Kamis, 25 Januari 2018

MAKALAH FILSAFAT ISLAM KOTEMPORER HASSAN HANAFI



BAB I
A.    Latar Belakang
Dalam sejarah dan kebudayaan  Islam di bagi dalam beberapa periodesasi. Pada periode klasik peradaban islam sangat maju, dilihat dari ilmu pengetahuan, kebudayaan, artitekstur yg ada pada masa itu sangat maju. Padahal di dunia barat masih gelap gulita tentang ilmu pengetahuan, kebudayaan. Bisa di katakan pada masa itu barat sangat tertinggal sekali dengan dunia Islam. Mulai pada pertengahan Barat sudah mulai bangkit sedangkan islam mulai terpuruk akibat dari serangan bangsa mongol. Ilmu pengetahuan, kebudayaan dan bahkan kehidupan di dunia islam bisa di bilang mati. Pada masa periode modern ini islam mulai bangkit dari keterpurukan, mengejar ketertinggalan dari dunia barat.
Kebangkitan-kebangkitan ini berasal dari dunia Arab. Banyak para tokoh yang mulai melakukan penggerakan untuk bisa bangkit dan melawan terhadap keadaan yang terpuruk. Para tokoh ini ada yang melakukan gerakan fisik untuk melakukan revolusioner dan ada pula tokoh yang lebih suka mengeluarkan ide-idenya untuk membangkitkan semangat dan menimbulkan kemauan untuk berubah. Ada pula tokoh yang menggabungkan antar keduanya antara perjuangan fisik dan gerakan pemikiran.[1]
Pada kesempatan kali ini akan dicoba di jabarkan  tentang seorang tokoh revolusioner mulai dari biografi, setting sosial, pemikirannya, karya-karyanya yang sampai saat ini masih bisa kita rasakan pengaruhnya, yaitu tentang filsafat islam kotemporer tokoh Hasan Hanafi.
B.     Rumusan Masalah
  1. Bagaimana Biografi Hassan Hanafi?
  2. Bagaimana pemikiran-pemikiran filsafat Hassan hanafi?
  3. Apa saja karya-karya Hassan hanafi?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    BIografi Hassan Hanafi
Hassan Hanafi –untuk berikutnya ditulis Hanafi- dilahirkan di kota Kairo, 13 Februari 1935 M. Pendidikannya di awali dipendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, Kairo, selesai tahun 1952. Selama di Tsanawiyah ini sudah aktif mengikuti diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, sehingga tahu tentang pemikiran yang dikembangkan dan aktifitas sosial yang dilakukan. Selain itu juga mempelajari tentang pemikiran Sayyid Qutub tentang keadilan sosial dan keislaman.[2]
Tahun 1952, hanafi melanjutkan studi di Departement Filsafat Univesitas Kairo, selesai tahun 1956, ia berhasil menyelesaikan program Master dan Doktornya sekaligus dengan tesis “ Les methodes d’Exegeses; Essei Sur La Sciens des Fondamental de la comprehension ilmu ushul figih dan desertasin L’Exegese de la phenomenologie, L’etat ectual de la mrthode phenomenologie et son application au pheonomene religiux ”.
Karir akademiknya dimulai tahun 1967 ketika diangkat menjadi Lektor dan kepala lektor pada tahun 1973, profesor filsafat (1980) pada jurusan Filsafat Universitas Kairo, serta disertai sebagai ketua jurusan Filsafat pada Universitas yang sama. Selain itu Hanafi juga mengajar di berbagai negara, seperti Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelpia AS (1971-1975), Universitas Kuawit (1979), dan Universitas Fez Maroko (1982-1984).[3]
Hasan Hanafi adalah seorang yang intelektual yang dalam wawasan terakhir ini nalar kritisnya banyak mewarnai gerak pemikiran intelektual muda Islam Indonesia. Ia adalah pemikir muslim terkemuka dengan proyek pembangunan peradapan islam mendatang. Disini ia membangun segitiga emas pemikiran Islam yang dipandang akan memberikan spirit bagi kebangkita umat islam. Sikap terhadap tradisi barat, dan sikap terhadap realitas. Orientasinya adalah menyandingkan “tradisi”dan “modernitas”.
Perhatian Hasan Hanafi terhadap filsafat islam bermula dikampus sebelum berangkat ke Prancis. Di luar kampus ia membaca Hasan al-Bana, Syys Quthub, Abdul Hasan an-Nadwi, Muhammmad Al-Ghazali dan pemikir-pemikir Muslim kontemporer lainnya. Saat itulah ia merasakan sesuatu terjadi pada dirinya, ia menyadari kebangkitan islam dan umatnya, menyadari eksistensi, kehidupan, realitas, masyarakat, negara, masa depan, dan misi kehidupannya.[4]
Ia dikenal sebagai figure yang menguasai dengan baik tradisi pemikiran Islam. Dengan kemampuan intelektualnya itu, ia berusaha merekontruksi pemikiran Islam ke arah yang dapat membebaskan kauim muslimin dari segala bentuk penindasan. Hasil rekrontruksi pemikiran Islam ituah yang disebutnya Al-Yasar Al-Islami (Kiri Islam). Jurnal yang diterbikannya untuk menyebarluaskan gagasannya juga diberi nama yang sama. Meskipun hanya sempat terbit sekali, yakni pada Januari 1981, namun kemunculannya yang sekilas itu tidak dapat menghapus begitu saja makna kehadiran ide Kiri Islam itu dalam khazanah intelektual Islam.[5]
Jika dilihat dari kaca mata lain, Hanafi dibesarkan dalam lingkungan keluarga musisi.Hal ini terbukti bahwa Hanafi pernah bercita-cita ingin menjadi seorang musisi. Menurut Hanafi, musik adalah suatu wadah untuk mengekspresikan keadaan jiwa di hati seseorang. Namun, pada perkembangan berikutnya, Hanafi bergeser cenderung ke kajian filsafat.Di dalam filsafat Romantisme, Hanafi menemukan perpaduan antara keduanya, yakni  intelektualitas dan estetika.Nuansa Filsafat ini, dapat ditemukan dalam filsafat Hegel, Fichte, Schelling, Kierkegard dan Bergson.[6]
B.     Garis Besar Pemikiran
Hanafi berpendapat, bahwa kiri islam berakar pada dimensi revolusioner dari khazanah intelektual lama, karena itu rekonstruksi, pengembangan dan pemurnian khazanah itu sangat penting dilakukan, dimana khazanah tersebut terdiri dari tiga macam ilmu pengetahuan:
1.      ilmu-ilmu normatif rasional (al-ulum al-naqliyah al-aqliyah) contohnya ilmu ushul ad-din, ilmu ushul al-fiqih, dan ilmu tasawuf.
2.      ilmu-ilmu rasional semata (al-aqliyah) contohnya matematika, astronomi, fisika, kimia, kedokteran dan farmasi.
3.      ilmuilmu normatif tradisional (al-naqliyah) contohnya ilmu al-quran, ilmu hadist, sirah nabi, fiqih dan ilmu tafsir.[7]
Garis pemikiran Hasan Hanafi terangkum dalam proyek besar yang sedang dibangunnya, yaitu Al-Turasat wa al-Tajdid (Tradisi dan pembaharuan).proyek peradaban yang dicanangkan oleh Hasan Hafani ini memiliki tiga concern yaitu
1.      Rekrontruksi terhadap seluruh warisan Intelekrual Islam
Agenda pertama dari mega-proyek Hanafi adalah “sikap kita terhadap tradisi lama”, yang diwujudkan dalam bentuk rekrontuksi terhadap seluruh warisan intelektual.
2.      Oksidentalisme
Oksidentalisme yang secara harfiah berarti hal-hal yang berhubungan dengan barat.

3.      Metodologi tafsir/hermeneutika
Hanafi menggunakan hermeunetika sebagai metodologi untuk memahami Al-Quran. Menurut Hanafi bukan hanya berarti “ilmu interpretasi” yaitu suatu teori pemahaman, tetapi juga ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak tingkat perkataan samapi tingkat dunia, juga tranformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.[8]
Kiri islam menyepakati lima prinsip mu`tazilah (usul khamsah). Dan berusaha merekonstruksi prinsip mu`tazilah itu setelah tenggelam pada abad 5 H. semenjak al-ghazali menyerang ilmu – ilmu rasional dan dominasi tasawuf yang berjalan dengan Asy`ariyah hingga masa gerakan reformasi islam. Kita mengintroduksi mu`tazilah, karena kita mengembangkan rasionalisme, kebebasan, demokrasi dan eksplorasi alam, dan juga mengelaborasi khawarij, kita mendukung revolusi islam dan teguh dalam merebut hak – hak rakyat dan mengembalikan martabat mereka.
Menurutnya, kita banyak menyeru kepada perbuatan adalah syarat keimanan agar umat islam terus berkarya, sesuai dengan semboyan “sedikit bicara banyak bekerja Hanafi mengikuti paradigma kajian fiqih maliki karena ia menggunakan pendekatan kemaslahatan (masalah mursalah serta membela kepentingan kaum muslimin). Sebagai contoh Umar ibn khattab adalah imam mujtahid, pembela kemaslahatan umat muslimin dan mengetahui kemaslahatan itu meskipun beliau belum mendapat petunjuk wahyu sehingga kemudian baru datang dan membenarkan pendapatnya.
Kiri islam bukan mazhab fiqih baru, namun ia memilih diantara berbagai mazhab dan berpendapat bahwa malikiyah lebih dekat kepada realitas dan memberikan keberanian kepada mujtahid saat ini untuk mengambil keputusan berdasarkan kemaslahatan umum, bukan fiqh hanafi yang hanya dominan kepada dimensi kewajiban, atau syafi`iyah yang hanya mencoba menggabungkan antara maliki dan hanafi atau kelompok hijaz dan irak.[9]
Kiri islam bermazhab pada akar esensi malikiyah, bukan fiqh hambali yang hanya memegang validitas teks semata dan kami telah cenderung menghindari penerapan teks yang tidak proporsional. Ini bukan berarti kiri islam melakukan diskriminasi atas mazhab-mazhab fiqh tersebut tapi untuk mengembalikan umat muslimin kepada sumber pertamanya. Para pendahulu telah berijtihad, maka kinipun harus berijtihad.
Menurut hanafi, bahwa keberanian kita ini berdasarkan realita dan kemaslahatan umum, kita harus bercermin kepada malikiah. Penggunaan akal secara optimal dalam interpretasi teks bercermin pada hanafiyah. Pemaduan rasio dan realitas kita bercermin pada syafi`iyah dan komitmen terhadap teks bercermin pada hambaliyah. Kita berpendapat bahwa teks adalah refleksi atas realitas. Tugas kiri islam juga melakukan kajian kritis atas seluruh tradisi legislasi (tasyri`). Kita menerima apa yang terdapat dalam al-quran dan sunnah yang shahih, berarti menerima prinsip-prinsip kemaslahatan itu, kita melakukan ijtihad.
C.     Pemikiran Filsafat
a.       Ijma`
Hanafi berpendapat, bahwa ijma` yang dibuat dalam suatu kurun tertentu tidak selalu sesuaidengan kurun waktu berikutnya, karena perubahan situasi.Ijma` dengan demikian hanya dapat diterapkan pada masanya.Kita menetapkan hokum dengan kemaslahatan. Kemaslahatan adalahprinsip penetapan hokum. Dari sinilah kita bangun komitmen kita pada imam malik ibn anas dan prinsip kemaslahatan sebagai prinsip kritis atas teks al-quran dan sunnah, ijma` dan ijtihad para fuqaha. Kita pertemukan ijtihad dengan prinsip keempat sebagai prinsip dasar dengan prinsip-prinsip dasar lain yaitu Al-quran.

b.      Filsafat
Menurut hanafi, filsafat mengikuti paradigma ibn rusyd yang menghindari illuminasi dan metefisika, dengan mendayagunakan rasio untuk menganalisis hokum-hukum alam.Filsafat rasional klasik yang dirintis oleh al-kindi dan bertumpu pada rasional ilmiah yang memandang filsafat sebagai dasar agama, menguasai hukum alam dan menundukannya bagi kemaslahatan manusia.[10]
c.       Tasawuf
Menurut hanafi, kiri islam menolak tasawuf serta memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum muslimin yang ditengarai antara lain aleh ibn taimiyah. Tasawuf sesungguhnya tumbuh sebagai suatu gerakan yang anti kemewahan, arogansi dan kompetisi duniawi, setelah perlawanan partai – partai oposisi dari imam ahli bait yang dimulai dari saat ali dan husein r.a mengalami kekalahan. Maka ketika kemudian pemerintahan dinasti umayyah mulai mapan dan ribuan kaum muslimin yang dipinpin para imam dan sahabat gugur, maka banyak umat islam yang tulus meninggalkan keduniaan yang mereka pandang sebagai penyebab perpecahan dalam barisan umat islam. Prinsip mereka adalah untuk menyelamatkan diri dan menjaga kesucian bathin.
d.      Al-Aqliyah
Tentang al-aqliyah (ilmu – ilmu rasional) kiri islam mendapatkan akarnya pada ilmu – ilmu rasional murni dalam khazanah klasik kita. Ilmu – ilmu itu ditegakkan oleh rasio, transendensi telah mampu memberi kekuatan kepada rasio untuk menuju kepada yang tak terbatas. Pendahulu kita karena pengguna rasio dan sikap apresiatif terhadap alam dan hukum – hukumnya telah menguasai teori – teori ilmiah dalam matematika, fisika, arsitektur, kimia, kedokteran, biologi, farmasi dan sebagainya, yang hampir setara dengan ilmu-ilmu modern. Kiri islam berpretensi untuk mengangkat ilmu-ilmu klasik itu secara bertahap, sehingga kita tidak lagi tergantung dengan penemuan -penemuan yang lain. Ilmu pada dasarnya adalah bagaimana mengaktifkan rasio dan alam. Ilmu bukanlah barang jadi, yang hanya diterapkan dan dipindahkan dari satu tempat ketempat lain.
Ilmu-ilmu sosial, kiri islam juga berakar pada ilmu-ilmu kemanusiaan yang telah diletakkan dasar -dasarnya oleh pendahulu kita, seperti ilmu bahasa, sastra, geografi, sejarah, psikologi dan sebagainya, sesuatu yang selalu kita ulang -ulang tanpa mengetahui basis teoritiknya, misalnya bagaimana kita berupaya merekonstruksi relitas sejarah hanya melalui metode riwayat dalam ilmu hadist,atau mengkaji syariat sebelum kita dalam ilmu fiqh, dan cerita-cerita kenabian, hari kiamat dan kepeminpinan dalam ilmu usul addin, dan mengkaji tingkat-tingkat spiritual dalam ilmu tasawuf dan mengkaji fase-fase sejarah. Kita mencoba menciptakan teori-teori sejarah baru yang berkaitan dengan masyarakat islam, bertitik tolak dari ibn khaldun yang menggambarkan dinamika bangsa – bangsa dalam empat fase : tumbuh, berkembang, jaya dan hancur.[11]
e.       Al-ulumu al-naqliyah al-khalishah
Al-ulumu al-naqliyah al-khalishah (ilmu – ilmu tradisional murni), yaitu ilmu pertama sekali berkembang disekitar wahyu: ilmu – ilmu al-quran, al-hadist, tafsir dan fiqh. Beberapa ilmu tersebut dapat dikembangkan secara kontemporer, misalnya al-quran terdapat asbab al-nuzul yang dimaksudkan untuk mengutamakan realitas, ilmu nasikh wa mansukh, ilmu makiyah madaniyah untuk mengembangkan konsep system, aqidah syariah dan praktis.semua ilmu tersebut memungkinkan untuk dikembangkan menjadi ilmu eksperimen seperti sosiologi, historiografi, sistem politik dan ekonomi.
f.        Ilmu Hadist
Mengenai ilmu hadist hanafi berpendapat, bahwa kita lebih mementingkan materi atau teks daripada sanad (silsilah perawi). Mungkin kita tidak mampu melakukan kritik sanad (seperti yang dikembangkan pendahulu kita dalam rijal al-hadist), tetapi kita mampu melakukan kritik matan dilihat dari apakah sebuah teks masuk akal atau tidak, kewajaran dan sebagainya, kita mampu melakukan kritik internal – internal setelah pendahulu kita mengembangkan tradisi eksternal, terutama karena rasa kebangsaan sering kali dibentuk dari teks hadist yang diterapkan tanpa melalui kritik internal. Banyak hadis yang nilainya lemah (hadist-hadist masyhur, mursal, maqtu`,dha`if dan ahad) digunakan dalam kehidupan sehari – hari, sementara hadist yang valid yang sesungguhnya sudah teradapat dalam al-quran diabaikan. Maka karena itu, prioritas kita adalah pada makna hadist, bukan pada perawinya, dan selanjutnya memprioritaskan pada kata-kata nabi daripada pribadinya. Jangan sampai meniru ahli kitab yang mementingkan sirah nabi mereka dan melupakan ajaran-ajaran yang telah diberikan oleh Nabi-nabi mereka tersebut.[12]
D.    Karya Hassan Hanafi
Karya Hasan Hanafi dapat dibagi kepada tiga periode. Periode pertama berlangsung pada tahun 60-an, periode kedua tahun 70-an dan periode ketiga tahun 80-an sampai 90-an. Pada periode pertama, khususnya awal dasawarsa 60-an, pemikiran Hasan Hanafi dipengaruhi oleh paham-paham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik-populistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabik. Karya-karya tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Les Methode d’Exegese Essei Sur La Science des Fondament de La Comprehension, ‘Ilm Ushl Fiqh (1965)
2.      L’Exegese de la Phenomenologie L’etat actuel de la methode Phenomenologie et son application ua Phenomene Religiux (1965)
3.      La Phenomenologie d L’Eexgese : essei d’Une Hermenuetique existentille a partidu Nouvea Testanment (1966)
Pada periode kedua, yaitu tahun 70-an, Hasan Hanafi memberikan perhatian utama pada sebab-sebab kekalahan bangsa Arab ketika berperang melawan Israel pada tahun 1967. Karya-karyanya adalah sebagai berikut :
1.      Qadhaya Mu’ashirah fi Fikrina al-Mu’ashir (1977), yang merupakan kumpulan dari tulisan-tulisannya pada berbagai majalah, seperti Al-Khatib, Al-Akhbar, Al-Adab, Al-Fikr al-mu’ashir dan Minbar al-Islam.
2.      Qadhaya Mu’ashirah fi Fikr al-Gharbi al Mu’ashir (1977)
3.      Religious Dialogue and Revlution (1977)
4.      Dirasat Islamiyah (1978) yang memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilmu keislaman klasik, seperti ushul fiqih, ilmuilmu ushuludin dan filsafat.
Pada periode terakhir yaitu tahun 80-an sampai tahun 90-an, Karya-karya Hasan Hanafi memiliki latar belakang politik yang relatif lebih stabil dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Diantara karya-karyanya adalah sebagai berikut :

1.      Al-Turats wa Al-Jadid
2.      Al-Yassar al-Islami
3.      Dirasat Falsafiyah (1988)
4.      Min Al-Aqidah ila Al-Tsawrah (1988)
5.      Hiwar al-Masyriq wa al-Magrib (1990)
6.      Islam in the Modern World (1995)
7.      Humum al Fikr wa Al-Wathan (1997)
8.      Jamaludin Al-Afghani (1997)
9.      Hiwar al-Ajyal (1998)
Selain dalam tiga periode tersebut, masih ada lagi karya-karya lain Hasan Hanafi yang masuk dalam kategori Karya terjemahan, saduran dan suntingan. Diantara karya-Karya tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Muhammad Abu Husain Al-Bashri
2.      Al-Mu’tamad fi ‘Ilm Ushul Al-Fiqh (1964-1965)
3.      Al-Hukumah al-Islamiyah li Al-Imam Khamaini (1980)
4.      Jihad Al-Nafs aw Jihad al-Akbar li Al-Imam Khamaini (1980)
5.      Namadzij min al-Falsafah al Masihiyyah fi Al-Ashr al Wasith
6.      Al-Mu’allim li Aghustin : Al iman al-Basits ‘an al-Aql la Taslim, Al wujud wa al-Mahiyah li Tuma al-Akwini (1968)
7.      Spinoza : Risalah fi al-Lahut wa al-siyasah (1973)
8.      Lessing : Tarbiyah fi al-Jins al-Basyari wa a’mal ukhra (1977)
9.      Jean-Paul Sarte : Ta’ali al-‘ana Al-Mawjud (1978)[13]

 BAB II
 KESIMPULAN

Hasan Hanafi adalah seorang yang intelektual yang dalam wawasan terakhir ini nalar kritisnya banyak mewarnai gerak pemikiran intelektual muda Islam Indonesia. Ia adalah pemikir muslim terkemuka dengan proyek pembangunan peradapan islam mendatang. Disini ia membangun segitiga emas pemikiran Islam yang dipandang akan memberikan spirit bagi kebangkita umat islam. Sikap terhadap tradisi barat, dan sikap terhadap realitas. Orientasinya adalah menyandingkan “tradisi”dan “modernitas”.
Kiri islam menyepakati lima prinsip mu`tazilah (usul khamsah). Dan berusaha merekonstruksi prinsip mu`tazilah itu setelah tenggelam pada abad 5 H. semenjak al-ghazali menyerang ilmu – ilmu rasional dan dominasi tasawuf yang berjalan dengan Asy`ariyah hingga masa gerakan reformasi islam. Kita mengintroduksi mu`tazilah, karena kita mengembangkan rasionalisme, kebebasan, demokrasi dan eksplorasi alam, dan juga mengelaborasi khawarij, kita mendukung revolusi islam dan teguh dalam merebut hak – hak rakyat dan mengembalikan martabat mereka.
E.     PENUTUP
Demikian makalah yang kami susun tentang Filsafat Islam Kontemporer II Hasan Hanafi. kritik dan saran yang membangun kami harapkan untuk perbaikan makalah yang akan datang.







[1] Sirajjuddin Zar, filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, ( jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2004)hlm. 15
[2] JM. Ridlwan Hambali,“Hassan Hanafi: Dari Islam Kiri, Revitalisasi Turats,” dalam Islam Garda Depan, Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, hlm. 219
[3] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (pustaka pelajar/ Yogyakarta,2004)hlm. 37-54
[4] Hassan Hanafi, Islamonologi 3 dari Teosentrisme dan Postmodernisme,(Lkis;Yogyakarta,2004)Hlm. X-Xii
[5]Sholihan, pernak-pernik Filsafat Islam dari Al-Farabi sampai Al-Faruqi (Semarang; Walisonggo Press, 2010)hlm. 123-125
[6] Hassan Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Terj. M.Najib Buchori, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 231
[7] M.Chalil, Biografi, Empat serangkai imam mazhab. Jakarta , bulan bintang, 1995, hal 77,123,244,321
[8] Sholihan, pernak-pernik Filsafat Islam dari Al-Farabi sampai Al-Faruqi (Semarang; Walisonggo Press, 2010)hlm. 157-166
[9] M.Chalil, Biografi, Empat serangkai imam mazhab. Jakarta , bulan bintang, 1995, hal 138-139.

[10] Ibid hal 138-140
[11] Kazuo shimogaki, (Yogyakarta : pustaka pelajar)1994. hal 95-99
[12] Ibid (Yogyakarta : pustaka pelajar)1994. hal 95-100
[13] Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme. Lkis. Yogyakarta : 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat