ASURANSI
MENURUT USHUL FIQH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sehubungan
dengan arus modernisasi dan perubahan sosial yang berkembang saat ini, tampaknya
berimbas tidak hanya pada pola berperilaku manusia dengan alam kehidupannya
sehari-hari, tetapi juga berpengaruh terhadap pengamalan hukum Islam. Hal ini
disebabkan karena dinamika sosial terus berkembang, sedangkan nash-nash hukum
Islam terbatas dan sudah terputus dengan wafatnya Rasulullah SAW. Akibatnya
umat Islam terbagi dalam dua golongan yang saling kontradiktif. Satu pihak akan
lebih merasa leluasa berbuat, karena ketiadaan nash itu dengan dalih persoalan
baru tidak ada nashnya. Sedangkan pihak lain berpendapat, bahwa meskipun
persoalan baru tersebut tidak secara tersurat ditunjukkan hukumnya oleh nash,
tetapi berusaha untuk mencari posisi persoalan tersebut dalam hukum-hukum Islam
melalui Ijtihad.
Mayoritas
ulama menggunakan Ijtihad sebagai solusi dalam menyelesaikan hukum masalah yang
tidak ada nashnya. Hal ini dapar dilihat dari pengakuan mereka terhadap produk
hukum Ijtihad sebagai hukum Yang bernuansa agama sebagaimana yang ditunjukkan
oleh nash. Salah satu persoalan hukum yang tidak ada nashnya secara tersurat
adalah Asuransi. Oleh sebab itu, masalah asuransi dapat digolongkan sebagai
masalah Ijtihadiyah.
Berhubung
karena masalah asuransi ini sangat luas dan banyak bahasannya, maka dalam
tulisan ini hanya dibatasi pada pembahasan tentang pengertian asuransi, hukum
dan kaidahnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian asuransi?
2.
Bagaimana
hukum asuransi?
3.
Bagaimana
kaidah yang menerangkan asuransi?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
menjelaskan arti dari asuransi.
2.
Untuk
mengetahui hukum dari asuransi.
3.
Untuk
menerangkan kaidah tentang asuransi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Asuransi
Istilah asuransi, berasal dari bahasa
inggris insurance, yang berarti jaminan, atau dalam bahasa arab disebut al-ta’min.
‘Abd al-sami’ al-Mishri mengemukakan definisi al-ta’min, yakni akad yang
mewajibkan penanggung menjamin tertanggung atau menunaikan manfaat seperti yang
tersebut dalam pertanggungan dengan menyerahkan uang atau pengganti harta
benda, pada saat terjadinya peristiwa sebagaimana yang tertera dalam akad. Hal
itu dilakukan karena tertanggung menunaikan pembayaran secara berangsur atau
sekaligus kepada penanggung.[1]
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa
asuransi mempunyai tiga unsur pokok:
1. Penanggung (perusahaan), yang bersedia
menjamin sejumlah uang atau barang berdasarkan perjanjian.
2. Tertanggung, yang bersedia membayar premi
setiap waktu tertentu, sesuai dengan perjanjian.
3. Adanya peristiwa, yang merupakan syarat
untuk pembayaran ganti rugi sesuai dengan perjanjian, seperti kebakaran,
kecurian dan sebagainya.
Secara umum, dikenal dua macam
asuransi:[2]
1. Asuransi ganti rugi, yakni perusahaan
memberi ganti rugi kepada yang menderita kerugian barang, misalnya asuransi
kebakaran, pengangkutan, pencurian.
2. Asuransi sejumlah uang, yakni perusahaan
membayar sejumlah uanng tertentu kepada nasabah yang terkena musibah, misalnya
asuransi kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan sebagainya.
Adapun proses pelaksanaannya, para
petugas dari perusahaan, diberi wewenang untuk mengajak seseorang nasabah. Jika
seseorang itu tidak setuju, dalam arti tidak rela dengan syarat-syarat
perjanjian yang diajukan, maka dia tidak akan dicatat sebagai nasabah. Dalam
hal ini tidak ada paksaan, melainkan atas dasar persepakatan bersama.[3]
B.
Hukum
Asuransi
Maksud dan tujuan diadakannya asuransi
adalah untuk menjaga agar suatu usaha tidak mengalami atau menderita kerugian
dan untuk memberi ganti rugi kepada pihak yang bersangkutan, yakni nasabah yang
mengalami kerugian.
Dengan memperhatikan tujuan asuransi
tersebut, dapat dipahami bahwa asuransi tidak hanya bertujuan mengeruk
keuntungan dari nasabah, tetapi yang terpenting ialah berusaha membantu
masyarakat untuk mengurangi beban yang mungkin dideritanya, baik terhadap harta
bendanya maupun terhadap jiwanya.
Asuransi sebagai salah satu praktek
muamalah masa kini tidak dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW, sehingga dasar
hukumnya secara tekstual tidak ditemukan dalam al-Qur’an, hadits Nabi SAW,
maupun hasil ijtihad ulama terdahulu. Untuk menemukan dasar hukumnya, para
ulama berusaha menggalinya sendiri, dengan berdasar pada maqashid
al-syari’ah, sebagaimana yang dipahami dari al-Qur’an dan hadits Nabi SAW.[4]
Keberadaan asuransi yang bersifat ijtihad
menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat ulama tentang dasar hukumnya. Sebagian
mereka membenarkannya, dengan argumentasi masing-masing. Ulama yang tidak
membenarkan keberadaan asuransi mengemukakan argumentasi sebagai berikut:[5]
1. Asuransi pada hakekatnya sama dengan judi
2. Di dalamnya terdapat unsur riba
3. Di dalamnya terdapat unsur syubhat
4. Mengandung unsur eksploitasi, yakni
pemegang polis (nasabah) dapat dikurangi jumlahnya, jika mereka tidak mampu
melanjutkan pembayaran preminya.
5. Perjanjian asuransi termasuk akad sharf, yakni jual beli tidak dengan tunai (cash and carry)
6. Kerusakan dan
kehilangan barang serta hidup dan matinyya manusia dijadikan obyek bisnis,
padahal kesemuanya telah diatur dalam takdir Allah.
Adapun ulama yang membenarkan asuransi mengemukakan
argumentasi sebagai berikut:[6]
1. Tidak terdapat
nas yang menyinggungnya
2. Ada unsur
kerelaan kedua belah pihak
3. Saling
menguntungkan kedua belah pihak
4. Terkandung
unsur kepentingan umum (mashlahah
‘ammah)
yakni premi yang terkumpul diinvestasikan untuk pembangunan
5. Perjanjian asuransi termasuk hukum akad
mudharabah, yakni kerja sama antara perusahaan dengan nasabah, atas dasar profit
loss sharing.
6. Kediatan asuransi sama dengan koperasi (syirkah
ta’awuniyah)
7. Asuransi dapat dikiaskan dengan gaji
pensiun.
Sebagian
ulama mengambil jalan tengah, yakni membolehkan asuransi di satu sisi dan
melarangnya di sisi lain. Mereka membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan
mengharamkan yang bersifat komersial semata.
Perbedaan
pendapat ulama tentang hukum asuransi adalah wajar, sebab asuransi merupakan
ijtihad. Untuk menentukan pendapat yang akan dianut, diserahkan sepenuhnya
kepada masyarakat. Dengan ketentuan, mereka harus toleran terhadap pendapat
lain, sebab setiap persoalan yang tidak memiliki nas memungkinkan setiap pendapat
untuk mendukung kebenarannya.
Dengan
memperhatikan beberapa pendapat ulama dan mengaitkan dengan kebutuhan manusia
masa kini, terutama kebutuhan finansial dalam menunjang pembangunan, maka
penulis cenderung kepada pendapat yang membolehkan asuransi, karena di samping
alasannya kuat dan aktual, juga karena pendapat yang menolaknya tidak tegas.
Pandangan terhadap asuransi sama dengan judi misalnya, adalah kurang tepat,
sebab judi adalah permainan adu nasib yang bisa menguntungkan pihak yang tidak
terlibat di dalamnya. Sedangkan asuransi merupakan kerja sama yang memiliki
keguanaan sosial, dan memberikan dorongan pada kegiatan-kegiatan yang mutlak
bagi pertumbuhan peradaban. Selain itu, judi menimbulkan resiko (malapetaka),
sedangkan asuransi mengurangi resiko pada masyarakat.[7]
C. Kaidah Asuransi
Dalam urusan
mu’amalah terdapat kaidah;
الشريع يمنعه ما إلاّ الإباحة المعاملة في الأصل
Artinya: “hukum asal dalam mu’amalah adalah
diperbolehkan, kecuali mu’amalah yang dicegah/dilarang oleh syari’at”.
Mu’amalat yang dicegah oleh syari’at adalah mu’amalat yang di
dalamnya terdapat 7 unsur atau pantangan dalam mu’amalat, yaitu: Pertama, maysir
yaitu segala bentuk spekulasi judi (gambling) yang mematikan sector riil
dan tidak produktif. Kedua, asusila yaitu praktik usaha yang melanggar
kesusilaan dan norma social. Ketiga, gharar yaitu segala transaksi yang
tidak transparan dan tidak jelas sehingga berpotensi merugikan salah satu
pihak. Keempat, haram yaitu objek transaksi dan proyek usaha yang
diharamkan syari’ah. Kelima, riba yaitu segala bentuk distorsi mata uang
menjadi komoditas dengan mengenakan tambahan (bunga) pada transaksi kredit atau
pinjaman dan pertukaran/barter lebih antar barang ribawi sejenis. Pelarangan
riba ini mendorong usaha yang berbasis kemitraan yang saling menguntungkan dan
kenormalan (sunnatullah) bisnis, disamping menghindari praktik pemerasan,
eksploitasi dan pen-dzalim-an oleh pihak yang memiliki posisi tawar tinggi
terhadap pihak yang berposisi tawar rendah. Keenam, ihtikar yaitu
penimbunan dan monopoli barang dan jasa untuk tujuan permainan harga. Ketujuh,
berbahaya yaitu segala bentuk transaksi dan usaha yang membayakan individu
maupun masyarakat serta bertentangan dengan mashlahat dalam Maqashid Syari’ah.[8]
Ketujuh pantangan dalam mu’amalah di atas berdasarkan dari
dalil-dalil berikut, yaitu:
Firman Allah SWT Surat Al-Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ
وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى
النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ
ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ
يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ
فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul,
yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak
panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa
untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Surat al Baqarah ayat 278-279:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
(278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا
تُظْلَمُونَ 279
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. 279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.
Surat al-Maidah ayat 90:
فَاجْتَنِبُوْهُ الشَّيْطٰنِ عَمَلِ مِّنْ رِجْسٌوَالْاَزْلَامُوَالْاَنْصَابُ وَالْمَيْسِرُ الْخَمْرُاِنَّمَااٰمَنُوْۤاالَّذِيْنَ يٰۤاَيُّهَا تُفْلِحُوْنَ لَعَلَّكُمْ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434],
adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan.
Surat al-Baqoroh ayat 188:
اَمْوَالِ مِّنْ فَرِيْقًا لِتَأْکُلُوْا الْحُـکَّامِ اِلَى بِهَآ وَتُدْلُوْا بِالْبَاطِلِ بَيْنَكُمْاَمْوَالَـكُمْ تَأْكُلُوْٓا وَلَا
تَعْلَمُوْنَ
وَاَنْـتُمْ بِالْاِثْمِ النَّاسِ
Artinya: dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu
mengetahui.
Sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya yang
halal telah jelas dan yang haram telah jelas serta diantara keduanya terdapat
yang samar (musytabihat). Sebagian besar manusia tidak dapat mengenalinya, maka
siapa saja yang menjaga diri dari yang musytabihat itu berarti dia telah
menjaga agama dan dirinya. Dan siapa saja yang terjatuh ke dalam musytabihat
itu maka ia telah terjerumus kepada yang haram, sebagaimana seseorang yang
menggembalakan ternaknya di sekeliling batas untuk menjaga diri dari melintasi
batas itu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap raja memiliki batasan-batasan,
dan ketahuilah bahwa batasan Allah ialah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah
bahwa pada tubuh terdapat segumpal daging yang jika dia baik maka baiklah
seluruh tubuh itu, dan jika dia rusak maka rusaklah tubuh itu. Ketahuilah bahwa
dia adalah kalbu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut ulama di Indonesia, hukum asuransi, baik asuransi
jiwa maupun umum, terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama diwakili oleh
para ulama dari ormas Islam terbesar di Indonesia atau NU yang berpendapat
bahwa hukum asuransi adalah haram secara mutlak. Mereka berpendapat bahwa
asuransi identik dengan judi, yang tegas diharamkan atas dasar al-Qur’an dan
Sunnah, dengan alasan karena bentuk transaksi perusahaan asuransi menyerupai
kupon judi. Para nasabah yang melakukan transaksi itu dijanjikan memperoleh
sejumlah uang jaminan yang telah ditetapkan jika rumahnya terbakar misalnya,
dengan syarat nasabah itu harus membayar premi selama menempati rumahnya.
Dengan demikian itu jelas merupakan judi murni, karena kedua belah pihak tidak
mengetahui siapa diantara mereka yang memperoleh keuntungan, sampai uang yang
disepakati oleh keduanya diberikan.[9]
Sedangkan pendapat kedua, diwakili oleh para ulama
dari Muhammadiyah, yang berpendapat bahwa hukum asuransi adalah syubhat
(samar-samar), karena tidak ada dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan
atau menghalalkan asuransi, baik asuransi umum atau asuransi jiwa.
Konsekuensinya adalah bahwa umat Islam harus berhati-hati menghadapi asuransi
dan baru diperbolehkan mengambil dan menggunakan asuransi dalam keadaan darurat
(emergency) atau hajat (necessity)Sementara di dunia Islam, khususnya ulama
Timur Tengah, ada tiga perbedaan pendapat tentang hukum asuransi.
Perbedaan pendapat itu terlihat pada uraian berikut : Pertama, mereka yang berpendapat bahwa asuransi itu
haram dalam segala macam bentuknya temasuk asuransi jiwa.
Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama,
diantaranya: Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqili, Yusuf Qardhawi dan Muhammad
Bakhit al-Muth’i . Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
1.
Asuransi sama dengan judi
2. Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
3. Asuransi mengandung unsur riba.
4. Asuransi mengandung unsur pemerasan karena pemegang
polis apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya akan hilang premi yang
sudah dibayar atau dikurangi.
5. Premi-premi yg sudah dibayar akan diputar dalam
praktek-praktek riba (kredit berbunga) di bank konvensional.
6. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata
uang tidak tunai.
7. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis dan sama
halnya dengan mendahului takdir Allah.
Kedua, mereka yang berpendapat bahwa asuransi diperbolehkan dalam praktek
seperti sekarang baik asuransi umum maupun jiwa. Pendapat kedua ini dikemukakan
oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa dan Abd.
Rakhman Isa . Mereka beralasan :
1. Tidak ada nash yang melarang asuransi.
2. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
3. Saling menguntungkan kedua belah pihak.
4. Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum atau
mengandung maslahah ’ammah, sebab premi-premi yang terkumpul dapat
diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
5. Asuransi termasuk akad mudharabah, artinya akad
kerjasama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak
perusahaan asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing
(PLS).
6. Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’awuniyah).
7. Asuransi dianalogikan dengan sistem pensiun seperti
taspen.
Ketiga, mereka yang berpendapat bahwa asuransi yang
bersifat sosial diperbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan. Pendapat
ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah. Alasan kelompok ketiga
ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifatkomersial dan sama
pula dengan alasan kelompok kedua dalam asuransi yang bersifat sosial.
Dengan demikian, hukum asuransi
menurut fiqih Islam pada dasarnya adalah mubah (boleh), selama tidak terdapat
unsur-unsur yang dilarang oleh syariat Islam, seperti riba, gharar, spekulasi
dan kecurangan atau ketidakadilan dsb.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Asuransi
adalah jaminan, yang dimaksud jaminan adalah akad yang mewajibkan penanggung
menjamin tertanggung atau menunaikan manfaat seperti yang tersebut dalam
pertanggungan dengan menyerahkan uang atau pengganti harta benda, pada saat
terjadinya peristiwa sebagaimana yang tertera dalam akad.
Keberadaan
asuransi yang bersifat ijtihad menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat ulama
tentang dasar hukumnya. Sebagian mereka membenarkannya dan ada pula yang tidak
membenarkannya.
الشريع يمنعه ما إلاّ الإباحة المعاملة في الأصل
Hukum asuransi menurut kaidah diatas
pada dasarnya adalah mubah (boleh), selama tidak terdapat unsur-unsur yang
dilarang oleh syariat Islam, seperti riba, gharar, spekulasi dan kecurangan
atau ketidakadilan dsb.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Hasan. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Prenada
Media, 2004.
Muslehuddin,
Muhammad. Hukum Darurat dalam Islam. Terj. Ahmad Tafsir. Bandung:
Pustaka, 1985.
Rofi’ah, Khusniati. “Membincang Praktik Asuransi Di Indonesia”. Justitia Islamica, (2013), 1:145-147.
Shiddiqi,
Muhammad Nejatullah. Asuransi dalam Islam. terj. Ta’lim Musafir. Bandung:
Pustaka, 1987.
Syihab,
Umar. Hukum Islam dan Transformasi
Pemikiran. Semarang: Karya Toha Putra, t.th.
[1] Muhammad Muslehuddin, Hukum
Darurat dalam Islam, terj. Ahmad
Tafsir (Bandung: Pustaka, 1985), 56.
[2] Umar Syihab, Hukum
Islam dan Transformasi Pemikiran (Semarang: Karya Toha Putra, t.th), 143.
[3] Ibid.
[4] Ibid., 144.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Muhammad Nejatullah
Shiddiqi, Asuransi dalam Islam, terj.
Ta’lim Musafir (Bandung: Pustaka, 1987), 27.
[8] Hasan Ali, Asuransi
Dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), 125-127.
[9] Khusniati
Rofi’ah, “Membincang
Praktik Asuransi Di Indonesia”, Justitia Islamica, 1 (Januari, 2013),
145-147.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat