BAB I
A. Latar
Belakang
Dalam sejarah dan kebudayaan
Islam di bagi dalam beberapa periodesasi. Pada periode klasik peradaban
islam sangat maju, dilihat dari ilmu pengetahuan, kebudayaan, artitekstur yg
ada pada masa itu sangat maju. Padahal di dunia barat masih gelap gulita
tentang ilmu pengetahuan, kebudayaan. Bisa di katakan pada masa itu barat
sangat tertinggal sekali dengan dunia Islam. Mulai pada pertengahan Barat sudah
mulai bangkit sedangkan islam mulai terpuruk akibat dari serangan bangsa
mongol. Ilmu pengetahuan, kebudayaan dan bahkan kehidupan di dunia islam bisa
di bilang mati. Pada masa periode modern ini islam mulai bangkit dari
keterpurukan, mengejar ketertinggalan dari dunia barat.
Kebangkitan-kebangkitan ini berasal dari dunia Arab. Banyak
para tokoh yang mulai melakukan penggerakan untuk bisa bangkit dan melawan
terhadap keadaan yang terpuruk. Para tokoh ini ada yang melakukan gerakan fisik
untuk melakukan revolusioner dan ada pula tokoh yang lebih suka mengeluarkan
ide-idenya untuk membangkitkan semangat dan menimbulkan kemauan untuk berubah.
Ada pula tokoh yang menggabungkan antar keduanya antara perjuangan fisik dan
gerakan pemikiran.[1]
Pada kesempatan kali ini akan dicoba di jabarkan tentang seorang tokoh revolusioner mulai dari
biografi, setting sosial, pemikirannya, karya-karyanya yang sampai saat ini
masih bisa kita rasakan pengaruhnya, yaitu tentang filsafat islam kotemporer
tokoh Hasan Hanafi.
B. Rumusan
Masalah
- Bagaimana Biografi Hassan Hanafi?
- Bagaimana pemikiran-pemikiran filsafat Hassan hanafi?
- Apa saja karya-karya Hassan hanafi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIografi Hassan Hanafi
Hassan Hanafi –untuk berikutnya ditulis
Hanafi- dilahirkan di kota Kairo, 13 Februari 1935 M. Pendidikannya
di awali dipendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian di Madrasah Tsanawiyah
Khalil Agha, Kairo, selesai tahun 1952. Selama di Tsanawiyah ini sudah aktif
mengikuti diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, sehingga tahu tentang pemikiran
yang dikembangkan dan aktifitas sosial yang dilakukan. Selain itu juga mempelajari
tentang pemikiran Sayyid Qutub tentang keadilan sosial dan keislaman.[2]
Tahun 1952, hanafi melanjutkan studi di
Departement Filsafat Univesitas Kairo, selesai tahun 1956, ia berhasil
menyelesaikan program Master dan Doktornya sekaligus dengan tesis “ Les
methodes d’Exegeses; Essei Sur La Sciens des Fondamental de la comprehension
ilmu ushul figih dan desertasin L’Exegese de la phenomenologie, L’etat
ectual de la mrthode phenomenologie et son application au pheonomene religiux ”.
Karir akademiknya dimulai tahun 1967 ketika diangkat menjadi
Lektor dan kepala lektor pada tahun 1973, profesor filsafat (1980) pada jurusan
Filsafat Universitas Kairo, serta disertai sebagai ketua jurusan Filsafat pada
Universitas yang sama. Selain itu Hanafi juga mengajar di berbagai negara,
seperti Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelpia AS
(1971-1975), Universitas Kuawit (1979), dan Universitas Fez Maroko (1982-1984).[3]
Hasan Hanafi adalah seorang yang intelektual yang dalam
wawasan terakhir ini nalar kritisnya banyak mewarnai gerak pemikiran
intelektual muda Islam Indonesia. Ia adalah pemikir muslim terkemuka dengan
proyek pembangunan peradapan islam mendatang. Disini ia membangun segitiga emas
pemikiran Islam yang dipandang akan memberikan spirit bagi kebangkita umat
islam. Sikap terhadap tradisi barat, dan sikap terhadap realitas. Orientasinya
adalah menyandingkan “tradisi”dan “modernitas”.
Perhatian Hasan Hanafi terhadap filsafat islam bermula
dikampus sebelum berangkat ke Prancis. Di luar kampus ia membaca Hasan al-Bana,
Syys Quthub, Abdul Hasan an-Nadwi, Muhammmad Al-Ghazali dan pemikir-pemikir
Muslim kontemporer lainnya. Saat itulah ia merasakan sesuatu terjadi pada
dirinya, ia menyadari kebangkitan islam dan umatnya, menyadari eksistensi,
kehidupan, realitas, masyarakat, negara, masa depan, dan misi kehidupannya.[4]
Ia dikenal sebagai figure yang menguasai dengan baik
tradisi pemikiran Islam. Dengan kemampuan intelektualnya itu, ia berusaha
merekontruksi pemikiran Islam ke arah yang dapat membebaskan kauim muslimin
dari segala bentuk penindasan. Hasil rekrontruksi pemikiran Islam ituah yang
disebutnya Al-Yasar Al-Islami (Kiri Islam). Jurnal yang diterbikannya
untuk menyebarluaskan gagasannya juga diberi nama yang sama. Meskipun hanya
sempat terbit sekali, yakni pada Januari 1981, namun kemunculannya yang sekilas
itu tidak dapat menghapus begitu saja makna kehadiran ide Kiri Islam itu dalam
khazanah intelektual Islam.[5]
Jika dilihat dari kaca mata lain, Hanafi dibesarkan dalam
lingkungan keluarga musisi.Hal ini terbukti bahwa Hanafi pernah bercita-cita
ingin menjadi seorang musisi. Menurut Hanafi, musik adalah suatu wadah untuk
mengekspresikan keadaan jiwa di hati seseorang. Namun, pada perkembangan
berikutnya, Hanafi bergeser cenderung ke kajian filsafat.Di dalam filsafat
Romantisme, Hanafi menemukan perpaduan antara keduanya, yakni intelektualitas dan estetika.Nuansa Filsafat
ini, dapat ditemukan dalam filsafat Hegel, Fichte, Schelling, Kierkegard dan
Bergson.[6]
B.
Garis Besar Pemikiran
Hanafi berpendapat, bahwa kiri islam
berakar pada dimensi revolusioner dari khazanah intelektual lama, karena itu
rekonstruksi, pengembangan dan pemurnian khazanah itu sangat penting dilakukan,
dimana khazanah tersebut terdiri dari tiga macam ilmu pengetahuan:
1.
ilmu-ilmu normatif rasional (al-ulum al-naqliyah al-aqliyah)
contohnya ilmu ushul ad-din, ilmu ushul al-fiqih, dan ilmu tasawuf.
2.
ilmu-ilmu rasional semata (al-aqliyah) contohnya matematika,
astronomi, fisika, kimia, kedokteran dan farmasi.
3.
ilmuilmu normatif tradisional (al-naqliyah) contohnya ilmu
al-quran, ilmu hadist, sirah nabi, fiqih dan ilmu tafsir.[7]
Garis pemikiran Hasan Hanafi terangkum dalam proyek besar
yang sedang dibangunnya, yaitu Al-Turasat wa al-Tajdid (Tradisi dan
pembaharuan).proyek peradaban yang dicanangkan oleh Hasan Hafani ini memiliki
tiga concern yaitu
1. Rekrontruksi
terhadap seluruh warisan Intelekrual Islam
Agenda pertama dari mega-proyek Hanafi
adalah “sikap kita terhadap tradisi lama”, yang diwujudkan dalam bentuk
rekrontuksi terhadap seluruh warisan intelektual.
2. Oksidentalisme
Oksidentalisme yang secara harfiah
berarti hal-hal yang berhubungan dengan barat.
3. Metodologi
tafsir/hermeneutika
Hanafi menggunakan hermeunetika sebagai
metodologi untuk memahami Al-Quran. Menurut Hanafi bukan hanya berarti “ilmu interpretasi”
yaitu suatu teori pemahaman, tetapi juga ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu
sejak tingkat perkataan samapi tingkat dunia, juga tranformasi wahyu dari
pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.[8]
Kiri islam menyepakati lima prinsip mu`tazilah (usul
khamsah). Dan berusaha merekonstruksi prinsip mu`tazilah itu setelah tenggelam
pada abad 5 H. semenjak al-ghazali menyerang ilmu – ilmu rasional dan dominasi
tasawuf yang berjalan dengan Asy`ariyah hingga masa gerakan reformasi islam.
Kita mengintroduksi mu`tazilah, karena kita mengembangkan rasionalisme,
kebebasan, demokrasi dan eksplorasi alam, dan juga mengelaborasi khawarij, kita
mendukung revolusi islam dan teguh dalam merebut hak – hak rakyat dan
mengembalikan martabat mereka.
Menurutnya, kita banyak menyeru kepada perbuatan adalah
syarat keimanan agar umat islam terus berkarya, sesuai dengan semboyan “sedikit
bicara banyak bekerja Hanafi mengikuti paradigma kajian fiqih maliki karena ia
menggunakan pendekatan kemaslahatan (masalah mursalah serta membela kepentingan
kaum muslimin). Sebagai contoh Umar ibn khattab adalah imam mujtahid, pembela
kemaslahatan umat muslimin dan mengetahui kemaslahatan itu meskipun beliau
belum mendapat petunjuk wahyu sehingga kemudian baru datang dan membenarkan
pendapatnya.
Kiri islam bukan mazhab fiqih baru, namun ia memilih
diantara berbagai mazhab dan berpendapat bahwa malikiyah lebih dekat kepada
realitas dan memberikan keberanian kepada mujtahid saat ini untuk mengambil
keputusan berdasarkan kemaslahatan umum, bukan fiqh hanafi yang hanya dominan
kepada dimensi kewajiban, atau syafi`iyah yang hanya mencoba menggabungkan
antara maliki dan hanafi atau kelompok hijaz dan irak.[9]
Kiri islam bermazhab pada akar esensi malikiyah, bukan fiqh
hambali yang hanya memegang validitas teks semata dan kami telah cenderung
menghindari penerapan teks yang tidak proporsional. Ini bukan berarti kiri
islam melakukan diskriminasi atas mazhab-mazhab fiqh tersebut tapi untuk
mengembalikan umat muslimin kepada sumber pertamanya. Para pendahulu telah
berijtihad, maka kinipun harus berijtihad.
Menurut hanafi, bahwa keberanian kita ini berdasarkan
realita dan kemaslahatan umum, kita harus bercermin kepada malikiah. Penggunaan
akal secara optimal dalam interpretasi teks bercermin pada hanafiyah. Pemaduan
rasio dan realitas kita bercermin pada syafi`iyah dan komitmen terhadap teks
bercermin pada hambaliyah. Kita berpendapat bahwa teks adalah refleksi atas
realitas. Tugas kiri islam juga melakukan kajian kritis atas seluruh tradisi
legislasi (tasyri`). Kita menerima apa yang terdapat dalam al-quran dan sunnah
yang shahih, berarti menerima prinsip-prinsip kemaslahatan itu, kita melakukan
ijtihad.
C.
Pemikiran Filsafat
a. Ijma`
Hanafi berpendapat, bahwa ijma` yang
dibuat dalam suatu kurun tertentu tidak selalu sesuaidengan kurun waktu
berikutnya, karena perubahan situasi.Ijma` dengan demikian hanya dapat
diterapkan pada masanya.Kita menetapkan hokum dengan kemaslahatan. Kemaslahatan
adalahprinsip penetapan hokum. Dari sinilah kita bangun komitmen kita pada imam
malik ibn anas dan prinsip kemaslahatan sebagai prinsip kritis atas teks
al-quran dan sunnah, ijma` dan ijtihad para fuqaha. Kita pertemukan ijtihad
dengan prinsip keempat sebagai prinsip dasar dengan prinsip-prinsip dasar lain
yaitu Al-quran.
b. Filsafat
Menurut hanafi, filsafat mengikuti
paradigma ibn rusyd yang menghindari illuminasi dan metefisika, dengan
mendayagunakan rasio untuk menganalisis hokum-hukum alam.Filsafat rasional
klasik yang dirintis oleh al-kindi dan bertumpu pada rasional ilmiah yang
memandang filsafat sebagai dasar agama, menguasai hukum alam dan menundukannya
bagi kemaslahatan manusia.[10]
c. Tasawuf
Menurut hanafi, kiri islam menolak
tasawuf serta memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum muslimin yang
ditengarai antara lain aleh ibn taimiyah. Tasawuf sesungguhnya tumbuh sebagai
suatu gerakan yang anti kemewahan, arogansi dan kompetisi duniawi, setelah
perlawanan partai – partai oposisi dari imam ahli bait yang dimulai dari saat
ali dan husein r.a mengalami kekalahan. Maka ketika kemudian pemerintahan
dinasti umayyah mulai mapan dan ribuan kaum muslimin yang dipinpin para imam
dan sahabat gugur, maka banyak umat islam yang tulus meninggalkan keduniaan
yang mereka pandang sebagai penyebab perpecahan dalam barisan umat islam.
Prinsip mereka adalah untuk menyelamatkan diri dan menjaga kesucian bathin.
d. Al-Aqliyah
Tentang al-aqliyah (ilmu – ilmu
rasional) kiri islam mendapatkan akarnya pada ilmu – ilmu rasional murni dalam
khazanah klasik kita. Ilmu – ilmu itu ditegakkan oleh rasio, transendensi telah
mampu memberi kekuatan kepada rasio untuk menuju kepada yang tak terbatas.
Pendahulu kita karena pengguna rasio dan sikap apresiatif terhadap alam dan
hukum – hukumnya telah menguasai teori – teori ilmiah dalam matematika, fisika,
arsitektur, kimia, kedokteran, biologi, farmasi dan sebagainya, yang hampir
setara dengan ilmu-ilmu modern. Kiri islam berpretensi untuk mengangkat ilmu-ilmu
klasik itu secara bertahap, sehingga kita tidak lagi tergantung dengan penemuan
-penemuan yang lain. Ilmu pada dasarnya adalah bagaimana mengaktifkan rasio dan
alam. Ilmu bukanlah barang jadi, yang hanya diterapkan dan dipindahkan dari
satu tempat ketempat lain.
Ilmu-ilmu sosial, kiri islam juga
berakar pada ilmu-ilmu kemanusiaan yang telah diletakkan dasar -dasarnya oleh
pendahulu kita, seperti ilmu bahasa, sastra, geografi, sejarah, psikologi dan
sebagainya, sesuatu yang selalu kita ulang -ulang tanpa mengetahui basis
teoritiknya, misalnya bagaimana kita berupaya merekonstruksi relitas sejarah
hanya melalui metode riwayat dalam ilmu hadist,atau mengkaji syariat sebelum
kita dalam ilmu fiqh, dan cerita-cerita kenabian, hari kiamat dan kepeminpinan
dalam ilmu usul addin, dan mengkaji tingkat-tingkat spiritual dalam ilmu
tasawuf dan mengkaji fase-fase sejarah. Kita mencoba menciptakan teori-teori
sejarah baru yang berkaitan dengan masyarakat islam, bertitik tolak dari ibn
khaldun yang menggambarkan dinamika bangsa – bangsa dalam empat fase : tumbuh,
berkembang, jaya dan hancur.[11]
e. Al-ulumu
al-naqliyah al-khalishah
Al-ulumu al-naqliyah al-khalishah (ilmu
– ilmu tradisional murni), yaitu ilmu pertama sekali berkembang disekitar
wahyu: ilmu – ilmu al-quran, al-hadist, tafsir dan fiqh. Beberapa ilmu tersebut
dapat dikembangkan secara kontemporer, misalnya al-quran terdapat asbab
al-nuzul yang dimaksudkan untuk mengutamakan realitas, ilmu nasikh wa mansukh,
ilmu makiyah madaniyah untuk mengembangkan konsep system, aqidah syariah dan
praktis.semua ilmu tersebut memungkinkan untuk dikembangkan menjadi ilmu
eksperimen seperti sosiologi, historiografi, sistem politik dan ekonomi.
f.
Ilmu Hadist
Mengenai ilmu hadist hanafi
berpendapat, bahwa kita lebih mementingkan materi atau teks daripada sanad
(silsilah perawi). Mungkin kita tidak mampu melakukan kritik sanad (seperti
yang dikembangkan pendahulu kita dalam rijal al-hadist), tetapi kita mampu
melakukan kritik matan dilihat dari apakah sebuah teks masuk akal atau tidak,
kewajaran dan sebagainya, kita mampu melakukan kritik internal – internal
setelah pendahulu kita mengembangkan tradisi eksternal, terutama karena rasa
kebangsaan sering kali dibentuk dari teks hadist yang diterapkan tanpa melalui
kritik internal. Banyak hadis yang nilainya lemah (hadist-hadist masyhur,
mursal, maqtu`,dha`if dan ahad) digunakan dalam kehidupan sehari – hari,
sementara hadist yang valid yang sesungguhnya sudah teradapat dalam al-quran
diabaikan. Maka karena itu, prioritas kita adalah pada makna hadist, bukan pada
perawinya, dan selanjutnya memprioritaskan pada kata-kata nabi daripada
pribadinya. Jangan sampai meniru ahli kitab yang mementingkan sirah nabi mereka
dan melupakan ajaran-ajaran yang telah diberikan oleh Nabi-nabi mereka
tersebut.[12]
D. Karya Hassan Hanafi
Karya Hasan Hanafi dapat dibagi kepada tiga
periode. Periode pertama berlangsung pada tahun 60-an, periode kedua tahun
70-an dan periode ketiga tahun 80-an sampai 90-an. Pada periode pertama,
khususnya awal dasawarsa 60-an, pemikiran Hasan Hanafi dipengaruhi oleh
paham-paham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu
nasionalistik-sosialistik-populistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan
Arabik. Karya-karya tersebut adalah sebagai berikut :
1. Les Methode d’Exegese Essei Sur La Science des Fondament de La
Comprehension, ‘Ilm Ushl Fiqh (1965)
2. L’Exegese de la Phenomenologie L’etat actuel de la methode Phenomenologie
et son application ua Phenomene Religiux (1965)
3. La Phenomenologie d L’Eexgese : essei d’Une Hermenuetique
existentille a partidu Nouvea Testanment (1966)
Pada periode kedua, yaitu
tahun 70-an, Hasan Hanafi memberikan perhatian utama pada sebab-sebab kekalahan
bangsa Arab ketika berperang melawan Israel pada tahun 1967. Karya-karyanya
adalah sebagai berikut :
1. Qadhaya Mu’ashirah fi Fikrina al-Mu’ashir (1977), yang merupakan
kumpulan dari tulisan-tulisannya pada berbagai majalah, seperti Al-Khatib,
Al-Akhbar, Al-Adab, Al-Fikr al-mu’ashir dan Minbar al-Islam.
2. Qadhaya Mu’ashirah fi Fikr al-Gharbi al Mu’ashir (1977)
3. Religious Dialogue and Revlution (1977)
4. Dirasat Islamiyah (1978) yang memuat deskripsi dan analisis
pembaruan terhadap ilmu-ilmu keislaman klasik, seperti ushul fiqih, ilmuilmu
ushuludin dan filsafat.
Pada periode terakhir yaitu tahun 80-an sampai
tahun 90-an, Karya-karya Hasan Hanafi memiliki latar belakang politik yang
relatif lebih stabil dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Diantara karya-karyanya
adalah sebagai berikut :
1. Al-Turats wa Al-Jadid
2. Al-Yassar al-Islami
3. Dirasat Falsafiyah (1988)
4. Min Al-Aqidah ila Al-Tsawrah (1988)
5. Hiwar al-Masyriq wa al-Magrib (1990)
6. Islam in the Modern World (1995)
7. Humum al Fikr wa Al-Wathan (1997)
8. Jamaludin Al-Afghani (1997)
9. Hiwar al-Ajyal (1998)
Selain dalam tiga periode tersebut, masih ada
lagi karya-karya lain Hasan Hanafi yang masuk dalam kategori Karya terjemahan,
saduran dan suntingan. Diantara karya-Karya tersebut adalah sebagai berikut :
1. Muhammad Abu Husain Al-Bashri
2. Al-Mu’tamad fi ‘Ilm Ushul Al-Fiqh (1964-1965)
3. Al-Hukumah al-Islamiyah li Al-Imam Khamaini (1980)
4. Jihad Al-Nafs aw Jihad al-Akbar li Al-Imam Khamaini (1980)
5. Namadzij min al-Falsafah al Masihiyyah fi Al-Ashr al Wasith
6. Al-Mu’allim li Aghustin : Al iman al-Basits ‘an al-Aql la Taslim,
Al wujud wa al-Mahiyah li Tuma al-Akwini (1968)
7. Spinoza : Risalah fi al-Lahut wa al-siyasah (1973)
8. Lessing : Tarbiyah fi al-Jins al-Basyari wa a’mal ukhra (1977)
9. Jean-Paul Sarte : Ta’ali al-‘ana Al-Mawjud (1978)[13]
BAB II
KESIMPULAN
Hasan Hanafi adalah seorang yang intelektual yang dalam
wawasan terakhir ini nalar kritisnya banyak mewarnai gerak pemikiran
intelektual muda Islam Indonesia. Ia adalah pemikir muslim terkemuka dengan
proyek pembangunan peradapan islam mendatang. Disini ia membangun segitiga emas
pemikiran Islam yang dipandang akan memberikan spirit bagi kebangkita umat
islam. Sikap terhadap tradisi barat, dan sikap terhadap realitas. Orientasinya
adalah menyandingkan “tradisi”dan “modernitas”.
Kiri islam menyepakati lima prinsip mu`tazilah (usul
khamsah). Dan berusaha merekonstruksi prinsip mu`tazilah itu setelah tenggelam
pada abad 5 H. semenjak al-ghazali menyerang ilmu – ilmu rasional dan dominasi
tasawuf yang berjalan dengan Asy`ariyah hingga masa gerakan reformasi islam.
Kita mengintroduksi mu`tazilah, karena kita mengembangkan rasionalisme,
kebebasan, demokrasi dan eksplorasi alam, dan juga mengelaborasi khawarij, kita
mendukung revolusi islam dan teguh dalam merebut hak – hak rakyat dan
mengembalikan martabat mereka.
E. PENUTUP
Demikian makalah yang kami susun tentang Filsafat Islam
Kontemporer II Hasan Hanafi. kritik dan saran yang membangun kami harapkan
untuk perbaikan makalah yang akan datang.
[1] Sirajjuddin Zar, filsafat
Islam Filosof dan Filsafatnya, ( jakarta : PT Raja Grafindo
Persada,2004)hlm. 15
[2]
JM.
Ridlwan Hambali,“Hassan Hanafi: Dari Islam Kiri, Revitalisasi Turats,” dalam
Islam Garda Depan, Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, hlm. 219
[3]
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (pustaka pelajar/
Yogyakarta,2004)hlm. 37-54
[4] Hassan
Hanafi, Islamonologi 3 dari Teosentrisme dan Postmodernisme,(Lkis;Yogyakarta,2004)Hlm.
X-Xii
[5]Sholihan, pernak-pernik Filsafat
Islam dari Al-Farabi sampai Al-Faruqi (Semarang; Walisonggo Press,
2010)hlm. 123-125
[6]
Hassan Hanafi,
Oksidentalisme; Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Terj. M.Najib Buchori,
(Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 231
[7] M.Chalil, Biografi, Empat
serangkai imam mazhab. Jakarta , bulan bintang, 1995, hal 77,123,244,321
[8] Sholihan, pernak-pernik Filsafat Islam dari
Al-Farabi sampai Al-Faruqi (Semarang; Walisonggo Press, 2010)hlm. 157-166
[9] M.Chalil, Biografi,
Empat serangkai imam mazhab. Jakarta , bulan bintang, 1995, hal 138-139.
[10]
Ibid hal 138-140
[11]
Kazuo shimogaki, (Yogyakarta : pustaka
pelajar)1994. hal 95-99
[12]
Ibid (Yogyakarta : pustaka pelajar)1994. hal
95-100
[13] Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam, Antara
Modernisme dan Postmodernisme. Lkis. Yogyakarta : 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat