Selasa, 26 Desember 2017

MAKALAH PENDEKATAN KONTRUKTIVISME DAN PEMBELAJARAN DALAM MEMBACA DAN MENULIS "PSIKOLOGI PENDIDIKAN"




Kata Pengantar
Puji syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah PSIKOLOGI PENDIDIKAN, dan kami ucapkan terima kasih kepada Ibu dosen Novi Wahyu Winastuti, M. SI yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
            Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna untuk menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang PSKILOGI PENDIDIKAN. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan yang jauh dari sempurna.
            Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun, semoga dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.



   8 Nopember  2017


Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud kontruktivisme sosial ?
2.      Apa pengertian pembelajaran?
3.      Bagaimana pendekatan kontruktivisme social dama pembelajaran membaca dan menulis?
      C. Tujuan Penulisan
1.      Memahami kontruktivisme social.
2.      Mengetahui pengertian pembelajaran.
3.      Mengetahui pendekatan kontruktivisme social dama pembelajaran membaca dan menulis.











A.    Pengertian Pendekatan Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang pertama kali dikemukakan oleh Giambatista Vico tahun 1710, ia adalah seorang sejarawan Italia yang mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ”Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu (Suparno, 1997:24). Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi (2005 :70) bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya”.
B.     Ciri-Ciri Pembelajaran Yang Konstruktivis Menurut Beberapa Literatur
1.      Menurut Yuleilawati.
a.       Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya.
b.      Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia.
c.       Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman.
d.      Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain.
2.      Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah.
3.      Menurut Siroj.
a.       Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan belajar yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
b.      Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
c.       Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
d.      Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
e.       Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
f.        Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau belajar.
C.    Macam-Macam Konstruktivisme
Konstruktivisme dibedakan dalam dua tradisi besar yaitu konstruktivisme psikologis (personal) dan sosial. Konstruktivisme psikologis memiliki dua cabang, yaitu yang lebih personal (Piaget,1981:43) dan yang lebih sosial (Vygotsky); sedangkan konstruktivisme sosial berdiri sendiri (Kukla, 2003: 11-14).
1.      Konstruktivisme personal
Piaget (Fosnot (ed), 1996: 13-14) menyoroti bagaimana anak-anak pelan-pelan membentuk skema pengetahuan, pengembangan skema dan mengubah skema. Ia menekankan bagaimana anak secara individual mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang dihadapinya. Ia menekankan bagaimana seorang anak mengadakan abstraksi, baik secara sederhana maupun secara refleksif, dalam membentuk pengetahuannya. Tampak bahwa tekanan perhatian Piaget lebih keaktifan individu dalam membentuk pengetahuan. Bagi Piaget, pengetahuan lebih dibentuk oleh si anak itu sendiri yang sedang belajar daripada diajarkan oleh orang tua.


Konstruktivisme psikologis memilik dua cabang yaitu:
a.       Yang lebih personal, individual, dan subjektif seperti Piaget dan para pengikutnya.
b.      Yang lebih sosial seperti Vigotsky. Piaget menekankan aktivitas individual, lewat asimilasi dan akomodasi dalam pembentukan pengetahuan, sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat dalam mengkonstruksi pengetahuan ilmiah.
Dalam pandangan Piaget, pengetahuan dibentuk oleh anak lewat asimilasi dan akomodasi dalam proses yang terus menerus sampai ketika dewasa. Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, nilai-nilai ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Setiap orang secara terus menerus selalu mengembangkan proses asimiliasi. Proses asimilasi bersifat individual dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru sehingga pengertian orang berkembang.
2.      Konstruktivisme sosial
Teori konstruktivisme di dalam bidang pendidikan terdiri dari dua aliran besar yaitu konstruktivisme sosial (KS) dan konstruktivisme personal (KP). Konstruktivisme sosial dan konstruktivisme personal sama-sama berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil rekayasa manusia sebagai individu. Akan tetapi keduanya memiliki perbedaan pandangan mengenai peranan individu dan masyarakat dalam proses pembentukan ilmu pengetahuan itu.
Pendukung konstruktivisme sosial berpendapat bahwa di samping individu, kelompok di mana individu berada, sangat menentukan proses pembentukan pengetahuan pada diri seseorang. Melalui komunikasi dengan komunitasnya, pengetahuan seseorang dinyatakan kepada orang lain sehingga pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan penyempurnaan. Selain itu, melalui komunikasi seseorang memperoleh informasi atau pengetahuan baru dari masyarakatnya. Vygotsky menandaskan bahwa kematangan fungsi mental anak justru terjadi lewat proses kerjasama dengan orang lain, seperti dinyatakan oleh Newman (1993:62) sebagai berikut: ”The maturation of the child’s higher mental functions occurs in this cooperative process, that is, it occurs through the adult’s assistance and participation”.[1]
D.    Teori Konstruktivisme Untuk Memahami Belajar
Menurut pandangan konstruktivisme, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Berikut ini, beberapa definisi teori konstruktivisme dari beberapa ahli:
1.      Jean Piaget menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh seorang anak merupakan hasil dari konstruksi pengetahuan awal yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang baru diperolehnya.
2.      Lev Vygotsky berkata ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky yaitu. (1) Zone of Proximal Development (ZPD), Kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu; dan (2) Scaffolding, pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya.
3.      John Dewey bahwa belajar bergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam Kurikulum harus saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Belajar harus bersifat.[2]


E.     Pengaruh konstruktivisme terhadap proses dan makna belajar
Makna belajar Bagi konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, di mana peserta didik membangun sendiri pengetahuan, keterampilan dan tingkah lakunya. Peserta didik mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Peserta didik sendiri lah yang bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Mereka sendiri yang membuat penalaran dengan apa yang dipelajarinya, dengan cara mencari makna, membandingkan dengan apa yang telah ia ketahui dengan pengalaman dan situasi baru.
Belajar adalah lebih merupakan suatu proses untuk menemukan sesuatu, daripada suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu. Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta-fakta, tetapi suatu proses pemikiran yang berkembang dengan membuat kerangka pengertian yang baru. Peserta didik harus mempunyai pengalaman dengan membuat hipotesis, prediksi, mengetes hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain sebagainya untuk membentuk konstruksi pengetahuan yang baru. Proses belajar itu antara lain bercirikan sebagai berikut:
1.      Belajar berarti membentuk makna. Proses pembentukan makna ini berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya melalui interaksi langsung dengan objek. Makna diciptakan oleh peserta didik dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
2.      Konstruksi terjadi lewat asimilasi dan akomodasi. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru.
3.      Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih kepada suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian (konsep) yang baru. Belajar itu meredifinisi pengetahuan konsep lama menjadi pengertian ataupun konsep yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4.      Hasil belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikirannya lebih lanjut. Situasi ketidak seimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
5.      Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman peserta didik dengan dunia fisik dan lingkungannya.
6.      Belajar akan bermakna jika terjadi melalui refleksi dan memecahkan konflik kognitif dan menggugat pengetahuan lamanya yang kurang sempurna.
7.      Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui oleh peserta didik. Seperti konsep-konsep, nilai-nilai, tujuan, sikap dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari. Setiap peserta didik mempunyai cara untuk mengerti kemampuannya sendiri. Maka penting bagi setiap peserta didik mengerti kemampuannya, keunggulan dan kelemahannya dalam mengerti sesuatu. Mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat bagi diri sendiri. Setiap peserta didik mempunyai cara yang cocok untuk mengkonstruksi pengetahuannya yang kadang-kadang sangat berbeda dengan teman-temannya yang lain. Dalam kerangka ini, sangat penting bahwa peserta didik dimungkinan untuk mencoba bermacam-macam cara belajar yang cocok bagi dirinya, begitu juga penting bagi pendidik menciptakan bermacam-macam cara belajar yang cocok untuk peserta didiknya. Di dalam kelas, sering kali peserta didik sudah membawa konsep yang bermacam-macam sebelum pelajaran formal dimulai. Inilah pengetahuan dasar mereka untuk dapat dikembangkan menjadi pengetahuan yang baru. Mereka juga membawa perbedaan tingkat intelektual, personal, sosial, emosional, kultural ketika masuk ruang pelajaran. Ini semua mempengaruhi pemahaman mereka. Latar belakang dan pengertian awal yang dibawa peserta didik sangat penting dimengerti oleh pendidik agar dapat membantu memajukan dan mengembangkan kemampuan sesuai dengan pengetahuan yang lebih sempurna. Karena pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial, maka kesempatan untuk belajar kelompok, diskusi, cooperative learning dapat dikembangkan. Menurut Glasersfeld, dalam belajar kelompok, peserta didik yang mengerjakan suatu persoalan secara bersama-sama, harus mengungkapkan bagaimana melihat persoalan tersebut dan apa yang ingin mereka buat dengan persoalan itu. Inilah salah satu cara menciptakan refleksi, yang menuntut kesadaran akan apa yang sedang dipikirkan dan sedang dibuat. Selanjutnya hal tersebut akan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk secara aktif membuat abstraksi. Bagi peserta didik, menjelaskan sesuatu kepada kawan-kawan dapat membantu untuk melihat sesuatu lebih jelas terutama inkonsistensi pandangan mereka sendiri. Seseorang yang diberi kesempatan untuk menjelaskan bahan pada seluruh kelas, biasanya terpacu untuk belajar lebih sungguh-sungguh.
Konstruktivisme sosial menekankan bahwa belajar menyangkut dimasukkannya seseorang dalam suatu dunia simbolik atau konsep. Pengetahuan dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dengan percobaan, diskusi kelompok dan tukar pengalaman. Belajar juga merupakan proses di mana seseorang dimasukan dalam suatu kultur orang-orang terdidik. Dalam hal ini peserta didik tidak hanya perlu akses ke pengalaman fisik, tetapi juga pada konsepkonsep dan model dari ilmu pengetahuan yang telah ada. Maka peran pendidik di sini penting, karena mereka menyediakan kesempatan yang cocok dan juga prasarana masyarakat ilmiah bagi peserta didik. Dalam konteks ini, kegiatan-kegiatan yang memungkinkan para peserta didik berdialog dan berinteraksi dengan para ahli, dengan lembaga-lembaga penelitian, dengan sejarah penemuan ilmiah, dengan masyarakat pengguna hasil ilmiah akan sangat membantu dan merangsang untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka.[3]







BAB II
A.    PENDEKATAN KONTRUKTIVISME SOSIAL DENGAN PEMBELAJARAN MEMBACA

Pendekatan kontruktivis sosial membawa aspek sosial membaca ke garis depan(Ariza  Lapp, 2011; Hiebert Raphael, 1996). Kontribusi konteks sosial dalam membantu anak-anak belajar membaca meliputi faktor-faktor seperti banyaknya penekanan tempat budaya membaca, sejauh mana orangtua memperkenalkan anak-anak mereka pada buku sebelum memasuki sekolah formal, keterampilan komunikasi guru, sejauh mana guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan yang dibaca dan kurikulum membaca yang diamanatkan(McGee  Richgels,2008). Disisi lain, kontruktivis kognitif menekankan kontruksi makna oleh siswa, kontruktivis sosial menekankan makna yang dinegosiasikan secara sosial. Dengan kata lain makna tidak hanya melibatkan kontribusi pembaca tetapi juga konteks sosial tujuan membaca (Ariza  Lapp, 2011). Pendekatan kontruktivis sosial menekankan pentingnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalam dialog yang bermakna mengenai membaca salah satu cara melakukan ini adalah melalui pengajaran timbal balik.
Pengajaran Timbal Balik Dalam diskusi tentang program FCL menjelaskan Pengajaran Timbal Balik dalam hal siswa bergiliran memimpin diskusi kelompok kecil pengajaran timba balik juga dapat melibatkan guru dan siswa. Dalam pengajaran timbal balik guru pada awalnya menjelaskan tentang cara menggunakan strategi dan model untuk memahami teks. Kemudian, mereka meminta siswa untuk menunjjukan strategi, memberi dukungan saat pelajaran. Seperti dalam perancah, guru secara bertahap mengansumsikan peran yang kurang aktif, membiarkan siswa menganggap lebih banyak inisiatif. Misalnya, Annemarie Palincsar dan Ann Brown (1984) menggunakan pengajaran timbal balik untuk meningkatkan kemampuan siswa memberlakukan strategi tertentu dalam meningkatkan pemahaman membaca. Dalam intruksi perancah guru, guru bekerja dengan siswa menghasilkan pertanyaan tentang teks yang dibaca, menjelaskan yang tidak dimengerti, meringkas teks, dan membuat prediksi.[4]
Penelitian tentang pengajaran timbal balik menunjukkan bahwa ini adalah strategi yang sangat efektif untuk meningkatkan pemahaman bacaan (Webb & Palincsar, 1996). Sebagai contoh, penelitian terbaru meneliti pengaruh strategi membaca (meringkas, mempertanyakan, menjelaskan, dan memprediksi) dalam kelompok kecil pengajaran timbal balik, pasangan, instruktur kelompok-kelompok kecil yang dipandu (Sporer, Brunstein & Kieschke, 2009). Dibandingkan dengan kelompok kontrol dari siswa yang menerima intruksi tradisional, siswa yang menerima intruksi strategi mencapai skor elebih tinggi dalam pemahaman membaca. Selanjutnya, siswa yang berlatih pengajaran timbal balik dalam kelompok-kelompok kecil dinilai lebih tinggi pada ujian prestasi membaca siswa dalam kelompok intruksi yang dipandu tradisional.
Koneksi Sekolah/Keluarga/Masyarakat Dari prespektif kontruktivis sosial, sekolah bukan satu-satunya konteks sosiakultural yang penting dalam membaca. Keluarga dan masyarakat juga penting (Ariza  Lapp, 2011), perhatian khusus adalah sebuah penelitian, rata-rata, anak-anak muda dirumah kesejahteraan mendengar tentang 2.100 kata perjam (Hart Risley, 1995). Selain itu, anak-anak dirumah kesejahteraan hanya menerima setengah dari pengalaman bahasa diawal tahun seperti anak-anak dalam keluarga berpenghasilan menengah. Juga, anak-anak dalam keluarga berpenghasilan tinggi memiliki pengalaman bahasa bahkan dua kali lipat dari anak-anak dalam keluarga berpenghasilan menengah.
Siswa berisiko tidak mebca diluar sekolah akan jatuh dibelakang saat melalui tahun-tahun disekolah dasar. Banyak orangtua siswa yang berisiko mengalami kesulitan membaca, serta masalah dalam mendapatkan buku(Gunning, 2010).
Saya baru-baru ini bertanya pada guru tentang cara mereka membantu siswa dalam membaca secara efektif. Berikut ini adalah tanggapan mereka.[5]

ANAK USIA DINI
Pada anak usia yang sangat muda,penting untuk memiliki lingkungan cetak-yang-kaya saat mereka dapat melihat berbagai kata frasa dimana-mana. Kelas kami dipenuhi dengan buku cerita, kamus bergambar, majalah, dana sebagainya. Juga, setiap objek dalam kelasdiberi label, misalnya, pintu, kursi, jendela, dan rak buku, sehingga anak-anak mengasosiasikan kata tercetak pada label buku itu, nama anak-anak dicetak dibanyak tempat, sehingga mereka terbiasa melihatnya.
SEKOLAH DASAR KELAS 5
Saya membantu anak kelas dua agar membaca lebih efektif dengan menekankan membaca untuk pemahaman. Saya memasukkan strategi pemahaman pra-membaca, selama- membaca dan pasca-membaca.dalam pra-membaca, saya menyatakan tujuan dari membaca dan pra-tinjau gambar, judul, kepala surat, kata tebal, dan sebagainya. Selama membaca, kami menyeleksi makna(Apakah ini masuk akal? Kata apa saja yang membingungkan?) dan membaca kembali untuk memahami. Dalam pasca- membaca, kami memeriksa untuk mengetahui hal apa yang dibaca. Meringkas, dan mencerminkannya.
SEKOLAH MENENGAH
Kelas 6-8 salah satu cara terbaik untuk menjadi pembaca yang lebih baik adalah dengan membaca! Setiap kali saya menutup era sejarah dengan tingkat ketujuh, saya juga membuat mereka sadar akan buku terkait yang tersedia diperpustakaan sekolah. Pustakawan akan menarik buku dari rak-rak yang sesuai dan menampilkannya untuk siswa. Bahkan, yang paling menarik “non-pembaca” memiliki bukayang ia suka, trik ini untuk menemukan buku yang tepat!
SEKOLAH TINGGI
Kleas 9-12 dengan cara mengajarkan membaca diamerika, maka tidak heran banyak siswa membencinya. Kami membuat membaca begitu menyakitkan dan serius, misalnya, kita memilih selain novel, kita buat kuis dan menguji sampai mati. Guru perlu memperlihatkan kepada siswa bahwa membaca merupakan hal yang menyenangkan-mereka harus membaca apa yang siswa membaca, “menjual” buku-buku kepada siswa dengan berbicara tentang bagian-bagian yang paling menarik, biarkan siswa melihat mereka membaca, dan menjadi bersemangat dan energik saat mendiskusikan buku-buku baru dikelas.[6]
B.     PENDEKATAN KONTRUKTIVISME SOSIAL DENGAN PEMBELAJARAN MENULIS
Konteks sosial menulis:
Prespektif kontruktivis soial berfokus pada konteks sosial tulisan diproduksi (Arizal & Lapp, 2011). Siswa harus berpartisipasi dalam komunitas menulis untuk memahami hubungan penulis – pembaca dan belajar untuk mengenali cara prespektif mereka mungkin berbeda dengan orang lain(Hiebert & Raphael, 1996).
Beberapa siswa berlatar belakang banyak pengalaman menulis dan dorongan untuk menulis ke kelas, sedangkanyang lainnya tidak (More-Hart, 2010). Dibeberapa kelas, guru menempatkan nilai tinggi pada penulisan, orang lain memperlakukan guru menulis sebagai kuarang penting. Suatu studi terbaru mengungkapkan bahwa di sekolah saat siswa menunjukkan prestasi yang tinggi dalam menulis dan membaca, seni bahasa diberi prioritas tinggi oleh kepala sekolah dan guru (Pressley dkk., 2007b). Kepala sekolah mengarahkan sumber daya untuk membaca dan menulis intruksi, termasuk ekspansi besar jumlah buku diperpustakaan sekolah dan dorongan kunjungan lapangan yang berkaitan dengan seni bahasa.
Tulisan yang bermakna dan konferensi Siswa-Guru.
Menurut pendekatan kontruktivis sosial, kesempatan menulis siswa harus mencakup untuk  menciptakan teks “nyata”, dalam arti menulis tentang situasi pribadi yang berarti. Sebgaia contoh perhatikan Anthony, siswa yang sering disuruh gurunya untuk menulis tentang pengalaman pribadi. Ia menulis tentang kehidupan neneknya dan kematian, dan gurunya memberinya dukungan yang besar untuk menulis tentang pengalaman emosional ini. Konferensi menulis siswa-guru berperan penting dalam membantu siswa menjadi penulis yang lebih baik(Moore-Hart, 2010).[7]
Koneksi Sekolah-Masyarakat
Dalam pendekatan kontruktivis sosial penting untuk menghubungkan pengalaman siswa disekolah dengan dunia diluar kelas(Comboz, 2010). Strategi yang baik adalah melibatkan masyarakat menulis dikelas anda. Lihatlah disekitar komunitas anda dan berpikir tentang penulis ahli yang bisa diundang ke kelas untuk mendiskusikan pekerjaan mereka. Sebagian besar masyarakat memiliki keahlian tersebut, seperti jurnalis, penulis dan editor. Salah satu dari empat sekolah menengah di Amerika Serikat diidentifikasikasi oleh Joan Lipsitz(1984) membentuk Minggu Pengarang khusus ke kurikulumnya. Berdasarkan minat, ketersediaan siswa, keagamaan, penulis diundang untuk membahas karya mereka dengan siswa. Siswa mendaftar untuk bertemu penulis. Sebelum bertemu penulis, mereka diwajibkan untuk membaca stidaknya satu dari buku-buku penulis. Siswa membuat pertanyaan untuk sesi penulisannya. Dalam beberapa kasus, penulis datang ke kelas selama beberapa hari untuk bekerja dengan siswa pada proyek-proyek tulisan mereka.
Dalam perjalanan diskusi tentang membaca dan menulis, telah dijelaskan sejumlah gagasan yang dapat digunakan dikelas. Untuk mengevaluasi membaca dan menulis pengalaman. Saya baru-baru ini bertanya guru tentang cara mereka membantu siswa dalam meningkatkan keterampilan menulis mereka. Berikut adalah tanggapan mereka.Anak usia dini secara bertahap, anak-anak pra-sekolah belajar menulis . mereka mulai dengan menulis, kemudian beralih kebentuk gambar, kemudian pindah ke menulis aksara dasar. Hal tersebut penting untuk mendorong dan mendukung (tidak mengoreksi) anak-anak semesntara mereka belajar dan berlatih.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendekatan kontruktivis sosial menekankan pentingnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalam dialog yang bermakna mengenai membaca salah satu cara melakukan ini adalah melalui pengajaran timbal balik.
Pendukung konstruktivisme sosial berpendapat bahwa di samping individu, kelompok di mana individu berada, sangat menentukan proses pembentukan pengetahuan pada diri seseorang. Melalui komunikasi dengan komunitasnya, pengetahuan seseorang dinyatakan kepada orang lain sehingga pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan penyempurnaan. Selain itu, melalui komunikasi seseorang memperoleh informasi atau pengetahuan baru dari masyarakatnya. Vygotsky menandaskan bahwa kematangan fungsi mental anak justru terjadi lewat proses kerjasama dengan orang lain.











DAFTAR PUSTAKA
Sutarjo Adisusilo, “Konstrutivisme Dalam Pembelajaran”.
Uswatun Umi, Hikmah dan Indrya Mulyaningsih,”Pendekatan Teori Kontruktivistik”, Indonesian Language Education and Literature, (2016), Vol.1: 43.
W. Santrock, John, Psikologi Pendidikan , Jakarta: Salemba Humanika, 2014.



[1] Sutarjo Adisusilo, “KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN”, 131-132.

[2] Hikmah Uswatun Umi dan Indrya Mulyaningsih,”Pendekatan Teori Kontruktivistik”, Indonesian Language Education and Literature, 1 (2016), 43.
[3] Sutarjo Adisusilo, “Konstrutivisme Dalam Pembelajaran”,  10-11.
[4] John W. Santrock, Psikologi Pendidikan , (Jakarta: Salemba Humanika, 2014). 84-86.
[5] Ibid.,
[6] Ibid.,
[7] Ibid. 91-92.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat