ULUMUL HADITS : PENGERTIAN, SEJARAH PERTUMBUHAN DAN
PERKEMBANGANNYA SERTA CABANGANNYA
KATA PENGANTAR
اَلٌسَّلَامُ عَليٌكًمْ وَرَحْمَة اللهِ وَبَرَكَاته
Bismillahirrohmanirrohim. Puji syukur kehadirat
Allah SWT, Yang Maha Esa
atas petunjuk, rahmat, dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan Makalah
Studi Hadits yang berjudul “ulumul hadits: pengertian, sejarah
pertumbuhan dan perkembangannya serta cabangannya”
Shalawat serta salam semoga tetap
tercurah limpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, pemimpin para Nabi dan
panutan bagi umat Islam di dunia yang beriman dan bertaqwa, begitu juga dengan
para keluarga dan sahabat yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju
zaman terang-benderang “Ila Dzulumati Ilannur”serta kepada pengemban risalah
mulia yang selalu mengikuti metode serta langkah beliau yang menjadikan
“Al-Qur‟an” sebagai pedoman sekaligus
sumber hukum.
Penyusun sadar bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
sangat penyusun harapkan, demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga amal
kebaikan dan aktivitas yang kita lakukan selalu ada dalam rahmat dan ampunannya,
Aamiin
وَالٌسَّلَامُ عَليٌكًمْ وَرَحْمَة اللهِ وَبَرَكَاتُه
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Sudah diketahui bahwasannya
dalam menyebut nama-nama hadits sesuai dengan fungsinya dalam ketettapan
syariat Islam ada hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dloif. Masing-masing
memiliki syarat dan ketentuan masing-masing, persyaratan itu berkaitan dengan
persambungan sanad, kuwalitas perawi yang dilalui hadits dan berkaitan juga
dengan kandungan hadits itu sendiri, maka di dalam ilmu hadits terdapat dua persoalan.
Pertama berkaitan dengan sanad. Kedua berkaitan dengan matan.
Sanad adalah ilmu yang
bertujuan untuk mengetahui apakah hadits tersebut bersambung sanadnya atau
tidak, dan apakah para perawi hadits yang tercantum dalam sanad adalah orang
terpercaya atau tidak. Ilmu matan bertujuan membantu kita mengetahui apakah
kandungan dalam hadits berasal dari nabi atau tidak, secara garis besar ilmu
hadits di bagi menjadi dua yaitu: hadits riwayah dan hadits dirayah. Hadits
riwayah membahas materi hadits yang menjadi kandungan makna, sedangkan ilmu
hadits diarayah mengambil pembahasan tentang kaidah-kaidahnya beik berhubungan
dengan sanad atau matan hadits, kedua ilmu hadits itu sama pentingnya, sebab
dengan ilmu pertama orang muslim yang menguasai ilmu tersebut dapat mengikuti
keteladana rasulullah. Dan ilmu yang kedua membantu kita untuk mendapatkan
informasi yang akurat tentang hadits nabi, di bawah ini akan ditangkan
pengertian ilmu hadits sejarah yang di lalui serta cabang-cabang ilmu hadits.
- Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang dapat dibuat perumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Apakah pengertian ilmu hadits?
2.
Bagaimana sejarah ilmu hadits?
3.
Apa saja macam-macam ilmu hadits?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ulumul Hadits
Dari
segi bahasa ilmu hadist terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan hadist. secara
sederhana ilmu artinya pengetahuan, sedangkan hadist artinya yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik
dari perkataan, perbuatan, maupun persetujuan.
Sedangkan
Ilmu hadist secara istilah adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau
sifat para perawi dan yang diriwayatkan.
Ilmu
hadist di bagi menjadi dua macam, yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits
dirayah.[1]
1.
Ilmu Hadits
Riyawah
Menurut
pendapat Dr. Shubhi Ash-Shahih ialah: Ilmu yang mempelajari tentang periwayatan
secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan maupun sifat
serta segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.
Pendiri ilmu hadits
riwayah adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (W. 124 H.)
Adapun
kegunaan dan manfaat mempelajari ilmu hadits riwayah, di antaranya adalah
sebagai berikut.
a. Memelihara
hadits secara berhati-hati dari segala kesalahan dan kekurangan dalam
periwayatan.
b. Memelihara
kemurnian syari’ah Islamiyah karena sunnah atau hadits adalah sumber hokum Islam
setelah Al-Qur’an.
c. Menyebarluaskan
sunnah kepada seluruh umat islam sehingga sunnah dapat diterima oleh seluruh
umat manusia.
d. Mengikuti
dan meneladani akhlak Nabi SAW. karena tingkah laku dan akhlak beliau secara
terperinci dimuat dalam hadist.
e. Melaksanakan
hokum-hukum Islam serta memelihara etika-etikanya, karena Islam tanpa
mempelajari ilmu hadist riwayah ini.[2]
2. Ilmu
Hadits Dirayah
Peneletian
sanad dan matan, periwayatan, yang meriwayatkan dan yang diriwayatkan,
bagaimana kondisi dan sifat-sifatnya, diterima atau ditolak, shahih dari Rasul
atau dha’if.
Ilmu Hadits Dirayah,
fokusnya pada pengetahuan (dirayah) hadist, baik dari segi keadaan sanad dan
matan, apakah telah memenuhi persyaratan sebagai hadits yang diterima atau
tertolak,
Adapun pendiri Ilmu Hadits
Dirayah adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad
Ar-Ramahurmuzi (W. 360 H.).[3]
Pokok
bahasan naqd as-sanad adalah sebagai berikut:
a. Ittishal
as-sanad (persambungan sanad). dalam hal ini tidak dibenarkan adanya rangkaian
sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya (wahm), atau
samar.
b. Tsiqat
as-sanad, yakni sifat ‘adl (adil), dhabit (cermat dan kuat), dan tsiqah
(terpercaya) yang harus dimiliki seorang periwayat.
c. Syadz,
yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya, hadist
yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, tetapi menyendiri dan bertentangan
dengan hadist yang diriwayatkan oleh periwayat-periwayat tsiqah lainnya.
d. ‘Illat,
yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadist yang keihatannya baik atau
sempurna. syadz dan ‘illat ada kalanya terdapat juga pada matan dan untuk
menelitinya diperukan penguasaan ilmu hadist yang mendalam.
Masalah
yang menyangkut matan disebut naqd al-matn (kritik matan) .
Pembahasan
ilmu hadits dirayah meliputi:
a. Kejanggalan-kejanggalan
dari segi redaksi.
b. Fasad al-ma'na, yakni terdapat cacat
atau kejanggalan pada ma'na hadits karena bertentangan dengan indra dan akal.
c. Kata-kata
gharib (asing), yakni kata-kata yang tidak bias dipahami berdasarkan makna
yang umum dikenal.
Faedah
ilmu hadits dirayah adalah:
a. Mengetahui
pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa sejak
masa Rasulullah SAW. Sampai masa sekarang.
b. Mengetahui
tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan,
memelihara, dan meriwayatkan hadits.
c. Mengetahui
kaedah-kaedah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklafikasikan hadits
lebih lanjut.
d. Mengetahui
istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria-kriteria hadits. Dalam menetapkan
hokum syara'.[4]
B.
Cabang-Cabang
Ilmu Hadits
1. Ilmu
Rijal Al-Hadits
Imu
rijal al-hadits adalah ilmu yang membahas hal dan sejarah para rawi dari
kalangan sahabat, tabiin, dan atba’at-tabiin.
Bagian
dari ‘ilmu rijal al-hadits ini adalah ‘ilmu tarikh rijal al-hadits.
Ilmu ini secara khusus membahas perihal para rawi hadits dengan penekanan pada
aspek-aspek tanggal keahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber hadits,
jumlah hadits yang diriwayatkan, dan muris-muridnya.
2. Ilmu
Al-Jarh wa At-Ta’dil
Secara
bahasa, kata al-jarh artinya cacat atau luka dan kata at-ta’dil
artinya mengadilkan atau menyamakan. Jadi, kata ilmu al-jarh wat-ta’dil
adalah ilmu tentang keacatan dan keadilan seseorang.
3. Ilmu
Fannil Mubhamat
Ilmu
fannil mubahat adalah: ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak
disebutkan dalam matan atau dalam sanad.[5]
4. Ilmu
‘Ilal Al-Hadits
Kata
‘ilal adalah jamak dari kata al-illah, yang menurut bahasa
artinya penyakit. Adapun ilmu ‘ilal al-hadits menurut istilah adalah
ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan kesahihan
hadits, misalnya mengatakan muttashil terhadap hadits yang munqathi’, menyebut
marfu’ terhadap hadits yang mauquf, memasukan hadits ke dalam hadits lain.[6]
5. Ilmu
Gharib Al-Hadits
Ilmu
gharb al-hadits adalah ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat
dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan jarang terpakai oleh umum.
Ilmu
gharb al-hadits membahas lafal yang musykil dan susunan kalimat yang
sukar dipahami sehingga orang tidak akan menduga-duga dalam memahami redaksi
hadits.
Menurut
sejarah, orang yang mula-mula berusaha untuk mengumpulkan lafal yang gharib
adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsana, kemudian dikembangkan oleh Abul Hasan
Al-Mazini.
6. Ilmu
Nasikh wal Mansukh
Nasakh
secara etimologi berarti menghilangkan, mengutip, atau menyain. Sedangkan
nasikh wal mansukh, menurut ulama hadits, adalah: ilmu yang membahas
hadits-hadits yang saling bertentangan yang tidak mungkin bisa dikompromikan,
dengan cara menentukan sebagainya sebagai ‘nasikh’ dan sebagian lainnya sebagai
‘mansukh’. Yang terbukti datang terdahulu sebagai mansukh dan yang terbukti
datang kemudian sebagai nasikh.
Perintis
ilmu ini adalah Asy-Syafi’I, kemudian dilamjutkan oleh murid-muridnya.
7. Ilmu
Talfiq Al-Hadits
Ilmu
talfil al-hadits adalah ilmu yang membahas cara mengumpulkan hadits-hadits yang berlawanan akhirnya.
Cara
engupulkan dalam talfiq al-hadits ini adalah dengan men-takhsiskan makna hadits
yang umum, men-taqyidkan hadits yang mutlaq.
8. Ilmu
Tashif wat Tahrif
Ilmu tashif wat tahrif adalah ilmu yang membahas
sebab-sebab yang tersembunyi, tidak
nyata, yang dapat mencacatkan hadits.
9. Ilmu Asbab Al-Wurud Al-hadits
Ilmu asbab
al-wurud al-hadits adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW.
Menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi SAW. menuturkan itu.
Ilmu ini sangat penting untuk memahami dan menafsirkan
hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurud hadits
tersebut.[7]
C.
Sejarah
Pertumbuhan Dan Perkembangan Hadits
Untuk mengetahui secara kronoogis perkembangan hadist,
mulai dari masa Nabi SAW. sampai pertengahan abad VII H. para ahli membaginya kedalam tujuh
periode, yaitu:
Abad
1 H. terdiri dari 3 (tiga) periode, yaitu
Pertaman, dikenal sebagai sebutan
“’ashrul wahyi wuttaqwim”, yaitu turun wahyu dari pembentukan masyarakat
islam.
Kedua, yaitu masa khulafa’ur
rosyidin atau masa sahabat besar, yang dikenal dengan sebutan “zamanut
tasatabbuti wal iqlali minarriwayah”,
yaitu masa pengokohan dan penyederhanaan riwayat.
Ketiga,masa sahabat kecil dan
masa tabi’in besar, dikenal dengan sebutan “zaman intisyari riwayati ila
am-shar”, yaitu masa tersebarnya riwayat-riwayat hadits ke kota-kota.
Abad II H. termasuk periode ke empat, yaitu masa
pemerintahan kholifah Umar bin Abdul Aziz, kemudian dikenal dengan sebutan “’ashrul
kitabati wattadwin”, yakni masa penulisan, dan masa mengkodifikasi
hadits-hadits. Pada masa ini masih bercampur perkataan nabi dengan perkataan shahabat.
Abad III H. termasuk yang di dalamnya periode kelima,
yang disebut dengan “’ashruttajjridi watshrieh watanqieh” yaitu masa
penyaringan hadits dan pensyarahnya. Sedang orang pertama yang melakukan
penyaringan hadits-hadits shohih ialah Ishak ibnu Rahawaih yang kemudian
dilanjutkan oleh Imam Al-Bukhari dengan kitab shahihnya, lalu dilanjutkan
muridnya bernama Imam Muslim.
Abad IV H. yang pada umumnya disebut dengan istilah “’asrut
tahdzibi wal istidraki wal jami’I” yaitu masa pembersihan, penyusunan,
penambahan dan pengumpulan. Dalam abad ini telah masuk juga periode keenam.[8]
1. Eksistensi Hadits Masa Nabi Muhammad Saw.
Pertama, riwayat yang menerangkan adanya larangan
penulisan hadits, yaitu:
Hadist
riwayat Abu Said Al-Khudriy, katanya Nabi saw. bersabda:
لَا
تَكْتُبُوْا عَنِّى غَيْرُ القُرأَنِ وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرُ القُرأَنِ
فَلْيَمْحُهُ
“Jangan sekali-kali kamu menulis padaku sealain Al-Qur’an, barang siapa yang menulisnya,
hendaklah dia menghapusnya.”
Kedua,
riwayat hadits tentang kebolehan menulis hadits, yaitu:
Hadits riwayat Abu Hurairah, Abu Hurairah, mengatakan
bahwa seorang sahabat anshar yang sedang duduk bersama dalam suatu majlis Nabi
untuk mendengarkan hadits, lantaran dia tidak dapat menghafalkannya, lalu dia menanyakan
kepada beliau bahwa aku mendengarkan engkau yang menyebabkan aku tertarik,
tetapi aku tidak dapat menghafalkannya, lalu beliau mengatakan kepadanya: “mintalah
pertolongan tanganmu untuk menghafalkannya”.[9]
2.
Eksistensi
Hadits Masa Sahabat Dan Tabi’in
Periode ini terjadi pada
masa khulafa’urrasyidin atau masa sahabat besar dan dikenal dengan
sebutan “zamanut tasatabbuti wal iqlali
minarriwayah”, yaitu masa pengkokohan dan penyederhanaan riwayat,
sehingga masalah penulisan hadits belum dianggap suatu hal yang mendesak untuk
dilaksanakan, hadits tetap dihafal dan upaya-upaya penulisan masih dianggap
menghawatirkan akan mengganggu perhatian mereka terhadap penulisan Al-Qur’an
lantasan keterbatasan tenaga dan sarana.
Dan faktor sebab itulah,
Abu Bakar sebagai khalifah pertama mengeluarkan kebijakan tidak mengizinkan
para sahabat menulis hadits, bahkan beliau memerintahkan untuk membakar 500
buah hadits yang telah dicatatnya, sebagaimana riwayat Al-Hakim dari ‘Aisyah:
جَمَعَ
اَبِى الْحَدِيْثَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ خَمْسُمِائَةِ
حَدِيْثٍ قَبَاتَ لَيْلَةً يَتَقَلَّبُ كَثِيْرٌ, فَلَمَّا اَصْبَحَ قَالَ: أَيُّ
بَنِيَّةٍ هَلُمَّى الْأَحَادِيْثَ الْتِى عِنْدَكَ فَجِئْتُهُ بِهَا فَدَعَا
بِنَارٍ فَخَرَقَهُ
Ayahku telah mengumpulkan
hadits dari Rasulullah saw. Sejumlah 500 (lima ratus) buah. Lalu pada suatu
malam beliau banyak membolak-balik hadits tersebut…. Kemudian dipagi hari
beliau berkata: wahai anakku, bawalah hadits-hadits yang ada padamu, maka
akupun membawanya kepada beliau dan seketika itu beliau menyalakan api lalu membakarnya.
Melihat adanya faktor
kehawatiran perhatian para sahabat terhadap progam penulisan Al-Qur’an
terganggu, lalu niat ‘Umar bin Khathab untuk membuat progam penulisan hadits
dibatakan, apalagi mayoritas sahabat tidak sepakat dengan usaha tersebut. Hal
ini dapata dibuktikan adanya hadits riwayat Anas bin Malik:
عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ عُمَرَ قألَ عِنْدَ مَا عَدَّلَ عَنْ كِتَابٍ السُّنَّةِ لَا كِتَابَ
مَعَ كِتَابِ اللهِ
Dari sahabat Malik bin
Anas mengatakan bahwa ‘Umar bin Khathab bermaksud menulis beberapa hadits, lalu
beliau berkata tidak boleh ada suatu kitab yang muncul bersama-sama kitabullah.
Dari adanya hadits
tersebut, bahwa Abu Bakar dan ‘Umar bin Khathab merasakan adanya kekhawatiran
terhadap buku catatan hadits yang ada di tangan para sahabat terhadap
Al-Qur’an.
Sekalipun demikian,
penulisan hadits tetap saja dilakukan oleh para sahabat, diantaranya ialah Ibnu
Mas’ud, Ali bin Abi Tholib, ‘Aisyah, dan lainya.hal ini dapat dibuktikan dari
hadits berikut:
a.
Ibnu Mas’ud
أَخْرَجَ
إلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ ابْنِ عَبْدُ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ كِتَابًا وَحَلَفَ
لِى أَنَّهُ خَطُّ أَبِيْهِ بِيَدِهِ
Abdurrahman
bin Abdullah bin Mas’ud telah memperihatkan
kepadaku sebuah buku catatan seraya bersumpah dihadapanku bahwa catatan ini adalah
tulisan tangan ayahnya, yaitu Abdullah bin Mas’ud.
b.
Ali bin Abi Thalib
رُوِيَ
عَنْ عَلِيٍ أنَّهُ كَانَ يَخُضُّ عَلَى طَلَبِ الْعِلْمِ وَكِتَابَتِهِ فَقَدْ
قَالَ مَنْ يَشْتَرِى مِنِّى عِلْمًا بِدِرْهَمٍ ؟. قَالَ أَبُوْ حَيْثُمَةَ
يَقُوْلُ يَشْتَرِى صَحِيْفَةً بِدِرْهَمٍ يَكْتُبُ فِيْهَا الْعِلْمَ
Ali
bin Abi Thalib pernah menganjurkan untuk menuntut ilmu dan menulisnya, beliau
berkata “siapa yang mau membeli ilmu dariku dengan satu dirham?
Lalu
Abu Khaitsumah yang saat itu berada disisi beliau, membeli lembaran tersebut
dengan harga satu dirham.
c.
Aisyah
يَابُنَيَّ
بَلَغَنِى أَنَّكَ تَكْتُبُ عَنِّى الْحَدِيْثَ ثٌمَّ تَعُوْدُ فَتَكْتَبَهُ
فَقَالَ لَهَا أَسْمَعُهُ عَلَى غَيْرِهِ فَقَالَتْ هَلْ تَسْمَعُ فِى الْمَعْنَى
خِلَافًا؟. قَالَ لَا قَالَتْ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ
Wahai
anakku, aku mendengarkan bahwa kamu telah menulis hadits-hadits dariku, lalu
apakah kamu mengulangi lagi untuk menulisnya.? Lalu Urwah menjawab “sesuatu
hadits yang telah saya dengar darimu, saya mengulangi lagi untuk mendengarkan
kepada orang lain”, kemudian bertanya lagi: apakah yang kamu dengar (dariku)
ada yang berlainan dengan orang lain? Lalu ia menjawab. “tidak” kalau begitu,
silahkan kamu lanjutkan.[10]
3. Eksistensi Hadits Pada Abad II H.
Pada
masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya, metode periwayatan hadits
yang dilakukan oleh para tabi’in tidak berbeda dengan yang sudah dilakukan oleh
para sahabat, hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda, sebab
pada masa ini Al-Qur’an sudah terkumpul dalam satu mushaf. Pemerintahan Umar
bin Abdul Aziz membentuk lembaga kodifikasi hadits secara resmi, dengan melalui
instruksinya kepada para pejabat pemerintahan yang ada di daerah-daerah,
kepada: Abu Bakar bin Hazm dan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (w. 124 H.).
Latar
belakang Kholifah Umar bin Abdul Aziz untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan
hadits ialah:
a.
Banyak penghafal hadits yang meninggal dunia, baik
ataupun sebagai pahlawan perang.
b.
Al-Qur’an sudah berkembang begitu luas dalam
masyarakat dan telah dikumpulkan menjadi mushaf, karenanya tidak perlu
dikhawatirkan lagi hadits bercampur dengan Al-Qur’an.
c.
Islam telah mulai melebarkan syi’arnya
melampaui jazirah Arab, maka hadits sangat diperlukan sebagai penjelasan
Al-Qur’an.
Maka
masa ini dikenal dengan sebutan “masa pembukuan”, pada abad II H. ini
tersusunlah kitab-kitab hadits dari para ulama’-ulama’, diantaranya adalah:
a.
Ibnu juraiji
(80-150 H.) di Makkah.
b.
Al-Auza’I (88-157
H.) di Syam.
c.
Sufyan Ats-Tsauri
(w. 161 H.) di kufah.
d.
Malik bin Anas (w.
179 H.) di madinah.[11]
4. Eksistensi Hadits Pada Abad III
Masa
ini dikenal dengan sebutan masa ‘ashruttajridi wat tashrih wat tanqih yaitu
masa penyaringan dan penyarahan hadits, masa pemerintahan dipegang oleh dinasti
Abbasiyyah, dari khalifah Al-Ma’mun sampai Al-Muqtadir (201-300 H.). pada masa
ini belum berhasil melakukan pemisahan beberapa hadits mauquf dan maqthuk
dari hadits marfu’, hadits dla’if dari hadits shahih,
bahkan hadits maudlu’ bercampur dengan hadits shahih.
Masa
ini dianggap sebagai masa paling sukses dalam menjalankan progam pembukuan
hadits, sebab mereka telah berhasil dalam beberapa hal,
a.
Memisahkan
hadits-hadits Nabi dari yang bukan hadits (fatwa shahabat atau tabi’in).
b.
Mengadakan
penyaringan secara ketat terhadap apa saja yang dikatan hadits Nabi.
Ulama’
pertama kali melakukan penyaringan hadits-hadits shahih ialah Ishak bin
Rahawaih, kemudian di lanjutkan oleh Imam Bukhari dengan kitab shahihnya, lalu
di lanjutkan muridnya bernama Imam Muslim.
Kitab-kitab
koleksi hadits dari para kolektornya yang muncul pada masa ini ialah:
a.
Shahih Al-Bukhari,
karya Abu Abdillah Muhammad bin isma’il Al-Bukhari.
b.
Shahih Muslim,
karya Abu Husain Muslim bin Hallaj An-Naisaburi.
c.
Sunan Abu Dawud,
karya Abu Dawud Sulaiman bin Asy’asyi Al-Sajastami.
d.
Sunan At-Turmudzi,
karya Abu Isa Muhammad Bin Yahya At-Turmudzi.
e.
Sunan An-Nasa’I,
karya Abu Abdillah Ahmad bin Syu’aib Al-Hurasani.
f.
Sunan Ibnu Majah,
karya Abdullah bin Muhammad Al-Qozwani.[12]
5. Eksistensi Hadits Pada Abad IV
Pada
periode ini, ditemukan perbedaan yang menyolok, menjadi awal terjadinya pemisahan
antara kelompok mutaqaddimin dan mutaakhirin,
a.
Mutaqaddimin ialah
ulama’ yang hidup sebelum tahun 300 H. sistem penulisan hadits-hadits, dengan
mendengar hadits langsung dari guru mereka.
b.
Mutaakhirin ialah
ulama’ yang hidup setelah tahun 300 H. system penulisan hadits-hadits,
menggunakan penghimpunan hadits.[13]
6. Eksistensi Hadits Pada Abad V Sampai Sekarang
Pada tahun 656 H.
pemerintahan Abbasiyyah pindah ke tangan bangsa Turki dengan pusat
pemerintahannya pindah ke Kairo, Mesir, pada akhir abad ke VII H. semua daerah
islam dapat dikuasai kecuali daerah barat Maroko, pertengahan abad ke IX H.
berhasil merebut kota Constantinopel dan Mesir, sejak itulah raja Turki
menggunakan sebutan khalifah.
BAB
III
Kesimpulan
Dengan hadits riwayah kita dapat mengetahui
tata cara periwayatan, pemiliharaan, pencatatan, dan pembukuan hadits Nabi
Muhammad SAW. Dengan hadits dirayah kita dapat mengetahui masalah-masalah untuk
mengetahui layak atau tidaknya seorang perawi dalam meriwayatkan sebuah hadits.
Dengan dua ilmu tersebut kita dapat
mengetahui sejarah tentang turun temurunnya sebuah hadits.
DAFTAR
PUSTAKA
Khon,
Majid, Abdul. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah. 2009.
Sahrani,
Sohari. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.
Solahudin,
Agus, M. Ulumul Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2008.
Zein,
Ma’shum, Muhammad. Ulumul Hadits & Musthalah Hadits. Jombang:
Darul-Hikmah. 2008.
[1]
Khon Majid Abdul, Ulumul
Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), 76
[2]
Ibid,. 77-79.
[3]
Ibid., 81.
[4]
Solahudin Agus M. Ulumul
Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), 109-110.
[5]
Ibid., 111-115.
[6]
Sahrani Sohari, Ulumul
Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 77-78.
[7]
M Agus, Ulumul Hadits,
117-122.
[8] Zein Ma’shum Muhammad, Ulumul
Hadits & Musthalah Hadits, (Jombang: Darul-Hikmah, 2008), 62-63
[9]
Ibid., 63-65
[10]
Ibid., 67-70
[11]
Ibid., 71-74
[12]
Ibid., 74-75
[13]
Ibid., 76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat