Kamis, 25 Januari 2018

Makalah Fiqih Muamalah



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Agama islam adalah risalah (pesan-pesan) yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai petunjuk dan pedoman yang mengandung hukum-hukum sempurna untuk di pergunakan dalam menyelengarakan tata cara kehidupan manusia. Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global (khuthuuth ‘ariidhah), yakni makan-makan tekstual yang umum, yang mampu memecahkan problematika kehidupan manusia baik aspek ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah).

Kegiatan ekonomi yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari bahkan tanpa kita sadari, pinjam-meminjam sering kita lakukan. Berbicara mengenai pinjaman (‘Ariyah), penitipan (Wa’diah) dan temuan (Luqatah), yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan) dalam bahasa fiqihnya Al-Wadi’ah. Disini penulis akan memfokuskan untuk membahas Wa’diah,  ‘Ariyah dan Luqhatah.

B.       Rumusan Masalah
  1. Apa defisini Ariyah dan Dasar Hukumnya?
  2. Apakah definisi Wa’diah dan Dasar Hukumnya ?
  3. Apa definisi Luqatah dan Dasar Hukumnya?

C.      Tujuan Panulisan
  1. Mengetahui definisi Ariyah dan Dasar Hukumnya.
  2. Mengetahui definisi Wa’diah dan Dasar Hukumnya
  3. Menetahui definisi Luqatah dan Dasar Hukumnya


BAB II
PEMBAHASAN

1.                  Wadi’ah (Titipan)
  1. Pengertian Wadi’ah (Titipan)

Wadi’ah berasal dari bahasa arab. Berakar dari kata wad’u berarti meninggalkan dan wadi’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang ditinggalkan pada orang yang bukan pemiliknya untuk dijaga. Wadi’ah menurut bahasa adalah wadi’a asyai yang berarti meninggalkannya. Dinamai wadi’a asyai karena sesuatu yang ditinggalkan seseorang pada orang lain untuk dijaga dengan sebutan qadi’ah lantaran ia meninggalkannya pada orang yang menerima titipan. Barang yang dititipkan disebut ida’, orang yang menitipkan barang disebut mudi’ dan orang yang menerima titipan barang disebut wadi’.[1]

Dengan demikian maka wadi’ah menurut istilah adalah akad antara pemilik barang (mudi’) dengan penerima barang titipan (wadi’) untuk menjaga harta atau modal (ida’) dari kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta. Dalam tradisi fiqh Islam prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-wadi’ah. Al-Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.[2]

B.     Rukun Wadi’ah
Rukun wadi’ah menurut Hanafiyah adalah ijab dan kabul dengan ungkapan “saya titipkan barang ini”, atau dengan kalimat yang semakna dengan hal ini kemudian pihak lain menerimanya.[3] Syarat sayarat wadi’ah adalah:
a.       Dua orang yang berakad (orang yang menitipkan dan yang menerima titipan). Disyaratkan berakal dan mumayiz meskipun ia belum baligh,maka tidak sah wadi’ah terhadap anak kecil yang belum berakal dan orang gila.
b.      Wadi’ah (sesuatu yang di titipkan). Disyaratkan berupa harta yang bisa diserahterimakan, maka tidak sah menitipkan burung yang ada di udara.
c.       Shighat (ijab dan kabul), seperti “Saya terima”. Namun, tidak disyaratkan lafal kabul, cukup

C.    Syarat-syarat wadi’ah
a.    Barang titipan, syaratnya adalah Barang titipan itu harus jelas bisa dipegang dan dikuasai.
Maksudnya barang titipan itu bisa diketahui jenisnya, identitasnya dan bisa dikuasai untuk dipelihara.Kalau ia menitipkan budak yang kabur dantidak diketahui keberadaannya atau burung di udara yang tidak diketahuike mana arahnya atau harta yang jatuh ke laut yang tidak diketahui letaknya maka ini tidak dijamin.
[4]
b.    Pemilik barang, syaratnya adalah Pemilik barang itu harus sudah baligh, berakal dan cerdas (dapat bertindak secara hukum), tidak sah penitipan jika dilakukan oleh anak kecil walaupun dia sudah baligh, hal itu disebabkan karena dalam akad wadi’ah banyak mengandung resiko penipuan, selain itu orang yang melakukan penitipan tersebut juga harus dapat bertindak secara hukum.
c.    Pihak yang menyimpan, syaratnya adalahdengan perbuatan menerima barang titipan, atau diam.[5] Bagi penerima titipan harus menjaga barang titipan tersebut dengan baik dan memelihara barang titipan tersebut di tempat yang aman sebagaimana kebiasaan yang lazim berlaku pada orang banyak berupa pemeliharaan.
d.    Ijab qabul Akad ijab qabul di dalam wadi’ah yaitu ijabnya diucapkan dengan perkataan dan qabulnya dilakukan dengan perbuatan. Akad ijab qobul antara penitip dengan penerima titipan dapat dilakukan secara jelas atau tersirat asalkan bisa menunjukkan kalau perbuatan tersebut akan mengakibatkan ijab qabul. Seperti contoh “perkataan penitip kepada seseorang (penerima titipan) “saya titipkan”, dan penerima tiitpan menerima maka sempurnalah ijab qabul titipan secara jelas, atau seseorang datang dengan membawa sebuah pakaian kepada seseorang, penitip berkata “ini titipan kepadamu”, dan penerima titipan diam maka sahlah ijab qobul titipan secara tersirat”.[6]

D.    Sifat Akad Wadi’ah
Para ulama sepakat, menerima wadi’ah hukumnya sunah dan memelihara barang titipan mendapat pahala. Akad wadi’ah adalah amanah bukan dhaman(jaminan/ganti). Orang yang menerima titipan bertanggung jawab memelihara barang yang dititipkan kepadanya. Orang yang menerima titipan tidak wajib untuk mengganti atau menjamin barang titipan, kecuali wadi’ah itu mengandung ijarah atau penerima titipan berbuat sia-sia dan kesalahan dalam memelihara barang tersebut.[7] Demikian fatwa golongan Hanaifyah. Hal ini berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Daruquthni berbunyi:
Artinya : Dari Ibn Sirin sesungguhnya Suraih berkata: “Tidak ada kewajiban mengganti barang bagi orang yang menerima titipan yang tidak ada kesia-siaan”.
Pada hadis lain dijelaskan:
Artinya : Dari Amru Ibn Syuaib dari bapaknya dari kakeknya ia berkata, Rasulullah Saw. Bersabda: “siapa yang dititipkan suatu barang titipan maka tidak ada kewajibannya mengganti”.
Berdasarkan hadis ini, penerima titipan tidak berkewajiban mengganti (dhaman) barang titipan yang rusak.
Bersamaan dengan kewajiban memelihara barang wadi’ah bagi orang yang menerima barang wadi’ah, dia pun diwajibkan mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya ketika pemilik barang itu memintanya. Hal ini sesuai dengan QS An-Nisa’ (4: 58):
۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا

Artinya : Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk memerintahkan untuk memberikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya.
Titipan ataupun wadi’ah merupakan amanat terhadap orang yang menerima titipan. Orang yang menerima titipan wajib mengembalikan barang titipan kepada orang menitipkan ketika diminta.
2.                  Ariyah (Pinjaman)
  1. Pengertian Ariyah (Pinjaman)
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa adalah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat, yaitu:
1.                   Menurut Hanafiyah, ‘ariyah adalah: “Memilikkan manfaat secara cuma-cuma.”
2.                   Menurut Malikiyah, ‘ariyah adalah:
تمليك منفعة مؤ قتة لا بعو ض

“Memilikkan manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.”
3.                   Menurut Syafi’iyah, ‘ariyah adalah:
ابا حة الا نتفا ع من شخص فيه اهلية التبر ع بما يحن الا نتفا ع به مع بقاء عينه ليرده على المتبرع

“Kebolehan mengambil manfaat dari dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4.                   Menurut Hanabilah, ‘ariyah ialah: “Kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dan peminjam atau yang lainnya.”
5.                   Ibnu Rif’ah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘ariyah adalah: “Kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan.”

Dengan dikemukakannya definisi-definisi menurut para ahli fiqh diatas, kiranya dapat dipahami bahwa meskipun menggunakan redaksi yang berbeda, namun materi permasalahannya dari definisi tentang ‘ariyah tersebut sama. Jadi, yang dimaksud dengan ‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis). Bila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ‘ariyah.[8]

  1. Rukun dan Syarat Ariyah
Syarat-syarat ‘ariyah:
a.         Muir berakal sehat
Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang.
b.         Pemegang barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah.
c.         Barang (musta’ar)
Dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.
Rukun ‘ariyah yaitu:
1.    Mu’ir
a.       Mu’ir adalah pihak yang meminjamkan atau mengizinkan penggunaan manfaat barang pinjaman. Syarat mu’ir yaitu:
b.      Ahli at-tabarru. Yaitu perizinan pemanfaatan barang
Berstatus sebagai pemilik manfaat barang, meskipun tidak berstatus sebagai pemilik barang. Sebab obyek akad ‘ariyah adalah manfaat, bukan barang
c.       Mukhtar. Yakni akad ‘ariyah dilakukan atas dasar inisiatif sendiri, bukan atas dasar tekanan atau paksaan.
2.    Musta’ir
Musta’ir adalah pihak yang meminjamkan atau mendapat izin penggunaan manfaat barang. Syarat musta’ir yaitu:
a.    Sah menerima hak melalui akad tabarru’.
b.    Tertentu (mua’yan).
3.    Musta’ar
Musta’ar adalah barang yang dipinjamkan, atau barang yang manfaatnya diizinkan untuk dipergunakan musta’ir. Syarat musta’ar yaitu:
a.         Memiliki potensi bisa dimanfaatkan
b.        Manfaatnya merupakan milik pihak mu’ir
c.         Pemanfaatannya legal secara agama
d.        Manfaat yang memiliki nilai ekonomis (maqshudah)
e.         Pemanfaatannya tidak berkonsekuensi mengurangi fisik barang.
4.    Shighah
Shighah dalam akad ‘ariyah adalah bahasa interaksi meliputi ijab dan qabul yang menunjukkan perizinan penggunaan manfaat barang.[9]

  1. Macam – Macam Ariyah
Menurut Ulama Hanafiyah ‘ariyahterbagi menjadi empat macam yaitu :
  1. Ariyah Mutlaqah, yaitu pinjam meminjam yang tidak di kaitkan atau dibatasi oleh waktu dan cara pemanfaatan. Misalnya, seseorang berkata “Saya pinjamkan rumah ini kepada anda” , tanpa mengaitkan waktu dan batas pemanfaatan. Pembagian ini berimplikasi pada bebasnya peminjam untuk memanfaatkan ariyah
  2. Ariyah Muqayyadah, yaitu pinjam meminjam yang di kaitkan dengan waktu dan cara pemanfaatan, misalnya seorang berkata “Saya pinjamkan rumah saya ini selama 1 bulan dan pemanfaatannya hanya untuk memelihara barang”
  3. Ariyah yang dibatasi waktu pemanfaatan. Namun ia bebas dalam cara pemanfaatannya. Misalnya seorang berkata : “ Saya pinjamkan rumah ini kepada anda selama satu tahun “. Namun, tidak dibatasi cara pemanfaatnya
  4. Ariyah yang di batasi oleh pemanfaat, namun tidak dibatasi waktupemanfaatnya. Dalam pembagian ini, peminjam tidak boleh menfaatkan barang pinjaman menurut ketentuan yang ditetapkan pemilik barang.[10]
  1. Sifat Akad Ariyah
Menurut ulama Hanafiah, Syafi;iyah dan Hanabilah, status kepemilikan yang ada pada peminjam adalah kepemilikan yang ghair lazim (tidak mengikat) Pemilik barang dapat menarik kembali barang yang dipinjamkannya. Begitu pula sebaliknya, peminjam berkewajiban mengembalikan barang  pinjamannyamenurut jangka waktu yang di kehendaki.
Ulama Malikiyah dalam pendapatnya yang masyur berpendapat, tidak ada hak bagi mu’ir untuk menarik kembali barang pinjaman sebelum dimanfaatkanoleh peminja. Bila ariyah memiliki batas waktu mu’ir tidak boleh menarik kembali barang pinjaman kecuali sampai batas waktu yang telah disepakati. Orang yang meminjamkan tidak boleh memaksa peminjam untuk mengembalikan barang pinjaman bila hal iyu memudaratkan pinjaman. Akan tetapi, Imam ad Dardir berpendapat orang yang meminjamkan boleh menarik kembali barang pinjaman apabila ariyahnya mutlak.  [11]

3.                  Luqathah (Temuan)
A.       Pengertian Luqathah
Kalimat luqathah dalam bahasa Arab merupakan masdar dari luqathahyalqithu berarti memungut dari tanah. Luqathah merupakan benda yang tertinggal dan didapati tidak diketahui siapa yang punya.
     Sayyid Sabiq berpendapat bahwa luqathah adalah:
“setiap barang yang harus dipelihara, tetapi tersia-sia dan tidak diketahui siapa yang punya”.
     Jelasnya luqathah merupakan barang yang tercecer ditemukan di suatu tempat yang tdak diketahui siapa  pemiliknya, benda tersebut terletak pada tempat yang bukan tempat penyimpan barang. Jumhur Fuqaha mencakup menemukan sesuatu yang hilang, baik dalam bentuk benda, manusia, muapun hewan. Hanya saja golongan Hanafiyah membedakan istilah yang dipakai untuk jenis-jenis tertentu. Kalau sesuatu yang dite,ukan itu anak kecil (manusia) dinamakan, al-laqith, yaitu anak yang belum baligh yang ditemukan dijalan atau tersesat dijalan dan tidak diketahui orang tuanya. Untuk jenis hewan yang tersesat dan tidak diketahui siapa pemiliknya dunamakan dengan al-dhalalah. Sementara itu, jenis benda dinamakan dengan al-luqathah.[12]
B.       Hukum Memungut Luqathah
Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat disunatkan bagi penemu untuk memungut barang temuan karena dikhawatirkan benda tersebut akan hilang atau ditemukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, memungut barang hukumnya mustahabatau sunah bagi orang percaya dirinya bahwa dirinya sanggup mengerjakan segala sasuatu yang berkaitan dengan pemeliharaan barang sebagaimana mestinya dan yakin bahwa dia tidak akan berkhianat.
Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat, lebih baik bagi penemu laqathah adalah mengambilnya karena diantara perkara yang wajibbagi seorang muslim adalh menjaga harta saudara sesama Muslim.
Malikiyah dan Hanabilah berpendapat, makruh hukumnya memungut barang temuan karena dikhawatirkan dapat menjerumuskan penemu unuk memiliki benda yang bukan miliknya. Hal ini dikhawatirkan penemu barang luqathah akan berlaku lalai dalam melaksanakan kewajibannya untuk mengumumkan barang tersebut. Nabi telah memeringatkan dalam hadisnya :
Dari Abu Muslim yang diterima dari al-Harud sesungguhnya Nabi Saw. berkata: “Barang hilang kepunyaan orang ukmin adalah nyala api”.
“Nyala api” dalam hadis ini mengisyaratkan beratnya ancaman bagi orang yang memungut barang temuan yang tidak bisa menjaga amanah terhadap barang yang bukan miliknya”
Menurut ulama ini, smua itu berlaku juga pada luqathah bagi orang yang sedang haji. Para ulama sepakat bahwa orang yang sedang Haji tidak boleh memungut luqathah.
C.  Macam-macam Luqathah
Luqathah terdiri dari beberapa jenis. Tiap-tiap jenis mempunyai beberapa karakteristik dan ketentuan bagi penemu:
a.             Barang yang dapat disimpan lama,seperti emas dan perak. Barang seperti ini hendaklah disimpan dan diberitahukan kepada khalayak ramai selama satu tahun.
b.             Barang yang tidak tahan lama disimpan, seperti makanan. Pada barang seperti ini, pemungut boleh memilih antara menggunakannya atau tidak.
c.             Barang yang bisa tahan lama dengan suatau usaha, seperti susu dapat bertahan lama kalau menjadi keju.
d.             Sesuatu yang membutuhkan nafkah, seperti manusia (al-laqith) atau binatang (ad-dhalah).
D.       Menyiarkan Barang Temuan
            Orang yang menemukan barang tercecer mempunyai kewajiban untuk menjaga dan memelihara barang temuan sebagaimana dia menjaga dan memelihara barang iliknya sendiri. Karena pada hakikatnya, barang temuan sama dengan wadi’ah atau titipan yang mesti dipelihara sebaik-baiknya dan merupakan amanat yang harus ditunaikan.
                        Orang yang menemukan barang tercecer dan tidak diketahui pemiliknya wajib mengumumkan barang temuan tersebut kepada masyarakat sehingga orang yamg merasa kehilangan dapat menemukan kembali barang yang hilang.
                        Apabila yang punya barang datang, yang punya barang wajib menerangkan tanda-tanda atau ciri-ciri yang terdapat pada barang tersebut. Jika sudah lengkap dan tetap, orang yang menemukan barang wajib menyerahkan barang tersebut.
E.       Status Barang Temuan
a)      Bila barang temuan berupa hewan ternak, hewan tersebut boleh dimakan. Hal ini berdasarkan hadis nabi yang diriwayatkan dar Zaid Ibn Khald yang meriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada rasulullah Saw tentang kambing yang tersesat nabi menjawab :
“Ambillah ia karena itu adalah milikmu atau milik saudaramau atau dimakan serigala”.
b)      Apabila pemilik hewan yang tersesatdatang setelah lewat satu tahun, sedangkan hewan ternak tersebut telah dimakan oleh penemu.
Menurut jumhur ulama; penemu wajib mengganti hewan ternak dengan nilai yang sama. Namun, Malikiyah menyatakan tidak ada kewajiban penemu mengganti hewan yang telah dimakan sesuai dengan hadis diatas”.
c)      Bila penemu kaya, maka ia tidak boleh memanfaatkan barang temuan yang telah diumumkan selama setahun, tetapi hendaklah ia sedekahkan. Demikian sesuai dengan Hadits nabi:
Dari Zaid ibn Khalid al-Huni diterima dari Nabi saw. ia ber kata:”Barang luqathah hukumnya tidak hala nagi bagi penemu. Siapa yang menemukannya maka umumkanlah selama setahun. Jika datang pemiliknya maka kembalikan padanya. Namun, jika ia tidak datang, hendaklah kamu sedekahkan”.
d)      Bila penemu orang miskin, ia boleh memanfaatkan barang temuan tersebut.[13]
F.   Hikmah Luqathah
Diaturnya ketentuan-ketentuan tentang luqathah dalam syariah islam mengandung ajaran moral yang tinggi. Islam tidak membenarkan pengambilan hak orang lain. Islam menuntut bila umatnya menemukan barang yang bukan miliknya agar bersungguh-sungguh untuk mencari siapa pemilik barang yang ditemukan tersebut. Ketentuanj satu tahun mengandung adanya hikmah didikan islan terhadap umatnya agar mendapatkan sesuatu menjadi milik harus dengan jalan yang benar, usaha yang sah, dan halal.






BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
  1. Menurut analisa kami bahwa ‘ariyah adalah meminjamkan sesuatu benda atau barang kepada orang lain agar bisa memberikan manfaat kepada orang yang meminjam  dalam waktu yang telah disepakati barang tersebut akan dikembalikan kepada orang yang meminjamkan. Dasar hukumnya adalah al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 2 dan hadis. Syarat dan Hukum ‘Ariyah adalah Peminjam, orang yang akan meminjam, barang yang dipinjamkan dan ijab qabul. Pembayaran pinjaman diwajibkan bagi orang yang sudah mempunyai barang yang akan dipinjamkan.
  2. Wadiah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana halnya kebiasaan). Dasar hukum wadiah terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah:283 dan juga terdapat di hadis yang diriwayatkan Daruqunthi. Syarat dan rukun wadiah adalah ada barang yang dititipkan, ada orang yang mentipkan, yang menerima titipan, dan sighot ijab qabul.
3.      Luqhatah merupakan barang yang tercecer ditemukan di suatu tempat yang tdak diketahui siapa  pemiliknya, benda tersebut terletak pada tempat yang bukan tempat penyimpan barang. Jumhur Fuqaha mencakup menemukan sesuatu yang hilang, baik dalam bentuk benda, manusia, muapun hewan. Hanya saja golongan Hanafiyah membedakan istilah yang dipakai untuk jenis-jenis tertentu. Kalau sesuatu yang dite,ukan itu anak kecil (manusia) dinamakan, al-laqith, yaitu anak yang belum baligh yang ditemukan dijalan atau tersesat dijalan dan tidak diketahui orang tuanya. Untuk jenis hewan yang tersesat dan tidak diketahui siapa pemiliknya dunamakan dengan al-dhalalah. Sementara itu, jenis benda dinamakan dengan al-luqathah.

DAFTAR PUSTAKA 

Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Bank Syari’ah, Jakarta, PT. Grasindo, 2005,
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 13, Alih Bahasa Kamaluddin A. Marzuki, Andung: PT. Al-Ma’arif, 1997, hlm. 74.
Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al islami wa addilatuh,
Sunarto Zulkifli, Panduang Praktis Perbankan Syari’ah, Jakarta: Zikrul Hakim, Cet. Ke-1, 2003, hlm. 34
Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh Majalah al-Ahkam,
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah), Edisi 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-1, 2003,
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah , Jakarta : PT Raja Grafindo Persada :2003




[1] Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Bank Syari’ah, Jakarta, PT. Grasindo, 2005, hl.m. 196.
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 13, Alih Bahasa Kamaluddin A. Marzuki, Andung: PT. Al-Ma’arif, 1997, hlm. 74.
[3] Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al islami wa addilatuh, hlm 39
[4] Sunarto Zulkifli, Panduang Praktis Perbankan Syari’ah, Jakarta: Zikrul Hakim, Cet. Ke-1, 2003, hlm. 34
[5] Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh Majalah al-Ahkam, hlm229
[6] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah), Edisi 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-1, 2003, hlm. 248.
[7] Maktabah Syamilah, Raddul Mukhtar  hlm 410
[8] Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah , Jakarta : PT Raja Grafindo Persada :2003 hlm 168-170
[9] Ibid hlm 171
[10] Ibid, hlm 172
[11] Ibid, hlm 173
[12] Ibid 177
[13] Ibid 188

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat