Senin, 30 Oktober 2017

Makalah Su’udzan dan Hasud



Makalah Akhlak Tasawuf "Su’udzan dan Hasud"
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin yang mengajarkan pada umatnya untuk berbuat baik kepada Allah, sesama muslim, alam dan dirinya sendiri. Pada kesempatan ini, penulis akan membahas lebih mendalam tentang berbuat baik kepada sesama muslim dan berbuat baik kepada diri sendiri, yang mana keduanya berimbas pada berbuat baik kepada Allah. Kaitannya dengan berbuat baik kepada sesama muslim, agar terciptanya kesatuan dan keutuhan salah satu hal yang dapat dilakukan adalah berhusnudzan kepada sesama muslim. Sedangkan kaitannya dengan berbuat baik kepada diri sendiri, hal yang dapat dilakukan adalah menjaga kesehatan baik jasmani dan rohani. Namun, yang lebih utama adalah menjaga kesehatan rohani. Agar kesehatan rohani dapat terjaga, maka diri sendiri harus terbebas dari penyakit hati (hasud). Maka dari itu, penulis membuat makalah agar pembaca dapat berhusnudzan kepada sesama umat muslim, dan menjauhi hasud (dengki), yang mana kedua hal tersebut dapat menjadi ladang untuk beribadah kepada-Nya.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian dari hasud dan su’udzan?
2.      Apa saja bahaya dari hasud dan su’udzan?
3.      Apa saja sebab timbulnya hasud dan su’udzan?
4.      Bagaimana cara mencegah hasud dan su’udzan?
5.      Apa saja imbalan dari menjauhi hasud?
6.      Apa saja obat dari hasud dan su’udzan?
7.      Adakah hasud dan su’udzan yang diperbolehkan?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian hasud dan su’udzan
Menurut KBBI, hasud adalah dengki atau iri hati. Hasud merupakan penyakit jiwa yang memaksa penderitanya untuk membenci sesuatu yang bermanfaat baginya dan mencintai sesuatu yang merugikannya[1]. Menurut istilah, hasud adalah perasaan tidak senang melihat orang lain mendapatkan nikmat dari Allah Swt, bahkan berusaha dengan berbagai cara agar yang mendapat nikmat tersebut kembali seperti semula. Kepuasannya tercapai apabila tidak ada orang lain yang melebihinya dalam hal itu.
Kedengkian berarti menginginkan hilangnya karunia dari seseorang atau menginginkan turunnya musibah atas diri orang lain[2]
Dalam kitab tanbihul Ghafilin (1980: 237-238) diterangkan bahwa orang hasud itu telah ditentang oleh Allah Swt dalam beberapa hal seperti:
1.      Membenci nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain.
2.      Tidak rela menerima pembagian karunia Allah atas dirinya.
3.      Pelit terhadap pemberian Allah. Dalam artian jika bisa nikmat Allah jatuh pada dirinya, maka tidak perlu orang lain meperolehnya. Kalaupun orang lain memperolehnya, diharapkan diharapkan dibawah derajat dirinya
4.      Mengikuti pengaruh iblis yang sangat menghinakan diri sendiri[3]

Menurut bahasa, Su’udzan berasal dari bahasa arab, yaitu as-suu’u dan Adz-dzonn. As-suu’u artinya:
1)      Semua yang buruk atau kebalikan dari yang bagus
2)      Semua yang menjadikan manusia takut, baik dari urusan dunia maupun urusan akhirat.
Sedangkan Adz-dzonn berarti:


1)      Ragu
2)      Menyangka
3)      Tahu yang tidak yakin
4)      Yakin


Sedangkan Su’udzan menurut istilah: prasangka yang menjadikan seseorang mensifati orang lain dengan sifat yang tidak disukainya tanpa dalil.
B.     Bahaya dari Hasud dan su’udzan
Jika hati sudah terkena penyakit hasud (dengki), maka akan segera menggerogoti anggota tubuh luarnya dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang tidak baik kepada orang lain. Menjaga kesehatan hati lebih penting dari kesehatan jasmani, sebab menurut al-Ghozali, penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan dunia saja, sementara penyakit hati akan membuat hilangnya kehidupan yang abadi.[4]
Abu Laits Asmarakandi (1980: 228) mengatakan, tidak ada yang lebih jahat selain hasud. Beberapa bahaya yang dapat ditimbulkan dari sifat hasud, antara lain sebagai berikut:
1.      Kerisauan dan kegelisahan akibat kebencian yang tak terputus-putus
2.      Jika seseorang telah diketahui oleh masyarakat bahawa ia memiliki sifat hasud, maka akan dijauhi oleh masyarakat sekitar
3.      Jauh dari rahmat Allah
4.      Hancurnya kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan.
Nabi Muhammad Saw. bersabda: "Jauhilah olehmu sifat dengki, karena sesungguhnya dengki itu memakan kebaikan-kebaikan seperti api memakan kayu bakar”. (HR. Abu Dawud).
   Sedangkan bahaya yang dapat ditimbulkan dari sikap su’udzan bahwasannya dalam agama Su’udzan sangat dilarang karena hukumnya haram, karena dapat meretakkan hubungan keharmonisan, baik kepada kerabat, temana, sahabat atau dalam lingkungan masyarakat. Buruk sangka adalah sifat yang dapat membuat seseorang menjadi curiga terhadap seseorang yang pada akhirnya dirinya menjadi tidak nyaman pada seseorang.
Orang yang mempunyai sifat tersebut selalu merasa dirinya terancam oleh sebuah bahaya, yang sebenarnya tidak akan terjadi. Dengan dihantuinya fikiran seperti itu maka selalu dipenuhi oleh hal-hal yang mencurigakan terhadap seseorang akhirnya perasaannya tidak akan pernah merasa tenang.[5]
C.    Penyebab sifat hasud dan su’udzan
Penyebab utama dari penyakit hati (dengki) adalah dorongan hawa   nafsu yang selalu mendorong ke arah kejelekan, sebagaimana al- Qur’an   surat Yusuf: 53[6]
Secara lebih spesifik, sifat hasud dapat timbul dari diri kita disebabkan:
1.      Membenci kebaikan di antara kaum muslimin
2.      Permusuhan dan saling benci
3.      Cinta dunia, jabatan ,harta, kedudukan.
4.      Tidak mempercayai takdir yang telah ditetapkan oleh Allah[7]
Sedangkan sebab-sebab su’udzan, diantaranya :
1.      Niatan yang buruk
2.      Tidak terbiasa dalam menggunakan kaidah yang benar dalam menghukumi sesuatu. Kaidah tersebut adalah:
a.       Melihat segala sesuatu dari lahiriyahnya dan membiarkan batiniahnya menjadi urusan Allah.
b.      Selalu mendasarkan atas bukti-bukti
c.       Memastikan kebenaran bukti-bukti tersebut
d.      Bukti-bukti tersebut tidak saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
3.      Lingkungan yang buruk akhlaknya
4.      Mengikuti hawa nafsu
5.      Terjatuh dalam masalah syubhat
6.      Tidak memperhatikan adab-adab Islam dalam berkomunikasi. Adab komunikasi adalah: i) Tidak diperbolehkan berkomunikasi berdua dan lebih baik bertiga. ii) Pembicaraan hendaknya dalam kebaikan dan ketaatan.
7.      Mengabaikan masa kini yang baik dan hanya terpaku pada masa lalu yang buruk.[8]
D.    Cara mencegah sifat hasud dan su’udzan
Rasulullah bersabda: “Ada tiga perkara dimana tidak ada seorangpun yang tidak terlepas darinya, yaitu prasangka, rasa sial, dan dengki. Dan aku akan memberikan jalan keluar bagimu dari semua itu , yaitu apabila timbul pada dirimu prasangka, janganlah dinyatakan, dan bila timbul di hatimu rasa kecewa, jangan cepat dienyahkan dan bila timbul di hatimu rasa dengki, janganlah diperturutkan!”.[9]
Ada beberapa cara bagi kita untuk menghindari sifat hasud, diantaranya:
1.         Selalu meningkatkan iman kepada Allah SWT.
2.         Berupaya meningkatkan ketaqwaan Allah SWT.
3.         Mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada kita.
4.         Meningkatkan sifat qana'ah.
5.         Menyadari kedudukan harta dan jabatan dalam kehidupan di dunia.
E.     Imbalan dari menjauhi sifat hasud dan su’udzan
Tatkala jiwa seseorang menolak sesuatu yang dilarang Allah, karena takut kepada-Nya maka dia termasuk orang-orang yang dikatakan Allah dalam firmannya: “Adapun orang yang takut atas kebesaran Allah, dan jiwanya mencegah dari hawa nafsu, maka surga adalah tempat tinggal baginya”[10]
F.     Obat untuk sifat hasud dan su’udzan
Dalam munajat Nabi Musa, yang dilansir yang dilansir dari Wahab dan dituturkan oleh Imam Ahmad dalam kitabnya pada bab Zuhud, Allah Swt. berfirman, “Aku sunguh menjaga kekasih-Ku dari kenikmatan dunia dan godaan-godaannya sebagaimana seorang penggembala menjaga untanya dari memakan rerumputan yang dilarang. Aku akan menjauhkan kerusakan dari lingkungan dan kehidupannya sebagaimana penggembala tadi yang menjauhkan hewan gembalaannya dari sesuatu yang akan merusaknya. Hal itu bukan karena kecintaan mereka terhadap-Ku, melainkan agar mereka menyempurnakan bagian mereka dari kemuliaan-Ku dengan benar dan lengkap karena hal itu tidak akan didapatkan dari dunia dan tidak akan didukung oleh hawa nafsu”. Oleh karena itu, obat penyakit hati adalah dengan menghilangkan penyebab penyakit tersebut, atau bahkan membuang kecintaan tercela itu dari hatinya.[11]
Menghilangkan penyebab penyakit iri hati, dapat ditempuh dengan dua tahap. Pertama, berpaling sekuat tenaga dari tuntutan hawa nafsu dan membersihkan hati dari kotoran-kotoran yang menghinggapinya. Tahap ini disebut takhalli, yakni pengosongan diri dari kejelekan. Kedua, meningkatkan ketakwaan kepada Allah dan membiasakan diri kita kepada kebaikan. Tahap ini disebut dengan  tahlili, yakni menghiasi diri dengan kebaikan[12]
Al-Qur’an juga merupakan obat terhadap penyakit yang ada dalam dada. Barang siapa yang dalam hatinya ada penyakit keraguan dan syahwat, maka di dalamnya perlu penjelasan yang tidak menyingkirkan kebenaran dari kebatilan. Hilangnya penyakit subhat itu dengan kepastian, imajinasi, dan pengetahuan lantaran melihat sesuatu apa adanya
Cara Mengatasi Su’udzan
a.       Membangun aqidah yang benar yang berpegang di atas prinsip husnudzon pada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin.
b.      Melakukan tarbiyah dalam rangka mengokohkan aqidah dalam diri
c.       Membiasakan diri untuk komitmen dengan adab-adab Islam di dalam menghukumi segala sesuatu.
d.      Menjauhkan diri dari masalah-masalah subhat
e.       Berusaha untuk berada dalam lingkungan yang baik
f.        Mujahadah dan berusaha untuk mengendalikan hawa nafsu dan syahwat
g.      Mempersepsikan manusia dengan realitas sekarang dan bukan masa lalunya
h.      Senantiasa membaca buku-buku sejarah orang-orang yang shalih.
G.    Hasud dan su’udzan yang membawa diperbolehkan
Dari ibnu Umar r.a., Rasulullah bersabda: “Tidak dibenarkan hasud, kecuali terhadap dua orang, yang pertama adalah  seseorang yang dikaruniai oleh Allah kemampuan membaca al-Qur’an, kemudian ia selalu sibuk dengannya siang dan malam, kedua adalah seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah , kemudian ia menginfakkannya siang dan malam”. (HR. Bukhari, tirmidzi, dan Nasa’i).
Secara umum, banyak disebutkan di dalam al-Qur’an dan hadits tentang keburukan hasud yang hukumnya mutlak dilarang. Sedangkan menurut hadits diatas, ada dua jenis orang, yang kita diperbolehkan hasad kepadanya. Oleh karena itu, para ulama menjelaskan maksud hasud dalam hadits ini dengan dua penafsiran:
1.      Hasud dengan nama risyk yang dalam bahasa arab disebut ghibthah (keinginan)
Adapun perbedaan antara hasad dan ghibthah sebagai berikut:
a.       Hasad adalah apabila seseorang mengetahui ada orang lain yang  mendapat suatu nikmat, ia ingin nikmat itu hilang dari orang          tersebut, baik ia mendapatkannya atau tidak.
b.      Ghitbah adalah jika seseorang menginginkan nikmat yang dimiliki orang lain, tanpa menghendaki nikmat itu hilang dari orang tersebut.
2.      Maksud dari hadits diatas adalah pengandaian, yakni seandainya hasud itu diperbolehkan, maka hasad terhadap dua hal itu diperbolehkan[13]


Sedangkan su’udzan yang diperbolehkan ialah:
1.      Wajib su’udzan kepada orang kafir yang terang-terangan dengan kekufurannya dan permusuhannya kepada Allah, Rasulullah dan orang-orang Mukmin yang shaleh. Allah berfirman:
“Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (Tidak menepati perjanjian).” (QS 9: 8).
2.      Su’udzan kepada orang Muslim yang dikenal terang-terangan berbuat maksiat, menghalangi jalan Allah dan tidak komitmen terhadap Islam.[14]




BAB III
PENUTUP
A.         Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa hasud merupakan keinginan hilangnya karunia dari seseorang atau menginginkan turunnya musibah atas diri orang lain. Sedangkan su’udzan adalah prasangka yang menjadikan seseorang mensifati orang lain dengan sifat yang tidak disukainya tanpa dalil. Baik hasud maupun su’udzan dapat menimbulkan kegelisahan dan dosa jika melakukan kedua hal tersebut. Secara umum, penyebab hasud dan su’udzan adalah karena dorongan hawa nafsu yang tidak terkontrol. Cara mencegah hasud dan su’udzan salah satunya adalah dengan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah. Menjauhi hasud dan su’udzan termasuk beberapa amalan yang membantu kita masuk ke surga. Ada beberapa kriteria tertentu yang membuat hasud dan su’udzan itu diperbolehkan. Semoga makalah ini dapat mencapai tujuan utama penulis yakni membuat pembaca agar menjauhi sifat hasud dan su’udzan.
B.       Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.



Daftar pustaka
Syukur Amin, Tasawuf Kontekstual, Yogyakarta: pustaka pelajar, 2012
Taimiyah Ibnu, Risalah tasawuf, Yogyakarta: penerbit hikmah, 2012
Imam al-Ghazali, kitabul arba’in fi ushuliddin, Surabaya: risalah gusti, 2014
http://alqur’anmulia.wordpress.com/tag/suudzon/. Diakses pada tanggal 27 September 2017 pukul 20.30 WIB.
http://www.ilmusaudara.com/2016/12. Diakses pada tanggal 27 September 2017 pukul 20.40  WIB.
           




[1] Ibnu Taimiyah, Risalah tasawuf,(yogyakarta: penerbit hikmah), h159
[2] Imam al-Ghazali, kitabul arba’in fi ushuliddin, (Surabaya: risalah gusti), h 140
[4] Amin syukur, Tasawuf Kontekstual, (yogyakarta: pustaka pelajar), h220
[5] http://www.ilmusaudara.com/2016/12. Diakses pada tanggal 27 September 2017 pukul 20.40  WIB.

[6] Amin syukur, Tasawuf Kontekstual, (yogyakarta: pustaka pelajar), h220
[8] http://alqur’anmulia.wordpress.com/tag/suudzon/. Diakses pada tanggal 27 September 2017 pukul 20.30 WIB.
[9] Imam al-Ghazali, kitabul arba’in fi ushuliddin, (Surabaya: risalah gusti), h 140
[10] Ibnu Taimiyah, Risalah tasawuf,(yogyakarta: penerbit hikmah), h 164
[11] Ibid, h160
[12] Amin syukur, Tasawuf Kontekstual, (yogyakarta: pustaka pelajar), h 221
[13] Mozaik, Sikap iri yang diperbolehkan, http://m.inilah.com/news/detail/2296731/sikap-iri-yang-diperbolehkan-oleh-rasulullah, diakses pada 16 september 2017

[14] http://alqur’anmulia.wordpress.com/tag/suudzon/. Diakses pada tanggal 27 September 2017 pukul 20.30 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat