Mata Kuliah Aspek Hukum Bank Islam
INVERSTOR ALERGI TERHADAP PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH
KARENA ISTILAH SULIT DIPAHAMI
Bank syariah
adalah bank bagi hasil yang mengedepankan konsep loss and profit sharing dalam
pegembangan produknya. Dan dalam pengembangannya ia menggunakan konsep
mua’malah islamiyah ala indonesia yang diijtihadkan MUI (Majelis Ulama’
Indonesia) melalui DSN (Dewan Syariah Nasional), lalu prakteknya diawasi oleh
DPS (Dewan Pengawas Syariah) sehingga akan menciptakan suatu mekanisme
perbankan yang diharapkan mampu memberi kemaslahatan objektif bagi umat seluruh
alam. Namun fakta Pada saat ini adalah pemilik modal seperti alergi dengan
perbankan syariah yang mengakibatkan pembiayaan berbasis syariah masih belum
dilirik investor atau pemilik proyek. Pasalnya, istilah yang dipakai dalam syariah
tersebut sulit dipahami secara luas oleh masyarakat. Dan kurangnya tenaga ahli
yang benar-benar memahami perbankan syariah salah satunya adalah sengketa
dimana penyelesaiannya di pengadilan agama bukan di pengadilan umum yang
membuat investor kurang mempercayai dan kurang tertarik dalam perbankan
syariah. Perkembangan bank syariah di Indonesia didominasi oleh produk jual
beli terutama murabahah hal ini mengindikasikan bahwa ketertarikan nasabah pada
perbankan syariah masih didominasi oleh faktor idealitas bukan objektifitas
kualitasnya, hingga mereka lebih tertarik menggunakan pembiayaan jangka pendek
yang beresiko lebih kecil dibandingkan mudharabah atau musyarakah yang
bersifat jangka panjang. Mereka sama-sama menahan diri agar proyeknya tidak
menggunakan pembiayaan dari perbankan syariah. Selain itu, perbankan syariah
yang ada di Tanah Air mayoritas hanya bank buku 2. Akibatnya, mereka hanya bisa
masuk pada proyek yang skalanya kecil.
Oleh sebab itu, industri perbankan membutuhan sosok pemimpin (leading
sector) yang dari segi permodalan dan kapasitas memadai. Hal ini secara objektif
kembali menunjukkan kelemahan bank syariah sebagai bank bagi hasil dalam
mengaplikasikan dan mensosialisasikan produk-produknya. Hingga sekarang permasalahan-permasalahan klasik bank syariah seakan
menemui jalan buntu dalam penyelesaiannya, karena dampak dari solusi-solusi
yang pernah ditawarkan belum dapat dirasakan. Pencapaiannya baru sebatas
memberi pengetahuan belum dapat menimbulkan kemauan yang objektif untuk melirik
bank syariah sebagai media intermediasi uangnya karena itu timbul kesenjangan antara
keinginan dan pemahaman. Disisi lain Kompetensi sumber daya insani perbankan
syariah belum bisa dikatakan memadai untuk melakukan investasi pola bagi hasil
yang diharapkan.[1]
Dari pemaparan
diatas menjelaskan bahwa dari awal pertama kali bank syariah berdiri hingga
sekarang perbankan syariah belum mendapatkan kepercayaan sepenuhnya mengenai
investasi dan proyek pembangunan dalam sekala besar karena keterbatasan pada
pengetahuan yang membuat anggapan bahwa perbankan syariah hanya digunakan oleh
agama tertentu.[2]
Sebagian orang memang sudah tahu apa itu
bank syariah namun terdapat kekurangan
dalam pemahaman tentang produk-produk yang terdapat dalam bank syariah serta
minimnya edukasi yang mereka dapatkan memberikan persepsi yang berbeda mengenai
produk bank syariah. Sehingga
masyarakat dan para investor yang tidak tahu produk-produk bank syariah
tentunya tidak akan berminat untuk menggunakan jasa bank syariah karena mereka
menganggap bahwa fasilitas penunjang yang diberikan masih kalah dengan
fasilitas yang ditawarkan oleh bank konvensional, saat ini sebagian besar masyarakat
hanya melihat bahwa nilai tambah bank syariah adalah lebih halal dan selamat,
lebih menjanjikan untuk kebaikan akhirat, dan juga lebih berorientasi pada
menolong antar sesama dibandingkan dengan bank konvensional. Memang benar
adanya akan hal yang di nilai oleh masyarakat. Namun, produk-produk bank
syariah tidak kalah bersaing dengan bank konvensional. Yang tentunya pendapat
dari masyarakat tidak sesuai dengan yang telah di sebutkan pada Undang-Undang No. 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Perkembangan bank syariah di Indonesia didominasi oleh produk jual
beli terutama murabahah yang berdasarkan data pada Februari 2007 menunjukkan
pembiayaan dengan akad murabahah mencapai 62% dari total pembiayaan yang
ada di perbankan syariah, sementara pembiayaan mudharabah dan musyarakah
yang diberikan hanya sekitar 30% dari total pembiayaan yang ada. Hal ini mengindikasikan bahwa ketertarikan nasabah pada perbankan
syariah masih didominasi oleh faktor idealitas bukan objektifitas kualitasnya, hingga
mereka lebih tertarik menggunakan pembiayaan jangka pendek yang beresiko lebih
kecil dibandingkan mudharabah atau musyarakah yang bersifat
jangka panjang. Yang dimana sesungguhnya konsep inti dari perbankan syariah
adalah produk jangka panjangnya.
Hal ini karena belum tepatnya kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam
mendukung kemajuan dan pengembangan perbankan syariah di Indonesia, untuk itu perlu diadakanya pendekatan mua’malah islam yang
sesuai dengan budaya rakyat indonesia tanpa harus keluar dari nash-nash agama,
sehingga akan menghasilkan produk bank syariah baru yang benar-benar sesuai
dengan budaya rakyat Indonesia. Karena berdasarkan data historis sistem
perbankan syariah yang dianut Indonesia kini adalah hasil dari adopsi perbankan
syariah yang ada di Malaysia, maka wajar jika ada ketidak cocokan budaya, oleh sebab
itu masalah pengembangan produk perlu dikembalikan lagi kedalam konsep
mu’amalah islam yang universal.[3] Belum tersebar luasnya
kantor-kantor perbankan syariah, minimnya SDI (Sumber Daya Insani) yang paham akan
praktisi bank syariah, baik sisi pengembangan bisnis maupun sisi syariah.
Dengan kata lain belum terpenuhinya sumber daya insani yang mumpuni di
bidang ekonomi syariah, sehingga dalam praktiknya perbankan syariah seringkali
menyimpang dari prinsip syariah dimana praktisi hanya bisa menjelaskan apa yang
mereka tahu tetapi tidak bisa menjawab apa yang ditanyakan oleh masyarakat
karena belum memadainya sumber daya insani yang terdidik dan profesional,
terutama teknis manajerial. Pasalnya meski tren pendidikan yang menawarkan
program keuangan syariah, kursus-kursus khusus keuangan syariah, pendidikan
keuangan syariah, serta seminar khusus keuangan syariah telah berkembang namun
masih dinilai kurang karena pendidikan dan pelatihan yang diberikan hanya
sesuai dengan kebutuhan. Hal ini terlihat dari hasil survei yang dilakukan
Islamic Research and Training Institute (IRTI/anggota Islamic Development Bank)
yang mengungkapkan bahwa level familiaritas responden terhadap konsep keuangan
syariah, produk dan layanan industri jasa keuangan syariah masih sangat rendah.
Sebanyak 90%
dari responden yang mengikuti survei adalah lulusan SMA, dan pemegang gelar
Diploma. Diketahui bahwa kebanyakan responden atau 1.730 dari 3.165 responden
yang merupakan lulusan SMA hingga Pascasarjana menggunakan layanan jasa
perbankan konvensional dan hanya 13% yang memiliki hubungan dengan bank
syariah. Selain itu hanya 12,9% dari responden yang memiliki pengetahuan
tentang keuangan syariah, dan 37,7% memiliki pengetahuan yang terbatas, sementara
30% tidak mengerti perbedaan antara keuangan syariah dan konvensional.
Selanjutnya dalam permodalan perbankan syariah masih belum memadai dan biaya
dana yang mahal yang berdampak pada keterbatasan segmen pembiayaan yang
disebabkan karena para investor enggan bergabung karena belum dan tidak
memahami istilah syariah. Selain itu, mayoritas perbankan syariah di Indonesia
juga masih di level BUKU 2 sehingga mereka hanya bisa masuk pada proyek
infrastruktur skala kecil. “Bank syariah yang ada di indonesia sebagian besar
BUKU 2. Cuma satu yang BUKU 3 yaitu Bank Syariah Mandiri. Itu pun baru, jadi
BUKU 3-nya tipis. Karena kebanyakan BUKU 2, jadi hanya bisa masuk dalam proyek
kecil. Dan tidak bisa masuk dalam proyek infrastruktur. Dampaknya, secara umum
bank syariah tidak se-efisien bank konvensional. Inovasi di bidang produk dan
layanan pada bank syariah , pemasaran dan pengembangan bisnis yang dimiliki bank
syariah masih lemah, dan kurang memadainya fasilitas atau infrastruktur teknologi
informasi (IT), padahal hal tersebut merupakan prasyarat penting keberhasilan
lembaga keuangan.[4]
Dimana kemajuan tersebut akan membawa para investor untuk bergabung dan
tertarik akan perbankan karena keberhasilan yang dicapai baik dalam IT maupun dalam
pikiran masyarakat. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan
industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang
memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi dalam menunjang pengembangan yang
dapat meningkatkan ketertarikan para investor untuk bergabung dengan perbankan
syariah yang tentunya ketertarikan tersebut dengan diiringi permodalan yang
memadai untuk pembangunan proyek-proyek yang besar. Dengan
progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset
lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran
industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin
signifikan.
Dengan demikian
dapat ditarik kesimpulan bahwa ketidak tertarikan atau ke alergian para
investor dengan perbankan syariah adalah karena minimya pengetahuan akan
produk-produk yang ditawarkan dan label syariah yang dimana hal tersebut
dianggap hanya digunakan oleh agama tertentu, saat ini sebagian besar
masyarakat hanya melihat bahwa nilai tambah bank syariah adalah lebih halal dan
selamat, lebih menjanjikan untuk kebaikan akhirat, dan juga lebih berorientasi
pada menolong antar sesama dibandingkan dengan bank konvensional. Kurangnya
dalam pemahaman tentang produk-produk yang terdapat dalam bank syariah serta
minimnya edukasi yang mereka dapatkan memberikan persepsi yang berbeda mengenai
produk bank syariah. Sehingga
masyarakat dan para investor yang tidak tahu produk-produk bank syariah
tentunya tidak akan berminat untuk menggunakan jasa bank syariah. Dan mereka beranggapan
bahwa fasilitas penunjang yang diberikan masih kalah dengan fasilitas yang
ditawarkan oleh bank konvensional. Dimana hal tersebut didukung dengan ketertarikan nasabah pada
perbankan syariah masih didominasi oleh faktor idealitas bukan objektifitas
kualitasnya, hingga mereka lebih tertarik menggunakan pembiayaan jangka pendek
yang beresiko lebih kecil dibandingkan mudharabah atau musyarakah yang
bersifat jangka panjang. ketidak cocokan budaya dimana
hasil dari adopsi perbankan syariah yang ada di Malaysia maka wajar jika ada, oleh sebab itu masalah
pengembangan produk perlu dikembalikan lagi kedalam konsep mu’amalah islam yang
universal. Baik belum
tersebar luasnya kantor-kantor perbankan syariah, minimnya SDI (Sumber Daya
Insani) yang
paham akan praktisi bank syariah, baik sisi pengembangan bisnis maupun sisi
syariah, dan dalam permodalan perbankan syariah masih belum memadai dan biaya
dana yang mahal yang berdampak pada keterbatasan segmen pembiayaan. Selain itu,
mayoritas perbankan syariah di Indonesia juga masih di level BUKU 2 sehingga
mereka hanya bisa masuk pada proyek infrastruktur skala kecil. Dampaknya,
secara umum bank syariah tidak se-efisien bank konvensional. Kurangnya inovasi di
bidang produk dan layanan pada bank syariah, pemasaran dan pengembangan bisnis
yang dimiliki bank syariah masih lemah, dan kurang memadainya fasilitas atau
infrastruktur teknologi informasi (IT), itulah yang membuat para investor
enggan untuk bergabung pada perbankan syariah. Padahal hal tersebut merupakan
prasyarat penting keberhasilan lembaga keuangan dan dalam menarik minat
investor untuk bekerja sama dalam bidang perbankan syariah. Maka dengan itu,
perbankan syariah harus meningkatkan kualitas SDI (Sumber Daya Insani) untuk
meningkatkan inovasi produk dan untuk membuat masyarakat paham dan mengerti
akan produk-produk yang ditawarkan dengan didukung teknologi informasi (IT)
yang mumpuni. Dimana hal tersebut akan memperoleh keberhasilan dan meningkatkan
daya saing lembaga keuangan yang berbasis syariah dan dapat menarik minat
investor untuk bekerja sama dalam bidang perbankan syariah yang kemungkinan
besar akan mengalahkan bank konvensional.
[1] https://ekbis.sindonews.com
[2] Amir, Mu’allim,
“Persepsi Masyarakat Terhadap Lembaga Keuangan Syariah”dalam jurnal
“AL-Mawarid” Edisi X Thaun 2003, 22-23
[3] Maulana Hamzah,
Pengembangan Perbankan Syariah Secara Objektif Dan Rasional Dengan
Pendekatan Mekanisme Pasar”, 26-27, dalam jurnal ekonomi islam La-Riba VOL.
II, No. 1, juli 2008
[4] Aam Slamet
Rusydiana, “Analisis Maslah Pengembangan Perbankan Syariah Di Indinesia:
Aplikasimetode Analitic Network Process”, 241 dalam jurnal Jurnal bisnis
dan managemen, VOL. 6, oktober 2016