KEBOLEHAN
MEMUKUL ANAK DIDIK
Ilmu
pendidikan kini berkembang pesat, termasuk pendidikan Islam. Berbagai penelitian
yang dilakukan bertahun-tahun pada gilirannya melahirkan berbagai metode, cara,
dan model baru di bidang pendidikan. Aplikasinya juga telah dievaluasi dan
terus disempurnakan. Intinya, teknik dan metodologi pendidikan telah berkembang
di jaman lahirnya Islam. Termasuk hal baru yang belum ada pada masa Islam awal
dan baru ditemukan zaman sekarang adalah dampak negatif kekerasan terhadap
tumbuh kembang anak.
Adapun
hadis yang membolehkan memukul anak dalam rangka mendidik shalat mereka adalah
hadis riwayat Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud-nya. Sementara
menurut Al-Utsaimin, hadis ini memiliki status hasan.
“memukul
merupakan salah satu sarana pendidikan. Seorang guru boleh memukul, seorang pendidik
boleh memukul, orang tua juga boleh memukul sebagai bentuk pengajaran dan hukuman.
Seorang suami juga boleh memukul istrinya apabila dia membangkang. Akan tetapi
ada batasnya. Misalnya tidak boleh memukul yang melukai yang dapat membuat
kulit lecet atau mematahkan tulang. Cukup pukulan seperlunya.”
Sementra
Syekh Ibnu Utsaimin dalam kitab Liqa’al-Bab
al-Maftuh berkata:
“perintah
ini bermakna wajib, akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu membawa manfaat.
Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul pun tapi tidak bermanfaat pukulan
tersebut. Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak dapat bermanfaat.
Kemudian, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang
mendatangkan perbaikan bukan mencelakakan.
Teori
Yusuf al Qqardawi menarik untuk difahami terkait dengan hadis di atas. Dalam
karyanya yang berjudul Kayfa Nata’ammal Ma’a al-Sunnah Al-Nabawiyah, Yusuf al
Qardawi mengemukakan teori bahwa dalam memahami hadis nabi, seseorang harus
membedakan antara tujuan yang tetap dan sarana yang berubah-ubah. Pesan yang ada-pada
dalam teks-teks hadis itu sebenarnya memiliki maksud dan tujuan tertentu.
Maksud dan tujuan ini sifatnya tetapi, tidak berubah hingga sampai kapanpun,
karena itulah yang hendak dituju oleh syara’.
Jika
teori ini diterapkan untuk memahami hadis bolehnya memukul anak sepuluh tahun
yang tidak shalat di atas, maka tampak bahwa tujuan hadis di atas adalah upaya
mendidik anak agar memperhatikan shalat sejak dini, bahwa orang tua wajib sejak
dini mananamkan perasaan bahwa shalat adalah sesuatu esensial dalam kehidupan seorang muslim. Adapun
“memukul” itu hanya masalah teknis belaka untuk mencapai tujuan tersebut. Ia
dapat digantikan dengan hal lain yang lebih efektif dalam mencapai tujuan itu
sendiri.
NABI
TIDAK PERNAH MENDIDIK DENGAN KEKERASAN
Jika
hanya memperhatikan hadis di atas, orang mukmin akan terburu-buru menyimpulkan
bahwa kekerasan memiliki legalitas tersendiri dalam pendidikan Islam. Asumsi
ini seharusnya menyimpan problem serius. Hanya bermodalkan satu hadis, maka
seseorang cukup membuat kesimpulan tersebut. Padahal, ada banyak hadist lain yang
justeru menunjukkan bahwa nabi lebih sering menempuh cara-cara penuh kelembutan
dan kasih sayang dalam mendidik seseorang. Dalam riwayat Aisyah bahkan
dikatakan
“sesungguhnya
Aisyah r.a berkata : “ demi Allah, Rasulullah tidak pernah memukul dengan tangannya,
baik beliau bersumpah bahwa nabi tidak pernah memukul seseorang dengan
tangannya kecuali saat perang atau jihad di jalan Allah. Ini artinya, nabi
tidak pernah mempraktikkan kekerasan dalam mendidik para sahabatnya, baik
sahabat yang masih kecil maupun sudah dewasa. Padahal para sahabat yang dewasa
itu banyak yang berasal dari suku-suku pedalaman dan bebrapa di antara mereka
memiliki sifat kasar semacam Umar bin Khatab.
Kelembutan
merupakan akhlak yang mampu mendekatkan manusia kepada pencerahan. Pencerahan
inilah sebenarnya tujuan utama pendidikan Islam. Jika dalam pendidikan
kekerasan lebih diutamakan, maka kemungkinan besar hanya akan menghasilkan
kegagalan.
Rasul
SAW pernah mengingatkan Siti Aisyah saat bersikap kasar.
“sesungguhnya
Allah Maha lembut dan menyukai kelembutan dan Allah memberi dampak positif pada
kelembutan yang tidak diberikan kepada kekerasan. Dan tiada kelembutan dari
sesuatu kecuali akan menghiasinya dan bila dicabut kelembutan dari sesuatu akan
menjadikannya buruk. (H.R Muslim)
Ketika
seorang pendidik telah membiasakan diri dengan kelemah lembutan, maka itu akan
membuat dirinya bersikap kasih sayang kepada anak didiknya. Selain akan
membangun kedekatan psikologis antara pendidik dan si anak didik, juga akan mempermudah
pola komunikasi keduanya. Kedekatan ini akan mempermudah bagi sang pendidik
untuk memberikan nasehat dan menanamkan pengaruhnya ada jiwa anak didiknya. Sebaliknya,
dengan sika keras, kaku, dan kasar akan membuat anak didik lari dan menjauh,
selain juga rentan menanamkan benih-benih kebencian kepada dirinya.
Kelebihan:
penjelasannya bagus, di dalam ceritanya dikuatkan dengan adanya ayat Al Qu’ran
maupun hadits yang bersangkutan dengan cerita, kata-katanya mudah dipahami.
Kekurangan:
menurut saya, jurnal di atas isinya saling bersangkutan. Namun, urut-urutan
ceritanya membuat seperti tidak saling bersangkutan dan sulit dipahami. Benar
ada ayat al Qur’an maupun hadits tetapi Cuma artinya, seharusnya juga
dipaparkan ayat al Qur’annya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat