Makalah Proses Lahirnya Dan Fase-fase Pemerintahan
Bani Abbasiyah
Mata
kuliah Sejarah Kebudayaan Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam peradaban
umat Islam Bani Abbasiyah merupakan salah satu bukti sejarah peradaban umat
Islam yang terjadi Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan umat Islam yang
memperoleh masa kejayaan yang gemilang Pada masa ini banyak kesuksesan yang
diperoleh Bani Abbasiyah baik itu di bidang ekonomi politik dan ilmu
pengetahuan Hal inilah yang perlu untuk kita ketahui sebagai acuan Semangat
bagi generasi umat Islam pala peradaban umat Islam itu pernah memperoleh masa
keemasannya melampaui kesuksesan negara-negara Eropa dengan kita mengetahui
bahwa dahulu peradaban Islam itu diakui oleh seluruh dunia maka akan memotivasi
sekaligus menjadi ilmu pengetahuan kita mengenai sejarah peradaban umat Islam
sehingga kita akan mencoba untuk mengurangi masa keemasan itu kembali nantinya
untuk generasi umat Islam saat ini.
Peradaban islam
mengalami puncak kejayaan pada masa Daulah Abbasiyah. Perkembangan ilmu
pengetahuan sangat maju diawali dengan penerjemahan naskah asing terutama yang
berbahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Penddirian pusat perkembangan ilmu, dan
perpustakaan dan terbentuknya madzhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai
buah dari kebebasan berfikir.
Dinasti Abbasiyah
merupamakan dinasti islam yag paling berhasil dalam pengembangan peradaban
islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para para pakar pada amsa
pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban
islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses lahirnya bani Abbasiyah?
2. Bagaimana fase-fase dalam bani Abbasiyah?
3.
Siapa sajakah khalifah yang banyak membawa perubahan dan kebijakan di bani Abbasiyah?
C. Tujuan
1. untuk mengetahui proses lahirnya bani Abbasiyah
2. Untuk mengetahuan apa sajakah fase-fase dalam
bani Abbasiyah
3. Untuk mengetahui siapa sajakah khalifah yang
paling berjasa dalam perkembangan bani Abbasiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses
Lahirnya Bani Abbasiyah
Kekhalifahan bani Abbasiyah
merupakan kelanjutan dari kekhalifahan bani Umayyah, diman pendiri bani
Abbasiyah adalah keturunan al-Abbas, paman nabi Muhammad SAW yaitu Abdullah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali bin Abdullah ibn al-Abbas. Dimana pola pemerintahan
yang di terapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan
budaya.
Ketika dinasti Umayyah berkuasa
bani Abbas telah melakukan usaha perebutan kekuasaan. Bani Abbas telah mulai
melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz
(717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi
pada kegiatan keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari
Bani abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam,
yang semuanya mengalami kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang
bersifat politik. Sementara itu Ibrahim meninggal dalam penjara karena
tertangkap, setelah menjalani hukuman kurungan karena melakukan gerakan makar.
Barulah usaha perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas, setelah melakukan
pembantaian terhadap seluruh bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan II yang
telah berkuasa.
Orang-orang Abbasiyah, sebut saja
bani Abbas merasa lebih berhak dari pada bani Umayyah atas kekhalifahan Islam,
sebab mereka adalah keturunan bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih
dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang-orang Umayyah secara paksa menguasai
kekhalifahan melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan
dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa dalam bentuk
pemberontakan terhadap bani Umayyah.[1]
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan
dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi Imam
Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah,
gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad.
Ibrahim tertangkap oleh pasukan dinasti Umayyah dan dipenjarakan di Haran
sebelum akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya yaitu Abul Abbas
untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu ia akan dibunuh dan memerintahkan
untuk pindah ke Kufah dan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salamah.
Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid
bin Umar bin Hubairah ditaklukkan oleh Abbasiyah dan diusir ke Wasit. Abu
Salamah selanjutnya berkemah di Kufah yang telah ditaklukkan. Abdullah bin Ali,
salah seorang paman Abul abbas diperintahkan untuk mengejar khalifah Umayyah
terakhir, Marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang melarikan diri. Khalifah
ini terus menerus melarikan diri hingga ke Fustat di Mesir dan akhirnya
terbunuh di Busir wilayah Al-Fayyum, tahun 132 H/750 M di bawah pimpinan Salih
bin Ali, dengan demikian maka tumbanglah kekuasaan dinasti Umayyah dan
berdirilah Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah pertamanya, yaitu Abul
Abbas Ash-Shafah dengan pusat kekuasaan awalnya di Kuffah.[2]
Abdullah bin Muhammad alias Abul
Al-Abbas diumumkan sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah tahun 750 M.
Dalam khutbah pelantikan yang disampaikan di Masjid Kufah, ia menyebut dirinya
dengan Al-Saffah (penumpah darah) yang akhirnya menjadi
julukannya. Hal ini sebenarnya menjadi permulaan yang kurang baik diawal
berdirinya dinasti ini, dimana kekuatannya tergantung kepada pembunuhan yang ia
jadikan sebagai kebijaksanaan politiknya.[3]
B. Masa
kekuasaan Bani Abbasiyah.
Selama dinasti Bani Abbasiyah
berdiri pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan
politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan itu, para sejarawan
biasanya membagi kekuasaan Bani Abbasiyah pada empat periode :
1. Periode
I, yaitu semenjak lahirnya dinasti Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai
meninggalnya khalifah Al-Watsiq 232 H/847 M.
2. Periode
II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M sampai berdirinya
Daulah Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M.
3. Periode
III, yaitu dari berdirinya Daulah Buwaihiyah tahun 334 H/946 M sampai masuknya
kaum Saljuk ke Baghdad Tahun 447 H/1055 M.
4. Periode
IV, yaitu masuknya kaum saljuk di Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai jatuhnya
Baghdad ketangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H / 1258 M
1. Fase I ( 132
H/750 M-232 H/847 M ).
Masa ini diawali sejak Abul Abbas menjadi khalifah
dan berlangsung selama satu abad hingga meninggalnya khalifah Al-Watsiq.
Periode ini dianggap sebagai zaman keemasan Bani Abbasiyah. Hal ini disebabkan
karena keberhasilannya memperluas wilayah kekuasaan. Wilayah kekuasaannya
membentang dari laut Atlantik hingga sungai Indus dan dari laut Kaspia hingga
ke sungai Nil. Pada masa ini ada sepuluh orang khalifah yang cukup berprestasi
dalam penyebaran Islam mereka adalah khalifah Abul Abbas ash-shaffah(750-754 M), Al-Mansyur ( 754-775 M), Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (785-786 M), Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-Amin (809 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Ibrahim (817 M), Al-Mu’tasim (833-842 M), dan Al-Wasiq (842-847 M).
2. Fase II ( 232
H/847 M-334 H/946 M).
Periode ini diawali dengan meninggalnya
khalifah Al-Wasiq dan berakhir ketika keluarga Buwaihiyah bangkit memerintah.
Sepeninggal Al-Wasiq, Al-Mutawakkil naik tahta menjadi khalifah, masa ini
ditandai dengan bangkitnya pengaruh Turki.
Setelah Al-Mutawakkil meninggal dunia, para
jendral yang berasal dari Turki berhasil mengontrol pemerintahan. Ada empat
khalifah yang dianggap hanya sebagai simbol pemerintahan dari pada pemerintahan
yang efektif, keempat pemerintahan itu adalah Al-Muntasir (861-862 M ),
Al-Musta’in (862-866 M), Al-Mu’taz (866-896 M), dan Al-Muhtadi (869-870 M).
Masa pemerintahan ini dinamakan masa disintegrasi, dan akhirnya menjalar
keseluruh wilayah sehinngga banyak wilayah yang memisahkan diri dari wilayah
Bani Abbas dan menjadi wilayah merdeka seperti Spanyol, Persia, dan Afrika
Utara.
3. Fase III (334
H/946 M -447 H/1055 M).
Masa ini ditandai dengan berdirinya Dinasti
Buwaihiyah, yaitu Pada masa ini jatuhnya Khalifah Al-Muktafi (946 M) sampai
dengan khalifah Al-Qaim (1075 M). Kekuasaaan Buwaihiyah sampai ke Iraq dan
Persia barat, sementara itu Persia timur, Transoxania, dan Afganistan yang
semula dibawah kekuasaan Dinasti Samaniah beralih kepada Dinasti Gaznawi.
Kemudian sejak tahun 869 M, dinasti Fatimiyah berdiri di Mesir.
Kekhalifahan Baghdad jatuh sepenuhnya pada
suku bangsa Turki. Untuk keselamatan, khalifah meminta bantuan kepada Bani
Buwaihiyah. Dinasti Buwaihiyah cukup kuat dan berkuasa karena mereka masih
menguasai Baghdad yang merupakan pusat dunia islam dan menjadi kediaman
Khalifah.
Pada akhir Abad kesepuluh, kedaulaulatan Bani
Abbasiyah telah begitu lemah hingga tidak memiliki kekuasaan diluar kota
Baghdad. Kekuasaan Bani Abbasiyah berhasil dipecah menjadi dinasti Buwaihiyah
di Persia (932-1055 M), dinasti Samaniyah di Khurasan (874-965 M), dinasti
Hamdaniayah di Suriah (924-1003 M), dinasti Umayyah di Spanyol (756-1030 M),
dinasti Fatimiyah di Mesir (969-1171 M), dan dinasti Gaznawi di Afganistan
(962-1187 M).
4. Masa Abbasiyah
IV (447H/1055M-656M/1258M)
Masa ini ditandai dengan ketika kaum Seljuk
menguasai dan mengambil alih pemerintahan Abbasiyah. Masa seljuk berakhir pada
tahun 656 H/1258 M, yaitu ketika tentara mongol menyerang serta menaklukkan
Baghdad dan hampir seluruh dunia islam bagian timur. [4]
C.
Khalifah-khalifah Abbasiyah
Kekuasaan
Abbasiyah yang didirikan oleh keturunan Abbas ibnu al Muthalib yaitu Abdullah
saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas atau lebih dikenal dengan
sebutan Abu al Abbas al Safah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang
sekali, dari tahun 132H-656H (750-1258M). Sebelum Abul Abbas Ash-Shaffah
(pendiri) 132-136H meninggal, ia sudah mewasiatkan penggantinya. Dia adalah
saudaranya sendiri yang bernama Abu Ja’far. Kalau dasar-dasar pemerintahan
daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far
Al-Mansur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada khalifah
sesudahnya, yaitu:
1.
Kebijakan Al-Mahdi (775-785M)
Al-Mahdi
dikenal sebagai sosok dermawan, pemurah, terpuji, disukai rakyat serta banyak memberikan hadiah-hadiah. Selain
itu beliau mengembaliakn harta-harta rampasan yang tidak jelas atau tidak
benar. Beliau lahir pada 129H. Pada masa ini, perekonomian mulai meningkat
dengan peningkatan disektor pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil
pertambanagan seperti perak, emas, tembaga dan besi.[5]
Di antara
kebijakan Al – Mahdi adalah
a.
Menurunkan pajak bagi golongan kafir dzimmi,
juga memerintahkan pegawai – pegawainya untuk tidak bersikap kasar ketika
memungut pajak, karena sebelumnya mereka diintimidasi dengan berbagai cara agar
membayar pajak.
b.
Penaklukan dimasa kholifah Al – Mahdi
meliputi daerah Hindustan (India) dan penaklukan besar – besaran terjadi
diwilayah Romawi. Selain itu Al – Mahdi juga bersikap keras terhadap orang –
orang yang menyimpang dari ajaran islam, yaitu mereka yang menganut ajaran
Manawiyah Paganistik atau penyembah cahaya dan kegelapan atau lebih dikenal
dengan sebutan Zindiq.
c.
Pembangunan yang dilakukan dimasa itu
meliputi peremajaan bangunan ka’bah dan Masjid Nabawi, pembangunan fasilitas
umum, pembangunan jaringan pos yang menghubungkan kota Baghdad dengan kota –
kota besar islam lainnya.
2.
Kebijakan Khalifah Harun ar-Rashid
Khalifah
Harun al- Rashid adalah khalifah kelima daulah Abbasiyah, beliau mengantikan
saudaranya al-Hadi pada tahun 786-809M, yang merupakan masa keemasan daulah
Abbasiyah. Beliau dilahirkan di Raiyi pada tahun 145H ibunya ialah Khaizuran,
bekas seorang hamba yang juga ibunda al-Hadi. Ayah beliau al-Mahdi memberi
tanggung jawab dengan melantik Harun sebagai Amir di Saifah pada tahun 163H,
kemudian pada tahun 164 H beliau dilantik untuk memerintah seluruh wilayah
Anbar dan negeri-negeri di Afrika utara.
Khalifah
Harun ar Rashid mempunyai perhatian yang sangat baik terhadap ilmuan dan
budayawan. Ia mengangkat perdana menteri juga dari seorang ulama besar di zamanya,
Yahya as-Barmaki juga merupakan guru Khalifah Harun ar-Rashid, sehingga banyak
nasehat dan anjuran kebaikan mengalir di Yahya. Hal ini semua membentengi
Khalifah Harun dari pebuatan yang menyimpang dari ajaran islam. Pada masa
hidupnya ahli-ahli bahasa terkenal yang mempelopori penyusunan tata bahasa,
seni bahasa salah satunya yaitu Khalaf al-Ahmar(wafat 180H), al-Khalil Ahmad
al-farahidi(wafat180H).
Kekayaan
yang banyak dimanfaat Harun Al – Rasyid untuk keperluan sosial seperti rumah
sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya, sudah
terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter disamping itu pemandian –
pemandian umum juga di bangun. Tingkat kemakmuran yang paling tertinggi
terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusteran berada pada zaman
keemasannya. Pada masa inilah negara islam menempatkan dirinya sebagai negara
terkuat dan tak tertandingi.[6]
Kemajuan-kemajuan
yang diraih Dulah Abbasiyah pada masa itu khusunya dalam hal keilmuan dan
pendidikan tidak luput dari kebijakan yang dilakukan Harun ar-Rashid pada
masanya diantaranya adalah adanya gerakan penerjemah manuskrib-manuskrip dan
kitab Yunani, mendirikan Baitul Hikmah, Rumah sakit, Kuttab serta didirikannya
lembaga Sastra.
a.
Gerakan Penerjemah
Kegiatan penerjemah sebenarnya sudah dimulai
sejak Dulah Umayyah, namun pada masa Daulah Abbasiyah mengalami masa keemasan.
Pusat tempat penerjemahan adalah Yunde Sahpur, yang merupakan kota ilmu
pengetahuan pertama dalam Islam. Para penerjemah bukan hanya dari kalangan
beragama Islam tapi dari pemeluk Nasrani dan Majusi.
Biasanya naskah berbahasa Yunani
diterjemahkan dahulu kedalam bahasa syiria kuno sebelum ke bahasa Arab. Hal ini
dikarenakan penerjemah adalah para pendeta Kristen Syiria yang hanya memahami
bahasa Yunani dan bahasa mereka sendiri. Setelah itu baru Arab menerjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Penerjemah dipelopori oleh Yuhanna ibn Musawayh (777-857M)
dan Hunayn ibn Ishak (wafat 873M)
b.
Baitul Hikmah
Baitul Hikmah merupakkan perpustakaan yang
berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, institusi ini merupakan
kelanjutan dari institusi serupa dimasa imperium Sasania Persia yang bernama Jundishapur Academy. Namun pada masa itu
hanya menyimpan puisi-puisi dan cerita untuk raja. Sedangkan pada masa Harun
instuisi tersebut bernama Khizanah
al-Hikmah. Yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian.
Terdapat macam-macam buku ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, baik
yang berbahasa Arab maupun bahasa lain seperti Yunani, India, dan sebagainya.
Pada masa ini Baitul Hikmah juga berperan sebagai pusat penerjemah.
c.
Pendirian Rumah Sakit
Sebelumnya telah dikatakan bahwa pada masa
kahlifah Harun ar-Rashid telah didirikan beberapa bangunan sosial diantaranya
adalah rumah sakit. Rumah sakit bagdad merupakan rumah sakit islam pertama yang
dibangun oleh kahlifah Harun ar-Rashid pada awal abad ke-9. Rumah sakit ini
menyediakan ruangan khusus untuk perempuan dan dilengkapi dengan gedung
obat-obatan. Beberapa diantaranya dilengkapi dengan perpustakaan kedokteran dan
menawarkan khusus pengobatan.
Selain itu rumah sakit ini juga dilakukan
untuk praktikum para mahasiswa dari sekolah kedokteran yang mengadakan
penelitian dan percobaan dalan bidang kesehatan. Pada masa itu sudah terdapat
paling tidak 800 orang dokter. Sejumlah dokter bedah mengijazahi kepada
mahasiswa kedokteran yang dianggap mampu melakukan praktik.
d.
Mendirikan Apotik
Pada masa ini beliau membangun apotik
pertama, selain itu beliau juga mendirikan sekolah farmasi pertama dan menghasilkan
buku daftar obat-obatan. Mereka menulis beberapa risalah tentang obat-obatan.[7]
e.
Kuttab
Kittab atau bisa juga disebut maktab berasal
dari dasar kataba yang berarti
menulis, maka kuttab adalah tempat belajar dan menulis. Lembaga ini adalah
lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan,
menghitungkan dan menulis serta anak remaja belajar dasar ilmu agama.
Menurut ibnu Djubaer pendidikan ini
berlangsung di luar masjid. Kurukulum pendidikan di kuttab berorientasi kepada
Al-Qur’an sebagai suatu tex book, hal ini mencangkup pengajaran membaca dan
menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa arab, sejarah Nabi SAW. Belajar di Kuttab
dilakukan pada pagi hari sampain waktu shalat ashar untuk membahas berbagai
macam ilmu pegetahuan.
f.
Lembaga Kesusteran
Pada masa pemerintahannya lembaga ini
mengalami kemajuan yang pesat, bahkan pada saat itu beliau juga aktif dalam
majelis ini. Dalam sejarah dikatakan, bahwa khalifah Harun ar-Rashid merupakan
ahli ilmu pengetahuan dan sangat cerdas, maka wajarlah beliau pun ikut terjun
dalam lembaga pendidikan ini.
3.
Kebijakan Khalifah al-Ma’mun
Abdullah
Abul Abbas al-Ma’mun dilahirkan pada tahun 170 H, Al-Ma’mun memerintah dinasti
Abbasiyah dari tahun 198H-218H. Beliau merupakan salah satu khalifah Abbasiyah
yang paling terkemuka, intelektual dan kecintaan Al-ma’mun kepada ilmu
pengetahuan serta jasa-jasanya dibidang tersebut meletakan dirinya dipuncak
daftar khalifah-khalifah Abbasiyah.
Pemaaf
adalah salah satu sifat Al-Ma’mun yang paling nyata. Beliau memaafkan al-Fadhi
bin ar-Rabi’ yang telah menghasut komplotan penjahat menentang beliau serta
memulangkan kembali ke rumahnya, beliau memaafkan ibrahim bin al-Mahdi yang
elah melantik dirinya sebagai khalifah di Bagdad sewaktu al-Ma’mun berada di
Marwu. Beliau pun tidak sembarangan mendengarkan nyaniyan dan tidak tertarik
dengan hiburan dan bermain-main. Selama dua puluh tahun tinggal di bagdad
beliau meninggalkan hiburan dan majelis-majelis minuman. Sebab beliau pusat
pikirannya hanyalah ilmu pengetahuan dan kecintaannya terhadap buku-buku.
Al-ma’mun
penyokong ilmu pengetahuan dan menempatkan para intelektual dalam posisi yang
mulia dan sangat terhormat. Di era kepemimpinannya, ke khalifah abbasiyah
menjelma sebagai adikuasa dunia yang sangat disegani. Wilayah kekuasaanya dunia
islam terbentang luas mulai dari pantai Atlantik di Barat hingga Tembok Besar
Cina di Timur. Dalam dua dasawarsa kekuasaanya, sang khalifah juga berhasil
menjadikan dunia islam sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan peradaban di jagad
raya.
Seperti
ayahnya al-Ma’mun dalam kepemimpinannya juga memiliki kebijakan-kebijakan pada
masanya sehingga daulah Abbasiyah dapat mencapai masa gemilangnya khususnya
dalam bidang keilmuan, seperti:
a.
Gerakan Penerjemah
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa gerakan
penerjemah telah dilakukan pada masa dinasti Umayah, selanjutnya gerakan
penerjemah ini dilakukan pada masa Abbasiyah dan lebih memusat pada Khalifah
al-mashur dan Harun al-Rasid. Pada zaman ini kemauan usaha penerjamah mencapai
puncak dengan didirikannya sekolah tinggi terjemah di Bagdad. Disinilah orang
dapat mengenal Hunain bin Ishaq (809-877M) penerjemah kedokteran Yunani.
Penerjemah Materi Medika, Galen adalah ilmu pengobatan, dan buku-buku filsafat.[8]
Karena keinginannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai super power
dunia ketika itu, al- Ma’mun membentuk tim penerjemah yang terdiri dari Hunain
bin Ishaq yang dibantu anaknya, Ishaq dan keponakannya Hubaish serta ilmuan
lain seperti Qusta ibn Luqa, seorang beragama kristen Jocobite, Abu Basr Matta
ibn Yunus, seorang kristen Nestorian, ibn ‘adi, yahya ibn Bitriq dan lain-lain.
Tim ini bertugas menerjemahkan naskah-naskah Yunani terutama berisi ilmu-ilmu
yang sangat diperlukan terutama kedokteran.[9]
Keberhasilan penerjemah juga didukung oleh fleksibilitas
bahasa Arab dalam menyerap bahasa asing dan kekayaan kosa kata bahasa Arab.
Dalam masa keemasan, karya yang diterjemahkan kebanyakan tentang ilmu
pragmatis, seperti kedokteran, naskah astronomi dan matematika juga
diterjemahkan.
b.
Baitul Hikmah
Merupakan perpustakaan yang berfungsi sebagai
pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Pada masa khalifah al-Ma’mun diberi nama
al-Hikmah atau Baitul Hikmah. Berfungsi
sebagai tempat penyimpanan buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium dan
bahkan Etiopia dan India. Khalifah sangat cinta dengan ilmu pengetahuan itu
mengundang para ilmuan dari berbagai agama datang ke Bait al-Hikmah, beliau
menempatkan para intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat. Para
filosof, ahli bahasa, serta sarjana yang menguasai ilmu lainnya digaji dengan
bayaran yang sangat tinggi.
Di institusi ini beliau mempekerjakan
Muhammad ibn Musa al- Khawarizmi yang ahli dalam bidang aljabar, astronomi
serta penemu logaritma. Dibaitul hikmah telah ditemukan konsep dasar pendidikan
multicultural. Dalam institusi ini tidak ditemukan diskriminasi, melainkan
konsep demokrasi dan pluralitas sudah begitu kental dalam kegiatan pendidikan
di institusi ini.
c.
Majelis al-Munazharah
Majelis ini merupakan lembaga yang digunakan
sebagai lembaga pengkaji keagamaan yang diselenggarakan dirumah-rumah,
masjid-masjid, dan istana khalifah. Lembaga ini juga digunakan untuk melakukan
kegiatan transmisi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga majelis
banyak ragamnya. Selain majelis ini ada 6 majelis lainnya, yaitu majelis
al-Hadist, al-Muzakarah, al- Syu’ara, al-Adab, dan al-Fatwa.
d.
Menulis buku
Aktifitas pelajar pada masa al-ma’mun yang
tak kalah menarik adalah menulis buku sbagai karya yang menjadi bukti
penguasaan ilmu yang telah diperolehnya. Ketika belajar, mereka juga melakukan
kegiatan menulis. Pada awalnya tulisan mereka berbentuk manuskrip saja, namun
kemudian akan dibukukan, sehingga memiliki bobot kualitas yang dapat
dipertanggung jawabkan. Pada masa dahulu bahan untuk meulis adalah kain perca
dan papirus, tetapi pada masa al-Ma’mun kertas telah menggantikan kain dan
piparus diwilayah umat islam.[10]
e.
Rumah Para Ulama
Lembaga pendidikan ini digunakan untuk melakukan kegiatan ilmiah, baik
mengenai agama ataupun umum. Pada umumnya materi yang diberikan adalah
Al-Qur’an, ilmu-ilmu pasti, bahasa Arab, dan kesastraan, mantik, fiqh, falaq,
tafsir, dan lain lain. Banyak pelajar
yang berminat untuk mempelajari ilmu dari para ulama. Mereka berdatangan pergi
kerumah para ahli ilmu karena para ahli yang bersangkutan tidak memberikan
pelajaran di masjid.[11]
BAB III
PENUTUP
Kekhalifahan bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari kekhalifahan bani
Umayyah, diman pendiri bani Abbasiyah adalah keturunan al-Abbas, paman nabi
Muhammad SAW yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali bin Abdullah ibn
al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang di terapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial dan budaya.
Ketika dinasti Umayyah berkuasa bani Abbas
telah melakukan usaha perebutan kekuasaan. Bani Abbas telah mulai melakukan
upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M)
berkuasaOrang-orang Abbasiyah, sebut saja bani Abbas merasa lebih berhak dari
pada bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah keturunan bani
Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Abdullah bin Muhammad
alias Abul Al-Abbas diumumkan sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah tahun
750 M. Dalam khutbah pelantikan yang disampaikan di Masjid Kufah, ia menyebut
dirinya dengan Al-Saffah (penumpah darah) yang akhirnya
menjadi julukannya. Biasanya para
sejarawan biasanya membagi kekuasaan Bani Abbasiyah pada empat periode :
1.
Periode I, yaitu semenjak lahirnya dinasti
Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai meninggalnya khalifah Al-Watsiq 232 H/847 M.
2.
Periode II, yaitu mulai khalifah
Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M sampai berdirinya Daulah Buwaihiyah di
Baghdad tahun 334 H/946 M.
3.
Periode III, yaitu dari berdirinya Daulah
Buwaihiyah tahun 334 H/946 M sampai masuknya kaum Saljuk ke Baghdad Tahun 447
H/1055 M.
4.
Periode IV, yaitu masuknya kaum saljuk di
Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai jatuhnya Baghdad ketangan bangsa Mongol
dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H / 1258 M
Masa Kejayaan dan masa keemasan pada Dinasti
Abbasiyah pada masa Khalifah Harun al- Rashid dan khalifah Al-Ma’mun. Dalam masa kedua khalifah
ini banya peningkatan-peningkatan yang dilakukan. Kebijakan-kebijakan beliau
juga sangat banyak dalam bidang keilmuan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, Dudung, Sejarah Peradaban
Islam.
Amin , Samsul
Munir, 2010, Sejarah peradaban Islam,
Jakarta, Amzah, Ajid
Hitti, Philip K, 2015History of The Arabs,
Jakarta:Serambi Ilmu Semesta.
Natta, Abudin, 2010 Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah.
Sunanto
, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, 2003 Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Islam , Jakarta, Kencana.
Thohir, 2004 Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wahid, N. Abbas dan Suratno, 2009, Khazanah
Sejarah Kebudayyan Islam Solo, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Yatim, Badri, 2016, Sejarah Peradaban Islam:
Dirasah Islamiyah II, Depok Raja Garindo Persada.
Zuhairini, 1992, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta:Bumi Askara.
[1] Abudin
Natta, Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, 2010),
hlm 102.
[3] Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004), hlm 48.
[4] N. Abbas Wahid dan Suratno, Khazanah
Sejarah Kebudayyan Islam (Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009)
[5] Badri Yatim,
Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Depok:Raja Garindo Persada,
2016)52
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II(Jakarta:
Rajagrafindo Persada , 2015) hal.52
[7] Philip K.
Hitti, History of The Arabs (Jakarta:Serambi Ilmu Semesta, 2015), 456.
[8] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam
(Jakarta,: Kencana, 2003)79
[9] Dudung
Abdurahman, Sejarah Peradaban Islam, 104
[10] Philip K. Hitti, History of The Arabs (Jakarta:Serambi Ilmu Semesta,
2015),522.
[11] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam(Jakarta:Bumi Askara, 1992)95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat