Makna Kaidah dan Penerapannya
الضَّرَرُ
يُزَالُ
“Kemadlaratan harus dihilangkan”
A.
Pegertian Kaidah
Dasar kaidah ini adalah sabda Nabi
yaitu :
لَا
ضَرَرَ وَلَا ضِرَارِ
“Tidak boleh membahayakan diri
sendiri dan orang lain.”
Bila ditinjau dari
aspek bahasa kata-kata ضَّرَرُ dan ضِرَارِ mempunyai makna yang sama, namun
obyeknya berbeda. Arti ضَّرَرُ adalah perbuatan yang dilakukan
seorang diri dan berbahaya hanya pada diri sendiri. Sementara ضِرَارِ adalah perbuatan yang bersifat
interelasi, yakni dilakukan oleh dua orang atau lebih, dan berbahaya pada diri
sendiri serta orang lain. Selain pengertian diatas, ada pula yang memberi makna
ضَّرَرُ
sebagai
perbuatan yang bermanfaat pribadi, tetapi membahayakan orang lain. Sedangkan ضِرَارِ adalah bentuk pekerjaan yang membahayakan orang lain tanpa memberi
manfaat pada si pelaku.
B.
Dasar Hukum Kaidah
Dasar dari kaidah ini adalah Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Ayat
Al-Quran yang senafas dengan kaidah diatas adalah surat Al-Baqarah ayat 231 dan
ayat 229 :
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا
Artinya : “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka
mendekati masa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf pula. Jangan rujuki mereka untuk
memberi kemadharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.”
الطَّلاقُ
مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Artinya : “Thalaq
(yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”
Kedua
ayat diatas menjelaskan bahwa laki-laki jika telah mentalaq istrinya, maka ia
diperbolehkan ruju’, tapi apabila ia tidak membutuhkannya lagi karena sudah
tidak ada kecocokan, maka tidak boleh mencegahnya, karena akan menimbulkan
dloror pada pihak istri, yaitu lamanya masa iddah nya perempuan.
Ayat
diatas walaupun secara eksplisit hanya menjelaskan tentang aturan talaq, akan
tetapi secara eksplisit melarang berbuat atau menyebabkan bahaya kepada orang
lain (istri). Ayat berikut juga berkaitan dengan kaidah diatas yaitu :
وَلَا تُؤْتُوا
السُّفَهَآءَ أَمْوَلَكُمُ الَّتِى جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَمًا وَارْزُقُوهُم
فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُواْ لَهُم قَولاً مَّعْرُوفًا
Artinya :” Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang
belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian
(dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”
Ayat diatas walaupun
tidak secara tegas melarang berbuat bahaya terhadap orang lain, namun secara
tersirat memiliki misi yang sama dengan kaidah diatas. Mustafa mengatakan ayat
ini adalah dalil untuk kaidah diatas karena tujuan yang ingin dicapai oleh ayat
tersebut agar harta orang yang tidak berakal tidak rusak sia-sia. Bagi siapa
saja yang tidak pandai menggunakan harta dengan baik, karena tidak berakal atau
idiot berhak untuk mendapatkan pengawasan dari Qadhi atau kerabatnya dengan
tujuan agar hartanya tidak habis dengan sia-sia.
Sedangkan
hadis-hadis Nabi Saw yang mendukungnya, diantaranya hadis yang jalur
periwayatannya dianggap valid dan menjadi dasar dari kaidah ini adalah hadis
yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Abi Sa’id al-Hudri :
لاضرر ولاضررارمن
ضار ضاره الله ومن شاق شاق الله عليه
Artinya :” Tidak boleh berbuat dharar (bahaya) dan membalas
perbuatan bahaya kepada orang lain,bagi siapa yang berbuat bahaya kepada orang
tersebut, dan bagi siapa yang mempersulit orang lain, maka Allah akan
mempersulit dia.”
.
Potongan hadis
diatas juga terdapat dalam riwayat Imam al-Bukhari :
ومن شاقشاق الله
عليه يوم القيامة
Artinya : “Bagi siapa
menyulitkan kepada orang lain, maka Allah akan menyulitkan dia dihari kiamat
nanti.”
C.
Penerapan Kaidah
1.
Jika seseorang hutang makanan di Irak dan penghutang menagih di Makkah,
maka ia wajib membayar dengan harga kapan dan dimana ia hutang (Irak).
2.
Penipuan terjadi dalam transaksi tukar menukar (mu’awadhah)
walaupun transaksi itu dianggap rusak. Misal seseorang menjual harta orang lain
tanpa izin, dan pemiliknya tidak mengizinkan, dan pembeli tidak mengetahui barang
itu milik orang lain; sedangkan uang pembayarannya telah dihilangkan oleh si
penjual, maka ia wajib mengganti uang yang dihilangkan tadi.
3.
Penipuan terjadi saat serah terima yang keuntungannya kembali
kepada orang yang menyerahkan seperti pada akad wadi’ah (titipan) dan ijarah
(sewa). Misal barang titipan atau barang yang disewakan rusak dan penyewa atau
orang yang dititipi mengganti kerusakan tersebut, maka ia boleh meminta uang
pengganti kepada orang yang menitipkan atau yang menyewakan.
4.
Jika ada orang meminjamkan tanah kepada orang lain dalam jangka
waktu tertentu untuk dibangun sebuah bangunan, atau ditanami sesuatu. Namun,
sebelum masa yang ditentukan pemberi pinjaman mencabut pinjamannya, maka ia
harus mengganti biaya pembangunan dan biaya tanaman yang telah dikeluarkan oleh
orang yang dipinjami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat