Jumat, 27 Oktober 2017

Makalah Studi Hadits "PENGERTIAN, SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANNYA SERTA CABANGANNYA"




ULUMUL HADITS : PENGERTIAN, SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANNYA SERTA CABANGANNYA
 

KATA PENGANTAR
اَلٌسَّلَامُ عَليٌكًمْ وَرَحْمَة اللهِ وَبَرَكَاته
Bismillahirrohmanirrohim.                                                                                                                  Puji  syukur  kehadirat  Allah  SWT, Yang Maha Esa atas petunjuk, rahmat, dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan Makalah Studi Hadits yang berjudul ulumul hadits: pengertian, sejarah pertumbuhan dan perkembangannya serta cabangannya”
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, pemimpin para Nabi dan panutan bagi umat Islam di dunia yang beriman dan bertaqwa, begitu juga dengan para keluarga dan sahabat yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang-benderang “Ila Dzulumati Ilannur”serta kepada pengemban risalah mulia yang selalu mengikuti metode serta langkah beliau yang menjadikan “Al-Qur‟an” sebagai pedoman sekaligus sumber hukum.
Penyusun sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penyusun harapkan, demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga amal kebaikan dan aktivitas yang kita lakukan selalu ada dalam rahmat dan ampunannya, Aamiin

وَالٌسَّلَامُ عَليٌكًمْ وَرَحْمَة اللهِ وَبَرَكَاتُه

     

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Sudah diketahui bahwasannya dalam menyebut nama-nama hadits sesuai dengan fungsinya dalam ketettapan syariat Islam ada hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dloif. Masing-masing memiliki syarat dan ketentuan masing-masing, persyaratan itu berkaitan dengan persambungan sanad, kuwalitas perawi yang dilalui hadits dan berkaitan juga dengan kandungan hadits itu sendiri, maka di dalam ilmu hadits terdapat dua persoalan. Pertama berkaitan dengan sanad. Kedua berkaitan dengan matan.
Sanad adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui apakah hadits tersebut bersambung sanadnya atau tidak, dan apakah para perawi hadits yang tercantum dalam sanad adalah orang terpercaya atau tidak. Ilmu matan bertujuan membantu kita mengetahui apakah kandungan dalam hadits berasal dari nabi atau tidak, secara garis besar ilmu hadits di bagi menjadi dua yaitu: hadits riwayah dan hadits dirayah. Hadits riwayah membahas materi hadits yang menjadi kandungan makna, sedangkan ilmu hadits diarayah mengambil pembahasan tentang kaidah-kaidahnya beik berhubungan dengan sanad atau matan hadits, kedua ilmu hadits itu sama pentingnya, sebab dengan ilmu pertama orang muslim yang menguasai ilmu tersebut dapat mengikuti keteladana rasulullah. Dan ilmu yang kedua membantu kita untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang hadits nabi, di bawah ini akan ditangkan pengertian ilmu hadits sejarah yang di lalui serta cabang-cabang ilmu hadits.
  1. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang dapat dibuat perumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah pengertian ilmu hadits?
2.      Bagaimana sejarah ilmu hadits?
3.      Apa saja macam-macam ilmu hadits?

BAB II
PEMBAHASAN
A.         Pengertian Ulumul Hadits
Dari segi bahasa ilmu hadist terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan hadist. secara sederhana ilmu artinya pengetahuan, sedangkan hadist  artinya yaitu segala sesuatu yang  disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik dari perkataan, perbuatan, maupun persetujuan.
Sedangkan Ilmu hadist secara istilah adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan.
Ilmu hadist di bagi menjadi dua macam, yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.[1]
1.      Ilmu Hadits Riyawah
Menurut pendapat Dr. Shubhi Ash-Shahih ialah: Ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan maupun sifat serta segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.
Pendiri ilmu hadits riwayah adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (W. 124 H.)
Adapun kegunaan dan manfaat mempelajari ilmu hadits riwayah, di antaranya adalah sebagai berikut.
a.       Memelihara hadits secara berhati-hati dari segala kesalahan dan kekurangan dalam periwayatan.
b.      Memelihara kemurnian syari’ah Islamiyah karena sunnah atau hadits adalah sumber hokum Islam setelah Al-Qur’an.
c.       Menyebarluaskan sunnah kepada seluruh umat islam sehingga sunnah dapat diterima oleh seluruh umat manusia.
d.      Mengikuti dan meneladani akhlak Nabi SAW. karena tingkah laku dan akhlak beliau secara terperinci dimuat dalam hadist.
e.       Melaksanakan hokum-hukum Islam serta memelihara etika-etikanya, karena Islam tanpa mempelajari ilmu hadist riwayah ini.[2]
2.      Ilmu Hadits Dirayah
Peneletian sanad dan matan, periwayatan, yang meriwayatkan dan yang diriwayatkan, bagaimana kondisi dan sifat-sifatnya, diterima atau ditolak, shahih dari Rasul atau dha’if.
Ilmu Hadits Dirayah, fokusnya pada pengetahuan (dirayah) hadist, baik dari segi keadaan sanad dan matan, apakah telah memenuhi persyaratan sebagai hadits yang diterima atau tertolak,
Adapun pendiri Ilmu Hadits Dirayah adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (W. 360 H.).[3]
Pokok bahasan naqd as-sanad adalah sebagai berikut:
a.       Ittishal as-sanad (persambungan sanad). dalam hal ini tidak dibenarkan adanya rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya (wahm), atau samar.
b.      Tsiqat as-sanad, yakni sifat ‘adl (adil), dhabit (cermat dan kuat), dan tsiqah (terpercaya) yang harus dimiliki seorang periwayat.
c.       Syadz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya, hadist yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, tetapi menyendiri dan bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan oleh periwayat-periwayat tsiqah lainnya.
d.      ‘Illat, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadist yang keihatannya baik atau sempurna. syadz dan ‘illat ada kalanya terdapat juga pada matan dan untuk menelitinya diperukan penguasaan ilmu hadist yang mendalam.
Masalah yang menyangkut matan disebut naqd al-matn (kritik matan) .
Pembahasan ilmu hadits  dirayah meliputi:
a.       Kejanggalan-kejanggalan dari segi redaksi.
b.      Fasad al-ma'na, yakni terdapat cacat atau kejanggalan pada ma'na hadits karena bertentangan dengan indra dan akal.
c.       Kata-kata gharib (asing), yakni kata-kata yang tidak bias dipahami berdasarkan makna yang umum dikenal.
Faedah ilmu hadits dirayah adalah:
a.       Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa sejak masa Rasulullah SAW. Sampai masa sekarang.
b.      Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadits.
c.       Mengetahui kaedah-kaedah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklafikasikan hadits lebih lanjut.
d.      Mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria-kriteria hadits. Dalam menetapkan hokum syara'.[4]
B.    Cabang-Cabang Ilmu Hadits
1.      Ilmu Rijal Al-Hadits
Imu rijal al-hadits adalah ilmu yang membahas hal dan sejarah para rawi dari kalangan sahabat, tabiin, dan atba’at-tabiin.
Bagian dari ‘ilmu rijal al-hadits ini adalah ‘ilmu tarikh rijal al-hadits. Ilmu ini secara khusus membahas perihal para rawi hadits dengan penekanan pada aspek-aspek tanggal keahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber hadits, jumlah hadits yang diriwayatkan, dan muris-muridnya.
2.      Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Secara bahasa, kata al-jarh artinya cacat atau luka dan kata at-ta’dil artinya mengadilkan atau menyamakan. Jadi, kata ilmu al-jarh wat-ta’dil adalah ilmu tentang keacatan dan keadilan seseorang.
3.      Ilmu Fannil Mubhamat
Ilmu fannil mubahat adalah: ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebutkan dalam matan atau dalam sanad.[5]
4.      Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
Kata ‘ilal adalah jamak dari kata al-illah, yang menurut bahasa artinya penyakit. Adapun ilmu ‘ilal al-hadits menurut istilah adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan kesahihan hadits, misalnya mengatakan muttashil terhadap hadits yang munqathi’, menyebut marfu’ terhadap hadits yang mauquf, memasukan hadits ke dalam hadits lain.[6]
5.      Ilmu Gharib Al-Hadits
Ilmu gharb al-hadits adalah ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan jarang terpakai oleh umum.
Ilmu gharb al-hadits membahas lafal yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami sehingga orang tidak akan menduga-duga dalam memahami redaksi hadits.
Menurut sejarah, orang yang mula-mula berusaha untuk mengumpulkan lafal yang gharib adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsana, kemudian dikembangkan oleh Abul Hasan Al-Mazini.
6.      Ilmu Nasikh wal Mansukh
Nasakh secara etimologi berarti menghilangkan, mengutip, atau menyain. Sedangkan nasikh wal mansukh, menurut ulama hadits, adalah: ilmu yang membahas hadits-hadits yang saling bertentangan yang tidak mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menentukan sebagainya sebagai ‘nasikh’ dan sebagian lainnya sebagai ‘mansukh’. Yang terbukti datang terdahulu sebagai mansukh dan yang terbukti datang kemudian sebagai nasikh.
Perintis ilmu ini adalah Asy-Syafi’I, kemudian dilamjutkan oleh murid-muridnya.
7.      Ilmu Talfiq Al-Hadits
Ilmu talfil al-hadits adalah ilmu yang membahas cara mengumpulkan  hadits-hadits yang berlawanan  akhirnya.
Cara engupulkan dalam talfiq al-hadits ini adalah dengan men-takhsiskan makna hadits yang umum, men-taqyidkan hadits yang mutlaq.
8.      Ilmu Tashif wat Tahrif
Ilmu tashif wat tahrif adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi,  tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadits.
9.      Ilmu  Asbab Al-Wurud Al-hadits
Ilmu  asbab al-wurud al-hadits adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi SAW. menuturkan itu.
Ilmu ini sangat penting untuk memahami dan menafsirkan hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurud hadits tersebut.[7]

C.   Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Hadits
Untuk mengetahui secara kronoogis perkembangan hadist, mulai dari masa Nabi SAW. sampai pertengahan abad  VII H. para ahli membaginya kedalam tujuh periode, yaitu:
Abad 1 H. terdiri dari 3 (tiga) periode, yaitu
Pertaman, dikenal sebagai sebutan “’ashrul wahyi wuttaqwim”, yaitu turun wahyu dari pembentukan masyarakat islam.
Kedua, yaitu masa khulafa’ur rosyidin atau masa sahabat besar, yang dikenal dengan sebutan “zamanut tasatabbuti wal iqlali  minarriwayah”, yaitu masa pengokohan dan penyederhanaan riwayat.
Ketiga,masa sahabat kecil dan masa tabi’in besar, dikenal dengan sebutan “zaman intisyari riwayati ila am-shar”, yaitu masa tersebarnya riwayat-riwayat hadits ke kota-kota.
Abad II H. termasuk periode ke empat, yaitu masa pemerintahan kholifah Umar bin Abdul Aziz, kemudian dikenal dengan sebutan “’ashrul kitabati wattadwin”, yakni masa penulisan, dan masa mengkodifikasi hadits-hadits. Pada masa ini masih bercampur perkataan nabi dengan  perkataan shahabat.
Abad III H. termasuk yang di dalamnya periode kelima, yang disebut dengan “’ashruttajjridi watshrieh watanqieh” yaitu masa penyaringan hadits dan pensyarahnya. Sedang orang pertama yang melakukan penyaringan hadits-hadits shohih ialah Ishak ibnu Rahawaih yang kemudian dilanjutkan oleh Imam Al-Bukhari dengan kitab shahihnya, lalu dilanjutkan muridnya bernama Imam Muslim.
Abad IV H. yang pada umumnya disebut dengan istilah “’asrut tahdzibi wal istidraki wal jami’I” yaitu masa pembersihan, penyusunan, penambahan dan pengumpulan. Dalam abad ini telah masuk juga periode keenam.[8]

1.      Eksistensi Hadits Masa Nabi Muhammad Saw.
Pertama, riwayat yang menerangkan adanya larangan penulisan hadits, yaitu:
Hadist riwayat Abu Said Al-Khudriy, katanya Nabi saw. bersabda:
لَا تَكْتُبُوْا عَنِّى غَيْرُ القُرأَنِ وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرُ القُرأَنِ فَلْيَمْحُهُ
“Jangan sekali-kali kamu menulis padaku sealain  Al-Qur’an, barang siapa yang menulisnya, hendaklah dia menghapusnya.”

Kedua, riwayat hadits tentang kebolehan menulis hadits, yaitu:
Hadits riwayat Abu Hurairah, Abu Hurairah, mengatakan bahwa seorang sahabat anshar yang sedang duduk bersama dalam suatu majlis Nabi untuk mendengarkan hadits, lantaran dia tidak dapat menghafalkannya, lalu dia menanyakan kepada beliau bahwa aku mendengarkan engkau yang menyebabkan aku tertarik, tetapi aku tidak dapat menghafalkannya, lalu beliau mengatakan kepadanya: “mintalah pertolongan tanganmu untuk menghafalkannya”.[9]
2.      Eksistensi Hadits Masa Sahabat Dan Tabi’in
Periode ini terjadi pada masa khulafa’urrasyidin atau masa sahabat besar dan dikenal dengan sebutan “zamanut tasatabbuti wal iqlali  minarriwayah”, yaitu masa pengkokohan dan penyederhanaan riwayat, sehingga masalah penulisan hadits belum dianggap suatu hal yang mendesak untuk dilaksanakan, hadits tetap dihafal dan upaya-upaya penulisan masih dianggap menghawatirkan akan mengganggu perhatian mereka terhadap penulisan Al-Qur’an lantasan keterbatasan tenaga dan sarana.
Dan faktor sebab itulah, Abu Bakar sebagai khalifah pertama mengeluarkan kebijakan tidak mengizinkan para sahabat menulis hadits, bahkan beliau memerintahkan untuk membakar 500 buah hadits yang telah dicatatnya, sebagaimana riwayat Al-Hakim dari ‘Aisyah:
جَمَعَ اَبِى الْحَدِيْثَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ خَمْسُمِائَةِ حَدِيْثٍ قَبَاتَ لَيْلَةً يَتَقَلَّبُ كَثِيْرٌ, فَلَمَّا اَصْبَحَ قَالَ: أَيُّ بَنِيَّةٍ هَلُمَّى الْأَحَادِيْثَ الْتِى عِنْدَكَ فَجِئْتُهُ بِهَا فَدَعَا بِنَارٍ فَخَرَقَهُ
Ayahku telah mengumpulkan hadits dari Rasulullah saw. Sejumlah 500 (lima ratus) buah. Lalu pada suatu malam beliau banyak membolak-balik hadits tersebut…. Kemudian dipagi hari beliau berkata: wahai anakku, bawalah hadits-hadits yang ada padamu, maka akupun membawanya kepada beliau dan seketika itu beliau menyalakan api  lalu membakarnya.
Melihat adanya faktor kehawatiran perhatian para sahabat terhadap progam penulisan Al-Qur’an terganggu, lalu niat ‘Umar bin Khathab untuk membuat progam penulisan hadits dibatakan, apalagi mayoritas sahabat tidak sepakat dengan usaha tersebut. Hal ini dapata dibuktikan adanya hadits riwayat Anas bin Malik:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ عُمَرَ قألَ عِنْدَ مَا عَدَّلَ عَنْ كِتَابٍ السُّنَّةِ لَا كِتَابَ مَعَ كِتَابِ اللهِ
Dari sahabat Malik bin Anas mengatakan bahwa ‘Umar bin Khathab bermaksud menulis beberapa hadits, lalu beliau berkata tidak boleh ada suatu kitab yang muncul bersama-sama kitabullah.
Dari adanya hadits tersebut, bahwa Abu Bakar dan ‘Umar bin Khathab merasakan adanya kekhawatiran terhadap buku catatan hadits yang ada di tangan para sahabat terhadap Al-Qur’an.
Sekalipun demikian, penulisan hadits tetap saja dilakukan oleh para sahabat, diantaranya ialah Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Tholib, ‘Aisyah, dan lainya.hal ini dapat dibuktikan dari hadits berikut:
a.  Ibnu Mas’ud
أَخْرَجَ إلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ ابْنِ عَبْدُ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ كِتَابًا وَحَلَفَ لِى أَنَّهُ خَطُّ أَبِيْهِ بِيَدِهِ
Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud telah memperihatkan kepadaku sebuah buku catatan seraya bersumpah dihadapanku bahwa catatan ini adalah tulisan tangan ayahnya, yaitu Abdullah bin Mas’ud.
b. Ali bin Abi Thalib
رُوِيَ عَنْ عَلِيٍ أنَّهُ كَانَ يَخُضُّ عَلَى طَلَبِ الْعِلْمِ وَكِتَابَتِهِ فَقَدْ قَالَ مَنْ يَشْتَرِى مِنِّى عِلْمًا بِدِرْهَمٍ ؟. قَالَ أَبُوْ حَيْثُمَةَ يَقُوْلُ يَشْتَرِى صَحِيْفَةً بِدِرْهَمٍ يَكْتُبُ فِيْهَا الْعِلْمَ
Ali bin Abi Thalib pernah menganjurkan untuk menuntut ilmu dan menulisnya, beliau berkata “siapa yang mau membeli ilmu dariku dengan satu dirham?
Lalu Abu Khaitsumah yang saat itu berada disisi beliau, membeli lembaran tersebut dengan harga satu dirham.
c.  Aisyah
يَابُنَيَّ بَلَغَنِى أَنَّكَ تَكْتُبُ عَنِّى الْحَدِيْثَ ثٌمَّ تَعُوْدُ فَتَكْتَبَهُ فَقَالَ لَهَا أَسْمَعُهُ عَلَى غَيْرِهِ فَقَالَتْ هَلْ تَسْمَعُ فِى الْمَعْنَى خِلَافًا؟. قَالَ لَا قَالَتْ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ
Wahai anakku, aku mendengarkan bahwa kamu telah menulis hadits-hadits dariku, lalu apakah kamu mengulangi lagi untuk menulisnya.? Lalu Urwah menjawab “sesuatu hadits yang telah saya dengar darimu, saya mengulangi lagi untuk mendengarkan kepada orang lain”, kemudian bertanya lagi: apakah yang kamu dengar (dariku) ada yang berlainan dengan orang lain? Lalu ia menjawab. “tidak” kalau begitu, silahkan kamu lanjutkan.[10]
3.      Eksistensi Hadits Pada Abad II H.
Pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya, metode periwayatan hadits yang dilakukan oleh para tabi’in tidak berbeda dengan yang sudah dilakukan oleh para sahabat, hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda, sebab pada masa ini Al-Qur’an sudah terkumpul dalam satu mushaf. Pemerintahan Umar bin Abdul Aziz membentuk lembaga kodifikasi hadits secara resmi, dengan melalui instruksinya kepada para pejabat pemerintahan yang ada di daerah-daerah, kepada: Abu Bakar bin Hazm dan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (w. 124 H.).
Latar belakang Kholifah Umar bin Abdul Aziz untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadits ialah:
a.     Banyak penghafal hadits yang meninggal dunia, baik ataupun sebagai pahlawan perang.
b.    Al-Qur’an sudah berkembang begitu luas dalam masyarakat dan telah dikumpulkan menjadi mushaf, karenanya tidak perlu dikhawatirkan lagi hadits bercampur dengan Al-Qur’an.
c.     Islam telah mulai melebarkan syi’arnya melampaui jazirah Arab, maka hadits sangat diperlukan sebagai penjelasan Al-Qur’an.
Maka masa ini dikenal dengan sebutan “masa pembukuan”, pada abad II H. ini tersusunlah kitab-kitab hadits dari para ulama’-ulama’, diantaranya adalah:
a.    Ibnu juraiji (80-150 H.) di Makkah.
b.   Al-Auza’I (88-157 H.) di Syam.
c.    Sufyan Ats-Tsauri (w. 161 H.) di kufah.
d.   Malik bin Anas (w. 179 H.) di madinah.[11]
4.      Eksistensi Hadits Pada Abad III
Masa ini dikenal dengan sebutan masa ‘ashruttajridi wat tashrih wat tanqih yaitu masa penyaringan dan penyarahan hadits, masa pemerintahan dipegang oleh dinasti Abbasiyyah, dari khalifah Al-Ma’mun sampai Al-Muqtadir (201-300 H.). pada masa ini belum berhasil melakukan pemisahan beberapa hadits mauquf dan maqthuk dari hadits marfu’, hadits dla’if dari hadits shahih, bahkan hadits maudlu’ bercampur dengan hadits shahih.
Masa ini dianggap sebagai masa paling sukses dalam menjalankan progam pembukuan hadits, sebab mereka telah berhasil dalam beberapa hal,
a.    Memisahkan hadits-hadits Nabi dari yang bukan hadits (fatwa shahabat atau tabi’in).
b.   Mengadakan penyaringan secara ketat terhadap apa saja yang dikatan hadits Nabi.
Ulama’ pertama kali melakukan penyaringan hadits-hadits shahih ialah Ishak bin Rahawaih, kemudian di lanjutkan oleh Imam Bukhari dengan kitab shahihnya, lalu di lanjutkan muridnya bernama Imam Muslim.
Kitab-kitab koleksi hadits dari para kolektornya yang muncul pada masa ini ialah:
a.       Shahih Al-Bukhari, karya Abu Abdillah Muhammad bin isma’il Al-Bukhari.
b.      Shahih Muslim, karya Abu Husain Muslim bin Hallaj An-Naisaburi.
c.       Sunan Abu Dawud, karya Abu Dawud Sulaiman bin Asy’asyi Al-Sajastami.
d.      Sunan At-Turmudzi, karya Abu Isa Muhammad Bin Yahya At-Turmudzi.
e.       Sunan An-Nasa’I, karya Abu Abdillah Ahmad bin Syu’aib Al-Hurasani.
f.        Sunan Ibnu Majah, karya Abdullah bin Muhammad Al-Qozwani.[12]
5.      Eksistensi Hadits Pada Abad IV
Pada periode ini, ditemukan perbedaan yang menyolok, menjadi awal terjadinya pemisahan antara kelompok mutaqaddimin dan mutaakhirin,
a.       Mutaqaddimin ialah ulama’ yang hidup sebelum tahun 300 H. sistem penulisan hadits-hadits, dengan mendengar hadits langsung dari guru mereka.
b.      Mutaakhirin ialah ulama’ yang hidup setelah tahun 300 H. system penulisan hadits-hadits, menggunakan penghimpunan hadits.[13]
6.      Eksistensi Hadits Pada Abad V Sampai Sekarang
Pada tahun 656 H. pemerintahan Abbasiyyah pindah ke tangan bangsa Turki dengan pusat pemerintahannya pindah ke Kairo, Mesir, pada akhir abad ke VII H. semua daerah islam dapat dikuasai kecuali daerah barat Maroko, pertengahan abad ke IX H. berhasil merebut kota Constantinopel dan Mesir, sejak itulah raja Turki menggunakan sebutan khalifah.

BAB III
Kesimpulan

Dengan hadits riwayah kita dapat mengetahui tata cara periwayatan, pemiliharaan, pencatatan, dan pembukuan hadits Nabi Muhammad SAW. Dengan hadits dirayah kita dapat mengetahui masalah-masalah untuk mengetahui layak atau tidaknya seorang perawi dalam meriwayatkan sebuah hadits.
Dengan dua ilmu tersebut kita dapat mengetahui sejarah tentang turun temurunnya sebuah hadits.

DAFTAR PUSTAKA

Khon, Majid, Abdul. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah. 2009.
Sahrani, Sohari. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.
Solahudin, Agus, M. Ulumul Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2008.
Zein, Ma’shum, Muhammad. Ulumul Hadits & Musthalah Hadits. Jombang: Darul-Hikmah. 2008.




[1] Khon Majid Abdul, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), 76
[2] Ibid,. 77-79.
[3] Ibid., 81.
[4] Solahudin Agus M. Ulumul Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), 109-110.
[5] Ibid., 111-115.
[6] Sahrani Sohari, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 77-78.
[7] M Agus, Ulumul Hadits, 117-122.
[8] Zein Ma’shum Muhammad, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, (Jombang: Darul-Hikmah, 2008), 62-63
[9] Ibid., 63-65
[10] Ibid., 67-70
[11] Ibid., 71-74
[12] Ibid., 74-75
[13] Ibid., 76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat