Selasa, 26 Desember 2017

Makalah Pendekatan Pemrosesan Informasi "Psikologi Pendidikan"



 
KATAPENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-NYA saya bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Tugas makalah merupakan salah satu tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan kami yang terbatas. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Dalam makalahini saya menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam mengerjakan makalah ini. Terutama kami ucapkan terima kasih  kepada Ibu Novi Wahyu Winastuti , M. Psi., Psikolog yang telah memberi tugas ini.
Akhirnya kami berharap agar makalah yang kami buat bisa bermanfaat.




 4 Desember 2017








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bidang psikologi yang merupakan ilmu yang mempelajari mengenai proses prilaku dan jiwa seseorang memiliki pengaruh terhadap berbagai bidang, salah satunya adalah pendidikan. Psikologi pendidikan yang khusus mempelajari seluk beluk kegiatan pembelajaran dan individu memiliki pembahasan yang sangat luas. Dalam pembahasan kami adalah pendekatan pemrosesan informasi. Pemrosesan membahas tentang pengaplikasian antara pendekatan behaviorisme dan kognitif. Pendekatan pemrosesan informasi ini sangat berpengaruh bagi siswa maupun guru dalam proses pembelajaaran, karena dengan menggunakan pendekatan ini guru dapat mengetahui kemampuan siswanya sejauh mana dan seperti apa cara mendidik siswa sesuai kemampuannya.
B.    Rumusan Masalah
1.      Apa definisi pendekatan pemrosesan informasi?
2.      Bagaimana perubahan perkembangan?
3.      Bagaimana proses penyimpanan ?
4.      Bagaimana definisi dan kegunaan metakognitif?
C.    Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami pendekatan pemrosesan informasi sesuai apa yang telah dibahas berupa  sifat pendekatan pemrosesan informasi, perhatian, ingatan, keahlian, dan metakognisi dalam ilmu psikologi pendidikan, dan diharapkan kedepannya untuk mempermudah cara mendidik siswa sesuai kemampuan yang dimilikinya.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pemrosesan Informasi Kognitif dan Fungsinya
Peterson, et al., menjelaskan bahwa pendekatan pemrosesan informasi kognitif ini menekankan pada cara individu memproses informasi kognitif mereka untuk membantunya menyelesaikan masalah dan pengambilan keputusan karier yang dibuatnya (Brown & Brooks, 1996). Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada minat, kemampuan, nilai, dan pengetahuan seseorang akan dunia kerja tetapi juga bagaimana seseorang memproses informasi yang mereka miliki. Untuk memudahkan pemahaman seseorang akan pengolahan informasi kognitif yang terjadi, Sampson et. al., menggambarkan pemrosesan informasi yang terjadi ke dalam bentuk piramida pemrosesan informasi (lihat Gambar 2.1).
    
Gambar 2.1. Gambaran area pemrosesan informasi yang ditunjukkan dalam piramida pemrosesan informasi. Adaptasi dari “A cognitive approach to career services: Translating the concepts into practice”, oleh J. P. Sampson, Jr. G. W. Peterson, J. Lenzz, dan R. C. Readon dalam Applying Career Development Theory to Counseling, hal. 360. Copyright © 2006. [1]
Kedua, decision-making skill domain. Menurut Sampson et al., decision-making domain berisi keterampilan umum seseorang dalam memproses informasi yang telah ia miliki sebelumnya, yaitu mengenai diri dan pekerjaan (Sharf 2006). Lanjutnya, keterampilan inilah yang kemudian diperkenalkan sebagai CASVE, yaitu Communication, Analysis, Synthesis, Valuing, dan Execution. Keterampilan ini dipaparkan dalam bentuk siklus dalam Gambar 2.2.
Sampson et al., (Sharf, 2006) menjelaskan keterampilan pertama dalam decision-making domain ialah communication. Proses yang terjadi ketika seseorang menerima atau mendapat masukan informasi yang ia terima dari lingkungannya dan menghubungkan informasi tersebut dengan informasi yang ada dalam diri.
Keterampilan kedua adalah analysis, pada tahap ini, orang akan menguji hal-hal yang terdapat pada area pengetahuan, yaitu pengetahuan akan diri dan bidang pekerjaan yang akan ia pilih. Mereka kembali menguji nilai, minat, keterampilan, dan pengaruh keluarga terhadap keputusan yang hendak mereka ambil. Keterampilan ketiga adalah synthesis, individu mulai mengembangkan alternatif yang mungkin mereka pilih dalam pengambilan keputusan karier (Sampson, Peterson, Lenz, Reardon, & Saunders, 1996). Shahnasarian & Peterson menyebutkan pada akhir fase ini individu biasanya dapat mengarahkan pilihannya pada tiga hingga lima alternatif yang potensial (Sampson et al., 1996).
Keterampilan keempat ialah valuing, ditahap ini orang akan memberikan bobot penilaian terhadap kelebihan dan kekurangan dari setiap alternatif yang ia telah tetapkan dalam fase sebelumnya (Sampson et al., 1996). Fase ini akan mendorong orang untuk aktif mencari-cari informasi dari luar, seperti meminta pendapat pada orang-orang yang berarti baginya, kelompok mereka, dan komunitas atau lingkungan sosial di mana ia berada. Setelah itu, kembali menentukan tiga hingga lima alternatif, yang dapat saja berbeda dari alternatif sebelumnya dan masih dapat berubah. Akan tetapi, biasanya mereka juga akan mempersiapkan perencanaan kedua. Keterampialn kelima, execution.Tahap di mana individu mulai mempersiapkan strategi perencanaan untuk mencapai salah satu alternatif yang telah dievaluasi untuk kemudian dinyatakan dalam pilihan mereka tersebut.
Gambar 2.2. Siklus CASVE
Gambar2.2.
Gambar 2.2. Gambaran dari siklus CASVE (Comunication, Analysis, Synthesis, Valuing, Execution) mengenai ketrampilan pengelolaan informasi yang digunakan dalam pemilihan karier. Adaptasi dari “A cognitive approach to career services: Translating the concepts into practice”, oleh J. P. Sampson, Jr. G. W. Peterson, J. Lenzz, dan R. C. Readon dalam Applying Career Development Theory to Counseling, hal. 364. Copyright © 2006.


Area dasar ketiga dalam piramida pemrosesan informasi ialah executive processing domain, yang merupakan area puncak dari piramida pemrosesan informasi. Area ini berfungsi menguji pikiran, perasaan, dan tindakan seseorang dalam proses pengambilan keputusan yang akan mereka pilih (Sharf, 2006). Terdapat tiga hal utama yang diperlukan dalam pemilihan karier:
(a)  Self-talk, pesan internal ke dalam diri individu yang mencakup pilihan karier dipilih seseorang;
(b) Self-Awareness atau kesadaran diri, membantu seseorang memahami perilaku dan dorongan yang mendasari perilakunya. Orang yang memiliki kesadaran diri ini akan cenderung menjadi seorang pemecah masalah karier yang efektif dan mampu mengubah self-talk negatif dalam dirinya sehingga akan lebih mudah melalui siklus CASVE; dan
(c) Monitoring dan control, yang diperlukan untuk menentukan lamanya waktu yang diperlukan dalam setiap tahap dalam siklus CASVE serta mengatur banyaknya informasi yang diperlukan untuk menganalisa pilihan karier yang tersedia sebelum beralih pada tahap sintesa.

Ketika mereka mengalami kegagalan dalam pemrosesan informasi kognitif mereka seseorang akan terhambat dalam suatu tahap pemrosesan informasi sehingga ia tidak atau belum mampu membuat keputusan karier. Sebab, ketika seseorang mengalami kegagalan pemrosesan informasi pada suatu tahap ia akan kembali pada tahap pemrosesan sebelumnya sehingga menghambatnya untuk sampai pada tahap selanjutnya. Sebagai contoh, seseorang yang mengalami hambatan dalam tahap valuing maka seseorang akan kembali pada tahap analysing untuk kembali menguji informasi yang ia miliki.
Menurut Sampson, Peterson, Lenz, Reardon, dan Saunders, kegagalan pemrosesan informasi kognitif dapat dideteksi melalui penggunaan CTI (Hornyak, 2007). Melalui skor total CTI kita dapat mendeteksi penyebab umum kegagalan pemrosesan informasi yang dapat terjadi karena adanya ketidakmampuan seseorang untuk mempertahankan keputusannya atau Decision Making Confusion (DMC), cenderung menghindari komitmen pada suatu bidang karier atau Commitmen Anxiety (CA), atau belum mampu menyeimbangkan antara keinginannya dengan masukan yang ia dapatkan atau External Conflict (EC).[2]
B.     Perubahan Perkembangan
a)        Pengertian Perubahan dan Fase Perubahan sesuai Umurnya
Menurut Hamzah B. Uno dan Nurdin Mohamad (2011:282), sebagai makhluk psiko-fisik, anak-anak sejak bayi sudah memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar, yaitu seperti kebutuhan fisik dan psikis. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan seorang anak menuju kedewasaan, terjadi perubahan-perubahan kebutuhan seperti di atas menjadi lebih besar. Dan, kebutuhan sosial psikologis seseorang akan lebih banyak dibandingkan kebutuhan fisiknya sejalan dengan usianya. Ada dua teori kebutuhan yang perlu diungkapkan untuk memahami kebutuhan peserta didik SD/MI, yaitu teori kebutuhan yang dikembangkan oleh Maslow dan teori kebutuhan yang dikembangkan oleh Lindgren.
Menurut teori kebutuhan Maslow, kebutuhan yang rendah dalam hierakhi kebutuhan individu paling tidak harus terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan yang lebih tinggi pada hierarkhi tersebut menjadi sumber motivasi yang penting. Kebutuhan mendasar seorang individu adalah kebutuhan fisiologis, lalu kebutuhan individu berkembang dengan kebutuhan ingin dilindungi, kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki, dan seterusnya sehingga kebutuhan tersebut mencapai klimaks pada kebutuhan mengaktualisasikan diri. Tahapan tersebut tidak bersifat statis. Setiap kebutuhan bisa semakin meningkat atau melemah tergantung dari perkembangan masing-masing individu. Sedangkan menurut Lindgren kebutuhan dasar individu dikelompokkan menjadi 4 (empat) aspek, yaitu untuk kebutuhan paling dasar
1)     kebutuhan jasmaniah, termasuk keamanan dan pertahanan diri
2)     kebutuhan perhatian dan kasih sayang
3)     kebutuhan untuk memiliki
4)     kebutuhan aktualisasi diri (Uno dan Mohamad, 2011:282-285).
Pada masa kanak-kanak akhir dan anak sekolah, yaitu usia enam hingga dua belas tahun, mereka memiliki sejumlah tugas perkembangan, yaitu sebagai berikut:
1)     belajar keterampilan fisik untuk pertandingan biasa sehari-hari
2)     membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sebagai organisme yang sedang tumbuh kembang
3)     belajar bergaul dengan teman-teman sebayanya
4)     belajar  peranan sosial yang sesuai sebagai pria atau wanita
5)     mengembangkan konsep-konsep yang perlu bagi kehidupan sehari-hari
6)     mengembangkan kata hati, moralitas, dan suatu skala nilai-nilai
7)     mencapai kebebasan pribadi
8)     mengembangkan sikap-sikap terhadap kelompok-kelompok dan institusi-institusi sosial.
 Menurut Havighurst tugas tugas perkembangan ini merupakan tugas yang muncul pada saat atau di sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bangga dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya (Susanto, 2013:72).
Sementara itu, tahap perkembangan tingkah laku belajar anak Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek dari dalam diri dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Kedua hal tersebut tidak mungkin dipisahkan karena memang proses belajar terjadi dalam interaksi diri siswa dengan lingkungannya (Prastowo, 2013:33-34). Seperti diungkapkan oleh Piaget,setiap anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya (Rusman, 2010:250).
Dikatakan pula oleh Piaget bahwa pada diri anak terdapat struktur kognitif yang disebut skema. Dalam memahami dunia mereka secara aktif, anak-anak menggunakan skema (schema). Skema bisa merentang mulai dari skema sederhana (contohnya, seperti skema seekor gajah) sampai skema kompleks (seperti skema tentang bagaimana terjadinya alam semesta). Ditegaskan Piaget bahwa ada dua proses yang bertanggungjawab atas cara anak menggunakan dan mengadaptasi skema mereka, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika seorang anak memasukkan pengetahuan baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi terjadi ketika anak menyesuaikan diri pada informasi baru, yaitu anak menyesuaikan skema mereka dengan lingkungannya (Santrock, 2007:46). Kedua proses tersebut apabila berlangsung secara terus-menerus akan membuat pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan cara seperti itu anak secara bertahap dapat membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungan sekitarnya (Rusman, 2010:250).
Tingkatan perkembangan intelektual peserta didik SD/MI merujuk pada pendapat Piaget memiliki ciri-ciri yaitu: tahap pra-operasional (2-7 tahun), tahap berpikir pra-konseptual (2—4 tahun) yang ditandai dengan mulainya adaptasi terhadap simbol, mulai dan tingkah laku berbahasa, aktivitas imitasi dan permainan. Kemudian pada tahap berpikir intuitif (4-7 tahun) ditandai oleh berpikir pralogis yaitu antara operasional konkret dengan prakonseptual. Pada tahap ini perkembangan ingatan peserta didik sudah mulai mantap, tetapi kemampuan berpikir deduktif dan induktif masih lemah/belum mantap.Perkembangan intelektual siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret (7-11 tahun) yang ditandai oleh kemampuan berpikir konkret dan mendalam, mampu mengklasifikasi dan mengontrol persepsinya.
 Pada tahap ini, perkembangan kemampuan berpikir siswa sudah mantap, kemampuan skema asimilasinya sudah lebih tinggi dalam melakukan suatu koordinasi yang konsisten antar skema (Madjid, 2014:8). Kemudian, pada usia 11 tahun hingga dewasa, peserta didik memiliki karakteristik perkembangan intelektual yang disebut tahap operasional formal. Pada tahap ini peserta didik sudah mapu berpikir secara lebih abstrak, idealistik, dan logis (Santrock, 2007:47-48).    
Berdasarkan tahapan tersebut, siswa sekolah dasar kelas I-VI memiliki tingkatan intelektual operasional konkret dan siswa kelas enam memiliki tingkatan operasional formal (Madjid, 2014:8).[3]

C.    Penyimpanan
a)        Pengertian penyimpanan
Tung (2015: 195) menyatakan bahwa The Atkinson_Shiffrin Model (juga dikenal sebagai model multi-store atau three memory stores) adalah model memori yang diusulkan pada tahun 1968 oleh Richard Atkinson dan Richard Shiffrin yang menegaskan bahwa memori manusia memiliki tiga komponen yang terpisah seperti pada gambar 1 berikut.[4]

b)                 Faktor-faktor yang mempengaruhi perhatian dari aspek individu antara lain:
1) minat,
 2) kondisi fisik atau kesehatan,
           3) keletihan,    
 4) motivasi,
 5) kebutuhan perhatian,
 6) harapan, dan
 7) karakteristik kepribadian (Surya, 2015:22).
Pada faktor minat ini menyakatanbahwa sesuatu yang menjadi minatnya
 akan lebih menarik perhatiannya. Perhatian seseorang juga dipengaruhi oleh faktor kondisi fisik dan keletihan, artinya kesehatan yang kurang baik dan keletihan memjadikan seseorang kurang memperhatikan sesuatu rangsangan. Selain itu motivasi, dan kebutuhan perhatian serta harapan seseorang terhadap suatu rangsangan akan mendorong seseorang untuk lebih banyak memperhatikan suatu rangsangan tersebut. Sedangkan karakteristik kepribadian (bakat, pengalaman, perangai, kecerdasan, kebiasaan, dsb) ini memang hal yang mutlak yang mempengaruhi kualitas perhatian seseorang.
c)             Sensori Motorik
Sensory memory/ memory register secara terus menerus menerima rangsang dari lingkungan melalui alat penerima (receptors). Informasi ini akan tersimpan dalam sensory memory kurang lebih 1-2 detik untuk segala sesuatu yang lihat dan 3 detik untuk segala sesuatu yang didengar, (Baharuddin & Wahyuni; 2015: 144-145). Kejadian-kejadian sensorik yang diproses sesuai dengan pengetahuan  seseorang tentang dunia, kebudayaan, pengharapan, atau bahkan kebersamaan dengan seseorang sehingga dapat memberikan makna terhadap pengalaman sensorik sederhana inilah yang disebut sebagai persepsi (Solso; Maclin; 2007: 76). Kejadian-kejadian sensorik yang diproses merupakan kejadian-kejadian yang berasal dari penangkapan alat indera kita (meraba, membau, mendengar, melihat, dan merasakan).
Menurut Tung (2015: 186) menyatakan bahwa memori adalah meretensi atau menyimpan informasi dari waktu ke waktu. Ini berarti semua informasi yang diperoleh sesorang akan diberikan kode, ditahan/disimpan stelah diberi kode dan menemukan kembali setelah disimpan untuk suatu kepentingan. Bertahan atau tidak suatu informasi pada memori seseorang bergantung kepada seseorang itu sendiri dalam memelihara informasi tersebut. Informasi yang tidak sering dilatih juga lama-kelamaan akan dilupakan. Namun demikian apabila informasi tersebut sudah tersimpan dalam memori yang tepat maka akan mudah pula untuk dikuasai kembali meskipun suda mengalami lupa.
d)                  Proses suatu informasi dipengaruhi oleh 3 (tiga) hal penting yakni
 1) pengkodean/encoding,
 2) storage, dan
 3) retrieval.
Pengkodean (encoding) merupakan suatu proses penyandian atau proses memasukkan informasi ke dalam memori. Strorage adalah penyimpanan informasi selama beberapa waktu. Sedangkan retrieval adalah mengambil  informasi keluar dari storage.
e)      Memori Jangka Panjang
Memori jangka panjang (long-term memory) adalah bagian dari sistem memori manusia yang menyimpan informasi utuk sebuah periode yang cukup lama (Baharuddin dan Wahyuni, 2015: 151). Oleh karenanya banyak ahli yang percaya bahwa manusia mungkin tidak pernah lupa terhadap suatu informasi yang sudah tersimpan dalam memori jangka panjang, namun tidak mampu untuk menemukan kembali informasi tersebut dalam memorinya. Ini adalah yang salah satu hal yang membedakan antara short-term memory dengan long-term memory.
f)       Memori Jangka Pendek
Karena keterbatasan kapasitas di memori jangka pendek memungkinkan suatu informasi hilang, namun untuk memori jangka panjang yang kapasitasnya tidak terbatas mengakibatkan suatu informasi yang sudah tersimpan di dalamnya tidak
hilang hanya seseorang tersebut mengalami suatu keadaan yang disebut lupa.
g)      Macam-macam Pengetahuan Memori Jangka Panjang
Pada dasarnya memori jangka panjang terdapat tiga macam pengetahuan yang tersimpan didalamnya yakni 1) pengetahuan deklaratif, 2) pengetahuan prosedural, dan 3) pengetahuan konditional. Pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan faktual yang berupa knowing what atau mengetahui apa atau fakta. Pada pengetahuan prosedural ini didalamnya terdapat memori yang berisi ide-ide atau konsep-konsep yang berkaitan dengan skema/scemata (memori semantik/semantic memory) dan memori pengalaman personal seseorang yang memuat sebuah gambar secara mental tentang segala sesuatu yang seseorang lihat atau dengar (memori episodik/episodic memory).
Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan yang memberikan informasi mengenai prosedur suatu aktivitas atau knowing how. Sedangkan pengetahuan kondisional adalah pengetahuan dalam menggunakan pengetahuan deklaratif dan prosedural dengan tepat atau knowing when and why. Secara umum pengetahuan juga dapat dibedakan menjadi 2 yakni pengetahuan umum (general knowledge) dan pengetahuan khusus (domain specific knowledge). Pengetahuan umum dapat diartikan sebagai informasi yang sangat berguna untuk memecahkan atau digunakan melaksanakan berbagai tugas yang berbeda. Sedangkan pengetahuan khusus dapat diartikan sebagai informasi yang dapat digunakan hanya dalam  situasi tertentu atau yang hanya dapat diterapkan dalam satu topik khusus.
            Segala pengetahuan yang terdapat dalam memori jangka panjang bergantung bagaimana proses seseorang menyimpan informasi/pengetahuan yang telah dipelajarinya. Proses seseorang menyimpan informasi tersebut akan berpengaruh terhadap pemanggilan atau penggalian informasi tatkala dibutuhkan. Pada saat proses inilah elaborasi, organisasi dan konteks perannya sangat penting (Woolfolk tahun 1995 dalam Baharuddin dan Wahyuni (2015: 155)).     Elaborasi   (elaboration) adalah penambahan makna baru terhadap informasi baru dengan cara menghubungkan dengan pengetahuan yang sudah ada yang sudah dimiliki.   Organisasi (organization) adalah proses mengorganisasikan informasi-informasi yang sejenis, karena informasi yang terorganisasi dengan baik akan lebih mudah dipelajari dan diingat.
Sedangkan konteks (context) adalah  proses yang mempengaruhi belajar antara lain: aspek-aspek fisik dan emosi (tempat, ruangan, emosi yang dirasakan saat individu belajar), semua ini akan menjadi bagian seseorang dalam menyimpan suatu informasi. Artinya jika konteks belajarnya mendukung maka belajar akan lebih mudah sehingga proses penyimpanan informasinyapun juga menjadi lancar. Informasi yang sudah tersimpan akan dipanggil kembali apabila dibutuhkan. Proses pemanggilan kembali ini terdapat beberapa cara (Tung, 2015: 203-204), antara lain: 1) prinsip serial position effect adalh proses pemanggilan kembali akan lebih baik jikaorang mengingat bagian awal dan akhir dari list dibandingkan dengan yang di bagian tengah; 2) encoding specificity principle adalah prinsip asosiasi yang dibentuk pada waktu  melakukan encoding; 3) recall adalah pemanggilan informasi yang sudah dipelajari; 4) recognition adalah mengingat dengan melakukan identifikasi dari informasi yang sudah dipelajari; dan 5) state-dependent learning adalah pengingatan informasi akan lebih mudah ketika kita berada dalam keadaan fisiologis atau emosional yang sama atau pengaturan ketika di encoding dengan informasi aslinya. Namun demikian pada saat proses pemanggilan kembali terkadang ada informasi yang tidak dapat ditemukan. Keadaan inilah yang disebut lupa dan ini dapat disebabkan oleh berbagai hal.

h)                  Melupakan
Terdapat empat teori pelupaan dalam memori (Tung, 2015: 204), yakni:
1) cue-dependent forgetting adalah kegagalan pemanggilan informasi yang    disebabkan kurangnya petunjuk untuk memanggil informasi secara efektif,
2) interference theory adalah teori yang menjelaskan informasi yang terlupakan karena adanya informasi lain yang masuk,
3) decay theory adalah teori yang  menjelaskan informasi yang hilang bersamaan dengan berlalunya waktu, jejak neuro kimiawi baru membuat orang menjadi lupa,  
4) represi (menurut Freud) adalah proses mental yang secara otomatis menyembunyikan emosi atau kecemasan memproduksi atau mengancam informasi dalam alam bawah sadar.[5]
D.    Metakognisi
a)      Pengertian Metakognisi
Menurut sejarah konsep metakognisi pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell pada tahun 1976 (Lin, X. 2001; Efklides, A., 2004; Panaoura, A. & Philippou,. G : 2004; Wilson, J. & Clarke, D. : 2004) yang didasarkan pada konsep metamemori. Flavell menggunakan istilah metakognisi mengacu pada pada kesadaran seseorang tentang pertimbangan dan kontrol dari proses dan strategi kognitifnya. Sejak pertama kali diperkenalkan oleh Flavell sudah banyak arti yang diberikan pada istilah metakognisi. Meskipun demikian telah ada acuan yang dibuat pada dua aspek dari metakognisi yaitu pengetahuan tentang kognisi dan pengaturan dari kognisi tersebut.[6]
b)     Model Pemrosesan Imformasi Yang Baik
Michael Pressley dan rekan-rekannya (Pressley, Borkowski, & Schneider, 1989 Schneider & Pressley, 1997) mengembangkan model metakognitif disebut Model Pemrosesan Informasi yang baik.
1.      Anak-anak diajarkan oleh orang tua atau guru untuk menggunakan strategi tertentu.
2.      Guru dapat menunjukkan persamaan dan beberapa strategi dalam domain tertentu, seperti matematika yang  memotivasi siswa untuk melihat fitur berbagai strategi yang berbeda.
3.      Pada titik ini, siswa mengakui keunggulan umum menggunakan strategi, yang menghasilkan pengettahiuan strategi umum.[7]














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menurut penje lasan Peterson,  pendekatan  pemrosesan informasi kognitif ini menekankan pada cara individu memproses informasi kognitif mereka untuk membantunya menyelesaikan masalah dan pengambilan keputusan karier yang dibuatnya (Brown & Brooks, 1996). Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada minat, kemampuan, nilai, dan pengetahuan seseorang akan dunia kerja tetapi juga bagaimana seseorang mem proses informasi yang mereka miliki.
Di dalam pemrosesan informasi ada beberapa pembahasan, yaitu: perubahan perkembangan, penyimpanan atau yang biasa dikenal dengan ingatan , dan metakognisi.















Daftar Pustaka

Amelia, Wiliam Gunawan. “Dalam Pengambilan Keputusan Remaja”, Jurnal NOETIC Psichology, Vol. 4, No. 2, 2014.
Andi Prastowo, “Pemenuhan Kebutuhan Psikologis Peserta Didik  SD/MI Melalui Pembelajaran Tematik-Terpadu” Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar, Vol. 1, No.  1, 2014.
Cicik Pramesti. “Penerapan Pendekatan Pemrosesan Informasi Bagi Mahasiswa” . Jurnal Edukasi,  Vol, 3, No.1, 2017.
Santrock, John W. Psikologi Pendidikan, terj. Harya Bhimasena  Jakarta: Salemba Humanika, 2017.







































[1] Amelia, Wiliam Gunawan, “Dalam Pengambilan Keputusan Remaja”, (Jurnal NOETIC Psichology), Vol. 4, 130-132.
[2] Ibid., 133.
[3] Andi Prastowo, “Pemenuhan Kebutuhan Psikologis Peserta Didik  SD/MI Melalui Pembelajaran Tematik-Terpadu”, (Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar), Vol. 1, 5-6.
[4] Cicik Pramesti, “Penerapan Pendekatan Pemrosesan Informasi Bagi Mahasiswa ”, Vol 3, 54-55.
[5] Ibid,.55-56.
[6] Risnanosanti, “Kemampuan Metakognisi Siswa Dalam Pembelajaran Matematika”, Vol. 4, 87.
[7] John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, terj. Harya Bhimasena (Jakarta: Salemba Humanika, 2017), 328.

1 komentar:

Semoga Manfaat