Selasa, 19 Desember 2017

KEBOLEHAN MEMUKUL ANAK DIDIK



KEBOLEHAN MEMUKUL ANAK DIDIK
Ilmu pendidikan kini berkembang pesat, termasuk pendidikan Islam. Berbagai penelitian yang dilakukan bertahun-tahun pada gilirannya melahirkan berbagai metode, cara, dan model baru di bidang pendidikan. Aplikasinya juga telah dievaluasi dan terus disempurnakan. Intinya, teknik dan metodologi pendidikan telah berkembang di jaman lahirnya Islam. Termasuk hal baru yang belum ada pada masa Islam awal dan baru ditemukan zaman sekarang adalah dampak negatif kekerasan terhadap tumbuh kembang anak.
Adapun hadis yang membolehkan memukul anak dalam rangka mendidik shalat mereka adalah hadis riwayat Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud-nya. Sementara menurut Al-Utsaimin, hadis ini memiliki status hasan.
“memukul merupakan salah satu sarana pendidikan. Seorang guru boleh memukul, seorang pendidik boleh memukul, orang tua juga boleh memukul sebagai bentuk pengajaran dan hukuman. Seorang suami juga boleh memukul istrinya apabila dia membangkang. Akan tetapi ada batasnya. Misalnya tidak boleh memukul yang melukai yang dapat membuat kulit lecet atau mematahkan tulang. Cukup pukulan seperlunya.”
Sementra Syekh Ibnu Utsaimin dalam kitab Liqa’al-Bab al-Maftuh berkata:
“perintah ini bermakna wajib, akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu membawa manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul pun tapi tidak bermanfaat pukulan tersebut. Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak dapat bermanfaat. Kemudian, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan perbaikan bukan mencelakakan.
Teori Yusuf al Qqardawi menarik untuk difahami terkait dengan hadis di atas. Dalam karyanya yang berjudul Kayfa Nata’ammal Ma’a al-Sunnah Al-Nabawiyah, Yusuf al Qardawi mengemukakan teori bahwa dalam memahami hadis nabi, seseorang harus membedakan antara tujuan yang tetap dan sarana yang berubah-ubah. Pesan yang ada-pada dalam teks-teks hadis itu sebenarnya memiliki maksud dan tujuan tertentu. Maksud dan tujuan ini sifatnya tetapi, tidak berubah hingga sampai kapanpun, karena itulah yang hendak dituju oleh syara’.
Jika teori ini diterapkan untuk memahami hadis bolehnya memukul anak sepuluh tahun yang tidak shalat di atas, maka tampak bahwa tujuan hadis di atas adalah upaya mendidik anak agar memperhatikan shalat sejak dini, bahwa orang tua wajib sejak dini mananamkan perasaan bahwa shalat adalah sesuatu esensial  dalam kehidupan seorang muslim. Adapun “memukul” itu hanya masalah teknis belaka untuk mencapai tujuan tersebut. Ia dapat digantikan dengan hal lain yang lebih efektif dalam mencapai tujuan itu sendiri.
NABI TIDAK PERNAH MENDIDIK DENGAN KEKERASAN
Jika hanya memperhatikan hadis di atas, orang mukmin akan terburu-buru menyimpulkan bahwa kekerasan memiliki legalitas tersendiri dalam pendidikan Islam. Asumsi ini seharusnya menyimpan problem serius. Hanya bermodalkan satu hadis, maka seseorang cukup membuat kesimpulan tersebut. Padahal, ada banyak hadist lain yang justeru menunjukkan bahwa nabi lebih sering menempuh cara-cara penuh kelembutan dan kasih sayang dalam mendidik seseorang. Dalam riwayat Aisyah bahkan dikatakan
“sesungguhnya Aisyah r.a berkata : “ demi Allah, Rasulullah tidak pernah memukul dengan tangannya, baik beliau bersumpah bahwa nabi tidak pernah memukul seseorang dengan tangannya kecuali saat perang atau jihad di jalan Allah. Ini artinya, nabi tidak pernah mempraktikkan kekerasan dalam mendidik para sahabatnya, baik sahabat yang masih kecil maupun sudah dewasa. Padahal para sahabat yang dewasa itu banyak yang berasal dari suku-suku pedalaman dan bebrapa di antara mereka memiliki sifat kasar semacam Umar bin Khatab.
Kelembutan merupakan akhlak yang mampu mendekatkan manusia kepada pencerahan. Pencerahan inilah sebenarnya tujuan utama pendidikan Islam. Jika dalam pendidikan kekerasan lebih diutamakan, maka kemungkinan besar hanya akan menghasilkan kegagalan.
Rasul SAW pernah mengingatkan Siti Aisyah saat bersikap kasar.
“sesungguhnya Allah Maha lembut dan menyukai kelembutan dan Allah memberi dampak positif pada kelembutan yang tidak diberikan kepada kekerasan. Dan tiada kelembutan dari sesuatu kecuali akan menghiasinya dan bila dicabut kelembutan dari sesuatu akan menjadikannya buruk. (H.R Muslim)
Ketika seorang pendidik telah membiasakan diri dengan kelemah lembutan, maka itu akan membuat dirinya bersikap kasih sayang kepada anak didiknya. Selain akan membangun kedekatan psikologis antara pendidik dan si anak didik, juga akan mempermudah pola komunikasi keduanya. Kedekatan ini akan mempermudah bagi sang pendidik untuk memberikan nasehat dan menanamkan pengaruhnya ada jiwa anak didiknya. Sebaliknya, dengan sika keras, kaku, dan kasar akan membuat anak didik lari dan menjauh, selain juga rentan menanamkan benih-benih kebencian kepada dirinya.
Kelebihan: penjelasannya bagus, di dalam ceritanya dikuatkan dengan adanya ayat Al Qu’ran maupun hadits yang bersangkutan dengan cerita, kata-katanya mudah dipahami.
Kekurangan: menurut saya, jurnal di atas isinya saling bersangkutan. Namun, urut-urutan ceritanya membuat seperti tidak saling bersangkutan dan sulit dipahami. Benar ada ayat al Qur’an maupun hadits tetapi Cuma artinya, seharusnya juga dipaparkan ayat al Qur’annya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat