Kamis, 25 Januari 2018

MAKALAH PRODUK MUDHARABAH BAGI NASABAH BANK SYARIAH



MAKALAH
PRODUK MUDHARABAH BAGI NASABAH BANK SYARIAH
“Apek Hukum Bank Islam”

Berkembangnya bank syariah di Indonesia sebagai pilihan bagi umat Muslim untuk tetap berhubungan dengan bank selaku lembaga intermediasi. Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini banyak masyarakat yang telah beralih ke bank syariah karena ingin menghindari bunga riba. Sistem bagi hasil dianggap lebih menetramkan jiwa pada nasabah. Produk yang dimiliki bank syariah dalam penghimpunan dana nasabahnya mencakup produk mudharabah dan musyarakah, yang memberikan return berupa bagi hasil. Nisbah dari bagi hasil ditentukan di awal akad, antara shahibul maal dan mudharib, sebelum keduanya menyetujui akad yang akan dilakukan.
Keunggulan dari produk ini, jika mendapatkan laba atas dana yang diinvestasikan pada suatu bisnis oleh mudharib, maka keduanya akan mendapatkan bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati kedua belah pihak. Lain halnya ketika bisnis yang dijadikan media investasi tersebut mengalami kerugian, maka antara shahibul maal dengan mudharib akan merasakan hal yang sama, yakni sama-sama rugi. Disini menariknya produk mudharabah menggunakan sistem bagi hasil, selain berorientasi pada profit oriented juga mengacu pada falah oriented. Sehingga antara shahibul maal dan mudharib tidak akan merasa dirugikan atau diuntungkan di salah satu pihak.
Namun belum banyak masyarakat Indonesia yang memahami akan produk mudharabah ini, karena kurangnya edukasi terhadap perbankan syariah. Akibat dari hal ini adalah masih minimnya nasabah yang memilih produk mudharabah.
Jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana, dan larangan bagi bank syariah tertuang dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan. Selain itu terdapat pula aturan tersebut pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah, yang mana telah terjadi perubahan pada PBI 10/16/2008. Selain itu Dewan Syariah Nasional juga mengeluarkan fatwa-fatwa nya tentang jenis kegiatan usaha bank syariah.
Persyaratan Kegiatan Usaha dalam Mudharabah [1]
Pasal 21
Kegiatan usaha yang dapat dijalankan dalam Mudharabah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan/atau peraturan perundang-undangan; dan
b. tidak dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa yang akan datang yang belum tentu terjadi.
Mudharabah adalah akad perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan kerja sama usaha. Satu pihak akan menempatkan modal sebesar 100% yang disebut shahibul maal, dan pihak lainnya sebagai pengelola usaha, disebut dengan mudharib. Bagi hasil dari usaha yang dikerjasamakan dihitung sesuai dengan nisbah yang disepakati antara pihak-pihak yang bekerja sama.[2]
Menurut Hana, produk mudharabah akan mendorong aliran deras pembiayaan dari bank-bank syariah ke proyek-proyek pemerintah yang berbasis infrastruktur. Seperti proyek pembangunan jalan tol, serta pengadaan listrik yang notabene berjangka waktu panjang.[3]
Produk mudharabah dapat dijadikan sebagai alternatif investasi bagi para nasabah yang memiliki kelebihan dana, namun bingung bagaimana cara mengelola dana tersebut agar mendatangkan return, sehingga dana tersebut tidak menganggur dan habis begitu saja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi di era sekarang, investasi tidak hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki banyak dana seperti pembisnis, pegawai. Tapi, untuk saat ini saja siapapun dapat berinvestasi untuk masa depan mereka, entah itu dari kalangan ibu rumah tangga maupun mahasiswa. Investasi itu penting sebagai tabungan di masa mendatang.
Padahal produk mudharabah dapat memberikan nilai tambah pada gerakan ekonomi secara langsung, tetapi anehnya bank jarang untuk memilih atau menggunakan produk mudharabah. Karena dalam kondisi real di Indonesia, kendati mudharabah diakui mencapai rata-rata 14,33% dari total pembiayaan yang dilakukan perbankan syariah, maka harus dipahami bahwa disini mudharabah yang dilakukan menempuh prosedur yang dapat diperdebatkan.[4]
Nasabah awam kebanyakan lebih di arahkan ke produk wadiah dengan sifat titipan murni yang mana bank mempunyai hak untuk mengelola dana wadiah tersebut dalam kegiatan investasi atau bisnis. Nasabah hanya akan mendapatkan bonus ketika dana wadiah tersebut mendapatkan profit, namun berapa persen profit tersebut tidak dapat dipersentasikan karena bonus ini tidak boleh di akadkan di awal. Juga dalam produk wadiah, nasabah mendapatkan keuntungan yakni bebas biaya yang dibebankan di akhir bulan. Lebih baiknya jika nasabah memilih produk mudharabah yang secara terang-terangan akan memberikan return dari dana atau modal yang nantinya akan di investasikan. Walaupun terkadang ada ruginya juga, tetapi pastinya bank akan lebih teliti memilih bisnis mana yang dapat menghasilkan profit, tentunya bisnis yang berorientasikan pada syariah.
Hampir tidak ada pembiayaan mudharabah yang tidak melibatkan konstribusi modal pihak mudharib. Ini tidak sesuai dengan aturan dasar mudharabah karena bahwa dalam perjanjian mudharabah maka modal finansial sesungguhnya menjadi tanggung jawab pemilik modal atau shahibul maal. Sebaliknya mudharib  hanya cukup bertanggung jawab pada sisi ketrampilan dan operasional saja.[5]
Hak Dan Kewajiban Pihak dalam Mudharabah[6]
Pasal 18
Hak dan kewajiban pihak pemilik modal (shahib al-mal) adalah sebagai berikut:
a. berhak mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan oleh pihak pengelola usaha (mudharib);
b. berhak menerima bagian keuntungan tertentu yang disepakati dalam Mudharabah;
c. berhak meminta jaminan dari pihak pengelola usaha (mudharib) atau pihak ketiga yang dapat digunakan apabila pihak pengelola usaha (mudharib) melakukan pelanggaran atas Mudharabah.
d. wajib menyediakan dan menyerahkan seluruh modal yang disepakati;
e. wajib menanggung seluruh kerugian usaha yang tidak disebabkan oleh kelalaian, kesengajaan, dan/atau pelanggaran pengelola usaha atas Mudharabah; dan
f. wajib menyatakan secara tertulis bahwa pihak pemilik modal (shahib al-mal) menyerahkan modal kepada pihak pengelola usaha (mudharib) untuk dikelola dalam suatu usaha sesuai dengan kesepakatan (pernyataan ijab).
Pasal 19
Hak dan kewajiban pihak pengelola usaha (mudharib) adalah:
a. berhak mengelola kegiatan usaha untuk tercapainya tujuan Mudharabah tanpa campur tangan pihak penyedia modal;
b. berhak menerima bagian keuntungan tertentu sesuai yang disepakati dalam Mudharabah;
c. wajib mengelola modal yang telah diterima dari pihak pemilik modal (shahib al-mal) dalam suatu kegiatan usaha sesuai kesepakatan;
d. wajib menanggung seluruh kerugian usaha yang disebabkan oleh kelalaian, kesengajaan, dan/atau pelanggaran pihak pengelola usaha (mudharib); dan
e. wajib menyatakan secara tertulis bahwa pihak pengelola usaha (mudharib) menerima modal dari pihak pemilik modal (shahib al-mal) dan berjanji untuk mengelola modal tersebut dalam suatu usaha sesuai dengan kesepakatan (pernyataan qabul).
Nisbah adalah proporsi bagi hasil antara nasabah dan bank syariah yang ditentukan di awal akad. Jika semisal bank menawarkan nisbah bagi hasil tabungan iB sebesar 70:30, artinya nasabah akan memperoleh bagi hasil sebesar 70% dari hasil investasi bank syariah lewat pengelolaan dana masyarakat di sektor riil.

Pembagian Keuntungan dalam Mudharabah
Pasal 22
Pembagian keuntungan dalam Mudharabah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. keuntungan Mudharabah merupakan selisih lebih dari kekayaan Mudharabah dikurangi dengan modal Mudharabah dan kewajiban kepada pihak lain yang terkait dengan kegiatan Mudharabah;
b. keuntungan Mudharabah dibagikan kepada pihak pemilik modal (shahib al-mal) dan pihak pengelola usaha (mudharib) dengan besarnya bagian sesuai rasio/nisbah yang disepakati; dan
c. besarnya bagian keuntungan masing-masing pihak wajib dituangkan secara tertulis dalam bentuk rasio/nisbah. [7]
Dalam penentuan nisbah bagi hasil dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: jenis produk simpanan, perkiraan pendapatan investasi dan biaya operasional bank. Hanya produk simpanan iB dengan skema investasi mudharabah yang mendapatkan return bagi hasil.
Hal yang pertama yang dilakukan bank adalah menghitung besarnya tingkat pendapatan investasi yang dapat dibagikan kepada nasabah. Ekspektasi pendapatan investasi ini dihitung dengan melihat peforma kegiatan ekonomi di sektor-sektor tujuan investasi. Hal inilah yang menyebabkan return investasi berbeda-beda. Dalam menentukan pendapatan investasi, bank syariah menggunakan berbagai indikator ekonomi dan keuangan termasuk indikator historis dari aktivitas investasi bank syariah yang telah dilakukan.
Dari hasil perhitungan tersebut, maka dapat diperoleh besarnya pendapatan investasi dalam bentuk equivalent rate. Contohnya bank syariah akan membagikan kepada nasabah sebesar 11 persen.
Setelah itu bank syariah menghitung investasi guna menutup biaya-biaya operasional sekaligus memberikan pendapatan yang wajar. Besarnya biaya operasional tergantung dari tingkat efisiensi masing-masing bank. Besarnya pendapatan yang wajar itu antara lain mengacu kepada indikator-indikator keuangan bank syariah seperti ROA (Return On Asset) dan indikator lain yang relevan. Dari perhitungan diperoleh bahwa bank syariah memerlukan pendapatan investais yang juga dihitung dalam equivalent rate misalnya sebesar 6 %.
Dari kedua angka tersebut, maka nisbah bagi hasil dapat dihitung. Porsi bagi hasil untuk nasabah adalah sebesar (11% dibagi (11%+6%)) = 0,65 atau sebesar 65%. Sementara bagi hasil untuk bank syariah sebesar (6% dibagi (11%+6%)) = 0,35 atau sebesar 35%.
Tetapi hal ini tidak perlu dilakukan oleh nasabah, karena perhitungan yang terlalu rumit. Namun, nasabah hanya perlu menanyakan berapa rate indikatif dari Tabungan iB atau Deposito iB yang diminatinya. Rate indikatif ini adalah nilai equivalent rate dari pendapatan investasi yang akan dibagikan kepada nasabah, yang dinyatakan dalam persentase misalnya 11% atau 12%. Setiap bank memiliki kebijakan perhitungan persentase yang berbeda-beda.[8]
Produk mudharabah sebagai kemudahan alternatif bagi nasabah bank syariah yang mempunyai keinginan untuk berinvestasi. Dalam investasi pada sektor-sektor bisnis yang mengutungkan bagi nasabah dan bank syariah, juga berimbas pada kemajuan perekonomian di Indonesia. Karena dalam suatu embangunan pastinya mereka memutuhkan suplay dana untuk menunjang pembangunan tersebut dan memperlancar proses dari pembangunan tersebut. Disini dana dari produk mudharabah akan dikelola oleh mudharib agar mendapatkan return berupa bagi hasil atas profit yang diterima. Dalam produk mudharabah ini, shahibul maal akan berkontribusi dalam kaitannya dengan modal usaha dan mudharib yang bertindak sebagai pengelola usaha tersebut. Walaupun sebenarnya dana tersebut akan di masukkan ke bisnis usaha lain yang bank syariah juga akan berpindah posisi sebagai shahibul maal. Untuk return yang diterima oleh kedua belah pihak, harus sudah ditentukan di awal akad, untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan di belakang ketika sudah berlangsung. Bagi hasil ini dapat memberikan tambahan dalam bentuk profit bagi nasabah, juga dapat memberikan ketentraman jiwa karena berorientasi pada pencapaian kemenangan di akhirat, dengan cara menghindarkan dari riba.




[1] Salinan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 53/POJK.04/2015 Tentang Akad Yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal.
[2]Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta: Kencana, 2011), 83.
[3] edition.cnn.com/ekonomi, diakses tanggal 1 November 2017.
[4] www.kompasianan.com, diakses tanggal 1 November 2017.
[5] www.kompasiana.com, diakses tanggal 1 November 2017.
[6] Salinan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 53/POJK.04/2015 Tentang Akad Yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal.

[7] Salinan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 53/POJK.04/2015 Tentang Akad Yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal.

[8] Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta: Kencana, 2011), 85.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat