Kata Pengantar
Puji syukur kami haturkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah PSIKOLOGI PENDIDIKAN, dan kami ucapkan terima kasih kepada Ibu dosen Novi Wahyu Winastuti, M. SI yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat
berharap makalah ini dapat berguna untuk menambah wawasan serta pengetahuan
kita tentang PSKILOGI PENDIDIKAN. Kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan yang
jauh dari sempurna.
Semoga makalah ini
dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah
disusun, semoga dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.
8 Nopember 2017
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di
maksud kontruktivisme sosial ?
2.
Apa pengertian pembelajaran?
3. Bagaimana pendekatan kontruktivisme social dama pembelajaran
membaca dan menulis?
C. Tujuan Penulisan
1.
Memahami
kontruktivisme social.
2.
Mengetahui pengertian
pembelajaran.
3.
Mengetahui pendekatan
kontruktivisme social dama pembelajaran membaca dan menulis.
A.
Pengertian Pendekatan Konstruktivisme
Konstruktivisme
merupakan pandangan filsafat yang pertama kali dikemukakan oleh Giambatista
Vico tahun 1710, ia adalah seorang sejarawan Italia yang mengungkapkan
filsafatnya dengan berkata ”Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia
adalah tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui
bagaimana membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang baru
mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun
sesuatu itu (Suparno, 1997:24). Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa
pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek,
fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat
Poedjiadi (2005 :70) bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan
pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang
dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan
itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya”.
B.
Ciri-Ciri Pembelajaran Yang Konstruktivis Menurut
Beberapa Literatur
1.
Menurut Yuleilawati.
a.
Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang
telah ada sebelumnya.
b.
Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia.
c.
Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan
berdasarkan pengalaman.
d.
Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna
melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi
atau bekerja sama dengan orang lain.
2.
Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang
realistik, penilaian harus terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan
kegiatan yang terpisah.
3.
Menurut Siroj.
a.
Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan belajar yang
telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses
pembentukan pengetahuan.
b.
Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua
mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan
berbagai cara.
c.
Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan
relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu
konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
d.
Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya
transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan
orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara
siswa, guru, dan siswa-siswa.
e.
Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis
sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
f.
Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi
menarik dan siswa mau belajar.
C.
Macam-Macam Konstruktivisme
Konstruktivisme
dibedakan dalam dua tradisi besar yaitu konstruktivisme psikologis (personal)
dan sosial. Konstruktivisme psikologis memiliki dua cabang, yaitu yang lebih
personal (Piaget,1981:43) dan yang lebih sosial (Vygotsky); sedangkan
konstruktivisme sosial berdiri sendiri (Kukla, 2003: 11-14).
1.
Konstruktivisme personal
Piaget (Fosnot (ed),
1996: 13-14) menyoroti bagaimana anak-anak pelan-pelan membentuk skema
pengetahuan, pengembangan skema dan mengubah skema. Ia menekankan bagaimana
anak secara individual mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi dengan
pengalaman dan objek yang dihadapinya. Ia menekankan bagaimana seorang anak
mengadakan abstraksi, baik secara sederhana maupun secara refleksif, dalam
membentuk pengetahuannya. Tampak bahwa tekanan perhatian Piaget lebih keaktifan
individu dalam membentuk pengetahuan. Bagi Piaget, pengetahuan lebih dibentuk
oleh si anak itu sendiri yang sedang belajar daripada diajarkan oleh orang tua.
Konstruktivisme
psikologis memilik dua cabang yaitu:
a.
Yang lebih personal, individual, dan subjektif seperti Piaget dan
para pengikutnya.
b.
Yang lebih sosial seperti Vigotsky. Piaget menekankan aktivitas
individual, lewat asimilasi dan akomodasi dalam pembentukan pengetahuan,
sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat dalam mengkonstruksi
pengetahuan ilmiah.
Dalam pandangan Piaget,
pengetahuan dibentuk oleh anak lewat asimilasi dan akomodasi dalam proses yang
terus menerus sampai ketika dewasa. Asimilasi adalah proses kognitif
yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, nilai-nilai ataupun
pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi
dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah
ada. Setiap orang secara terus menerus selalu mengembangkan proses asimiliasi.
Proses asimilasi bersifat individual dalam mengadaptasikan dan
mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru sehingga pengertian orang
berkembang.
2.
Konstruktivisme sosial
Teori konstruktivisme di
dalam bidang pendidikan terdiri dari dua aliran besar yaitu konstruktivisme
sosial (KS) dan konstruktivisme personal (KP). Konstruktivisme sosial dan
konstruktivisme personal sama-sama berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah
hasil rekayasa manusia sebagai individu. Akan tetapi keduanya memiliki
perbedaan pandangan mengenai peranan individu dan masyarakat dalam proses
pembentukan ilmu pengetahuan itu.
Pendukung
konstruktivisme sosial berpendapat bahwa di samping individu, kelompok di mana
individu berada, sangat menentukan proses pembentukan pengetahuan pada diri
seseorang. Melalui komunikasi dengan komunitasnya, pengetahuan seseorang
dinyatakan kepada orang lain sehingga pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan
penyempurnaan. Selain itu, melalui komunikasi seseorang memperoleh informasi
atau pengetahuan baru dari masyarakatnya. Vygotsky menandaskan bahwa kematangan
fungsi mental anak justru terjadi lewat proses kerjasama dengan orang lain,
seperti dinyatakan oleh Newman (1993:62) sebagai berikut: ”The maturation of
the child’s higher mental functions occurs in this cooperative process,
that is, it occurs through the adult’s assistance and participation”.[1]
D.
Teori Konstruktivisme Untuk Memahami Belajar
Menurut pandangan
konstruktivisme, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan.
Berikut ini, beberapa definisi teori konstruktivisme dari beberapa ahli:
1.
Jean Piaget menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh seorang
anak merupakan hasil dari konstruksi pengetahuan awal yang telah dimiliki
dengan pengetahuan yang baru diperolehnya.
2.
Lev Vygotsky berkata ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky
yaitu. (1) Zone of Proximal Development (ZPD), Kemampuan pemecahan
masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman
sejawat yang lebih mampu; dan (2) Scaffolding, pemberian sejumlah
bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi
bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar setelah ia dapat melakukannya.
3.
John Dewey bahwa belajar bergantung pada pengalaman dan minat
siswa sendiri dan topik dalam Kurikulum harus saling terintegrasi bukan
terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Belajar harus bersifat.[2]
E.
Pengaruh konstruktivisme terhadap proses dan makna
belajar
Makna belajar Bagi
konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, di mana
peserta didik membangun sendiri pengetahuan, keterampilan dan tingkah lakunya.
Peserta didik mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Peserta didik
sendiri lah yang bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Mereka sendiri
yang membuat penalaran dengan apa yang dipelajarinya, dengan cara mencari
makna, membandingkan dengan apa yang telah ia ketahui dengan pengalaman dan
situasi baru.
Belajar adalah lebih
merupakan suatu proses untuk menemukan sesuatu, daripada suatu proses untuk mengumpulkan
sesuatu. Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta-fakta, tetapi suatu
proses pemikiran yang berkembang dengan membuat kerangka pengertian yang baru.
Peserta didik harus mempunyai pengalaman dengan membuat hipotesis, prediksi,
mengetes hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban,
meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan,
mengekspresikan gagasan, dan lain sebagainya untuk membentuk konstruksi
pengetahuan yang baru. Proses belajar itu antara lain bercirikan sebagai
berikut:
1.
Belajar berarti membentuk makna. Proses pembentukan makna ini
berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya melalui interaksi
langsung dengan objek. Makna diciptakan oleh peserta didik dari apa yang mereka
lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh
pengertian yang telah ia punyai.
2.
Konstruksi terjadi lewat asimilasi dan akomodasi. Setiap kali
berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru.
3.
Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih
kepada suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian (konsep) yang
baru. Belajar itu meredifinisi pengetahuan konsep lama menjadi pengertian
ataupun konsep yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan
merupakan perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menuntut penemuan
dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4.
Hasil belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang
dalam keraguan yang merangsang pemikirannya lebih lanjut. Situasi ketidak
seimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu
belajar.
5.
Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman peserta didik dengan
dunia fisik dan lingkungannya.
6.
Belajar akan bermakna jika terjadi melalui refleksi dan memecahkan
konflik kognitif dan menggugat pengetahuan lamanya yang kurang sempurna.
7.
Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui
oleh peserta didik. Seperti konsep-konsep, nilai-nilai, tujuan, sikap dan
motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari. Setiap
peserta didik mempunyai cara untuk mengerti kemampuannya sendiri. Maka
penting bagi setiap peserta didik mengerti kemampuannya, keunggulan dan
kelemahannya dalam mengerti sesuatu. Mereka perlu menemukan cara belajar yang
tepat bagi diri sendiri. Setiap peserta didik mempunyai cara yang cocok untuk
mengkonstruksi pengetahuannya yang kadang-kadang sangat berbeda dengan
teman-temannya yang lain. Dalam kerangka ini, sangat penting bahwa peserta
didik dimungkinan untuk mencoba bermacam-macam cara belajar yang cocok bagi
dirinya, begitu juga penting bagi pendidik menciptakan bermacam-macam cara
belajar yang cocok untuk peserta didiknya. Di dalam kelas, sering kali peserta
didik sudah membawa konsep yang bermacam-macam sebelum pelajaran formal
dimulai. Inilah pengetahuan dasar mereka untuk dapat dikembangkan menjadi
pengetahuan yang baru. Mereka juga membawa perbedaan tingkat intelektual,
personal, sosial, emosional, kultural ketika masuk ruang pelajaran. Ini semua
mempengaruhi pemahaman mereka. Latar belakang dan pengertian awal yang dibawa
peserta didik sangat penting dimengerti oleh pendidik agar dapat membantu
memajukan dan mengembangkan kemampuan sesuai dengan pengetahuan yang lebih
sempurna. Karena pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial,
maka kesempatan untuk belajar kelompok, diskusi, cooperative learning dapat
dikembangkan. Menurut Glasersfeld, dalam belajar kelompok, peserta didik yang
mengerjakan suatu persoalan secara bersama-sama, harus mengungkapkan bagaimana
melihat persoalan tersebut dan apa yang ingin mereka buat dengan persoalan itu.
Inilah salah satu cara menciptakan refleksi, yang menuntut kesadaran akan apa
yang sedang dipikirkan dan sedang dibuat. Selanjutnya hal tersebut akan
memberikan kesempatan kepada seseorang untuk secara aktif membuat abstraksi.
Bagi peserta didik, menjelaskan sesuatu kepada kawan-kawan dapat membantu untuk
melihat sesuatu lebih jelas terutama inkonsistensi pandangan mereka sendiri.
Seseorang yang diberi kesempatan untuk menjelaskan bahan pada seluruh kelas,
biasanya terpacu untuk belajar lebih sungguh-sungguh.
Konstruktivisme sosial
menekankan bahwa belajar menyangkut dimasukkannya seseorang dalam suatu dunia
simbolik atau konsep. Pengetahuan dikonstruksi bila seseorang terlibat
secara sosial dalam dialog dan aktif dengan percobaan, diskusi kelompok dan
tukar pengalaman. Belajar juga merupakan proses di mana seseorang dimasukan
dalam suatu kultur orang-orang terdidik. Dalam hal ini peserta didik tidak
hanya perlu akses ke pengalaman fisik, tetapi juga pada konsepkonsep dan model
dari ilmu pengetahuan yang telah ada. Maka peran pendidik di sini penting,
karena mereka menyediakan kesempatan yang cocok dan juga prasarana masyarakat
ilmiah bagi peserta didik. Dalam konteks ini, kegiatan-kegiatan yang memungkinkan
para peserta didik berdialog dan berinteraksi dengan para ahli, dengan
lembaga-lembaga penelitian, dengan sejarah penemuan ilmiah, dengan masyarakat
pengguna hasil ilmiah akan sangat membantu dan merangsang untuk mengkonstruksi
pengetahuan mereka.[3]
BAB II
A.
PENDEKATAN
KONTRUKTIVISME SOSIAL DENGAN PEMBELAJARAN MEMBACA
Pendekatan kontruktivis sosial membawa aspek sosial membaca ke garis
depan(Ariza Lapp, 2011; Hiebert Raphael,
1996). Kontribusi konteks sosial dalam membantu anak-anak belajar membaca
meliputi faktor-faktor seperti banyaknya penekanan tempat budaya membaca,
sejauh mana orangtua memperkenalkan anak-anak mereka pada buku sebelum memasuki
sekolah formal, keterampilan komunikasi guru, sejauh mana guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan yang dibaca dan kurikulum membaca
yang diamanatkan(McGee Richgels,2008).
Disisi lain, kontruktivis kognitif menekankan kontruksi makna oleh siswa,
kontruktivis sosial menekankan makna yang dinegosiasikan secara sosial. Dengan
kata lain makna tidak hanya melibatkan kontribusi pembaca tetapi juga konteks
sosial tujuan membaca (Ariza Lapp,
2011). Pendekatan kontruktivis sosial menekankan pentingnya memberikan
kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalam dialog yang bermakna mengenai membaca
salah satu cara melakukan ini adalah melalui pengajaran timbal balik.
Pengajaran Timbal Balik Dalam diskusi tentang program FCL menjelaskan
Pengajaran Timbal Balik dalam hal siswa bergiliran memimpin diskusi
kelompok kecil pengajaran timba balik juga dapat melibatkan guru dan siswa.
Dalam pengajaran timbal balik guru pada awalnya menjelaskan tentang cara
menggunakan strategi dan model untuk memahami teks. Kemudian, mereka meminta
siswa untuk menunjjukan strategi, memberi dukungan saat pelajaran. Seperti
dalam perancah, guru secara bertahap mengansumsikan peran yang kurang aktif,
membiarkan siswa menganggap lebih banyak inisiatif. Misalnya, Annemarie
Palincsar dan Ann Brown (1984) menggunakan pengajaran timbal balik untuk
meningkatkan kemampuan siswa memberlakukan strategi tertentu dalam meningkatkan
pemahaman membaca. Dalam intruksi perancah guru, guru bekerja dengan siswa
menghasilkan pertanyaan tentang teks yang dibaca, menjelaskan yang tidak
dimengerti, meringkas teks, dan membuat prediksi.[4]
Penelitian tentang pengajaran timbal balik
menunjukkan bahwa ini adalah strategi yang sangat efektif untuk meningkatkan pemahaman
bacaan (Webb & Palincsar, 1996). Sebagai contoh, penelitian terbaru
meneliti pengaruh strategi membaca (meringkas, mempertanyakan, menjelaskan, dan
memprediksi) dalam kelompok kecil pengajaran timbal balik, pasangan, instruktur
kelompok-kelompok kecil yang dipandu (Sporer, Brunstein & Kieschke, 2009).
Dibandingkan dengan kelompok kontrol dari siswa yang menerima intruksi tradisional,
siswa yang menerima intruksi strategi mencapai skor elebih tinggi dalam
pemahaman membaca. Selanjutnya, siswa yang berlatih pengajaran timbal balik
dalam kelompok-kelompok kecil dinilai lebih tinggi pada ujian prestasi membaca
siswa dalam kelompok intruksi yang dipandu tradisional.
Koneksi Sekolah/Keluarga/Masyarakat Dari prespektif kontruktivis sosial, sekolah
bukan satu-satunya konteks sosiakultural yang penting dalam membaca. Keluarga
dan masyarakat juga penting (Ariza Lapp,
2011), perhatian khusus adalah sebuah penelitian, rata-rata, anak-anak muda
dirumah kesejahteraan mendengar tentang 2.100 kata perjam (Hart Risley, 1995).
Selain itu, anak-anak dirumah kesejahteraan hanya menerima setengah dari
pengalaman bahasa diawal tahun seperti anak-anak dalam keluarga berpenghasilan
menengah. Juga, anak-anak dalam keluarga berpenghasilan tinggi memiliki
pengalaman bahasa bahkan dua kali lipat dari anak-anak dalam keluarga
berpenghasilan menengah.
Siswa berisiko tidak mebca diluar sekolah akan
jatuh dibelakang saat melalui tahun-tahun disekolah dasar. Banyak orangtua
siswa yang berisiko mengalami kesulitan membaca, serta masalah dalam
mendapatkan buku(Gunning, 2010).
Saya baru-baru ini bertanya pada guru tentang
cara mereka membantu siswa dalam membaca secara efektif. Berikut ini adalah
tanggapan mereka.[5]
ANAK USIA DINI
Pada anak usia yang sangat muda,penting untuk memiliki lingkungan
cetak-yang-kaya saat mereka dapat melihat berbagai kata frasa dimana-mana.
Kelas kami dipenuhi dengan buku cerita, kamus bergambar, majalah, dana
sebagainya. Juga, setiap objek dalam kelasdiberi label, misalnya, pintu, kursi,
jendela, dan rak buku, sehingga anak-anak mengasosiasikan kata tercetak pada
label buku itu, nama anak-anak dicetak dibanyak tempat, sehingga mereka terbiasa
melihatnya.
SEKOLAH DASAR KELAS 5
Saya membantu anak kelas dua agar membaca lebih efektif dengan
menekankan membaca untuk pemahaman. Saya memasukkan strategi pemahaman
pra-membaca, selama- membaca dan pasca-membaca.dalam pra-membaca, saya
menyatakan tujuan dari membaca dan pra-tinjau gambar, judul, kepala surat, kata
tebal, dan sebagainya. Selama membaca, kami menyeleksi makna(Apakah ini masuk
akal? Kata apa saja yang membingungkan?) dan membaca kembali untuk memahami.
Dalam pasca- membaca, kami memeriksa untuk mengetahui hal apa yang dibaca.
Meringkas, dan mencerminkannya.
SEKOLAH MENENGAH
Kelas 6-8 salah satu cara terbaik untuk menjadi pembaca yang lebih
baik adalah dengan membaca! Setiap kali saya menutup era sejarah dengan tingkat
ketujuh, saya juga membuat mereka sadar akan buku terkait yang tersedia
diperpustakaan sekolah. Pustakawan akan menarik buku dari rak-rak yang sesuai
dan menampilkannya untuk siswa. Bahkan, yang paling menarik “non-pembaca”
memiliki bukayang ia suka, trik ini untuk menemukan buku yang tepat!
SEKOLAH TINGGI
Kleas 9-12 dengan cara mengajarkan membaca diamerika, maka tidak
heran banyak siswa membencinya. Kami membuat membaca begitu menyakitkan dan
serius, misalnya, kita memilih selain novel, kita buat kuis dan menguji sampai mati.
Guru perlu memperlihatkan kepada siswa bahwa membaca merupakan hal yang
menyenangkan-mereka harus membaca apa yang siswa membaca, “menjual” buku-buku
kepada siswa dengan berbicara tentang bagian-bagian yang paling menarik,
biarkan siswa melihat mereka membaca, dan menjadi bersemangat dan energik saat
mendiskusikan buku-buku baru dikelas.[6]
B.
PENDEKATAN
KONTRUKTIVISME SOSIAL DENGAN PEMBELAJARAN MENULIS
Konteks sosial menulis:
Prespektif kontruktivis soial berfokus pada konteks sosial tulisan
diproduksi (Arizal &
Lapp, 2011). Siswa harus berpartisipasi dalam komunitas menulis untuk memahami
hubungan penulis – pembaca dan belajar untuk mengenali cara prespektif mereka
mungkin berbeda dengan orang lain(Hiebert & Raphael, 1996).
Beberapa siswa berlatar belakang banyak
pengalaman menulis dan dorongan untuk menulis ke kelas, sedangkanyang lainnya
tidak (More-Hart, 2010). Dibeberapa kelas, guru menempatkan nilai tinggi pada
penulisan, orang lain memperlakukan guru menulis sebagai kuarang penting. Suatu
studi terbaru mengungkapkan bahwa di sekolah saat siswa menunjukkan prestasi
yang tinggi dalam menulis dan membaca, seni bahasa diberi prioritas tinggi oleh
kepala sekolah dan guru (Pressley dkk., 2007b). Kepala sekolah mengarahkan
sumber daya untuk membaca dan menulis intruksi, termasuk ekspansi besar jumlah
buku diperpustakaan sekolah dan dorongan kunjungan lapangan yang berkaitan
dengan seni bahasa.
Tulisan yang bermakna dan konferensi Siswa-Guru.
Menurut pendekatan kontruktivis sosial, kesempatan menulis siswa harus
mencakup untuk menciptakan teks “nyata”,
dalam arti menulis tentang situasi pribadi yang berarti. Sebgaia contoh
perhatikan Anthony, siswa yang sering disuruh gurunya untuk menulis tentang
pengalaman pribadi. Ia menulis tentang kehidupan neneknya dan kematian, dan
gurunya memberinya dukungan yang besar untuk menulis tentang pengalaman
emosional ini. Konferensi menulis siswa-guru berperan penting dalam membantu
siswa menjadi penulis yang lebih baik(Moore-Hart, 2010).[7]
Koneksi Sekolah-Masyarakat
Dalam pendekatan kontruktivis sosial penting untuk menghubungkan
pengalaman siswa disekolah dengan dunia diluar kelas(Comboz, 2010). Strategi
yang baik adalah melibatkan masyarakat menulis dikelas anda. Lihatlah disekitar
komunitas anda dan berpikir tentang penulis ahli yang bisa diundang ke kelas
untuk mendiskusikan pekerjaan mereka. Sebagian besar masyarakat memiliki
keahlian tersebut, seperti jurnalis, penulis dan editor. Salah satu dari empat
sekolah menengah di Amerika Serikat diidentifikasikasi oleh Joan Lipsitz(1984)
membentuk Minggu Pengarang khusus ke kurikulumnya. Berdasarkan minat,
ketersediaan siswa, keagamaan, penulis diundang untuk membahas karya mereka
dengan siswa. Siswa mendaftar untuk bertemu penulis. Sebelum bertemu penulis,
mereka diwajibkan untuk membaca stidaknya satu dari buku-buku penulis. Siswa
membuat pertanyaan untuk sesi penulisannya. Dalam beberapa kasus, penulis
datang ke kelas selama beberapa hari untuk bekerja dengan siswa pada
proyek-proyek tulisan mereka.
Dalam perjalanan diskusi tentang membaca dan menulis, telah
dijelaskan sejumlah gagasan yang dapat digunakan dikelas. Untuk mengevaluasi
membaca dan menulis pengalaman. Saya baru-baru ini bertanya guru tentang cara
mereka membantu siswa dalam meningkatkan keterampilan menulis mereka. Berikut
adalah tanggapan mereka.Anak usia dini secara bertahap, anak-anak pra-sekolah
belajar menulis . mereka mulai dengan menulis, kemudian beralih kebentuk
gambar, kemudian pindah ke menulis aksara dasar. Hal tersebut penting untuk
mendorong dan mendukung (tidak mengoreksi) anak-anak semesntara mereka belajar
dan berlatih.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendekatan kontruktivis sosial menekankan
pentingnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalam dialog yang
bermakna mengenai membaca salah satu cara melakukan ini adalah melalui
pengajaran timbal balik.
Pendukung konstruktivisme sosial berpendapat bahwa di
samping individu, kelompok di mana individu berada, sangat menentukan proses
pembentukan pengetahuan pada diri seseorang. Melalui komunikasi dengan
komunitasnya, pengetahuan seseorang dinyatakan kepada orang lain sehingga
pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan penyempurnaan. Selain itu, melalui
komunikasi seseorang memperoleh informasi atau pengetahuan baru dari
masyarakatnya. Vygotsky menandaskan bahwa kematangan fungsi mental anak justru
terjadi lewat proses kerjasama dengan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Sutarjo
Adisusilo, “Konstrutivisme Dalam Pembelajaran”.
Uswatun
Umi, Hikmah
dan Indrya Mulyaningsih,”Pendekatan Teori Kontruktivistik”, Indonesian
Language Education and Literature, (2016), Vol.1: 43.
W. Santrock, John, Psikologi Pendidikan , Jakarta: Salemba Humanika, 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat