MAKALAH
PRODUK
MUDHARABAH BAGI NASABAH BANK SYARIAH
“Apek Hukum Bank Islam”
Berkembangnya bank
syariah di Indonesia sebagai pilihan bagi umat Muslim untuk tetap berhubungan
dengan bank selaku lembaga intermediasi. Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini
banyak masyarakat yang telah beralih ke bank syariah karena ingin menghindari
bunga riba. Sistem bagi hasil dianggap lebih menetramkan jiwa pada nasabah.
Produk yang dimiliki bank syariah dalam penghimpunan dana nasabahnya mencakup
produk mudharabah dan musyarakah, yang memberikan return berupa bagi hasil.
Nisbah dari bagi hasil ditentukan di awal akad, antara shahibul maal dan mudharib,
sebelum keduanya menyetujui akad yang akan dilakukan.
Keunggulan
dari produk ini, jika mendapatkan laba atas dana yang diinvestasikan pada suatu
bisnis oleh mudharib, maka keduanya
akan mendapatkan bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati kedua
belah pihak. Lain halnya ketika bisnis yang dijadikan media investasi tersebut
mengalami kerugian, maka antara shahibul maal dengan mudharib akan merasakan
hal yang sama, yakni sama-sama rugi. Disini menariknya produk mudharabah
menggunakan sistem bagi hasil, selain berorientasi pada profit oriented juga mengacu pada falah oriented. Sehingga antara shahibul maal dan mudharib tidak
akan merasa dirugikan atau diuntungkan di salah satu pihak.
Namun
belum banyak masyarakat Indonesia yang memahami akan produk mudharabah ini,
karena kurangnya edukasi terhadap perbankan syariah. Akibat dari hal ini adalah
masih minimnya nasabah yang memilih produk mudharabah.
Jenis
dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana, dan larangan bagi bank syariah
tertuang dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan. Selain itu terdapat pula
aturan tersebut pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang
pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran
dana serta pelayanan jasa bank syariah, yang mana telah terjadi perubahan pada
PBI 10/16/2008. Selain itu Dewan Syariah Nasional juga mengeluarkan fatwa-fatwa
nya tentang jenis kegiatan usaha bank syariah.
Persyaratan
Kegiatan Usaha dalam Mudharabah [1]
Pasal 21
Kegiatan usaha
yang dapat dijalankan dalam Mudharabah wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan/atau peraturan
perundang-undangan; dan
b. tidak dikaitkan
(mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa yang akan datang yang belum
tentu terjadi.
Mudharabah adalah akad
perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan kerja sama usaha. Satu
pihak akan menempatkan modal sebesar 100% yang disebut shahibul maal, dan pihak lainnya sebagai pengelola usaha, disebut
dengan mudharib. Bagi hasil dari
usaha yang dikerjasamakan dihitung sesuai dengan nisbah yang disepakati antara
pihak-pihak yang bekerja sama.[2]
Menurut
Hana, produk mudharabah akan mendorong aliran deras pembiayaan dari bank-bank
syariah ke proyek-proyek pemerintah yang berbasis infrastruktur. Seperti proyek
pembangunan jalan tol, serta pengadaan listrik yang notabene berjangka waktu
panjang.[3]
Produk
mudharabah dapat dijadikan sebagai alternatif investasi bagi para nasabah yang
memiliki kelebihan dana, namun bingung bagaimana cara mengelola dana tersebut
agar mendatangkan return, sehingga dana tersebut tidak menganggur dan habis begitu
saja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi di era sekarang, investasi tidak
hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki banyak dana seperti pembisnis,
pegawai. Tapi, untuk saat ini saja siapapun dapat berinvestasi untuk masa depan
mereka, entah itu dari kalangan ibu rumah tangga maupun mahasiswa. Investasi
itu penting sebagai tabungan di masa mendatang.
Padahal produk mudharabah
dapat memberikan nilai tambah pada gerakan ekonomi secara langsung, tetapi
anehnya bank jarang untuk memilih atau menggunakan produk mudharabah. Karena
dalam kondisi real di Indonesia, kendati mudharabah diakui mencapai rata-rata
14,33% dari total pembiayaan yang dilakukan perbankan syariah, maka harus
dipahami bahwa disini mudharabah yang dilakukan menempuh prosedur yang dapat
diperdebatkan.[4]
Nasabah
awam kebanyakan lebih di arahkan ke produk wadiah dengan sifat titipan murni
yang mana bank mempunyai hak untuk mengelola dana wadiah tersebut dalam
kegiatan investasi atau bisnis. Nasabah hanya akan mendapatkan bonus ketika dana
wadiah tersebut mendapatkan profit, namun berapa persen profit tersebut tidak
dapat dipersentasikan karena bonus ini tidak boleh di akadkan di awal. Juga
dalam produk wadiah, nasabah mendapatkan keuntungan yakni bebas biaya yang
dibebankan di akhir bulan. Lebih baiknya jika nasabah memilih produk mudharabah
yang secara terang-terangan akan memberikan return dari dana atau modal yang
nantinya akan di investasikan. Walaupun terkadang ada ruginya juga, tetapi
pastinya bank akan lebih teliti memilih bisnis mana yang dapat menghasilkan
profit, tentunya bisnis yang berorientasikan pada syariah.
Hampir
tidak ada pembiayaan mudharabah yang tidak melibatkan konstribusi modal pihak
mudharib. Ini tidak sesuai dengan aturan dasar mudharabah karena bahwa dalam
perjanjian mudharabah maka modal finansial sesungguhnya menjadi tanggung jawab
pemilik modal atau shahibul maal. Sebaliknya mudharib hanya cukup bertanggung jawab pada sisi
ketrampilan dan operasional saja.[5]
Hak Dan Kewajiban Pihak
dalam Mudharabah[6]
Pasal 18
Hak dan kewajiban pihak pemilik
modal (shahib al-mal) adalah sebagai berikut:
a. berhak mengawasi pelaksanaan
kegiatan usaha yang dilakukan oleh pihak pengelola usaha (mudharib);
b. berhak menerima
bagian keuntungan tertentu yang disepakati dalam Mudharabah;
c. berhak meminta
jaminan dari pihak pengelola usaha (mudharib) atau pihak ketiga yang
dapat digunakan apabila pihak pengelola usaha (mudharib) melakukan
pelanggaran atas Mudharabah.
d. wajib
menyediakan dan menyerahkan seluruh modal yang disepakati;
e. wajib
menanggung seluruh kerugian usaha yang tidak disebabkan oleh kelalaian,
kesengajaan, dan/atau pelanggaran pengelola usaha atas Mudharabah; dan
f. wajib
menyatakan secara tertulis bahwa pihak pemilik modal (shahib al-mal)
menyerahkan modal kepada pihak pengelola usaha (mudharib) untuk dikelola
dalam suatu usaha sesuai dengan kesepakatan (pernyataan ijab).
Pasal 19
Hak dan kewajiban
pihak pengelola usaha (mudharib) adalah:
a. berhak
mengelola kegiatan usaha untuk tercapainya tujuan Mudharabah tanpa campur
tangan pihak penyedia modal;
b. berhak menerima
bagian keuntungan tertentu sesuai yang disepakati dalam Mudharabah;
c. wajib mengelola
modal yang telah diterima dari pihak pemilik modal (shahib al-mal) dalam
suatu kegiatan usaha sesuai kesepakatan;
d. wajib
menanggung seluruh kerugian usaha yang disebabkan oleh kelalaian, kesengajaan,
dan/atau pelanggaran pihak pengelola usaha (mudharib); dan
e. wajib
menyatakan secara tertulis bahwa pihak pengelola usaha (mudharib)
menerima modal dari pihak pemilik modal (shahib al-mal) dan berjanji
untuk mengelola modal tersebut dalam suatu usaha sesuai dengan kesepakatan
(pernyataan qabul).
Nisbah adalah proporsi
bagi hasil antara nasabah dan bank syariah yang ditentukan di awal akad. Jika
semisal bank menawarkan nisbah bagi hasil tabungan iB sebesar 70:30, artinya
nasabah akan memperoleh bagi hasil sebesar 70% dari hasil investasi bank
syariah lewat pengelolaan dana masyarakat di sektor riil.
Pembagian
Keuntungan dalam Mudharabah
Pasal 22
Pembagian
keuntungan dalam Mudharabah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. keuntungan
Mudharabah merupakan selisih lebih dari kekayaan Mudharabah dikurangi dengan
modal Mudharabah dan kewajiban kepada pihak lain yang terkait dengan kegiatan
Mudharabah;
b. keuntungan
Mudharabah dibagikan kepada pihak pemilik modal (shahib al-mal) dan
pihak pengelola usaha (mudharib) dengan besarnya bagian sesuai rasio/nisbah
yang disepakati; dan
c. besarnya bagian
keuntungan masing-masing pihak wajib dituangkan secara tertulis dalam bentuk
rasio/nisbah. [7]
Dalam
penentuan nisbah bagi hasil dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: jenis
produk simpanan, perkiraan pendapatan investasi dan biaya operasional bank.
Hanya produk simpanan iB dengan skema investasi mudharabah yang mendapatkan return
bagi hasil.
Hal
yang pertama yang dilakukan bank adalah menghitung besarnya tingkat pendapatan
investasi yang dapat dibagikan kepada nasabah. Ekspektasi pendapatan investasi
ini dihitung dengan melihat peforma kegiatan ekonomi di sektor-sektor tujuan
investasi. Hal inilah yang menyebabkan return investasi berbeda-beda. Dalam
menentukan pendapatan investasi, bank syariah menggunakan berbagai indikator
ekonomi dan keuangan termasuk indikator historis dari aktivitas investasi bank
syariah yang telah dilakukan.
Dari
hasil perhitungan tersebut, maka dapat diperoleh besarnya pendapatan investasi
dalam bentuk equivalent rate.
Contohnya bank syariah akan membagikan kepada nasabah sebesar 11 persen.
Setelah
itu bank syariah menghitung investasi guna menutup biaya-biaya operasional
sekaligus memberikan pendapatan yang wajar. Besarnya biaya operasional
tergantung dari tingkat efisiensi masing-masing bank. Besarnya pendapatan yang
wajar itu antara lain mengacu kepada indikator-indikator keuangan bank syariah
seperti ROA (Return On Asset) dan indikator lain yang relevan. Dari perhitungan
diperoleh bahwa bank syariah memerlukan pendapatan investais yang juga dihitung
dalam equivalent rate misalnya sebesar 6 %.
Dari
kedua angka tersebut, maka nisbah bagi hasil dapat dihitung. Porsi bagi hasil
untuk nasabah adalah sebesar (11% dibagi (11%+6%)) = 0,65 atau sebesar 65%.
Sementara bagi hasil untuk bank syariah sebesar (6% dibagi (11%+6%)) = 0,35
atau sebesar 35%.
Tetapi
hal ini tidak perlu dilakukan oleh nasabah, karena perhitungan yang terlalu
rumit. Namun, nasabah hanya perlu menanyakan berapa rate indikatif dari
Tabungan iB atau Deposito iB yang diminatinya. Rate indikatif ini adalah nilai equivalent rate dari pendapatan
investasi yang akan dibagikan kepada nasabah, yang dinyatakan dalam persentase
misalnya 11% atau 12%. Setiap bank memiliki kebijakan perhitungan persentase
yang berbeda-beda.[8]
Produk
mudharabah sebagai kemudahan alternatif bagi nasabah bank syariah yang
mempunyai keinginan untuk berinvestasi. Dalam investasi pada sektor-sektor
bisnis yang mengutungkan bagi nasabah dan bank syariah, juga berimbas pada
kemajuan perekonomian di Indonesia. Karena dalam suatu embangunan pastinya
mereka memutuhkan suplay dana untuk menunjang pembangunan tersebut dan memperlancar
proses dari pembangunan tersebut. Disini dana dari produk mudharabah akan
dikelola oleh mudharib agar mendapatkan return berupa bagi hasil atas profit
yang diterima. Dalam produk mudharabah ini, shahibul maal akan berkontribusi
dalam kaitannya dengan modal usaha dan mudharib yang bertindak sebagai
pengelola usaha tersebut. Walaupun sebenarnya dana tersebut akan di masukkan ke
bisnis usaha lain yang bank syariah juga akan berpindah posisi sebagai shahibul
maal. Untuk return yang diterima oleh kedua belah pihak, harus sudah ditentukan
di awal akad, untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan di belakang ketika
sudah berlangsung. Bagi hasil ini dapat memberikan tambahan dalam bentuk profit
bagi nasabah, juga dapat memberikan ketentraman jiwa karena berorientasi pada
pencapaian kemenangan di akhirat, dengan cara menghindarkan dari riba.
[1] Salinan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 53/POJK.04/2015 Tentang Akad Yang Digunakan Dalam
Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal.
[2]Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta: Kencana,
2011), 83.
[3] edition.cnn.com/ekonomi,
diakses tanggal 1 November 2017.
[4] www.kompasianan.com, diakses tanggal 1
November 2017.
[5] www.kompasiana.com, diakses tanggal 1
November 2017.
[6] Salinan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 53/POJK.04/2015 Tentang Akad Yang Digunakan Dalam
Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal.
[7] Salinan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 53/POJK.04/2015 Tentang Akad Yang Digunakan Dalam
Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat