Kamis, 25 Januari 2018

MAKALAH ASURANSI MENURUT USHUL FIQH

ASURANSI
MENURUT USHUL FIQH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sehubungan dengan arus modernisasi dan perubahan sosial yang berkembang saat ini, tampaknya berimbas tidak hanya pada pola berperilaku manusia dengan alam kehidupannya sehari-hari, tetapi juga berpengaruh terhadap pengamalan hukum Islam. Hal ini disebabkan karena dinamika sosial terus berkembang, sedangkan nash-nash hukum Islam terbatas dan sudah terputus dengan wafatnya Rasulullah SAW. Akibatnya umat Islam terbagi dalam dua golongan yang saling kontradiktif. Satu pihak akan lebih merasa leluasa berbuat, karena ketiadaan nash itu dengan dalih persoalan baru tidak ada nashnya. Sedangkan pihak lain berpendapat, bahwa meskipun persoalan baru tersebut tidak secara tersurat ditunjukkan hukumnya oleh nash, tetapi berusaha untuk mencari posisi persoalan tersebut dalam hukum-hukum Islam melalui Ijtihad.
Mayoritas ulama menggunakan Ijtihad sebagai solusi dalam menyelesaikan hukum masalah yang tidak ada nashnya. Hal ini dapar dilihat dari pengakuan mereka terhadap produk hukum Ijtihad sebagai hukum Yang bernuansa agama sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash. Salah satu persoalan hukum yang tidak ada nashnya secara tersurat adalah Asuransi. Oleh sebab itu, masalah asuransi dapat digolongkan sebagai masalah Ijtihadiyah.
Berhubung karena masalah asuransi ini sangat luas dan banyak bahasannya, maka dalam tulisan ini hanya dibatasi pada pembahasan tentang pengertian asuransi, hukum dan kaidahnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian asuransi?
2.      Bagaimana hukum asuransi?
3.      Bagaimana kaidah yang menerangkan asuransi?


C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk menjelaskan arti dari asuransi.
2.      Untuk mengetahui hukum dari asuransi.
3.      Untuk menerangkan kaidah tentang asuransi.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Asuransi
Istilah asuransi, berasal dari bahasa inggris insurance, yang berarti jaminan, atau dalam bahasa arab disebut al-ta’min. ‘Abd al-sami’ al-Mishri mengemukakan definisi al-ta’min, yakni akad yang mewajibkan penanggung menjamin tertanggung atau menunaikan manfaat seperti yang tersebut dalam pertanggungan dengan menyerahkan uang atau pengganti harta benda, pada saat terjadinya peristiwa sebagaimana yang tertera dalam akad. Hal itu dilakukan karena tertanggung menunaikan pembayaran secara berangsur atau sekaligus kepada penanggung.[1]
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa asuransi mempunyai tiga unsur pokok:
1.      Penanggung (perusahaan), yang bersedia menjamin sejumlah uang atau barang berdasarkan perjanjian.
2.      Tertanggung, yang bersedia membayar premi setiap waktu tertentu, sesuai dengan perjanjian.
3.      Adanya peristiwa, yang merupakan syarat untuk pembayaran ganti rugi sesuai dengan perjanjian, seperti kebakaran, kecurian dan sebagainya.
Secara umum, dikenal dua macam asuransi:[2]
1.      Asuransi ganti rugi, yakni perusahaan memberi ganti rugi kepada yang menderita kerugian barang, misalnya asuransi kebakaran, pengangkutan, pencurian.
2.      Asuransi sejumlah uang, yakni perusahaan membayar sejumlah uanng tertentu kepada nasabah yang terkena musibah, misalnya asuransi kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan sebagainya.
Adapun proses pelaksanaannya, para petugas dari perusahaan, diberi wewenang untuk mengajak seseorang nasabah. Jika seseorang itu tidak setuju, dalam arti tidak rela dengan syarat-syarat perjanjian yang diajukan, maka dia tidak akan dicatat sebagai nasabah. Dalam hal ini tidak ada paksaan, melainkan atas dasar persepakatan bersama.[3]
B.       Hukum Asuransi
Maksud dan tujuan diadakannya asuransi adalah untuk menjaga agar suatu usaha tidak mengalami atau menderita kerugian dan untuk memberi ganti rugi kepada pihak yang bersangkutan, yakni nasabah yang mengalami kerugian.
Dengan memperhatikan tujuan asuransi tersebut, dapat dipahami bahwa asuransi tidak hanya bertujuan mengeruk keuntungan dari nasabah, tetapi yang terpenting ialah berusaha membantu masyarakat untuk mengurangi beban yang mungkin dideritanya, baik terhadap harta bendanya maupun terhadap jiwanya.
Asuransi sebagai salah satu praktek muamalah masa kini tidak dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW, sehingga dasar hukumnya secara tekstual tidak ditemukan dalam al-Qur’an, hadits Nabi SAW, maupun hasil ijtihad ulama terdahulu. Untuk menemukan dasar hukumnya, para ulama berusaha menggalinya sendiri, dengan berdasar pada maqashid al-syari’ah, sebagaimana yang dipahami dari al-Qur’an dan hadits Nabi SAW.[4]
Keberadaan asuransi yang bersifat ijtihad menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat ulama tentang dasar hukumnya. Sebagian mereka membenarkannya, dengan argumentasi masing-masing. Ulama yang tidak membenarkan keberadaan asuransi mengemukakan argumentasi sebagai berikut:[5]
1.      Asuransi pada hakekatnya sama dengan judi
2.      Di dalamnya terdapat unsur riba
3.      Di dalamnya terdapat unsur syubhat
4.      Mengandung unsur eksploitasi, yakni pemegang polis (nasabah) dapat dikurangi jumlahnya, jika mereka tidak mampu melanjutkan pembayaran preminya.
5.      Perjanjian asuransi termasuk akad sharf, yakni jual beli tidak dengan tunai (cash and carry)
6.      Kerusakan dan kehilangan barang serta hidup dan matinyya manusia dijadikan obyek bisnis, padahal kesemuanya telah diatur dalam takdir Allah.
Adapun ulama yang membenarkan asuransi mengemukakan argumentasi sebagai berikut:[6]
1.      Tidak terdapat nas yang menyinggungnya
2.      Ada unsur kerelaan kedua belah pihak
3.      Saling menguntungkan kedua belah pihak
4.      Terkandung unsur kepentingan umum (mashlahah ‘ammah) yakni premi yang terkumpul diinvestasikan untuk pembangunan
5.      Perjanjian asuransi termasuk hukum akad mudharabah, yakni kerja sama antara perusahaan dengan nasabah, atas dasar profit loss sharing.
6.      Kediatan asuransi sama dengan koperasi (syirkah ta’awuniyah)
7.      Asuransi dapat dikiaskan dengan gaji pensiun.
Sebagian ulama mengambil jalan tengah, yakni membolehkan asuransi di satu sisi dan melarangnya di sisi lain. Mereka membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan yang bersifat komersial semata.
Perbedaan pendapat ulama tentang hukum asuransi adalah wajar, sebab asuransi merupakan ijtihad. Untuk menentukan pendapat yang akan dianut, diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Dengan ketentuan, mereka harus toleran terhadap pendapat lain, sebab setiap persoalan yang tidak memiliki nas memungkinkan setiap pendapat untuk mendukung kebenarannya.
Dengan memperhatikan beberapa pendapat ulama dan mengaitkan dengan kebutuhan manusia masa kini, terutama kebutuhan finansial dalam menunjang pembangunan, maka penulis cenderung kepada pendapat yang membolehkan asuransi, karena di samping alasannya kuat dan aktual, juga karena pendapat yang menolaknya tidak tegas. Pandangan terhadap asuransi sama dengan judi misalnya, adalah kurang tepat, sebab judi adalah permainan adu nasib yang bisa menguntungkan pihak yang tidak terlibat di dalamnya. Sedangkan asuransi merupakan kerja sama yang memiliki keguanaan sosial, dan memberikan dorongan pada kegiatan-kegiatan yang mutlak bagi pertumbuhan peradaban. Selain itu, judi menimbulkan resiko (malapetaka), sedangkan asuransi mengurangi resiko pada masyarakat.[7]

C.      Kaidah Asuransi
Dalam urusan mu’amalah terdapat kaidah;
الشريع يمنعه ما إلاّ الإباحة المعاملة في الأصل
Artinya:  “hukum asal dalam mu’amalah adalah diperbolehkan, kecuali mu’amalah yang dicegah/dilarang oleh syari’at”.
Mu’amalat yang dicegah oleh syari’at adalah mu’amalat yang di dalamnya terdapat 7 unsur atau pantangan dalam mu’amalat, yaitu: Pertama, maysir yaitu segala bentuk spekulasi judi (gambling) yang mematikan sector riil dan tidak produktif. Kedua, asusila yaitu praktik usaha yang melanggar kesusilaan dan norma social. Ketiga, gharar yaitu segala transaksi yang tidak transparan dan tidak jelas sehingga berpotensi merugikan salah satu pihak. Keempat, haram yaitu objek transaksi dan proyek usaha yang diharamkan syari’ah. Kelima, riba yaitu segala bentuk distorsi mata uang menjadi komoditas dengan mengenakan tambahan (bunga) pada transaksi kredit atau pinjaman dan pertukaran/barter lebih antar barang ribawi sejenis. Pelarangan riba ini mendorong usaha yang berbasis kemitraan yang saling menguntungkan dan kenormalan (sunnatullah) bisnis, disamping menghindari praktik pemerasan, eksploitasi dan pen-dzalim-an oleh pihak yang memiliki posisi tawar tinggi terhadap pihak yang berposisi tawar rendah. Keenam, ihtikar yaitu penimbunan dan monopoli barang dan jasa untuk tujuan permainan harga. Ketujuh, berbahaya yaitu segala bentuk transaksi dan usaha yang membayakan individu maupun masyarakat serta bertentangan dengan mashlahat dalam Maqashid Syari’ah.[8]
Ketujuh pantangan dalam mu’amalah di atas berdasarkan dari dalil-dalil berikut, yaitu:
Firman Allah SWT Surat Al-Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Surat al Baqarah ayat 278-279:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ 279
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. 279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Surat al-Maidah ayat 90:
فَاجْتَنِبُوْهُ الشَّيْطٰنِ عَمَلِ مِّنْ رِجْسٌوَالْاَزْلَامُوَالْاَنْصَابُ وَالْمَيْسِرُ الْخَمْرُاِنَّمَااٰمَنُوْۤاالَّذِيْنَ يٰۤاَيُّهَا تُفْلِحُوْنَ لَعَلَّكُمْ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Surat al-Baqoroh ayat 188:
اَمْوَالِ مِّنْ فَرِيْقًا لِتَأْکُلُوْا الْحُـکَّامِ اِلَى بِهَآ وَتُدْلُوْا بِالْبَاطِلِ بَيْنَكُمْاَمْوَالَـكُمْ تَأْكُلُوْٓا وَلَا
تَعْلَمُوْنَ وَاَنْـتُمْ بِالْاِثْمِ النَّاسِ
Artinya: dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.
Sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas serta diantara keduanya terdapat yang samar (musytabihat). Sebagian besar manusia tidak dapat mengenalinya, maka siapa saja yang menjaga diri dari yang musytabihat itu berarti dia telah menjaga agama dan dirinya. Dan siapa saja yang terjatuh ke dalam musytabihat itu maka ia telah terjerumus kepada yang haram, sebagaimana seseorang yang menggembalakan ternaknya di sekeliling batas untuk menjaga diri dari melintasi batas itu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap raja memiliki batasan-batasan, dan ketahuilah bahwa batasan Allah ialah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa pada tubuh terdapat segumpal daging yang jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh itu, dan jika dia rusak maka rusaklah tubuh itu. Ketahuilah bahwa dia adalah kalbu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut ulama di Indonesia, hukum asuransi, baik asuransi jiwa maupun umum, terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama diwakili oleh para ulama dari ormas Islam terbesar di Indonesia atau NU yang berpendapat bahwa hukum asuransi adalah haram secara mutlak. Mereka berpendapat bahwa asuransi identik dengan judi, yang tegas diharamkan atas dasar al-Qur’an dan Sunnah, dengan alasan karena bentuk transaksi perusahaan asuransi menyerupai kupon judi. Para nasabah yang melakukan transaksi itu dijanjikan memperoleh sejumlah uang jaminan yang telah ditetapkan jika rumahnya terbakar misalnya, dengan syarat nasabah itu harus membayar premi selama menempati rumahnya. Dengan demikian itu jelas merupakan judi murni, karena kedua belah pihak tidak mengetahui siapa diantara mereka yang memperoleh keuntungan, sampai uang yang disepakati oleh keduanya diberikan.[9]
Sedangkan pendapat kedua, diwakili oleh para ulama dari Muhammadiyah, yang berpendapat bahwa hukum asuransi adalah syubhat (samar-samar), karena tidak ada dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan atau menghalalkan asuransi, baik asuransi umum atau asuransi jiwa. Konsekuensinya adalah bahwa umat Islam harus berhati-hati menghadapi asuransi dan baru diperbolehkan mengambil dan menggunakan asuransi dalam keadaan darurat (emergency) atau hajat (necessity)Sementara di dunia Islam, khususnya ulama Timur Tengah, ada tiga perbedaan pendapat tentang hukum asuransi.
Perbedaan pendapat itu terlihat pada uraian berikut : Pertama, mereka yang berpendapat bahwa asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya temasuk asuransi jiwa.
Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama, diantaranya: Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqili, Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhit al-Muth’i . Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
1.    Asuransi sama dengan judi
2.    Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
3.    Asuransi mengandung unsur riba.
4.    Asuransi mengandung unsur pemerasan karena pemegang polis apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi.
5.    Premi-premi yg sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba (kredit berbunga) di bank konvensional.
6.    Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
7.    Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
Kedua, mereka yang berpendapat bahwa asuransi diperbolehkan dalam praktek seperti sekarang baik asuransi umum maupun jiwa. Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa dan Abd. Rakhman Isa . Mereka beralasan :
1.    Tidak ada nash yang melarang asuransi.
2.    Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
3.    Saling menguntungkan kedua belah pihak.
4.    Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum atau mengandung maslahah ’ammah, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
5.    Asuransi termasuk akad mudharabah, artinya akad kerjasama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing (PLS).
6.    Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’awuniyah).
7.    Asuransi dianalogikan dengan sistem pensiun seperti taspen.
Ketiga, mereka yang berpendapat bahwa asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan. Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah. Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifatkomersial dan sama pula dengan alasan kelompok kedua dalam asuransi yang bersifat sosial.
Dengan demikian, hukum asuransi menurut fiqih Islam pada dasarnya adalah mubah (boleh), selama tidak terdapat unsur-unsur yang dilarang oleh syariat Islam, seperti riba, gharar, spekulasi dan kecurangan atau ketidakadilan dsb.


BAB III
PENUTUPAN

A.    Kesimpulan
Asuransi adalah jaminan, yang dimaksud jaminan adalah akad yang mewajibkan penanggung menjamin tertanggung atau menunaikan manfaat seperti yang tersebut dalam pertanggungan dengan menyerahkan uang atau pengganti harta benda, pada saat terjadinya peristiwa sebagaimana yang tertera dalam akad.
Keberadaan asuransi yang bersifat ijtihad menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat ulama tentang dasar hukumnya. Sebagian mereka membenarkannya dan ada pula yang tidak membenarkannya.
الشريع يمنعه ما إلاّ الإباحة المعاملة في الأصل
Hukum asuransi menurut kaidah diatas pada dasarnya adalah mubah (boleh), selama tidak terdapat unsur-unsur yang dilarang oleh syariat Islam, seperti riba, gharar, spekulasi dan kecurangan atau ketidakadilan dsb.




DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hasan. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Prenada Media, 2004.

Muslehuddin, Muhammad. Hukum Darurat dalam Islam. Terj. Ahmad Tafsir. Bandung: Pustaka, 1985.

Rofi’ah, Khusniati. “Membincang Praktik Asuransi Di Indonesia”.  Justitia Islamica, (2013), 1:145-147.

Shiddiqi, Muhammad Nejatullah. Asuransi dalam Islam. terj. Ta’lim Musafir. Bandung: Pustaka, 1987.

Syihab, Umar.  Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran. Semarang: Karya Toha Putra, t.th.


[1] Muhammad Muslehuddin, Hukum Darurat dalam Islam,  terj. Ahmad Tafsir (Bandung: Pustaka, 1985), 56.
[2] Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran (Semarang: Karya Toha Putra, t.th), 143.
[3] Ibid.
[4] Ibid., 144.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Muhammad Nejatullah Shiddiqi, Asuransi dalam Islam,  terj. Ta’lim Musafir (Bandung: Pustaka, 1987), 27.
[8] Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), 125-127.
[9] Khusniati Rofi’ah, “Membincang Praktik Asuransi Di Indonesia”,  Justitia Islamica, 1 (Januari, 2013), 145-147.