KATAPENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat
Allah SWT, yang atas rahmat-NYA saya bisa menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul
Tugas makalah merupakan salah satu
tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan.
Dalam penulisan makalah ini kami
merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun
materi, mengingat akan kemampuan kami yang
terbatas. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat
kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Dalam makalahini saya
menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam mengerjakan makalah ini. Terutama kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Novi Wahyu Winastuti , M. Psi., Psikolog yang telah memberi tugas ini.
Akhirnya kami berharap agar makalah
yang kami buat bisa bermanfaat.
4 Desember 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bidang psikologi yang merupakan ilmu yang mempelajari mengenai
proses prilaku dan jiwa seseorang memiliki pengaruh terhadap berbagai bidang,
salah satunya adalah pendidikan. Psikologi pendidikan yang khusus mempelajari
seluk beluk kegiatan pembelajaran dan individu memiliki pembahasan yang sangat
luas. Dalam pembahasan kami adalah pendekatan pemrosesan informasi. Pemrosesan
membahas tentang pengaplikasian antara pendekatan behaviorisme dan kognitif.
Pendekatan pemrosesan informasi ini sangat berpengaruh bagi siswa maupun guru
dalam proses pembelajaaran, karena dengan menggunakan pendekatan ini guru dapat
mengetahui kemampuan siswanya sejauh mana dan seperti apa cara mendidik siswa
sesuai kemampuannya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa definisi
pendekatan pemrosesan informasi?
2.
Bagaimana
perubahan perkembangan?
3.
Bagaimana
proses penyimpanan ?
4.
Bagaimana
definisi dan kegunaan metakognitif?
C. Tujuan
penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami pendekatan pemrosesan
informasi sesuai apa yang telah dibahas berupa
sifat pendekatan pemrosesan informasi, perhatian, ingatan, keahlian, dan
metakognisi dalam ilmu psikologi pendidikan, dan diharapkan kedepannya untuk
mempermudah cara mendidik siswa sesuai kemampuan yang dimilikinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pemrosesan Informasi Kognitif dan Fungsinya
Peterson,
et al., menjelaskan bahwa pendekatan pemrosesan informasi kognitif ini
menekankan pada cara individu memproses informasi kognitif mereka untuk
membantunya menyelesaikan masalah dan pengambilan keputusan karier yang
dibuatnya (Brown & Brooks, 1996). Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada
minat, kemampuan, nilai, dan pengetahuan seseorang akan dunia kerja tetapi juga
bagaimana seseorang memproses informasi yang mereka miliki. Untuk memudahkan
pemahaman seseorang akan pengolahan informasi kognitif yang terjadi, Sampson
et. al., menggambarkan pemrosesan informasi yang terjadi ke dalam bentuk
piramida pemrosesan informasi (lihat Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Gambaran area pemrosesan informasi yang ditunjukkan
dalam piramida pemrosesan informasi. Adaptasi dari “A cognitive approach to
career services: Translating the concepts into practice”, oleh J. P. Sampson,
Jr. G. W. Peterson, J. Lenzz, dan R. C. Readon dalam Applying Career
Development Theory to Counseling, hal. 360. Copyright © 2006. [1]
Kedua,
decision-making skill domain. Menurut Sampson et al., decision-making domain
berisi keterampilan umum seseorang dalam memproses informasi yang telah ia miliki
sebelumnya, yaitu mengenai diri dan pekerjaan (Sharf 2006). Lanjutnya,
keterampilan inilah yang kemudian diperkenalkan sebagai CASVE, yaitu
Communication, Analysis, Synthesis, Valuing, dan Execution. Keterampilan ini
dipaparkan dalam bentuk siklus dalam Gambar 2.2.
Sampson
et al., (Sharf, 2006) menjelaskan keterampilan pertama dalam decision-making
domain ialah communication. Proses yang terjadi ketika seseorang menerima atau
mendapat masukan informasi yang ia terima dari lingkungannya dan menghubungkan
informasi tersebut dengan informasi yang ada dalam diri.
Keterampilan
kedua adalah analysis, pada tahap ini, orang akan menguji hal-hal yang terdapat
pada area pengetahuan, yaitu pengetahuan akan diri dan bidang pekerjaan yang
akan ia pilih. Mereka kembali menguji nilai, minat, keterampilan, dan pengaruh
keluarga terhadap keputusan yang hendak mereka ambil. Keterampilan ketiga
adalah synthesis, individu mulai mengembangkan alternatif yang mungkin mereka
pilih dalam pengambilan keputusan karier (Sampson, Peterson, Lenz, Reardon,
& Saunders, 1996). Shahnasarian & Peterson menyebutkan pada akhir fase
ini individu biasanya dapat mengarahkan pilihannya pada tiga hingga lima
alternatif yang potensial (Sampson et al., 1996).
Keterampilan
keempat ialah valuing, ditahap ini orang akan memberikan bobot penilaian
terhadap kelebihan dan kekurangan dari setiap alternatif yang ia telah tetapkan
dalam fase sebelumnya (Sampson et al., 1996). Fase ini akan mendorong orang
untuk aktif mencari-cari informasi dari luar, seperti meminta pendapat pada
orang-orang yang berarti baginya, kelompok mereka, dan komunitas atau
lingkungan sosial di mana ia berada. Setelah itu, kembali menentukan tiga
hingga lima alternatif, yang dapat saja berbeda dari alternatif sebelumnya dan
masih dapat berubah. Akan tetapi, biasanya mereka juga akan mempersiapkan
perencanaan kedua. Keterampialn kelima, execution.Tahap di mana individu mulai
mempersiapkan strategi perencanaan untuk mencapai salah satu alternatif yang
telah dievaluasi untuk kemudian dinyatakan dalam pilihan mereka tersebut.
Gambar 2.2. Siklus CASVE
Gambar2.2.
Gambar
2.2.
Gambaran dari siklus CASVE (Comunication, Analysis, Synthesis, Valuing,
Execution) mengenai ketrampilan pengelolaan informasi yang digunakan dalam
pemilihan karier. Adaptasi dari “A cognitive approach to career services:
Translating the concepts into practice”, oleh J. P. Sampson, Jr. G. W.
Peterson, J. Lenzz, dan R. C. Readon dalam Applying Career Development
Theory to Counseling, hal. 364. Copyright © 2006.
Area dasar ketiga dalam
piramida pemrosesan informasi ialah executive processing domain, yang
merupakan area puncak dari piramida pemrosesan informasi. Area ini berfungsi
menguji pikiran, perasaan, dan tindakan seseorang dalam proses pengambilan
keputusan yang akan mereka pilih (Sharf, 2006). Terdapat tiga hal utama yang
diperlukan dalam pemilihan karier:
(a) Self-talk, pesan internal ke dalam diri
individu yang mencakup pilihan karier dipilih seseorang;
(b)
Self-Awareness atau kesadaran diri, membantu seseorang memahami perilaku
dan dorongan yang mendasari perilakunya. Orang yang memiliki kesadaran diri ini
akan cenderung menjadi seorang pemecah masalah karier yang efektif dan mampu
mengubah self-talk negatif dalam dirinya sehingga akan lebih mudah
melalui siklus CASVE; dan
(c)
Monitoring dan control, yang diperlukan untuk menentukan lamanya
waktu yang diperlukan dalam setiap tahap dalam siklus CASVE serta mengatur
banyaknya informasi yang diperlukan untuk menganalisa pilihan karier yang
tersedia sebelum beralih pada tahap sintesa.
Ketika mereka mengalami kegagalan dalam pemrosesan informasi
kognitif mereka seseorang akan terhambat dalam suatu tahap pemrosesan informasi
sehingga ia tidak atau belum mampu membuat keputusan karier. Sebab, ketika
seseorang mengalami kegagalan pemrosesan informasi pada suatu tahap ia akan
kembali pada tahap pemrosesan sebelumnya sehingga menghambatnya untuk sampai
pada tahap selanjutnya. Sebagai contoh, seseorang yang mengalami hambatan dalam
tahap valuing maka seseorang akan kembali pada tahap analysing untuk
kembali menguji informasi yang ia miliki.
Menurut Sampson, Peterson, Lenz, Reardon, dan Saunders, kegagalan
pemrosesan informasi kognitif dapat dideteksi melalui penggunaan CTI (Hornyak,
2007). Melalui skor total CTI kita dapat mendeteksi penyebab umum kegagalan
pemrosesan informasi yang dapat terjadi karena adanya ketidakmampuan seseorang
untuk mempertahankan keputusannya atau Decision Making Confusion (DMC),
cenderung menghindari komitmen pada suatu bidang karier atau Commitmen
Anxiety (CA), atau belum mampu menyeimbangkan antara keinginannya dengan
masukan yang ia dapatkan atau External Conflict (EC).[2]
B.
Perubahan Perkembangan
a)
Pengertian Perubahan dan Fase Perubahan sesuai Umurnya
Menurut Hamzah B. Uno dan Nurdin
Mohamad (2011:282), sebagai makhluk psiko-fisik, anak-anak sejak bayi sudah
memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar, yaitu seperti kebutuhan fisik dan psikis.
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan seorang anak menuju kedewasaan, terjadi
perubahan-perubahan kebutuhan seperti di atas menjadi lebih besar. Dan, kebutuhan
sosial psikologis seseorang akan lebih banyak dibandingkan kebutuhan fisiknya sejalan
dengan usianya. Ada dua teori kebutuhan yang perlu diungkapkan untuk memahami
kebutuhan peserta didik SD/MI, yaitu teori kebutuhan yang dikembangkan oleh
Maslow dan teori kebutuhan yang dikembangkan oleh Lindgren.
Menurut teori kebutuhan Maslow,
kebutuhan yang rendah dalam hierakhi kebutuhan individu paling tidak harus
terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan yang lebih tinggi pada hierarkhi tersebut
menjadi sumber motivasi yang penting. Kebutuhan mendasar seorang individu
adalah kebutuhan fisiologis, lalu kebutuhan individu berkembang dengan
kebutuhan ingin dilindungi, kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki, dan
seterusnya sehingga kebutuhan tersebut mencapai klimaks pada kebutuhan
mengaktualisasikan diri. Tahapan tersebut tidak bersifat statis. Setiap
kebutuhan bisa semakin meningkat atau melemah tergantung dari perkembangan
masing-masing individu. Sedangkan menurut Lindgren kebutuhan dasar individu
dikelompokkan menjadi 4 (empat) aspek, yaitu untuk kebutuhan paling dasar
1) kebutuhan jasmaniah, termasuk keamanan dan
pertahanan diri
2) kebutuhan perhatian dan kasih sayang
3) kebutuhan untuk memiliki
4) kebutuhan aktualisasi diri (Uno dan
Mohamad, 2011:282-285).
Pada masa kanak-kanak akhir dan anak
sekolah, yaitu usia enam hingga dua belas tahun, mereka memiliki sejumlah tugas
perkembangan, yaitu sebagai berikut:
1) belajar keterampilan fisik untuk
pertandingan biasa sehari-hari
2) membentuk sikap yang sehat terhadap
dirinya sebagai organisme yang sedang tumbuh kembang
3) belajar bergaul dengan teman-teman
sebayanya
4) belajar
peranan sosial yang sesuai sebagai pria atau wanita
5) mengembangkan konsep-konsep yang perlu
bagi kehidupan sehari-hari
6) mengembangkan kata hati, moralitas, dan
suatu skala nilai-nilai
7) mencapai kebebasan pribadi
8) mengembangkan sikap-sikap terhadap
kelompok-kelompok dan institusi-institusi sosial.
Menurut Havighurst tugas tugas perkembangan
ini merupakan tugas yang muncul pada saat atau di sekitar suatu periode
tertentu dari kehidupan individu yang jika berhasil akan menimbulkan rasa
bangga dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas
berikutnya (Susanto, 2013:72).
Sementara itu, tahap perkembangan tingkah
laku belajar anak Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah sangat dipengaruhi
oleh berbagai aspek dari dalam diri dan lingkungan yang ada di sekitarnya.
Kedua hal tersebut tidak mungkin dipisahkan karena memang proses belajar
terjadi dalam interaksi diri siswa dengan lingkungannya (Prastowo, 2013:33-34).
Seperti diungkapkan oleh Piaget,setiap anak memiliki cara tersendiri dalam
menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya (Rusman, 2010:250).
Dikatakan pula
oleh Piaget bahwa pada diri anak terdapat struktur kognitif yang disebut skema.
Dalam memahami dunia mereka secara aktif, anak-anak menggunakan skema (schema).
Skema bisa merentang mulai dari skema sederhana (contohnya, seperti skema
seekor gajah) sampai skema kompleks (seperti skema tentang bagaimana terjadinya
alam semesta). Ditegaskan Piaget bahwa ada dua proses yang bertanggungjawab
atas cara anak menggunakan dan mengadaptasi skema mereka, yaitu asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi terjadi ketika seorang anak memasukkan pengetahuan baru ke
dalam pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi terjadi ketika anak menyesuaikan
diri pada informasi baru, yaitu anak menyesuaikan skema mereka dengan
lingkungannya (Santrock, 2007:46). Kedua proses tersebut apabila berlangsung
secara terus-menerus akan membuat pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi
seimbang. Dengan cara seperti itu anak secara bertahap dapat membangun
pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungan sekitarnya (Rusman, 2010:250).
Tingkatan perkembangan intelektual
peserta didik SD/MI merujuk pada pendapat Piaget memiliki ciri-ciri yaitu:
tahap pra-operasional (2-7 tahun), tahap berpikir pra-konseptual (2—4 tahun)
yang ditandai dengan mulainya adaptasi terhadap simbol, mulai dan tingkah laku
berbahasa, aktivitas imitasi dan permainan. Kemudian pada tahap berpikir
intuitif (4-7 tahun) ditandai oleh berpikir pralogis yaitu antara operasional
konkret dengan prakonseptual. Pada tahap ini perkembangan ingatan peserta didik
sudah mulai mantap, tetapi kemampuan berpikir deduktif dan induktif masih
lemah/belum mantap.Perkembangan intelektual siswa sekolah dasar berada pada
tahap operasional konkret (7-11 tahun) yang ditandai oleh kemampuan berpikir
konkret dan mendalam, mampu mengklasifikasi dan mengontrol persepsinya.
Pada tahap ini, perkembangan kemampuan
berpikir siswa sudah mantap, kemampuan skema asimilasinya sudah lebih tinggi
dalam melakukan suatu koordinasi yang konsisten antar skema (Madjid, 2014:8).
Kemudian, pada usia 11 tahun hingga dewasa, peserta didik memiliki
karakteristik perkembangan intelektual yang disebut tahap operasional formal.
Pada tahap ini peserta didik sudah mapu berpikir secara lebih abstrak,
idealistik, dan logis (Santrock, 2007:47-48).
Berdasarkan
tahapan tersebut, siswa sekolah dasar kelas I-VI memiliki tingkatan intelektual
operasional konkret dan siswa kelas enam memiliki tingkatan operasional formal
(Madjid, 2014:8).[3]
C. Penyimpanan
a)
Pengertian
penyimpanan
Tung (2015: 195) menyatakan bahwa The
Atkinson_Shiffrin Model (juga dikenal sebagai model multi-store atau
three memory stores) adalah model memori yang diusulkan pada tahun 1968
oleh Richard Atkinson dan Richard Shiffrin yang menegaskan bahwa memori manusia
memiliki tiga komponen yang terpisah seperti pada gambar 1 berikut.[4]
b)
Faktor-faktor yang mempengaruhi perhatian dari aspek individu
antara lain:
1) minat,
2) kondisi fisik atau kesehatan,
3) keletihan,
4) motivasi,
5) kebutuhan perhatian,
6) harapan, dan
7) karakteristik kepribadian (Surya, 2015:22).
Pada faktor
minat ini menyakatanbahwa sesuatu yang menjadi minatnya
akan lebih menarik perhatiannya. Perhatian
seseorang juga dipengaruhi oleh faktor kondisi fisik dan keletihan, artinya
kesehatan yang kurang baik dan keletihan memjadikan seseorang kurang
memperhatikan sesuatu rangsangan. Selain itu motivasi, dan kebutuhan perhatian
serta harapan seseorang terhadap suatu rangsangan akan mendorong seseorang
untuk lebih banyak memperhatikan suatu rangsangan tersebut. Sedangkan
karakteristik kepribadian (bakat, pengalaman, perangai, kecerdasan, kebiasaan,
dsb) ini memang hal yang mutlak yang mempengaruhi kualitas perhatian seseorang.
c)
Sensori Motorik
Sensory memory/
memory register secara terus
menerus menerima rangsang dari lingkungan melalui alat penerima (receptors).
Informasi ini akan tersimpan dalam sensory memory kurang lebih
1-2 detik untuk segala sesuatu yang lihat dan 3 detik untuk segala
sesuatu yang didengar, (Baharuddin & Wahyuni; 2015: 144-145).
Kejadian-kejadian sensorik yang diproses sesuai dengan pengetahuan seseorang tentang dunia, kebudayaan, pengharapan,
atau bahkan kebersamaan dengan seseorang sehingga dapat memberikan
makna terhadap pengalaman sensorik sederhana inilah yang disebut sebagai
persepsi (Solso; Maclin; 2007: 76). Kejadian-kejadian sensorik yang diproses
merupakan kejadian-kejadian yang berasal dari penangkapan alat indera kita
(meraba, membau, mendengar, melihat, dan merasakan).
Menurut Tung
(2015: 186) menyatakan bahwa memori adalah meretensi atau menyimpan informasi
dari waktu ke waktu. Ini berarti semua informasi yang diperoleh sesorang akan
diberikan kode, ditahan/disimpan stelah diberi kode dan menemukan kembali
setelah disimpan untuk suatu kepentingan. Bertahan atau tidak suatu informasi
pada memori seseorang bergantung kepada seseorang itu sendiri dalam memelihara
informasi tersebut. Informasi yang tidak sering dilatih juga lama-kelamaan akan
dilupakan. Namun demikian apabila informasi tersebut sudah tersimpan dalam
memori yang tepat maka akan mudah pula untuk dikuasai kembali meskipun suda
mengalami lupa.
d)
Proses suatu informasi dipengaruhi oleh 3 (tiga) hal penting yakni
1) pengkodean/encoding,
2) storage, dan
3) retrieval.
Pengkodean (encoding)
merupakan suatu proses penyandian atau proses memasukkan informasi ke dalam
memori. Strorage adalah penyimpanan informasi selama beberapa waktu.
Sedangkan retrieval adalah mengambil
informasi keluar dari storage.
e)
Memori Jangka Panjang
Memori jangka
panjang (long-term memory) adalah bagian dari sistem memori
manusia yang menyimpan informasi utuk sebuah periode yang cukup lama
(Baharuddin dan Wahyuni, 2015: 151). Oleh karenanya banyak ahli yang percaya
bahwa manusia mungkin tidak pernah lupa terhadap suatu informasi yang sudah
tersimpan dalam memori jangka panjang, namun tidak mampu untuk menemukan
kembali informasi tersebut dalam memorinya. Ini adalah yang salah satu hal yang
membedakan antara short-term memory dengan long-term memory.
f)
Memori Jangka Pendek
Karena
keterbatasan kapasitas di memori jangka pendek memungkinkan suatu informasi
hilang, namun untuk memori jangka panjang yang kapasitasnya tidak terbatas
mengakibatkan suatu informasi yang sudah tersimpan di dalamnya tidak
hilang hanya seseorang tersebut
mengalami suatu keadaan yang disebut lupa.
g)
Macam-macam Pengetahuan Memori Jangka Panjang
Pada dasarnya
memori jangka panjang terdapat tiga macam pengetahuan yang tersimpan didalamnya
yakni 1) pengetahuan deklaratif, 2) pengetahuan prosedural, dan 3) pengetahuan
konditional. Pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan faktual yang berupa knowing
what atau mengetahui apa atau fakta. Pada pengetahuan prosedural ini
didalamnya terdapat memori yang berisi ide-ide atau konsep-konsep yang
berkaitan dengan skema/scemata (memori semantik/semantic memory)
dan memori pengalaman personal seseorang yang memuat sebuah gambar secara
mental tentang segala sesuatu yang seseorang lihat atau dengar (memori
episodik/episodic memory).
Pengetahuan
prosedural adalah pengetahuan yang memberikan informasi mengenai prosedur suatu
aktivitas atau knowing how. Sedangkan pengetahuan kondisional adalah
pengetahuan dalam menggunakan pengetahuan deklaratif dan prosedural dengan
tepat atau knowing when and why. Secara umum pengetahuan juga
dapat dibedakan menjadi 2 yakni pengetahuan umum (general knowledge)
dan pengetahuan khusus (domain specific knowledge). Pengetahuan umum
dapat diartikan sebagai informasi yang sangat berguna untuk memecahkan atau digunakan
melaksanakan berbagai tugas yang berbeda. Sedangkan pengetahuan khusus dapat
diartikan sebagai informasi yang dapat digunakan hanya dalam situasi tertentu atau yang hanya dapat
diterapkan dalam satu topik khusus.
Segala pengetahuan yang terdapat dalam memori jangka
panjang bergantung bagaimana proses seseorang menyimpan informasi/pengetahuan
yang telah dipelajarinya. Proses seseorang menyimpan informasi tersebut akan
berpengaruh terhadap pemanggilan atau penggalian informasi tatkala dibutuhkan. Pada
saat proses inilah elaborasi, organisasi dan konteks perannya sangat penting
(Woolfolk tahun 1995 dalam Baharuddin dan Wahyuni (2015: 155)). Elaborasi
(elaboration) adalah penambahan makna baru terhadap informasi
baru dengan cara menghubungkan dengan pengetahuan yang sudah ada yang sudah
dimiliki. Organisasi (organization)
adalah proses mengorganisasikan informasi-informasi yang sejenis, karena
informasi yang terorganisasi dengan baik akan lebih mudah dipelajari dan
diingat.
Sedangkan
konteks (context) adalah proses
yang mempengaruhi belajar antara lain: aspek-aspek fisik dan emosi (tempat,
ruangan, emosi yang dirasakan saat individu belajar), semua ini akan menjadi
bagian seseorang dalam menyimpan suatu informasi. Artinya jika konteks belajarnya
mendukung maka belajar akan lebih mudah sehingga proses penyimpanan
informasinyapun juga menjadi lancar. Informasi yang sudah tersimpan akan
dipanggil kembali apabila dibutuhkan. Proses pemanggilan kembali ini terdapat
beberapa cara (Tung, 2015: 203-204), antara lain: 1) prinsip serial position
effect adalh proses pemanggilan kembali akan lebih baik jikaorang mengingat
bagian awal dan akhir dari list dibandingkan dengan yang di bagian tengah; 2) encoding
specificity principle adalah prinsip asosiasi yang dibentuk pada
waktu melakukan encoding; 3) recall
adalah pemanggilan informasi yang sudah dipelajari; 4) recognition adalah
mengingat dengan melakukan identifikasi dari informasi yang sudah dipelajari; dan 5) state-dependent
learning adalah pengingatan informasi akan
lebih mudah ketika kita berada dalam keadaan
fisiologis atau emosional yang sama atau
pengaturan ketika di encoding dengan
informasi aslinya. Namun demikian pada saat
proses pemanggilan kembali terkadang ada informasi yang tidak dapat ditemukan. Keadaan inilah yang disebut lupa dan ini dapat disebabkan oleh berbagai hal.
h)
Melupakan
Terdapat empat
teori pelupaan dalam memori (Tung, 2015: 204),
yakni:
1) cue-dependent forgetting adalah kegagalan pemanggilan
informasi yang disebabkan kurangnya
petunjuk untuk memanggil informasi secara efektif,
2) interference theory adalah teori yang menjelaskan
informasi yang terlupakan karena adanya informasi lain yang masuk,
3) decay theory adalah teori yang menjelaskan informasi yang hilang bersamaan
dengan berlalunya waktu, jejak neuro kimiawi baru membuat orang menjadi lupa,
4) represi (menurut Freud) adalah proses mental yang secara
otomatis menyembunyikan emosi atau kecemasan memproduksi atau mengancam
informasi dalam alam bawah sadar.[5]
D. Metakognisi
a)
Pengertian
Metakognisi
Menurut sejarah
konsep metakognisi pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell pada tahun 1976
(Lin, X. 2001; Efklides, A., 2004; Panaoura, A. & Philippou,. G : 2004;
Wilson, J. & Clarke, D. : 2004) yang didasarkan pada konsep metamemori.
Flavell menggunakan istilah metakognisi mengacu pada pada kesadaran seseorang
tentang pertimbangan dan kontrol dari proses dan strategi kognitifnya. Sejak
pertama kali diperkenalkan oleh Flavell sudah banyak arti yang diberikan pada
istilah metakognisi. Meskipun demikian telah ada acuan yang dibuat pada dua
aspek dari metakognisi yaitu pengetahuan tentang kognisi dan pengaturan dari
kognisi tersebut.[6]
b)
Model
Pemrosesan Imformasi Yang Baik
Michael Pressley
dan rekan-rekannya (Pressley, Borkowski, & Schneider, 1989 Schneider &
Pressley, 1997) mengembangkan model metakognitif disebut Model Pemrosesan
Informasi yang baik.
1.
Anak-anak
diajarkan oleh orang tua atau guru untuk menggunakan strategi tertentu.
2.
Guru
dapat menunjukkan persamaan dan beberapa strategi dalam domain tertentu,
seperti matematika yang memotivasi siswa
untuk melihat fitur berbagai strategi yang berbeda.
3.
Pada
titik ini, siswa mengakui keunggulan umum menggunakan strategi, yang
menghasilkan pengettahiuan strategi umum.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut penje lasan Peterson,
pendekatan pemrosesan informasi
kognitif ini menekankan pada cara individu memproses informasi kognitif mereka
untuk membantunya menyelesaikan masalah dan pengambilan keputusan karier yang
dibuatnya (Brown & Brooks, 1996). Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada
minat, kemampuan, nilai, dan pengetahuan seseorang akan dunia kerja tetapi juga
bagaimana seseorang mem proses informasi yang mereka miliki.
Di dalam
pemrosesan informasi ada beberapa pembahasan, yaitu: perubahan perkembangan,
penyimpanan atau yang biasa dikenal dengan ingatan , dan metakognisi.
Daftar Pustaka
Amelia,
Wiliam Gunawan. “Dalam Pengambilan Keputusan Remaja”, Jurnal
NOETIC Psichology, Vol. 4, No. 2, 2014.
Andi
Prastowo, “Pemenuhan Kebutuhan Psikologis Peserta Didik SD/MI Melalui Pembelajaran Tematik-Terpadu” Jurnal
Pendidikan Sekolah Dasar, Vol. 1, No. 1, 2014.
Cicik Pramesti. “Penerapan
Pendekatan Pemrosesan Informasi Bagi Mahasiswa” . Jurnal Edukasi, Vol,
3, No.1, 2017.
Santrock,
John W. Psikologi Pendidikan, terj. Harya Bhimasena Jakarta: Salemba Humanika, 2017.
[1] Amelia, Wiliam Gunawan, “Dalam Pengambilan Keputusan Remaja”, (Jurnal
NOETIC Psichology), Vol. 4, 130-132.
[2] Ibid., 133.
[3] Andi Prastowo, “Pemenuhan Kebutuhan Psikologis Peserta Didik SD/MI Melalui Pembelajaran Tematik-Terpadu”,
(Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar), Vol. 1, 5-6.
[4] Cicik Pramesti, “Penerapan Pendekatan Pemrosesan Informasi Bagi
Mahasiswa ”, Vol 3, 54-55.
[5] Ibid,.55-56.
[6] Risnanosanti, “Kemampuan Metakognisi Siswa Dalam Pembelajaran
Matematika”, Vol. 4, 87.
[7] John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, terj. Harya Bhimasena
(Jakarta: Salemba Humanika, 2017), 328.
izin copas
BalasHapus