Makalah Sejarah Peradaban Islam (SPI)
MASA KOLONIALISME TERHADAP DUNIA ISLAM
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Periode modern dalam sejarah Islam bermula
dari tahun 1800 M dan berlangsung sampai sekarang. Di awal periode ini kondisi
dunia Islam secara politis berada di bawah penetrasi kolonialisme. Baru pada
pertengahan abad ke-20 M, dunia Islam bangkit memerdekakan negerinya dari
penjajah Barat.
Periode ini memang merupakan zaman
kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami kemunduran di periode pertengahan.
Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran pembaharuan dalam Islam. Gerakan
pembaharuan itu paling tidak muncul karena dua hal. Pertama, timbulnya kesadaran di kalangan ulama bahwa banyak
ajaran-ajaran asing yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam. Ajaran-ajaran
itu bertentangan dengan semangat ajaran Islam yang Sebenarnya, seperti bid’ah,
khurafat, dan takhyul. Ajaran-ajaran inilah, menurut mereka, yang membawa Islam
menjadi mundur. Oleh karena itu, mereka bangkit untuk membersihkan Islam dari
ajaran atau paham seperti itu. Gerakan ini dikenal sebagai gerakan reforrnasi. Kedua, pada periode ini Barat
mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan barat
menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka. Karena itu mereka
berusaha bangkit dengan mencontoh barat dalam masalah-masalah politik dan
peradaban untuk menciptakan balance of power.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kondisi islam setelah eropa
menjadi negara maju ?
2. Mengapa di asia tenggara tempat islam
mulai baru berkembang justru menjadi rebutan negara eropa ?
3. Sejak kapan kerajaan usmani mendapat
serangan besar dari Barat ?
4. Adakah faktor yang mendorong islam untuk
memulihkan kembali kekuatan Islam atas kemundurannya ?
5. Dengan cara apa Negara-negara islam
merdeka dari penjajahan ?
PEMBAHASAN
A. Renaisans di Eropa
Kata
renaisans berasal dari bahsa Perancis renaitre, secara etimologi berarti
kelahiran kembali (rebirth) atau kebangkitan kembali (revival).[1] Renaisans merupakan kumpulan
orang-orang yang memiliki gagasan serta sikap yang secara umum bertujuan untuk
menyusun standar dunia baru yang modern. Ciri yang mencolok pada masa ini
adalah sikap optimisme, hedonisme, naturalisme, individualisme, tetapi yang
paling menonjol adalah humanisme. Dalam visi yang lebih luas, humanisme dapat
didefinisikan sebagai pemujaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan naturalisme
serta pengingkaran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan. Gaya atau
mode inilah yang menjadi inti atau jiwa renaisans. Humanisme juga memiliki
makna yang lebih terbatas, yaitu sekadar semangat kandungan tulisan-tulisan
klasik bagi tujuan-tujuan kemanusiaan. Perasaan kemanusiaan inilah yang sering
diungkapkan oleh para penulis di masa-masa awal lahirnya renaisans.[2]
Pada awal kebangkitannya, eropa menghadapi
tantangan yang sangat berat, dihadapannya masih terdapat kekuatan-kekuatan
perang islam yang sulit dikalahkan, terutama kerajaan usmani yang berpusat di
turki. Tidak ada jalan lain, mereka harus menembus lautan yang sebelumnya hanya
dipandang sebagai dinding yang membatasi gerak mereka. Mereka melakukan
berbagai penelitian tentang rahasia alam. Berusaha menaklukan lautan, dan
menjelajahi benua yang sebelumnya masih diliputi kegelapan, setelah christoper
colombus menemukan benua amerika (1492 M) dan vasco menemukan jalan ke timur
melalui tanjung harapan (1498 M), benua amerika dan kepulauan hindia segera
jatuh kebawah kekuasaan eropa. Dua penemuan itu sungguh tak terkirakan
nilainya, eropa menjadi maju dalam dunia perdagangan, karena tidak tergantung
lagi kepada jalur lama yang dikuasai umat islam. L stoddard menggambarkan,
dengan sekejap mata dinding laut itu berubah menjadi jalan raya dan eropa yang
semula terpojok segera menjadi yang dipertuankan di laut dan dengan demikian,
yang dipertuan di dunia. Terjadilah perputaran nasib yang maha hebat dalam
sejarah seluruh umat manusia.[3]
Perekonomian bangsa-bangsa Eropa pun
semakin maju karena daerah-daerah baru terbuka baginya. Mereka dapat memperoleh
kekayaan yang tak berhingga untuk meningkatkan kesejahteraan negerinya. Tak
lama setelah itu, mulailah kemajuan Barat melampaui kemajuan Islam yang sejak
lama mengalami kemunduran. Kemajuan Barat itu dipercepat oleh penemuan dan
perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Penemuan mesin uap yang kemudian
melahirkan revolusi industri di Eropa semakin memantapkan kemajuan mereka.
Teknologi perkapalan dan militer berkembang dengan pesat. Dengan demikian,
sebagaimana telah disebutkan dalam bab sebelum ini, Eropa menjadi penguasa
lautan dan bebas melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan ke seluruh dunia,
tanpa mendapat hambatan berarti dari lawan- lawan mereka. Bahkan, satu demi
satu negeri Islam jatuh ke bawah kekuasaannya sebagai negeri jajahan.
Negeri-negeri Islam yang pertama kali
jatuh ke bawah kekuasaan Eropa adalah negeri-negeri yang jauh dari pusat
kekuasaan Kerajaan Usmani, karena kerajaan ini meskipun terus mengalami
kemunduran, ia masih disegani dan dipandang masih cukup kuat untuk berhadapan
dengan kekuatan militer Eropa waktu itu. Negeri- negeri Islam yang pertama
dapat dikuasai Barat itu adalah negeri- negeri Islam di Asia Tenggara dan di Anak Benua India. Sementara,
negeri-negeri Islam di Timur Tengah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Usmani, baru diduduki Eropa pada masa berikutnya.[4]
Analisa:
Jadi, ciri yang paling menonjol pada masa ini adalah
humanisme yang berarti aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan
dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik lagi. Dan hal itu memang
terbukti yaitu ketika eropa mengalami rintangan yang sangat besar, kita bisa
menganalisa dari segi positifnya bahwasanya orang-orang eropa sebelum menjadi
negara maju mereka tidak pantang menyerah ingin menggapai apa yang diinginkan
untuk bebas dari keterpurukannya dari umat islam. Sehingga dengan usaha
menembus lautan, menaklukan lautan dan menjelajahi benua bisa membuahkan hasil
yang pada akhirnya menghantarkan kehidupan mereka menjadi lebih baik dari
sebelumnya.
B. Penjajahan Barat Terhadap Dunia Islam Di
Anak Benua India Dan Asia Tenggara
India ketika berada pada masa kemajuan
pemerintahan kerajaan Mughal adalah negeri yang kaya dengan hasil pertanian.
Hal itu mengundang Eropa yang
sedang mengalami kemajuan untuk berdagang ke sana. Di awal abad ke-17 M,
Inggris dan Belanda mulai menginjakkan kaki di India. Pada tahun 1611 M,
Inggris mendapat izin menanamkan modal, dan pada tahun 1617 M Belanda,
mendapatkan izin yang sama.
Kongsi dagang Inggris, British East India
Company (BEIC), mulai berusaha menguasai wilayah India bagian timur ketika ia
merasa cukup kuat. Penguasa-penguasa setempat mencoba mempertahankan kekuasaan
dan berperang melawan Inggris tahun 1761
M. Namun, mereka tidak berhasil mengalahkan Inggris. Akibatnya, daerah-daerah
Bengal dan Orissa jatuh ke tangan Inggris. Pada tahun 1803 M, delhi ibukota kerajaan Mughal juga berada di bawah
bayang-bayang kekuasaan Inggris, karena bantuan yang diberikan Inggris
kepada raja ketika mengalahkan aliansi Sikh-Hindu berusaha menguasai kerajaan.
Mulai saat itulah Inggris leluasa mengembangkan sayap kekuasaannya di anak
benua India dan sekitarnya. Pada tahun 1842 M, Keamiran J Muslim Sind di India
dikuasainya.Tahun 1857 M kerajaan Mughal bahkan dikuasai penuh dan setahun
kemudian rajanya yang terakhir dipaksa meninggalkan istana. Sejak itu, India
berada di bawah kekuasaan Inggris yang menegakkan pemerintahannya, di sana Pada
tahun 1879 M, Inggris berusaha
menguasai Afghanistan dan Kesultanan Muslim Baluchistan dimasukkan di bawah
kekuasaan India-Inggris, tahun 1899
M.[5]
Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru
mulai berkembang, yang merupakan daerah rempah-rempah terkenal pada masa itu,
justru menjadi ajang perebutan negara-negara Eropa. Kekuatan Eropa malah lebih
awal menancapkan kekuasaannya di negeri ini. Hal itu karena, dibandingkan
dengan Mughal, kerajaan- kerajaan Islam di Asia Tenggara lebih lemah sehingga
dengan mudah dapat ditaklukkan. Kerajaan Islam Malaka yang berdiri pada awal
abad ke-15 M di Semenanjung Malaya yang strategis dan merupakan kerajaan Islam
kedua di Asia Tenggara setelah Samudera Pasai, ditaklukkan Portugis tahun 1511
M. Sejak itu, peperangan-peperangan antara Portugis melawan kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia seringkali berkobar. Pedagang-pedagang Portugis terutama berupaya
menguasai Maluku yang sangat kaya akan rempah-rempah. Penjajahan Portugis yang
terlama di Nusantara adalah di Timor-Timur.
Pada tahun 1521 M, Spanyol datang ke
Maluku dengan tujuan dagang. Spanyol berhasil menguasai Filipina, termasuk di
dalamnya beberapa kerajaan Islam, seperti Kesultanan Maguindanao, Kesultanan
Buayan, dan Kesultanan Sulu. Akhir abad ke-16 M, giliran Belanda, Inggris, Denmark, dan
Prancis yang datang ke Asia Tenggara. Akan tetapi, dua negara yang disebut
terakhir tidak berhasil menjajah negeri di Asia Tenggara dan hanya datang untuk
berdagang. Belanda datang tahun 1595 M dan dengan segera dapat memonopoli
perdagangan di kepulauan Nusantara. Kongsi dagangnya, VOC, segera pula
memainkan peran politik. Tentu saja, kehadirannya ditantang oleh penduduk
setempat. Oleh karena itu, seringkali terjadi peperangan antara Belanda dengan
penduduk, walaupun akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh Belanda. Yang terbesar
di antaranya adalah Perang Aceh, Perang Paderi di Minangkabau, dan Perang Diponegoro
di Jawa. Sementara itu, setelah Inggris datang ke Asia Tenggara, ia segera
menjadi kekuatan yang cukup dominan, menyaingi kekuatan Belanda. Kekuasaan
Inggris tertancap di Semenanjung Malaya, termasuk Singapura sekarang, dan Kalimantan
Barat, termasuk Brunai. Inggris bahkan juga sempat menguasai seluruh Indonesia
untuk jangka waktu yang tidak terlalu lama di awal abad ke-l9 M. Sebagaimana di
India, di Asia Tenggara kekuasaan politik negara-negara Eropa itu berlanjut
terus sampai pertengahan abad ke-20 M, ketika negeri-negeri jajahan tersebut
memerdekakan diri dari kekuasaan asing.[6]
Analisa:
Politik barat menjajah dunia
islam di anak benua india dan asia tenggara memang tidak kekurangan
akal, banyak sekali cara untuk melemahkan dan merebut kekuasa’an yang mereka
inginkan. India mudah percaya dengan strategi barat, padahal mereka ingin
menguasai daerah kekuasaannya. Di asia tenggara memang pertumbuhan islam mulai
berkembang dalam arti masih lemah belum memiliki kemampuan yang maksimal untuk
bisa mempertahankan daerahnya sehingga dengan mudah eropa menaklukan daerah
tersebut.
C. Kemunduran Kerajaan Usmani Dan Ekspansi
Barat Ketimur Tengah
Kemajuan-kemajuan Eropa dalam teknologi
militer dan industri perang membuat Kerajaan Usmani menjadi kecil di hadapan
Eropa. Akan tetapi, nama besar Turki Usmani masih membuat Eropa Barat segan
untuk menyerang atau mengalahkan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan
kerajaan Islam ini, termasuk daerah-daerah yang berada di Eropa Timur. Namun,
kekalahan besar Kerajaan Usmani dalam menghadapi serangan Eropa di Wina tahun
1683 M membuka mata, bahwa Kerajaan Usmani telah mundur jauh sekali. Sejak
itulah Kerajaan Usmani mendapat serangan-serangan besar dari Barat Sejak
kekalahan dalam pertempuran Wina itu, Kerajaan usmani juga menyadari akan
kemundurannya dan kemajuan Barat Usaha-usaha pembaharuan mulai dilaksanakan dengan mengirim duta-duta
ke negara-negara Eropa, terutama Prancis, untuk mempelajari suasana kemajuan di
sana didekat Celebi Mehmed diutus ke Paris tahun 1720 M dan diinstruksikan
untuk mengunjungi pabrik-pabrik, benteng-benteng pertahanan, dan institusi-institusi
lainnya. Ia kemudian memberi laporan tentang kemajuan teknik, organisasi
angkatan perang modern, dan kemajuan lembaga- lembaga sosial lainnya.
Laporan-laporan itu mendorong Sultan Ahmad III (1703-1730 M) untuk memulai pembaharuan di kerajaannya.
Pada masa kekuasaannya didatangkan ahli-ahli militer dari Eropa untuk tujuan
pembaharuan militer dalam Kerajaan Usmani. Pada tahun 1717 M, seorang perwira Prancis, De Roche- fort,
datang ke Istambul dalam rangka membentuk korp artileri dan melatih tentara
Usmani dalam ilmu-ilmu kemiliteran modem. Pada tahun 1729 M, datang lagi Comte
de Bonneval, juga dari Prancis, untuk memberi latihan penggunaan meriam modern.
Ia dibantu oleh Macarthy dari Irlandia, Ramsay dari Skotlandia, L. Stoddard dan Momai dari Prancis. Pada tahun 1734 M, untuk
pertama kalinya Sekolah Teknik Militer dibuka Usaha pembaruan ini tidak
terbatas dalam bidang militer. Dalam bidang-bidang yang lain pembaruan juga
dilaksanakan, seperti pembukaan percetakan di Istambul tahun 1727 M, untuk
kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan. Demikian juga, gerakan penerjemahan
buku-buku Eropa ke dalam bahasa Turki.
Meskipun demikian, usaha-usaha pembaharuan
itu bukan saja gagal menahan kemunduran Kerajaan Turki Usmani yang tenis
mengalami kemerosotan, tetapi juga tidak membawa hasil yang diharapkan.
Penyebab kegagalan itu terutama adalah kelemahan raja-raja Usmani karena
wewenangnya sudah jauh menurun. Di samping itu, keuangan negara yang terus
mengalami kebangkrutan sehingga tidak mampu menunjang usaha pembaruan. Faktor
terpenting lainnya yang membawa kegagalan itu adalah karena ulama dan tentara
Yenissari yang sejak abad ke-17 M menguasai suasana politik Kerajaan Usmani
serta menolak usaha pembaruan itu. Dengan demikian, Kerajaan Usmani terus saja
mendekati jurang kehancurannya, sementara Barat yang menjadi ancaman baginya
semakin besar.
Usaha pembaruan Turki Usmani baru
mengalami kemajuan setelah penghalang pembaruan utama, yaitu tentara Yenissari
dibubarkan oleh Sultan Mahmud II (1807-1839 M) pada tahun 1826 M.
Struktur kekuasaan kerajaan dirombak, lembaga-lembaga pendidikan modem
didirikan, buku-buku barat diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, siswa-siswa
berbakat dikirim ke Eropa untuk belajar, dan yang terpenting sekali adalah
sekolah-sekolah yang berhubungan dengan kemiliteran didirikan. Bidang militer
inilah yang utama dan pertama mendapat perhatian. Akan tetapi, meski banyak
mendatangkan kemajuan, hasil gerakan pembaruan tetap tidak berhasil
menghentikan gerak maju Barat ke dunia Islam di abad ke-19 M. Selama abad ke-18
M Barat menyerang ujung garis medan
pertempuran Islam di Eropa Timur, wilayah kekuasaan Kerajaan Usmani. Akhir dari
serangan-serangan itu adalah ditandatanganinya Perjanjian San Stefano (Maret
1878 M) dan Perjanjian Berlin (Juni-Juli 1878 M), antara Kerajaan Usmani dengan
Rusia. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Turki di Eropa. Sementara
kebanyakan daerah berpenduduk mayoritas Muslim di Timur Tengah pada abad
berikutnya mulai diduduki bangsa Eropa.
Di samping itu, gerakan pembaruan justru
mengancam kekuasaan para sultan yang absolut, karena para pejuang Turki melihat
bahwa kelemahan Turki terletak pada keabsolutan Sultan itu. Mereka ingin
membatasi kekuasaan Sultan dengan membentuk konstitusi, sehingga lahir gerakan
tanzimat, Usmani Muda, Turki Muda, dan Partai Persatuan dan Kemajuan (ittihad
ve Terekki).
Ketika Perang Dunia I meletus, Turki
bergabung dengan Jerman yang kemudian mengalami kekalahan. Akibatnya kekuasaan
kerajaan Turki Usmani semakin ambruk. Partai Persatuan dan Kemajuan memberontak
kepada Sultan dan dapat menghapuskan kekhalifahan Usmani, kemudian membentuk
Turki modem pada tahun 1924 M. Dengan demikian, kesatuan politik dalam negeri
Kerajaan Usmani sejak bergeloranya gerakan pembaruan justru tidak stabil, terutama
karena para sultan tidak mampu mengakomodasi pemikiran yang berkembang di
kalangan pemimpin bangsanya. Terkecuali itu, peperangan-pepeiangan melawan
Barat di Eropa Timur terus berkecamuk, memakan dan menguras tenaga, berakhir
dengan kekalahan di pihak Turki.
Di pihak lain, satu demi satu
daerah-daerah di Asia dan Afrika yang sebelumnya dikuasai Turki Usmani,
melepaskan diri dari Konstantinopel. Dari sekian banyak faktor yang menyebabkan
kemunduran Turki Usmani itu, yang tak kalah pentingnya adalah timbulnya perasaan
nasionalisme pada bangsa-bangsa yang berada di bawah kekuasaannya. Bangsa
Armenia dan Yunani yang beragama Kristen berpaling ke Barat, memohon bantuan
Barat untuk kemerdekaan tanah airnya. Bangsa Kurdi di pegunungan dan Arab di padang pasir dan lembah-lembah juga
bangkit untuk melepaskan diri dari cengkeraman penguasa Turki Usmani.
Demikianlah, keadaan dunia Islam pada abad
ke-19 M, sementara Eropa sudah jauh meninggalkannya. Eropa dipersenjatai
dengan ilmu modern dan penemuan yang membuka rahasia alam. Satu demi satu
negeri-negeri Islam yang sedang rapuh itu jatuh ke tangan barat. Dalam waktu
yang tidak lama, kerajaan-kerajaan besar Eropa sudah membagi-bagi seluruh
dunia Islam. Inggris merebut India dan Mesir. Rusia menyeberangi Kaukasus dan
menguasai Asia Tengah. Prancis menaklukkan Afrika Utara, dan bangsa- bangsa
Eropa lainnya mendapat bagiannya dari warisan Islam itu. Ketika terjadi Perang Dunia 1(1915), Turki
Usmani berada di pihak yang kalah. Sampai tahun 1919 M, Turki diserbu tentara
Sekutu. Sejak itu, kebesaran Turki Usmani benar-benar tenggelam, bahkan tidak
lama kemudian, kekhalifahannya dihapuskan (1924 M). Semua daerah kekuasaannya
yang luas, baik di Asia maupun Afrika diambil alih oleh Negara-negara Eropa
yang matang perang. Perang Dunia itu merupakan babak akhir proses penaklukan
Barat terhadap negeri-negeri Islam. Sejak itu, seakan- akan tidak ada lagi
kerajaan Islam yang betul-betul merdeka.
Penetrasi Barat ke pusat dunia Islam di
Timur Tengah pertama-tama dilakukan oleh dua bangsa Eropa terkemuka. Inggris
dan Prancis, yang memang sedang bersaing. Inggris terlebih dulu menanamkan
pengaruhnya di India. Prancis merasa perlu memutuskan hubungan komunikasi
antara Inggris di Barat dan India di Timur. Oleh karena itu, pintu gerbang ke
India, yaitu Mesir, harus berada di bawah kekuasaannya. Untuk maksud tersebut,
Mesir dapat ditaklukkan Prancis tahun 1798 M.
Alasan lain Prancis menaklukkan Mesir
adalah untuk memasarkan hasil-hasil industrinya. Mesir, di samping mudah
dicapai dari Prancis juga dapat menjadi sentral aktivitas untuk mendistribusikan
barang-barang ke Turki, Syria, Hijaz, begitu pula ke Timur Jauh. Di balik itu,
Napoleon Bonaparte sendiri, sebagai Panglima Ekspedisi Prancis mempunyai
keinginan untuk mengikuti jejak Alexander the Great dari Macedonia, yang
jauh di masa lalu pemah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India. Akan tetapi,
kondisi politik Prancis menghendaki Napoleon meninggalkan Mesir tahun 1799 M.
Di Mesir, Jendral Kleber menggantikan kedudukan Napoleon. Dalam suatu pertempuran
laut antara Inggris dan Prancis Jenderal Kleber kalah. Jendral Kleber dan
Ekspedisinya meninggalkan Mesir 31 Agustus 1801 M, dan di Mesir terjadi
kekosongan kekuasaan.
Kekosongan itu dimanfaatkan oleh seorang
perwira Turki, Muhammad Ali (1769-1849 M) yang didukung oleh rakyat berhasil
mengambil kekuasaan dan mendirikan dinastinya. Dimulai oleh Muhammad Ali, Mesir
sempat menegakkan kedaulatan dan melakukan beberapa pembaruan, tetapi pada
tahun 1882 M, Negeri ini ditaklukkan oleh Inggris. Persaingan antara Inggris
dan Prancis di Timur Tengah memang sudah lama dan terus berlangsung.
Persaingan ini terlihat dari penaklukan wilayah Islam di Timur Tengah dan
Afrika yang luas itu sebagai berikut:
Tahun
|
Keterangan
|
1820
|
Oman dan Qatar di bawah protektoral Inggris
|
1820-1857
|
Penaklukan Aljazair oleh Prancis
|
1839
|
Aden dikuasai Inggris
|
1881-1883
|
Tunisia diserbu Perancis
|
1882
|
Mesir diduduki Inggris
|
1898
|
Sudan ditaklukkan Inggris
|
1900
|
Chad diserbu Perancis
|
Pada abad ke-20 M, Italia dan Spanyol ikut
bersama Inggris dan Perancis memperebutkan wilayah-wilayah di Afrika.
Tahun
|
Keterangan
|
Abad ke-20
|
Prancis merebut wilayah-wilayah di Afrika
|
1906
|
Kesultanan muslim di Nigeria Utara menjadi protektorat Inggris
|
1912-1913
|
Tripoli dan Cyrenaica diserbu Bali
|
1912
|
Maroko diserbu Prancis dan Spanyol
|
1912-1915
|
Maroko melawan Spanyol
|
1914
|
Kuwait di bawah protektorat Inggris
|
1919-1926
|
Maroko melawan Perancis
|
1919-1920
|
Maroko melawan Spanyol
|
1919-1921
|
Sisilia (wilayah Turki) diduduki Perancis
|
1920
|
Irak menjadi protektorat Inggris
|
1920
|
Syiria dan Libanon di bawah mandat Prancis
|
1925-1927
|
Pemberontakan Druze melawan Prancis di Syiria
|
1926-1927
|
Perebutan seluruh Somalia oleh Italia
|
Sementara itu, Rusia menggerogoti
wilayah-wilayah Muslim di Asia Tengah, terutama setelah ia berhasil mengalahkan
Turki Usmani yang berakhir dengan Perjanjian San Stefano dan Perjanjian
Berlin. Satu per satu pula negeri-negeri muslim jatuh ke tangan Rusia, seperti
tergambar dalam daftar berikut:
Tahun
|
Keterangan
|
1834-1859
|
Pencaplokan Kaukasia oleh Rusia
|
1837-1847
|
Perlawanan di Asia Tengah terhadap Rusia
|
1853-1865
|
Serbuan pertama Rusia ke Khoakand dan jatuhnya Tashkent
|
1866-1872
|
Daerah-daerah sekitar Samarkan dan Bukhara ditaklukkan Rusia
|
1873-1887
|
Uzbekistan ditaklukkan
Rusia
|
1941-1946
|
Pendudukan Anglo-Rusia di Iran
|
Faktor utama yang menarik kehadiran
kekuatan-kekuatan Eropa ke negeri-negeri muslim adalah ekonomi dan politik.
Kemajuan Eropa dalam bidang industri menyebabkannya membutuhkan bahan-bahan
baku, di samping rempah-rempah. Mereka juga membutuhkan negeri-negeri tempat
mereka dapat memasarkan hasil industri mereka itu. Untuk menunjang
perekonomian tersebut, kekuatan politik diperlukan sekali. Akan tetapi, persoalan
agama seringkah terlibat dalam proses politik penjajahan barat atas negeri-negeri Islam ini. Trauma perang
Salib agaknya membekas pada sebagian orang Barat, terutama Portugis dan
Spanyol, karena dua negara ini untuk jangka waktu berabad-abad berada di bawah
kekuasaan Islam.[7]
Umat Islam mengalami puncak kejayaan kedua pada masa tiga kerajaan besar
berkuasa, yakni kerajaan Usmani, Safawi dan Mughal. Namun, seperti pada masa kekuasaan Islam
terdahulu, lambat laun kekuatan Islam menurun. Bersamaan dengan kemunduran tiga
kerajaan tersebut, bangsa Barat mulai menunjukkan usaha kebangkitan Periode tiga kerajaan tersebut (1503-1789)
bahkan disebutkan sebagai periode-periode kejayaan peradaban Islam, setelah sebelumnya mengalami kemunduran
pasca jatuhnya dinasti Abbasiyah.[8]
Analisa:
Melihat negara eropa yang semakin maju dalam teknologi militer dan industri
perang, kerajaan usmani dianggap kecil. Dan lebih memprihatinkan lagi ketika
kerajaan usmani kalah dalam pertempuran di wina membuat kerajaan usmani semakin
terjatuh. Namun demikian, masih ada usaha untuk memperjuangkan bangkitnya
kerajaan usmani meskipun tidak berhasil. Banyak problematika yang dihadapi
hingga benar-benar dalam kondisi yang dibawah. Yang menarik eropa datang ke
negara muslim hanya karena ekonomi dan politik. Oleh sebab itu kita sebagai
umat muslim haruslah faham dengan dua faktor tersebut, agar kita tidak mudah
dipolitiki orang barat untuk kesekian kalinya.
D. Bangkitnya Nasionalisme Di Dunia Islam Dan
Tumbuhnya Gerakan Partai Yang Memperjuangkan Kemerdekaan Negaranya
Sebagaimana telah disebutkan,
benturan-benturan antara lslam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam
bahwa, mereka memang jauh tertinggal dari Eropa. Yang pertama merasakan hal itu
diantaranya, Turki Usmani, karena kerajaan ini yang pertama dan utama
menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang
Turki untuk banyak belajar dari Eropa.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan
Islam pada umumnya yang dikenal dengan gerakan pembaharuan didorong oleh dua
faktor yang saling mendukung, pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing
yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam itu dan menimba
gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Yang pertama,
seperti gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab
(1703-1787M) di Arabia, Syah Waliyullah (1703- 1762 M) di India, dan Gerakan
Sanusiyyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh said Muhammad Sanusi dari
Aljazair. Sedangkan yang kedua, tercermin dalam pengiriman para pelajar Muslim
oleh penguasa Turki Usmani dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu
pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke
dalam bahasa Islam. Pelajar-pelajar muslim asal India juga banyak yang menuntut
ilmu di Inggris.
Gerakan pembaharuan itu dengan segera juga
memasuki dunia politik, karena Islam memang tidak bisa dipisahkan dengan
politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme
(persatuan Islam sedunia) yang mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahhabiyah
dan Sanusiyaih. Namun, gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh
pemikir Islam terkenal, Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M).
Menurut L. Stoddard, Al-Afghanilah orang
pertama yang menyadari sepenuhnya akan dominasi Barat dan bahayanya. Oleh
karena itu, dia mengabdikan dirinya untuk memperingatkan dunia Islam akan hal
itu dan melakukan usaha-usaha yang teliti untuk pertahanan. Umat Islam menurutnya,
harus meninggalkan perselisihan-perselisihan dan berjuang di bawah panji
bersama. Akan tetapi, ia juga berusaha membangkitkan semangat lokal dan
nasional negeri-negeri Islam. Karena itu, Al-Afghani dikenal sebagai bapak
nasionalisme dalam Islam.[9]
Prestasi yang menonjol dari para
pembaharu Islam seperti Afghani, telah merangsang bangsa-bangsa Muslim untuk
memberontak terhadap dominasi Eropa. Setelah Perang Dunia I, dengan runtuhnya
Kerajaan Usmani dan munculnya negara bangsa Muslim modern, perlawanan terhadap
kolonialisme Eropa mengambil bentuk nasionalisme, menggantikan gerakan
solidaritas Pan-Islam. Gerakan nasionalistik ini mulai menekankan faktor-faktor
nasional, sejarah dan kebahasaan yang berbeda dengan kesatuan keagamaan.[10]
Semangat Pan-Islamisme yang bergelora itu
mendorong Sultan Kerajaan Turki Usmani Abd Al-Hamid II (1876-1909), untuk
mengundang Al-Afghani ke Istambul, ibukota kerajaan. Gagasan ini dengan cepat
mendapat sambutan hangat di negeri-negeri Islam. Akan tetapi, semangat
demokrasi Al-Afghani tersebut menjadi duri bagi kekuasaan sultan, sehingga
Al-Afghani tidak diizinkan berbuat banyak di Istambul. Setelah itu, gagasan
Pan-Islamisme dengan cepat redup, terutama setelah Turki Usmani bersama
sekutunya, Jerman kalah dalam Perang Dunia I dan kekhalifahan dihapuskan oleh
Mustafa Kemal, tokoh yang justru mendukung gagasan nasionalisme, rasa kesetiaan
kepada negara kebangsaan.
Gagasan nasionalisme yang berasal dari
Barat itu masuk ke negeri-negeri Muslim melalui persentuhan umat Islam dengan
Barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh banyaknya pelajar muslim yang
menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga pendidikan Barat yang didirikan di
negeri mereka. Gagasan kebangsaan ini pada mulanya banyak mendapat tantangan
dari pemuka-pemuka Islam karena dipandang tidak sejalan dengan semangat ukhuwah Islamiah. Akan tetapi,
ia berkembang cepat setelah gagasan Pan-Islamisme redup.
Di Mesir, benih-benih gagasan nasionalisme
tumbuh sejak masa Al-Tahtawi (1801-1873) dan Jamaluddin Al-Afghani. Tokoh
pergerakan terkenal yang memperjuangkan gagasan ini di Mesir adalah Ahmad Urabi
Pasha. Kalau di Mesir bangkit
nasionalisme Mesir, di bagian negeri Arab lainnya lahir gagasan nasionalisme
Arab yang segera menyebar dan mendapat sambutan hangat, sehingga nasionalisme
itu terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Demikianlah yang terjadi di Mesir,
Syria, Libanon, Palestina, Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrein, dan Kuwait.
Semangat persatuan Arab itu diperkuat pula oleh usaha Barat untuk mendirikan
negara Yahudi di tengah- tengah bangsa Arab dan di negeri yang dihuni mayoritas
Arab. Namun, berbeda dengan negeri-negeri yang menyuarakan aspirasi
nasionalnya, bangsa Arab berada di dalam beberapa wilayah kekuasaan, bukan saja
karena banyaknya kerajaan tradisional, tetapi juga dan terutama karena
wilayahnya yang luas itu dibagi- bagi oleh penjajah Barat.
Cita-cita mendirikan satu negara Arab,
menghadapi tantangan yang sangat berat. Paling tidak, untuk mencapai cita-cita
itu, mereka harus melalui dua tahap. Pertama,
memerdekakan wilayah masing-masing dari kekuasaan penjajah. Kedua,
berusaha mendirikan negara kesatuan Arab. Pada tanggal 12 Maret 1945, mereka
berhasil mendirikan Liga Arab. Tetapi, terbentuknya Liga Arab itu, belum
berarti cita-cita utama, berdirinya negara Arab bersatu, sudah tercapai.
Apalagi, ketika itu kekuasaan Barat masih tetap bercokol di sana.
Di India, sebagaimana di Turki dan Mesir,
gagasan Pan-Islamisme yang dikenal dengan gerakan khilafat juga mendapat
pengikut Syed Amir Ali (1848-1928 M) adalah salah seorang pelopornya. Namun,
gerakan ini segera pudar setelah usaha menghidupkan kembali khilafah yang
dihapuskan Mustafa Kemal di Turki tidak mungkin lagi. Yang populer adalah
gerakan nasionalisme yang diwakili oleh Partai Kongres Nasional India. Akan tetapi, gagasan nasionalisme itu segera pula
ditinggalkan sebagian besar tokoh-tokoh Islam karena di dalamnya kaum Muslimin
yang minoritas tertekan oleh kelompok Hindu yang mayoritas. Persatuan antara
dua komunitas besar Hindu dan Islam sulit diwujudkan. Oleh karena itu, umat
Islam di anak benua India ini tidak menganut nasionalisme, tetapi Islamisme,
yang dalam masyarakat India dikenal dengan nama komunalisme. Gagasan
Komunalisme Islam ini disuarakan oleh Liga Muslimin yang merupakan saingan bagi
Partai Kongres Nasional, dukungan mayoritas penganut agama Hindu. Benih-benih
gagasan Islamisme tersebut sebenarnya sudah ada sebelum Liga Muslimin berdiri,
dilontarkan oleh Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M), kemudian mengkristal pada
masa Iqbal (1876-1938 M) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948).
Partai politik besar yang menentang penjajahan
di Indonesia adalah Sarekat Islam (SI), didirikan tahun 1912 di bawah pimpinan HOS
Tjokroaminoto, partai ini merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam yang
didirikan oleh H. Samanhudi tahun 1911. Tak lama kemudian partai-partai politik
lainnya berdiri seperti Partai, Nasional Indonesia (PNI), didirikan oleh Sukarno
(1927), Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-baru), didirikan oleh Mohammad Hatta
(1931), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) yang menjadi partai politik tahun 1932,
dipelopori oleh Mukhtar Luthfi. Gagasan-gagasan
nasionalisme dan gerakan-gerakan untuk membebaskan diri dari kekuasaan penjajah
Barat yang kafir juga bangkit di negeri-negeri Islam lainnya.[11]
Analisa:
Kekuatan eropa telah menyadarkan umat islam yang jauh
tertinggal dengan eropa. Hal tersebut bagaikan motivasi bagi umat islam. Bahkan
kesadaran tersebut menjadikan penguasa dan pejuang-pejuangnya belajar dari
eropa agar kekuatan islam kembali pulih hingga sampailah tumbuhnya
pan-islamisme. Kesadaran tersebut positif dan sangat mulia, menerima dengan
lapang dada dan ada usaha untuk memperjuangkan kemerdekaan negaranya. Begitulah
islam yang mengajarkan umat manusia tidak putus asa dalam sebuah perjuangan.
E. Kemerdekaan Negara-Negera Islam Dari
Penjajahan
Munculnya gagasan-gagasan nasionalisme
yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat
islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari
pengaruh politik Barat. Dalam kenyataan, memang, partai-partai itulah yang
berjuang melepaskan diri dari kekuasaan penjajah. Perjuangan mereka biasanya
terwujud dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti (1) gerakan politik, baik
dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata, dan (2) pendidikan serta
propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi
kemerdekaan itu.
Negara berpenduduk mayoritas Muslim yang
pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaannya adalah Indonesia, yaitu
pada tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia merdeka dari pendudukan Jepang setelah
Jepang dikalahkan oleh Tentara Sekutu. Akan tetapi, rakyat Indonesia harus
mempertahankan kemerdekaannya itu dengan perjuangan bersenjata selama lima
tahun berturut-turut, karena belanda, yang didukung oleh Tentara Sekutu
berusaha menguasai kembali kepulauan ini.
Hal ini nampak jelas dalam kasus
berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang dideklarasikan di Surabaya
bulan September 1937 pada masa penjajahan Jepang. Menurut Harry J. Benda,
berdirinya MIAI adalah bentuk sebuah nasionalisme sebagai reaksi atas berbagai
kebijakan campur tangan Belanda terhadap persoalan-persoalan keagamaan umat
Islam.[12] Seorang peneliti Barat, Bernard Dahm,
menjelaskan bahwa nasionalisme dan perjuangan seorang Sukarno melawan
kolonialisme di Indonesia sudah dimulai sejak masa kanak-kanak yang ditanamkan
melalui budaya Jawa atau mitologi Jawa sebagaimana tercermin dalam
cerita-cerita wayang.[13]
Negara Islam kedua yang merdeka dari penjajahan
adalah Pakistan, yaitu pada tanggal 15 Agustus 1947, ketika Inggris menyerahkan
kedaulatannya di India kepada dua Dewan Konstitusi, satu untuk India dan satu
untuk Pakistan (waktu itu terdiri dari Pakistan dan Bangladesh sekarang).
Presiden pertamanya adalah Ali Jinnah.
Di Timur Tengah, Mesir secara resmi
memperoleh kemerdekaan tahun 1922 dari Inggris, tapi dalam pemerintahan. Raja
Faruk pengaruh Inggris sangat besar. Baru pada masa pemerintahan Jamal Abd
Al-Nasser yang menggulingkan Raja Faruk 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya
benar-benar merdeka.
Sama dengan Mesir, Irak merdeka secara
formal tahun 1932, tapi rakyatnya baru merasakan benar-benar merdeka tahun
1958. Sebelum itu, negara-negara sekitar Irak telah mengumumkan kemerdekaannya
seperti Syria, Jordania, dan Libanon tahun 1946.
Di Afrika, Lybia merdeka tahun 1951 M,
Sudan, dan Marokko tahun 1956 M, Aljazair tahun 1962. Semuanya membebaskan diri
dari Perancis. Di dalam waktu hampir bersamaan, Yaman Utara, Yaman Selatan, dan
Emirat Arab memperoleh kemerdekaannya pula.
Di Asia Tenggara, Malaysia yang waktu itu
termasuk Singapura, mendapat kemerdekaan dari Inggris tahun 1957, dan Brunai
Darussalam tahun 1984 M. Demikianlah, satu per satu negeri-negeri Islam memerdekakan
diri dari penjajahan Bahkan, beberapa di antaranya baru mendapat kemerdekaan
pada tahun-tahun terakhir, seperti negara- negara Islam yang dulunya bersatu
dalam Uni Soviet, yaitu Uzbekistan, Turkmenia, Kirghistan, Kazakhtan,
Tasjikistan, dan Azerbaijan pada tahun 1992 dan Bosnia memerdekakan diri dari
Yugoslavia juga pada tahun 1992.
Namun, sampai saat ini masih ada umat
Islam yang berharap mendapatkan otonomi sendiri, atau paling tidak menjadi
penguasa atas masyarakat mereka sendiri. Mereka itu adalah penduduk minoritas
muslim dalam negara-negara nasional, Kasymir di India, Moro di Filipina, dan
sebagainya. Meski mereka hidup dalam negara merdeka, namun status sebagai
minoritas seringkali menyulitkan mereka dalam meningkatkah kesejahteraan hidup.[14]
Analisa:
Partai islam telah berjuang melepaskan
diri dari penjajah, sekaligus didukung rasa nasionalisme para pejuang muslim
yang tetap mempertahankan negaranya ingin merdeka, atas jerih payah dan usaha
akhirnya islam kembali bangkit. Kita sebagai generasi islam sudah selayaknya
paham tentang politik, karena gerakan politik sangatlah penting untuk bekal
pengetahuan menghadapi serangan yang tidak kita inginkan demi merdekanya umat
islam.
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah
christoper colombus menemukan benua amerika (1492 M) dan vasco menemukan jalan
ke timur melalui tanjung harapan (1498 M), benua amerika dan kepulauan hindia
segera jatuh kebawah kekuasaan eropa. Dua penemuan itu sungguh tak terkirakan
nilainya, eropa menjadi maju dalam dunia perdagangan, karena tidak tergantung
lagi kepada jalur lama yang dikuasai umat islam. Selain itu, eropa menjadi
penguasa lautan dan bebas melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan ke seluruh
dunia, tanpa mendapat hambatan berarti dari lawan- lawan mereka. Bahkan, satu
demi satu negeri Islam jatuh ke bawah kekuasaannya sebagai negeri jajahan.
Asia
Tenggara, negeri tempat Islam baru mulai berkembang, yang merupakan daerah
rempah-rempah terkenal pada masa itu, justru menjadi ajang perebutan
negara-negara Eropa. Kekuatan Eropa malah lebih awal menancapkan kekuasaannya
di negeri ini. Hal itu karena, dibandingkan dengan Mughal, kerajaan- kerajaan
Islam di Asia Tenggara lebih lemah sehingga dengan mudah. dapat ditaklukkan.
Kekalahan
besar Kerajaan Usmani dalam menghadapi serangan Eropa di Wina tahun 1683 M
membuka mata, bahwa Kerajaan Usmani telah mundur jauh sekali. Sejak itulah
Kerajaan Usmani mendapat serangan-serangan besar dari Barat Sejak
kekalahan dalam pertempuran Wina itu, Kerajaan usmani juga menyadari akan
kemundurannya.
Usaha untuk
memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya yang dikenal dengan gerakan
pembaharuan didorong oleh dua faktor yang saling mendukung, pemurnian ajaran
Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam
itu dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat.
Gagasan-gagasan nasionalisme yang diikuti
berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat islam dalam
perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik
Barat. partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari kekuasaan
penjajah. Perjuangan mereka terwujud dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti
(1) gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata,
dan (2) pendidikan serta propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat
menyambut dan mengisi kemerdekaan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Lucas S Henry, The Renaissance And The Reformatin, New
York: Harper & Row, Publisher, 1960.
Burn Mcnall
Edward, Western Civilization: Their History and Their Culture,New York:
W.W. Norton & Company Inc, 1954.
Maryam Siti, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta:
Jurusan SPI Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2003.
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,
Jakarta: Rajawali Pers, 2014
Muslim Ikram, Muslim Civillization In India, London:
Cambridge University Press, 1977.
Bakri Syamsul, Peta Sejarah Peradaban
Islam, Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011.
Karpat H Kemal,
Political and Social Thought in the Contemporary Middle East, New York:
Praeger Publisher, 1982.
Benda J Harry, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta:
Pustaka Jaya, 1980.
Dahm Bernard, Soekarno
and the Struggle for Indonesia Independence, Ithaca and London: Cornell
University Press, 1969.
[1]Henry
S. Lucas, The Renaissance And The Reformatin (New York: Harper &
Row, Publisher, 1960), 207.
[2]Edward Mcnall
Burn, Western Civilization: Their History and Their Culture, (New York:
W.W. Norton & Company Inc, 1954), 315.
[3] Siti Maryam, Sejarah
Peradaban Islam, (Yogyakarta: Jurusan SPI Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2003),
94.
[4] Badri Yatim,
Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),
174-175.
[5]Ikram Muslim, Muslim
Civillization In India, (London: Cambridge University Press, 1977), 268.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 178-183.
[10]Kemal H. Karpat, Political and Social Thought in the
Contemporary Middle East, (New York: Praeger Publisher, 1982),104.
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 185-187.
[12] Harry J Benda,
Bulan Sabit dan Matahari Terbit, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), 119.
[13] Bernard Dahm, Soekarno
and the Struggle for Indonesia Independence, (Ithaca and London: Cornell
University Press, 1969), 26.
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 189.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat