Kamis, 25 Januari 2018

Makna Kaidah dan Penerapannya الضَّرَرُ يُزَالُ “Kemadlaratan harus dihilangkan”




Makna Kaidah dan Penerapannya
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Kemadlaratan harus dihilangkan”
A.      Pegertian Kaidah
Dasar kaidah ini adalah sabda Nabi yaitu :
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارِ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.”

            Bila ditinjau dari aspek bahasa kata-kata ضَّرَرُ dan ضِرَارِ mempunyai makna yang sama, namun obyeknya berbeda. Arti ضَّرَرُ adalah perbuatan yang dilakukan seorang diri dan berbahaya hanya pada diri sendiri. Sementara ضِرَارِ adalah perbuatan yang bersifat interelasi, yakni dilakukan oleh dua orang atau lebih, dan berbahaya pada diri sendiri serta orang lain. Selain pengertian diatas, ada pula yang memberi makna ضَّرَرُ  sebagai perbuatan yang bermanfaat pribadi, tetapi membahayakan orang lain. Sedangkan ضِرَارِ  adalah bentuk pekerjaan yang membahayakan orang lain tanpa memberi manfaat pada si pelaku.
B.     Dasar Hukum Kaidah
Dasar dari kaidah ini adalah Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Ayat Al-Quran yang senafas dengan kaidah diatas adalah surat Al-Baqarah ayat 231 dan ayat 229 :
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا
Artinya : “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati masa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf pula. Jangan rujuki mereka untuk memberi kemadharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.”
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Artinya : “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”
            Kedua ayat diatas menjelaskan bahwa laki-laki jika telah mentalaq istrinya, maka ia diperbolehkan ruju’, tapi apabila ia tidak membutuhkannya lagi karena sudah tidak ada kecocokan, maka tidak boleh mencegahnya, karena akan menimbulkan dloror pada pihak istri, yaitu lamanya masa iddah nya perempuan.
            Ayat diatas walaupun secara eksplisit hanya menjelaskan tentang aturan talaq, akan tetapi secara eksplisit melarang berbuat atau menyebabkan bahaya kepada orang lain (istri). Ayat berikut juga berkaitan dengan kaidah diatas yaitu :
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَآءَ أَمْوَلَكُمُ الَّتِى جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَمًا وَارْزُقُوهُم فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُواْ لَهُم قَولاً مَّعْرُوفًا
Artinya :” Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”
          Ayat diatas walaupun tidak secara tegas melarang berbuat bahaya terhadap orang lain, namun secara tersirat memiliki misi yang sama dengan kaidah diatas. Mustafa mengatakan ayat ini adalah dalil untuk kaidah diatas karena tujuan yang ingin dicapai oleh ayat tersebut agar harta orang yang tidak berakal tidak rusak sia-sia. Bagi siapa saja yang tidak pandai menggunakan harta dengan baik, karena tidak berakal atau idiot berhak untuk mendapatkan pengawasan dari Qadhi atau kerabatnya dengan tujuan agar hartanya tidak habis dengan sia-sia.
          Sedangkan hadis-hadis Nabi Saw yang mendukungnya, diantaranya hadis yang jalur periwayatannya dianggap valid dan menjadi dasar dari kaidah ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Abi Sa’id al-Hudri :
لاضرر ولاضررارمن ضار ضاره الله ومن شاق شاق الله عليه
Artinya :” Tidak boleh berbuat dharar (bahaya) dan membalas perbuatan bahaya kepada orang lain,bagi siapa yang berbuat bahaya kepada orang tersebut, dan bagi siapa yang mempersulit orang lain, maka Allah akan mempersulit dia.”
.
            Potongan hadis diatas juga terdapat dalam riwayat Imam al-Bukhari :
ومن شاقشاق الله عليه يوم القيامة
Artinya : “Bagi siapa menyulitkan kepada orang lain, maka Allah akan menyulitkan dia dihari kiamat nanti.”
C.     Penerapan Kaidah
1.      Jika seseorang hutang makanan di Irak dan penghutang menagih di Makkah, maka ia wajib membayar dengan harga kapan dan dimana ia hutang (Irak).
2.      Penipuan terjadi dalam transaksi tukar menukar (mu’awadhah) walaupun transaksi itu dianggap rusak. Misal seseorang menjual harta orang lain tanpa izin, dan pemiliknya tidak mengizinkan, dan pembeli tidak mengetahui barang itu milik orang lain; sedangkan uang pembayarannya telah dihilangkan oleh si penjual, maka ia wajib mengganti uang yang dihilangkan tadi.
3.      Penipuan terjadi saat serah terima yang keuntungannya kembali kepada orang yang menyerahkan seperti pada akad wadi’ah (titipan) dan ijarah (sewa). Misal barang titipan atau barang yang disewakan rusak dan penyewa atau orang yang dititipi mengganti kerusakan tersebut, maka ia boleh meminta uang pengganti kepada orang yang menitipkan atau yang menyewakan.
4.      Jika ada orang meminjamkan tanah kepada orang lain dalam jangka waktu tertentu untuk dibangun sebuah bangunan, atau ditanami sesuatu. Namun, sebelum masa yang ditentukan pemberi pinjaman mencabut pinjamannya, maka ia harus mengganti biaya pembangunan dan biaya tanaman yang telah dikeluarkan oleh orang yang dipinjami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat