentara Yenissari yang sejak abad ke-17 M menguasai suasana politik Kerajaan Usmani serta menolak usaha pembaruan itu. Dengan demikian, Kerajaan Usmani terus saja mendekati jurang kehancurannya, sementara Barat yang menjadi ancaman baginya semakin besar.
Usaha pembaruan Turki Usmani baru mengalami kemajuan setelah penghalang pembaruan utama, yaitu tentara Yenissari dibubarkan oleh Sultan Mahmud II (1807-1839 M) pada tahun 1826 M. Struktur kekuasaan kerajaan dirombak, lembaga-lemba­ga pendidikan modem didirikan, buku-buku barat diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, siswa-siswa berbakat dikirim ke Eropa untuk belajar, dan yang terpenting sekali adalah sekolah-sekolah yang berhubungan dengan kemiliteran didirikan. Bidang militer inilah yang utama dan pertama mendapat perhatian. Akan tetapi, meski banyak mendatangkan kemajuan, hasil gerakan pembaruan tetap tidak berhasil menghentikan gerak maju Barat ke dunia Islam di abad ke-19 M. Selama abad ke-18 M Barat menyerang ujung garis medan pertempuran Islam di Eropa Timur, wilayah kekuasaan Kerajaan Usmani. Akhir dari serangan-serangan itu adalah ditandatanganinya Perjanjian San Stefano (Maret 1878 M) dan Perjanjian Berlin (Juni-Juli 1878 M), antara Kerajaan Usmani dengan Rusia. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Turki di Eropa. Sementara kebanyakan daerah berpenduduk mayoritas Muslim di Timur Tengah pada abad berikutnya mulai diduduki bangsa Eropa.
Di samping itu, gerakan pembaruan justru mengancam kekuasaan para sultan yang absolut, karena para pejuang Turki melihat bahwa kelemahan Turki terletak pada keabsolutan Sultan itu. Mereka ingin membatasi kekuasaan Sultan dengan membentuk konstitusi, sehingga lahir gerakan tanzimat, Usmani Muda, Turki Muda, dan Partai Persatuan dan Kemajuan (ittihad ve Terekki).
Ketika Perang Dunia I meletus, Turki bergabung dengan Jerman yang kemudian mengalami kekalahan. Akibatnya kekua­saan kerajaan Turki Usmani semakin ambruk. Partai Persatuan dan Kemajuan memberontak kepada Sultan dan dapat mengha­puskan kekhalifahan Usmani, kemudian membentuk Turki mo­dem pada tahun 1924 M. Dengan demikian, kesatuan politik dalam negeri Kerajaan Usmani sejak bergeloranya gerakan pem­baruan justru tidak stabil, terutama karena para sultan tidak mampu mengakomodasi pemikiran yang berkembang di kalangan pemimpin bangsanya. Terkecuali itu, peperangan-pepeiangan melawan Barat di Eropa Timur terus berkecamuk, memakan dan menguras tenaga, berakhir dengan kekalahan di pihak Turki.
Di pihak lain, satu demi satu daerah-daerah di Asia dan Afrika yang sebelumnya dikuasai Turki Usmani, melepaskan diri dari Konstantinopel. Dari sekian banyak faktor yang menyebabkan kemunduran Turki Usmani itu, yang tak kalah pentingnya adalah timbulnya perasaan nasionalisme pada bangsa-bangsa yang ber­ada di bawah kekuasaannya. Bangsa Armenia dan Yunani yang beragama Kristen berpaling ke Barat, memohon bantuan Barat untuk kemerdekaan tanah airnya. Bangsa Kurdi di pegunungan dan Arab di padang pasir dan lembah-lembah juga bangkit untuk melepaskan diri dari cengkeraman penguasa Turki Usmani.
Demikianlah, keadaan dunia Islam pada abad ke-19 M, se­mentara Eropa sudah jauh meninggalkannya. Eropa dipersenjatai dengan ilmu modern dan penemuan yang membuka rahasia alam. Satu demi satu negeri-negeri Islam yang sedang rapuh itu jatuh ke tangan barat. Dalam waktu yang tidak lama, kerajaan-kerajaan be­sar Eropa sudah membagi-bagi seluruh dunia Islam. Inggris merebut India dan Mesir. Rusia menyeberangi Kaukasus dan menguasai Asia Tengah. Prancis menaklukkan Afrika Utara, dan bangsa- bangsa Eropa lainnya mendapat bagiannya dari warisan Islam itu. Ketika terjadi Perang Dunia 1(1915), Turki Usmani berada di pihak yang kalah. Sampai tahun 1919 M, Turki diserbu tentara Sekutu. Sejak itu, kebesaran Turki Usmani benar-benar tengge­lam, bahkan tidak lama kemudian, kekhalifahannya dihapuskan (1924 M). Semua daerah kekuasaannya yang luas, baik di Asia maupun Afrika diambil alih oleh Negara-negara Eropa yang matang perang. Perang Dunia itu merupakan babak akhir proses penaklukan Barat terhadap negeri-negeri Islam. Sejak itu, seakan- akan tidak ada lagi kerajaan Islam yang betul-betul merdeka.
Penetrasi Barat ke pusat dunia Islam di Timur Tengah perta­ma-tama dilakukan oleh dua bangsa Eropa terkemuka. Inggris dan Prancis, yang memang sedang bersaing. Inggris terlebih dulu menanamkan pengaruhnya di India. Prancis merasa perlu memu­tuskan hubungan komunikasi antara Inggris di Barat dan India di Timur. Oleh karena itu, pintu gerbang ke India, yaitu Mesir, harus berada di bawah kekuasaannya. Untuk maksud tersebut, Mesir dapat ditaklukkan Prancis tahun 1798 M.
Alasan lain Prancis menaklukkan Mesir adalah untuk mema­sarkan hasil-hasil industrinya. Mesir, di samping mudah dicapai dari Prancis juga dapat menjadi sentral aktivitas untuk mendistribusikan barang-barang ke Turki, Syria, Hijaz, begitu pula ke Timur Jauh. Di balik itu, Napoleon Bonaparte sendiri, sebagai Panglima Ekspedisi Prancis mempunyai keinginan untuk mengikuti jejak Alexander the Great dari Macedonia, yang jauh di masa lalu pemah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India. Akan tetapi, kondisi politik Prancis menghendaki Napoleon meninggalkan Mesir tahun 1799 M. Di Mesir, Jendral Kleber menggantikan kedudukan Napoleon. Dalam suatu pertempuran laut antara Inggris dan Prancis Jenderal Kleber kalah. Jendral Kleber dan Ekspedisinya meninggalkan Mesir 31 Agustus 1801 M, dan di Mesir terjadi kekosongan kekuasaan.
Kekosongan itu dimanfaatkan oleh seorang perwira Turki, Muhammad Ali (1769-1849 M) yang didukung oleh rakyat berha­sil mengambil kekuasaan dan mendirikan dinastinya. Dimulai oleh Muhammad Ali, Mesir sempat menegakkan kedaulatan dan melakukan beberapa pembaruan, tetapi pada tahun 1882 M, Negeri ini ditaklukkan oleh Inggris. Persaingan antara Inggris dan Prancis di Timur Tengah memang sudah lama dan terus berlang­sung. Persaingan ini terlihat dari penaklukan wilayah Islam di Timur Tengah dan Afrika yang luas itu sebagai berikut:

Tahun

Keterangan
1820
Oman dan Qatar di bawah protektoral Inggris
1820-1857
Penaklukan Aljazair oleh Prancis
1839
Aden dikuasai Inggris
1881-1883
Tunisia diserbu Perancis
1882
Mesir diduduki Inggris
1898
Sudan ditaklukkan Inggris
1900
Chad diserbu Perancis

Pada abad ke-20 M, Italia dan Spanyol ikut bersama Inggris dan Perancis memperebutkan wilayah-wilayah di Afrika.

Tahun

Keterangan
Abad ke-20
Prancis merebut wilayah-wilayah di Afrika
1906
Kesultanan muslim di Nigeria Utara menjadi protektorat Inggris
1912-1913
Tripoli dan Cyrenaica diserbu Bali
1912
Maroko diserbu Prancis dan Spanyol
1912-1915
Maroko melawan Spanyol
1914
Kuwait di bawah protektorat Inggris
1919-1926
Maroko melawan Perancis
1919-1920
Maroko melawan Spanyol
1919-1921
Sisilia (wilayah Turki) diduduki Perancis
1920
Irak menjadi protektorat Inggris
1920
Syiria dan Libanon di bawah mandat Prancis
1925-1927
Pemberontakan Druze melawan Prancis di Syiria
1926-1927
Perebutan seluruh Somalia oleh Italia

Sementara itu, Rusia menggerogoti wilayah-wilayah Muslim di Asia Tengah, terutama setelah ia berhasil mengalahkan Turki Usmani yang berakhir dengan Perjanjian San Stefano dan Perjan­jian Berlin. Satu per satu pula negeri-negeri muslim jatuh ke tangan Rusia, seperti tergambar dalam daftar berikut:  

Tahun

Keterangan
1834-1859
Pencaplokan Kaukasia oleh Rusia
1837-1847
Perlawanan di Asia Tengah terhadap Rusia
1853-1865
Serbuan pertama Rusia ke Khoakand dan jatuhnya Tashkent
1866-1872
Daerah-daerah sekitar Samarkan dan Bukhara ditaklukkan Rusia
1873-1887
Uzbekistan  ditaklukkan Rusia
1941-1946
Pendudukan Anglo-Rusia di Iran
Faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke negeri-negeri muslim adalah ekonomi dan politik. Kemajuan Eropa dalam bidang industri menyebabkannya mem­butuhkan bahan-bahan baku, di samping rempah-rempah. Mereka juga membutuhkan negeri-negeri tempat mereka dapat memasar­kan hasil industri mereka itu. Untuk menunjang perekonomian tersebut, kekuatan politik diperlukan sekali. Akan tetapi, persoal­an agama seringkah terlibat dalam proses politik penjajahan barat atas negeri-negeri Islam ini. Trauma perang Salib agaknya membekas pada sebagian orang Barat, terutama Portugis dan Spanyol, karena dua negara ini untuk jangka waktu berabad-abad berada di bawah kekuasaan Islam.[7]
Umat Islam mengalami puncak kejayaan kedua pada masa tiga kerajaan besar berkuasa, yakni kerajaan Usmani, Safawi dan Mughal. Namun, seperti pada masa kekuasaan Islam terdahulu, lambat laun kekuatan Islam menurun. Bersamaan dengan kemunduran tiga kerajaan tersebut, bangsa Barat mulai menunjukkan usaha kebangkitan Periode tiga kerajaan tersebut (1503-1789) bahkan disebutkan sebagai periode-periode kejayaan peradaban Islam, setelah sebelumnya mengalami kemunduran pasca jatuhnya dinasti Abbasiyah.[8]
Analisa:    
Melihat negara eropa yang semakin maju dalam teknologi militer dan industri perang, kerajaan usmani dianggap kecil. Dan lebih memprihatinkan lagi ketika kerajaan usmani kalah dalam pertempuran di wina membuat kerajaan usmani semakin terjatuh. Namun demikian, masih ada usaha untuk memperjuangkan bangkitnya kerajaan usmani meskipun tidak berhasil. Banyak problematika yang dihadapi hingga benar-benar dalam kondisi yang dibawah. Yang menarik eropa datang ke negara muslim hanya karena ekonomi dan politik. Oleh sebab itu kita sebagai umat muslim haruslah faham dengan dua faktor tersebut, agar kita tidak mudah dipolitiki orang barat untuk kesekian kalinya.
D.  Bangkitnya Nasionalisme Di Dunia Islam Dan Tum­buhnya Gerakan Partai Yang Memperjuangkan Kemerdekaan Negaranya
Sebagaimana telah disebutkan, benturan-benturan antara lslam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa, mereka memang jauh tertinggal dari Eropa. Yang pertama merasakan hal itu diantaranya, Turki Usmani, karena kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari Eropa.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya yang dikenal dengan gerakan pembaharuan didorong oleh dua faktor yang saling mendukung, pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam itu dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Yang pertama, seperti gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703-1787M) di Arabia, Syah Waliyullah (1703- 1762 M) di India, dan Gerakan Sanusiyyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh said Muhammad Sanusi dari Aljazair. Sedangkan yang kedua, tercermin dalam pengiriman para pelajar Muslim oleh penguasa Turki Usmani dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam. Pelajar-pelajar muslim asal India juga banyak yang menuntut ilmu di Inggris.
Gerakan pembaharuan itu dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam memang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme (persatuan Islam sedunia) yang mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahhabiyah dan Sanusiyaih. Namun, gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M).
Menurut L. Stoddard, Al-Afghanilah orang pertama yang menyadari sepenuhnya akan dominasi Barat dan bahayanya. Oleh karena itu, dia mengabdikan dirinya untuk memperingatkan dunia Islam akan hal itu dan melakukan usaha-usaha yang teliti untuk pertahanan. Umat Islam menurutnya, harus meninggalkan perselisihan-perselisihan dan berjuang di bawah panji bersama. Akan tetapi, ia juga berusaha membangkitkan semangat lokal dan nasional negeri-negeri Islam. Karena itu, Al-Afghani dikenal sebagai bapak nasionalisme dalam Islam.[9]
Prestasi yang menonjol dari para pembaharu Islam seperti Afghani, telah merangsang bangsa-bangsa Muslim untuk memberontak terhadap dominasi Eropa. Setelah Perang Dunia I, dengan runtuhnya Kerajaan Usmani dan munculnya negara bangsa Muslim modern, perlawanan terhadap kolonialisme Eropa mengambil bentuk nasionalisme, menggantikan gerakan solidaritas Pan-Islam. Gerakan nasionalistik ini mulai menekankan faktor-faktor nasional, sejarah dan kebahasaan yang berbeda dengan kesatuan keagamaan.[10]
Semangat Pan-Islamisme yang bergelora itu mendorong Sultan Kerajaan Turki Usmani Abd Al-Hamid II (1876-1909), untuk mengundang Al-Afghani ke Istambul, ibukota kerajaan. Gagasan ini dengan cepat mendapat sambutan hangat di negeri-negeri Islam. Akan tetapi, semangat demokrasi Al-Afghani tersebut menjadi duri bagi kekuasaan sultan, sehingga Al-Afghani tidak diizinkan berbuat banyak di Istambul. Setelah itu, gagasan Pan-Islamisme dengan cepat redup, terutama setelah Turki Usmani bersama sekutunya, Jerman kalah dalam Perang Dunia I dan kekhalifahan dihapuskan oleh Mustafa Kemal, tokoh yang justru mendukung gagasan nasionalisme, rasa kesetiaan kepada negara kebangsaan.
Gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat itu masuk ke negeri-negeri Muslim melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh banyaknya pelajar muslim yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga pendidikan Barat yang didirikan di negeri mereka. Gagasan kebangsaan ini pada mulanya banyak mendapat tantang­an dari pemuka-pemuka Islam karena dipandang tidak sejalan dengan semangat ukhuwah Islamiah. Akan tetapi, ia berkembang cepat setelah gagasan Pan-Islamisme redup.
Di Mesir, benih-benih gagasan nasionalisme tumbuh sejak masa Al-Tahtawi (1801-1873) dan Jamaluddin Al-Afghani. Tokoh pergerakan terkenal yang memperjuangkan gagasan ini di Mesir adalah Ahmad Urabi Pasha. Kalau di Mesir bangkit nasionalisme Mesir, di bagian negeri Arab lainnya lahir gagasan nasionalisme Arab yang segera menye­bar dan mendapat sambutan hangat, sehingga nasionalisme itu terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Demikianlah yang terjadi di Mesir, Syria, Libanon, Palestina, Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrein, dan Kuwait. Semangat persatuan Arab itu diperkuat pula oleh usaha Barat untuk mendirikan negara Yahudi di tengah- tengah bangsa Arab dan di negeri yang dihuni mayoritas Arab. Namun, berbeda dengan negeri-negeri yang menyuarakan aspirasi nasionalnya, bangsa Arab berada di dalam beberapa wilayah kekuasaan, bukan saja karena banyaknya kerajaan tradisional, tetapi juga dan terutama karena wilayahnya yang luas itu dibagi- bagi oleh penjajah Barat.
 Cita-cita mendirikan satu negara Arab, menghadapi tantangan yang sangat berat. Paling tidak, untuk mencapai cita-cita itu, mereka harus melalui dua tahap. Pertama, memerdekakan wilayah masing-masing dari kekuasaan penjajah. Kedua, berusaha mendirikan negara kesatuan Arab. Pada tanggal 12 Maret 1945, mereka berhasil mendirikan Liga Arab. Tetapi, terbentuknya Liga Arab itu, belum berarti cita-cita utama, berdiri­nya negara Arab bersatu, sudah tercapai. Apalagi, ketika itu kekuasaan Barat masih tetap bercokol di sana.
Di India, sebagaimana di Turki dan Mesir, gagasan Pan-Islamisme yang dikenal dengan gerakan khilafat juga mendapat pengikut Syed Amir Ali (1848-1928 M) adalah salah seorang pelopornya. Namun, gerakan ini segera pudar setelah usaha menghidupkan kembali khilafah yang dihapuskan Mustafa Kemal di Turki tidak mungkin lagi. Yang populer adalah gerakan nasio­nalisme yang diwakili oleh Partai Kongres Nasional India. Akan tetapi, gagasan nasionalisme itu segera pula ditinggalkan sebagian besar tokoh-tokoh Islam karena di dalamnya kaum Muslimin yang minoritas tertekan oleh kelompok Hindu yang mayoritas. Persatuan antara dua komunitas besar Hindu dan Islam sulit diwujudkan. Oleh karena itu, umat Islam di anak benua India ini tidak menganut nasionalisme, tetapi Islamisme, yang dalam masyarakat India dikenal dengan nama komunalisme. Gagasan Komunalisme Islam ini disuarakan oleh Liga Muslimin yang merupakan saingan bagi Partai Kongres Nasional, dukungan mayoritas penganut agama Hindu. Benih-benih gagasan Islamisme tersebut sebenarnya sudah ada sebelum Liga Muslimin berdiri, dilontarkan oleh Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M), kemudian mengkristal pada masa Iqbal (1876-1938 M) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948).
Partai politik besar yang menentang penjajahan di Indonesia adalah Sarekat Islam (SI), didirikan tahun 1912 di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto, partai ini merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi tahun 1911. Tak lama kemudian partai-partai politik lainnya berdiri seperti Partai, Nasional Indonesia (PNI), didirikan oleh Sukarno (1927), Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-baru), didirikan oleh Mohammad Hatta (1931), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) yang menjadi partai politik tahun 1932, dipelopori oleh Mukhtar Luthfi. Gagasan-gagasan nasionalisme dan gerakan-gerakan untuk membebaskan diri dari kekuasaan penjajah Barat yang kafir juga bangkit di negeri-negeri Islam lainnya.[11]
Analisa:    
Kekuatan eropa telah menyadarkan umat islam yang jauh tertinggal dengan eropa. Hal tersebut bagaikan motivasi bagi umat islam. Bahkan kesadaran tersebut menjadikan penguasa dan pejuang-pejuangnya belajar dari eropa agar kekuatan islam kembali pulih hingga sampailah tumbuhnya pan-islamisme. Kesadaran tersebut positif dan sangat mulia, menerima dengan lapang dada dan ada usaha untuk memperjuangkan kemerdekaan negaranya. Begitulah islam yang mengajarkan umat manusia tidak putus asa dalam sebuah perjuangan.
E.  Kemerdekaan Negara-Negera Islam Dari Penjajah­an
Munculnya gagasan-gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat. Dalam kenyataan, memang, partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari kekuasaan penjajah. Perjuangan mereka biasanya terwujud dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti (1) gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata, dan (2) pendidikan serta propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyam­but dan mengisi kemerdekaan itu.
Negara berpenduduk mayoritas Muslim yang pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaannya adalah Indonesia, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia merdeka dari pendudukan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh Tentara Sekutu. Akan tetapi, rakyat Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya itu dengan perjuangan bersenjata selama lima tahun bertu­rut-turut, karena belanda, yang didukung oleh Tentara Sekutu berusaha menguasai kembali kepulauan ini.
Hal ini nampak jelas dalam kasus berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang dideklarasikan di Surabaya bulan September 1937 pada masa penjajahan Jepang. Menurut Harry J. Benda, berdirinya MIAI adalah bentuk sebuah nasionalisme sebagai reaksi atas berbagai kebijakan campur tangan Belanda terhadap persoalan-persoalan keagamaan umat Islam.[12] Seorang peneliti Barat, Bernard Dahm, menjelaskan bahwa nasionalisme dan perjuangan seorang Sukarno melawan kolonialisme di Indonesia sudah dimulai sejak masa kanak-kanak yang ditanamkan melalui budaya Jawa atau mitologi Jawa sebagaimana tercermin dalam cerita-cerita wayang.[13]
Negara Islam kedua yang merdeka dari penjajahan adalah Pakistan, yaitu pada tanggal 15 Agustus 1947, ketika Inggris menyerahkan kedaulatannya di India kepada dua Dewan Konsti­tusi, satu untuk India dan satu untuk Pakistan (waktu itu terdiri dari Pakistan dan Bangladesh sekarang). Presiden pertamanya adalah Ali Jinnah.
Di Timur Tengah, Mesir secara resmi memperoleh kemerde­kaan tahun 1922 dari Inggris, tapi dalam pemerintahan. Raja Faruk pengaruh Inggris sangat besar. Baru pada masa pemerintahan Jamal Abd Al-Nasser yang menggulingkan Raja Faruk 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya benar-benar merdeka.
Sama dengan Mesir, Irak merdeka secara formal tahun 1932, tapi rakyatnya baru merasakan benar-benar merdeka tahun 1958. Sebelum itu, negara-negara sekitar Irak telah mengumumkan kemerdekaannya seperti Syria, Jordania, dan Libanon tahun 1946.
Di Afrika, Lybia merdeka tahun 1951 M, Sudan, dan Marokko tahun 1956 M, Aljazair tahun 1962. Semuanya membebaskan diri dari Perancis. Di dalam waktu hampir bersamaan, Yaman Utara, Yaman Selatan, dan Emirat Arab memperoleh kemerdeka­annya pula.
Di Asia Tenggara, Malaysia yang waktu itu termasuk Singa­pura, mendapat kemerdekaan dari Inggris tahun 1957, dan Brunai Darussalam tahun 1984 M. Demikianlah, satu per satu negeri-negeri Islam memerdeka­kan diri dari penjajahan Bahkan, beberapa di antaranya baru mendapat kemerdekaan pada tahun-tahun terakhir, seperti negara- negara Islam yang dulunya bersatu dalam Uni Soviet, yaitu Uzbekistan, Turkmenia, Kirghistan, Kazakhtan, Tasjikistan, dan Azerbaijan pada tahun 1992 dan Bosnia memerdekakan diri dari Yugoslavia juga pada tahun 1992.
Namun, sampai saat ini masih ada umat Islam yang berharap mendapatkan otonomi sendiri, atau paling tidak menjadi penguasa atas masyarakat mereka sendiri. Mereka itu adalah penduduk minoritas muslim dalam negara-negara nasional, Kasymir di India, Moro di Filipina, dan sebagainya. Meski mereka hidup dalam negara merdeka, namun status sebagai minoritas seringkali menyulitkan mereka dalam meningkatkah kesejahteraan hidup.[14]
Analisa:    
Partai islam telah berjuang melepaskan diri dari penjajah, sekaligus didukung rasa nasionalisme para pejuang muslim yang tetap mempertahankan negaranya ingin merdeka, atas jerih payah dan usaha akhirnya islam kembali bangkit. Kita sebagai generasi islam sudah selayaknya paham tentang politik, karena gerakan politik sangatlah penting untuk bekal pengetahuan menghadapi serangan yang tidak kita inginkan demi merdekanya umat islam.

PENUTUP
Kesimpulan
Setelah christoper colombus menemukan benua amerika (1492 M) dan vasco menemukan jalan ke timur melalui tanjung harapan (1498 M), benua amerika dan kepulauan hindia segera jatuh kebawah kekuasaan eropa. Dua penemuan itu sungguh tak terkirakan nilainya, eropa menjadi maju dalam dunia perdagangan, karena tidak tergantung lagi kepada jalur lama yang dikuasai umat islam. Selain itu, eropa menjadi penguasa lautan dan bebas melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan ke seluruh dunia, tanpa mendapat hambatan berarti dari lawan- lawan mereka. Bahkan, satu demi satu negeri Islam jatuh ke bawah kekuasaannya sebagai negeri jajahan.
Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru mulai berkembang, yang merupakan daerah rempah-rempah terkenal pada masa itu, justru menjadi ajang perebutan negara-negara Eropa. Kekuatan Eropa malah lebih awal menancapkan kekuasaannya di negeri ini. Hal itu karena, dibandingkan dengan Mughal, kerajaan- kerajaan Islam di Asia Tenggara lebih lemah sehingga dengan mudah. dapat ditaklukkan.
Kekalahan besar Kerajaan Usmani dalam menghadapi serangan Eropa di Wina tahun 1683 M membuka mata, bahwa Kerajaan Usmani telah mundur jauh sekali. Sejak itulah Kerajaan Usmani mendapat serangan-serangan besar dari Barat Sejak kekalahan dalam pertempuran Wina itu, Kerajaan usmani juga menyadari akan kemundurannya.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya yang dikenal dengan gerakan pembaharuan didorong oleh dua faktor yang saling mendukung, pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam itu dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat.
Gagasan-gagasan nasionalisme yang diikuti berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat. partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari kekuasaan penjajah. Perjuangan mereka terwujud dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti (1) gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata, dan (2) pendidikan serta propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyam­but dan mengisi kemerdekaan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Lucas S Henry, The Renaissance And The Reformatin, New York: Harper & Row, Publisher, 1960.
Burn Mcnall Edward, Western Civilization: Their History and Their Culture,New York: W.W. Norton & Company Inc, 1954.
Maryam Siti, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Jurusan SPI Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2003.
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Rajawali Pers, 2014
Muslim Ikram, Muslim Civillization In India, London: Cambridge University Press, 1977.
Bakri Syamsul, Peta Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011.
Karpat H Kemal, Political and Social Thought in the Contemporary Middle East, New York: Praeger Publisher, 1982.
Benda J Harry, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Dahm Bernard, Soekarno and the Struggle for Indonesia Independence, Ithaca and London: Cornell University Press, 1969.



[1]Henry S. Lucas, The Renaissance And The Reformatin (New York: Harper & Row, Publisher, 1960), 207.
[2]Edward Mcnall Burn, Western Civilization: Their History and Their Culture, (New York: W.W. Norton & Company Inc, 1954), 315.
[3] Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Jurusan SPI Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2003), 94.
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 174-175.
[5]Ikram Muslim, Muslim Civillization In India, (London: Cambridge University Press, 1977), 268.
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 177.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 178-183.
[8] Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011),132.
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 184.
[10]Kemal H. Karpat, Political and Social Thought in the Contemporary Middle East, (New York: Praeger Publisher, 1982),104.
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 185-187.
[12] Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), 119.
[13] Bernard Dahm, Soekarno and the Struggle for Indonesia Independence, (Ithaca and London: Cornell University Press, 1969), 26.
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 189.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat