Hukum Dalam Perbankan
Syariah Sebagai Bentuk Keuntungan Tersembunyi Pada Akselerasi Ekonomi Syariah
Indonesia
Bank
syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan
jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Bank syariah lahir
sebagai salah satu solusi alternatif terhadap persoalan pertentangan antara
bunga bank dengan riba. Dengan demikian, kerinduan umat Islam Indonesia yang
ingin melepaskan diri dari persoalan riba telah mendapatkan jawaban dengan
lahirnya bank Islam.[1]
Prakarsa
perbankan syariah di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal
18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di
Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam
pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta,
22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja
untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja yang disebut Tim
Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak
terkait. Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI
tersebut di atas. Akte Pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada
tanggal 1 November 1991. Pada tanggal 1 Mei 1992 Bank Muamalat Indonesia mulai
beroperasi.[2]
Pada
tahun 1992, Indonesia mengeluarkan UU Nomor 10 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Di
dalamnya dijelaskan bahwa Indonesia memasuki era dual-system – bank boleh
beroperasi dengan prinsip syariah. Sedangkan pada tahun 1999, muncul UU Nomor
23 Tahun 1999 Tentang BI. Dijelaskan bahwa peranan BI sebagai otoritas moneter
dapat melaksanakan kebijakan moneter, diberlakukannya ketentuan kelembagaan
bank syariah yang sesuai dengan karakteristik, dan beroperasinya UUS dan Bank
Umum Konvensional. Pada tahun 2008, muncullah UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah. Hal tersebut merupakan dasar hukum dalam Perbankan syariah
yang dapat dijadikan dasar dalam pengoperasian bank syariah.
Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) mencatat market share industri keuangan syariah sudah
mencapai 8,01 % hingga Agustus 2017. Sementara total aset keuangan syariah
Indonesia mencapai Rp 1.048,8 triliun. Industri perbankan syariah saat ini
terdiri dari 13 bank umum syariah, 21 bank unit usaha syariah dan 167 BPR
Syariah, yang memiliki total aset Rp 389,7 triliun.[3]
Dari paparan data diatas dapat diketahui bahwa perkembangan perbankan syariah
di Indonesia cukup baik, hal ini dapat dilihat semakin banyaknya
lembaga-lembaga keuangan syariah dan semakin bertambahnya aset yang dimiliki.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya pengembangan ekonomi syariah menjadi
prioritas dalam pengembangan perekonomian bangsa dan negara.
Menurut
pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara
Indonesia adalah negara hukum. Sedangkan prinsip suatu negara hukum menurut
J.B.J.M Ten Berge adalah adanya asas legalitas, perlindungan hak-hak asasi,
pemerintah terikat pada hukum, monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin
penegakan hukum dan pengawasan oleh hakim yang merdeka. Bila dikaitkan dengan
adanya perbankan syariah di Indonesia, pelaksanaan perbankan syariah harus
sesuai dengan prinsip negara hukum tersebut. Perbankan syariah harus telah
berhasil menerapkan asas legalitas yaitu dengan dasar hukum yang kuat berupa UU
No 21 Tahun 2008 tentang perbankan Syariah. Serta penjaminan simpanan nasabah
perbankan syariah juga telah ada di suatu dasar hukum berupa Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2005 Tentang Penjaminan Simpanan
Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah. Adanya asas legalitas dalam perbankan
syariah secara tidak langsung merupakan bentuk dari perlindungan hak-hak asasi
yaitu hak-hak asasi dari nasabah perbankan syariah untuk memperoleh
kesejahteraan melalui perekonomian.
Pemaparan
diatas menunjukkan bahwa adanya hukum dalam perbankan syariah merupakan suatu
bentuk keuntungan yang tersembunyi. Bentuk keuntungan tersembunyi ini lah yang
seharusnya juga menjadi perhatian dari masyarakat untuk memilih produk ekonomi
yang hendak dipilih.kecenderungan masyarakat sekarang ini adalah kurang memperdulikan
hukum sebagai suatu bentuk keuntungan dan hanya mempertimbangkan bentuk-bentuk
keuntungan secara ekonomi misalnya keuntungan besarnya simpanan, besarnya bagi
hasil, rendahnya suku bunga, dan lain sebagainya. Padahal adanya hukum yang
kuat merupakan suatu keuntungan yang besar karena dengan adanya dasar hukum
yang kuat maka hak-hak nasabah perbankan syariah akan lebih terlindungi dan
terjamin.
Dalam
perekonomian syariah di Indonesia terdapat tiga tahapan hukum perihal perbankan
syariah, yaitu : tahapan pengenalan (yang ditandai dengan diberlakukannya UU No
7 Tahun 1992, bahwa Bank boleh beroperasi dengan sistem bagi hasil), tahapan
pengakuan (untuk perbankan syariah ditandai dengan diberlakunnya UU No 10 Tahun
1998, menjelaskan tentang adanya Bank dengan prinsip syariah) dan yang terakhir
tahapan pemurnian (untuk perbankan syariah ditandai dengan diberlakukannya UU
No. 21 Tahun 2008, tentang mengatur secara lengkap perbankan syariah dan
membahas tentang syariah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 2005 Tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah).
Dari
sisi hukum ekonomi syariah, perbankan syariah mempunyai kelebihan dalam tahapan
ekonomi syariah yaitu telah melewati tiga tahapan tersebut. Sementara ini
produk ekonomi syariah lain seperti koperasi simpan pinjam syariah, asuransi
syariah, dan lain sebagainya masih belum mampu mencapai ketiga tahapan hukum
ekonomi syariah tersebut. Adanya dasar hukum yang kuat dalam perbankan syariah
dianggap lebih meninjol dibanding adanya dasar hukum dalam produk ekonomi
syariah lain. Secara tidak langsung hal ini berkorelasi dengan menonjolnya aset
perbankan syariah yang ada di Indonesia.
Dengan
begitu, dasar hukum perbankan syariah termasuk kuat. Apabila dikaitkan dengan
tujuan hukum, maka adanya dasar hukum yang kuat pada perbankan syariah akan
memberikan kepastian hukum yang berimplikasi pada peningkatan kepercayaan
masyarakat. Hal ini berbeda dengan kondisi dasar hukum Lembaga Kuangan Mikro
Syariah. Dasar hukum Lembaga Keuangan Mikro Syariah saat ini masih mencapai
tahap pengenalan dan pengakuan saja (UU No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro)[4].
Sedangkan untuk dasar hukum Koperasi Simpan Pinjam Syariah, dasar hukumnya juga
baru mencapai tahapan pengenalan dan pengakuan saja (UU No. 17 Tahun 2012
Tentang Pengkoperasian)[5].
Selain Lembaga Keuangan Mikro dan Koperasi Simpan Pinjam syariah masih banyak
produk ekonomi syariah lain yang berada dalam kondisi kepastian hukum yang
lemah.
Tahapan
hukum ekonomi syariah yang belum ada dalam produk ekonomi syariah yang lain
adalah belum tercapainya tahapan permurnian lembaga kauangan syariah. Untuk
kasus Lembaga Keuangan Mikro dan Koperasi Simpan Pinjam syariah, salah satu
alasan belum tercapainya tahap pemurnian adalah belum adanya dasar hukum atas
penjaminan simpanan nasabah lembaga keuangan syariah tersebut. Kelemahan pada
dasar hukum penjaminan mempengaruhi kepercayaan masyarakat atas penjaminan
simpanan nasabah di dua lembaga tersebut. Kelemahan pada dasar hukum penjaminan
akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat atas penjaminan simpanan nasabah di
dua lembaga tersebut. Hal ini berlainan dengan perbankan syariah dimana dari
segi penjaminan, perbankan syaraiah telah memiliki dasar hukum tersebdiri yaitu
PP No. 39 Tahun 2005 Tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan
Prinsip Syariah.[6]
Perundang-undangan
yang menjadi dasar dari perbankan syariah merupakan suatu sumber hukum yang
digunakan untuk mencapai tujuan hukum. Tujuan hukum adalah tujuan negara, bermakna
bahwa adanya hukum dalam perbankan syariah akan membawa masyarakat untuk
mempercayakan uangnya di perbankan syariah utnuk mencapai tujuan negara yaitu
kesejahteraan dan keadilan. Selain itu hukum dalam perbankan syariah juga
sebagai wujud dari adanya upaya negara untuk melindungi, memenuhi dan
meningkatkan hak asasi masyarakat atas perekonomian. Adanya hukum melindungi
masyarakat dari adanya praktik penyimpangan dalam pelaksanaan perbankan
syariahhukum juga sebgai wujud pemenuhan hak masyarakat atas jaminan terhadap
simpanannya di perbankan syariah. Terakhir, dengan adanya hukum akan
meningkatkan taraf hidup masyarakat sehingga masyarakat yang menggunakan
perbankan syariah akan semakin sejahtera di kehidupannya.
Sayangnya
ketidakpedulian masyarakat atas hukum dalam perbankan syariah telah menghambat
berkembangnya aspek penting dalam perekonomian syariah yaitu kepercayaan. Hal
inilah yang membawa hukum sebagai keuntungan yang tidak terlihat. Dengan
anggapan seperti itu, maka keberhasilan perbankan syariah yang salah satunya
dipengaruhi oleh hukum yang kuat menjadi tidak nampak dan produk ekonomi
syariah lainnya menjadi kurang mempedulikan hukum sebagai suatu keuntungan
untuk dikembangkan. Hal tersebut akann berimplikasi pada lambatnya pembentukan
hukum dari berbagai produk ekonomi syariah lainnya yang bermuara pada
terhambatnya akselerasi perekonomian syariah Indonesia.
Berdasarkan
pemaparan fakta-fakta tersebut, maka perlu adanya suatu bentuk akselerasi
perekonomian syariah yang mana hukum dianggap sebagai salah satu aspek
terpenting. Dengan melihat perbankan syariah yang telah berkembang pesat karena
telah melampaui tiga tahapan hukum ekonomi syariah, maka diharapkan tidak
ahanya perbankan syariah saja yang yang akan mengalami perkembangan pesat,
namun diharapkan seluruh produk ekonomi syariah mampu mencapai tahapan
pemurnian agar akselerasi perekonomian syariah Indonesia akan segera terwujud.
Tentunya hal ini dapat terlaksana dengan baik apabila tercipta sinergi antara
legislatif, eksekutif, dan masyarakat dalam mendorong pemurnian hukum ekonomi
syariah. Diharapkan dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan keuntungan yang
diperoleh oleh konsumen ekonomi syariah.
Berdasarkan
pemahaman diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa hukum adalah keuntungan
tersembunyi dari perbankan syariah. Hukum dalam perbankan syariah mempunyai
kelebihan karena telah mencapai tiga tahapan hukum ekonomi syariah yaitu
pengenalan, pengakuan, pemurnian. Hingga saat ini hanya perbankan syariah saja
yang telah mencapai tiga tahapan tersebut yaitu dengan adanya UU No. 21 Tahun
2008 dan PP No 39 Tahun 2005. Kesadaran masyarakat terhadap hukum harus
ditingkatkan juga karena hukum merupakan alat untuk memenuhi, melindungi dan
memajukan hak setiap rakyat Indonesia atas kesejahteraan dan keadilan melalui
perekonomian Indonesia. Selain itu dari eksekutif dan legislatif juga perlu
pemahaman tentang pentingnya aspek hukum ekonomi syariah sebagai keuntungan
yang tersembunyi mengingat peran dan keuntungan yang diberikan hukum dalam
mengembangkan ekonomi syariah sangat besar. Selain itu juga kerjasama antara
pakar ekonomi syariah dengan pakar hukum ekonomi syariah perlu ditingkatkan
demi pembentukan dasar hukum ekonomi syariah yang ideal.
[1] Muhammad, Manajemen Bank Syariah (Yogyakarta: UPP
Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2011),15-16.
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik
(Jakarta: Gema Insani, 2001),25.
[3] Sindonews.com, 29 Oktober
2017
[4]
www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/regulasi/lembaga-keuangan-mikro/undang-undang/Default.aspx
[5] Regulasi.kemenperin.go.id
[6] www.lps.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat