Selasa, 26 Desember 2017

Hukum Dalam Perbankan Syariah Sebagai Bentuk Keuntungan Tersembunyi Pada Akselerasi Ekonomi Syariah Indonesia



Hukum Dalam Perbankan Syariah Sebagai Bentuk Keuntungan Tersembunyi Pada Akselerasi Ekonomi Syariah Indonesia
Bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Bank syariah lahir sebagai salah satu solusi alternatif terhadap persoalan pertentangan antara bunga bank dengan riba. Dengan demikian, kerinduan umat Islam Indonesia yang ingin melepaskan diri dari persoalan riba telah mendapatkan jawaban dengan lahirnya bank Islam.[1]
Prakarsa perbankan syariah di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990.  Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait. Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut di atas. Akte Pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada tanggal 1 Mei 1992 Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi.[2]
Pada tahun 1992, Indonesia mengeluarkan UU Nomor 10 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Di dalamnya dijelaskan bahwa Indonesia memasuki era dual-system – bank boleh beroperasi dengan prinsip syariah. Sedangkan pada tahun 1999, muncul UU Nomor 23 Tahun 1999 Tentang BI. Dijelaskan bahwa peranan BI sebagai otoritas moneter dapat melaksanakan kebijakan moneter, diberlakukannya ketentuan kelembagaan bank syariah yang sesuai dengan karakteristik, dan beroperasinya UUS dan Bank Umum Konvensional. Pada tahun 2008, muncullah UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Hal tersebut merupakan dasar hukum dalam Perbankan syariah yang dapat dijadikan dasar dalam pengoperasian bank syariah.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat market share industri keuangan syariah sudah mencapai 8,01 % hingga Agustus 2017. Sementara total aset keuangan syariah Indonesia mencapai Rp 1.048,8 triliun. Industri perbankan syariah saat ini terdiri dari 13 bank umum syariah, 21 bank unit usaha syariah dan 167 BPR Syariah, yang memiliki total aset Rp 389,7 triliun.[3] Dari paparan data diatas dapat diketahui bahwa perkembangan perbankan syariah di Indonesia cukup baik, hal ini dapat dilihat semakin banyaknya lembaga-lembaga keuangan syariah dan semakin bertambahnya aset yang dimiliki. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pengembangan ekonomi syariah menjadi prioritas dalam pengembangan perekonomian bangsa dan negara.
Menurut pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Sedangkan prinsip suatu negara hukum menurut J.B.J.M Ten Berge adalah adanya asas legalitas, perlindungan hak-hak asasi, pemerintah terikat pada hukum, monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum dan pengawasan oleh hakim yang merdeka. Bila dikaitkan dengan adanya perbankan syariah di Indonesia, pelaksanaan perbankan syariah harus sesuai dengan prinsip negara hukum tersebut. Perbankan syariah harus telah berhasil menerapkan asas legalitas yaitu dengan dasar hukum yang kuat berupa UU No 21 Tahun 2008 tentang perbankan Syariah. Serta penjaminan simpanan nasabah perbankan syariah juga telah ada di suatu dasar hukum berupa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2005 Tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah. Adanya asas legalitas dalam perbankan syariah secara tidak langsung merupakan bentuk dari perlindungan hak-hak asasi yaitu hak-hak asasi dari nasabah perbankan syariah untuk memperoleh kesejahteraan melalui perekonomian.
Pemaparan diatas menunjukkan bahwa adanya hukum dalam perbankan syariah merupakan suatu bentuk keuntungan yang tersembunyi. Bentuk keuntungan tersembunyi ini lah yang seharusnya juga menjadi perhatian dari masyarakat untuk memilih produk ekonomi yang hendak dipilih.kecenderungan masyarakat sekarang ini adalah kurang memperdulikan hukum sebagai suatu bentuk keuntungan dan hanya mempertimbangkan bentuk-bentuk keuntungan secara ekonomi misalnya keuntungan besarnya simpanan, besarnya bagi hasil, rendahnya suku bunga, dan lain sebagainya. Padahal adanya hukum yang kuat merupakan suatu keuntungan yang besar karena dengan adanya dasar hukum yang kuat maka hak-hak nasabah perbankan syariah akan lebih terlindungi dan terjamin.
Dalam perekonomian syariah di Indonesia terdapat tiga tahapan hukum perihal perbankan syariah, yaitu : tahapan pengenalan (yang ditandai dengan diberlakukannya UU No 7 Tahun 1992, bahwa Bank boleh beroperasi dengan sistem bagi hasil), tahapan pengakuan (untuk perbankan syariah ditandai dengan diberlakunnya UU No 10 Tahun 1998, menjelaskan tentang adanya Bank dengan prinsip syariah) dan yang terakhir tahapan pemurnian (untuk perbankan syariah ditandai dengan diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2008, tentang mengatur secara lengkap perbankan syariah dan membahas tentang syariah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2005 Tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah).
Dari sisi hukum ekonomi syariah, perbankan syariah mempunyai kelebihan dalam tahapan ekonomi syariah yaitu telah melewati tiga tahapan tersebut. Sementara ini produk ekonomi syariah lain seperti koperasi simpan pinjam syariah, asuransi syariah, dan lain sebagainya masih belum mampu mencapai ketiga tahapan hukum ekonomi syariah tersebut. Adanya dasar hukum yang kuat dalam perbankan syariah dianggap lebih meninjol dibanding adanya dasar hukum dalam produk ekonomi syariah lain. Secara tidak langsung hal ini berkorelasi dengan menonjolnya aset perbankan syariah yang ada di Indonesia.
Dengan begitu, dasar hukum perbankan syariah termasuk kuat. Apabila dikaitkan dengan tujuan hukum, maka adanya dasar hukum yang kuat pada perbankan syariah akan memberikan kepastian hukum yang berimplikasi pada peningkatan kepercayaan masyarakat. Hal ini berbeda dengan kondisi dasar hukum Lembaga Kuangan Mikro Syariah. Dasar hukum Lembaga Keuangan Mikro Syariah saat ini masih mencapai tahap pengenalan dan pengakuan saja (UU No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro)[4]. Sedangkan untuk dasar hukum Koperasi Simpan Pinjam Syariah, dasar hukumnya juga baru mencapai tahapan pengenalan dan pengakuan saja (UU No. 17 Tahun 2012 Tentang Pengkoperasian)[5]. Selain Lembaga Keuangan Mikro dan Koperasi Simpan Pinjam syariah masih banyak produk ekonomi syariah lain yang berada dalam kondisi kepastian hukum yang lemah.
Tahapan hukum ekonomi syariah yang belum ada dalam produk ekonomi syariah yang lain adalah belum tercapainya tahapan permurnian lembaga kauangan syariah. Untuk kasus Lembaga Keuangan Mikro dan Koperasi Simpan Pinjam syariah, salah satu alasan belum tercapainya tahap pemurnian adalah belum adanya dasar hukum atas penjaminan simpanan nasabah lembaga keuangan syariah tersebut. Kelemahan pada dasar hukum penjaminan mempengaruhi kepercayaan masyarakat atas penjaminan simpanan nasabah di dua lembaga tersebut. Kelemahan pada dasar hukum penjaminan akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat atas penjaminan simpanan nasabah di dua lembaga tersebut. Hal ini berlainan dengan perbankan syariah dimana dari segi penjaminan, perbankan syaraiah telah memiliki dasar hukum tersebdiri yaitu PP No. 39 Tahun 2005 Tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah.[6]
Perundang-undangan yang menjadi dasar dari perbankan syariah merupakan suatu sumber hukum yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum. Tujuan hukum adalah tujuan negara, bermakna bahwa adanya hukum dalam perbankan syariah akan membawa masyarakat untuk mempercayakan uangnya di perbankan syariah utnuk mencapai tujuan negara yaitu kesejahteraan dan keadilan. Selain itu hukum dalam perbankan syariah juga sebagai wujud dari adanya upaya negara untuk melindungi, memenuhi dan meningkatkan hak asasi masyarakat atas perekonomian. Adanya hukum melindungi masyarakat dari adanya praktik penyimpangan dalam pelaksanaan perbankan syariahhukum juga sebgai wujud pemenuhan hak masyarakat atas jaminan terhadap simpanannya di perbankan syariah. Terakhir, dengan adanya hukum akan meningkatkan taraf hidup masyarakat sehingga masyarakat yang menggunakan perbankan syariah akan semakin sejahtera di kehidupannya.
Sayangnya ketidakpedulian masyarakat atas hukum dalam perbankan syariah telah menghambat berkembangnya aspek penting dalam perekonomian syariah yaitu kepercayaan. Hal inilah yang membawa hukum sebagai keuntungan yang tidak terlihat. Dengan anggapan seperti itu, maka keberhasilan perbankan syariah yang salah satunya dipengaruhi oleh hukum yang kuat menjadi tidak nampak dan produk ekonomi syariah lainnya menjadi kurang mempedulikan hukum sebagai suatu keuntungan untuk dikembangkan. Hal tersebut akann berimplikasi pada lambatnya pembentukan hukum dari berbagai produk ekonomi syariah lainnya yang bermuara pada terhambatnya akselerasi perekonomian syariah Indonesia.
Berdasarkan pemaparan fakta-fakta tersebut, maka perlu adanya suatu bentuk akselerasi perekonomian syariah yang mana hukum dianggap sebagai salah satu aspek terpenting. Dengan melihat perbankan syariah yang telah berkembang pesat karena telah melampaui tiga tahapan hukum ekonomi syariah, maka diharapkan tidak ahanya perbankan syariah saja yang yang akan mengalami perkembangan pesat, namun diharapkan seluruh produk ekonomi syariah mampu mencapai tahapan pemurnian agar akselerasi perekonomian syariah Indonesia akan segera terwujud. Tentunya hal ini dapat terlaksana dengan baik apabila tercipta sinergi antara legislatif, eksekutif, dan masyarakat dalam mendorong pemurnian hukum ekonomi syariah. Diharapkan dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan keuntungan yang diperoleh oleh konsumen ekonomi syariah.
Berdasarkan pemahaman diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa hukum adalah keuntungan tersembunyi dari perbankan syariah. Hukum dalam perbankan syariah mempunyai kelebihan karena telah mencapai tiga tahapan hukum ekonomi syariah yaitu pengenalan, pengakuan, pemurnian. Hingga saat ini hanya perbankan syariah saja yang telah mencapai tiga tahapan tersebut yaitu dengan adanya UU No. 21 Tahun 2008 dan PP No 39 Tahun 2005. Kesadaran masyarakat terhadap hukum harus ditingkatkan juga karena hukum merupakan alat untuk memenuhi, melindungi dan memajukan hak setiap rakyat Indonesia atas kesejahteraan dan keadilan melalui perekonomian Indonesia. Selain itu dari eksekutif dan legislatif juga perlu pemahaman tentang pentingnya aspek hukum ekonomi syariah sebagai keuntungan yang tersembunyi mengingat peran dan keuntungan yang diberikan hukum dalam mengembangkan ekonomi syariah sangat besar. Selain itu juga kerjasama antara pakar ekonomi syariah dengan pakar hukum ekonomi syariah perlu ditingkatkan demi pembentukan dasar hukum ekonomi syariah yang ideal.



[1] Muhammad, Manajemen Bank Syariah (Yogyakarta: UPP Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2011),15-16.
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001),25.
[3] Sindonews.com, 29 Oktober 2017
[4] www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/regulasi/lembaga-keuangan-mikro/undang-undang/Default.aspx
[5] Regulasi.kemenperin.go.id
[6] www.lps.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat