Selasa, 31 Oktober 2017

MAKALAH AKHLAK MENURUT IBNU MISKAWAIH



Makalah Filsafat Islam "AKHLAK MENURUT IBNU MISKAWAIH"

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Etika dan jiwa merupakan salah satu pokok bahasan dalam filsafat. Etika merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar ia berhasil sebagai manusia. Karena itu tidak mengherankan bahwa hampir semua filsuf besar juga menulis dalam bidang etika. Mengapa etika dan jiwa dibahas dalam filsafat dan disepakati merupakan cabang filsafat, etika dalam cabang filsafat tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak, tetapi tindakan manusia itu, keadaan manusia itu sendiri dimaknai dengan jiwa, berarti etika dan jiwa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Bahkan dipahami bahwasanya etika lahir dari jiwa.
Tidak lama menjelang Islam lahir, agama Masehi telah memiliki kekuatan politik yang begitu besar di bawah kaisar Yustinius di Konstantinopel. Dengan kekuasaannya agama ini kemudian melarang kepada publik agar tidak mempelajari filsafat, karena ajarannya dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Sebagai akibat dari kebijakan inilah maka beberapa ahli pikir yang merasa terbelenggu kebebasannya dalam mengekspresikan pemikiran-pemikirannya melakukan eksodus ke Persia. Sebaliknya, Maha raja Persia dengan sukarela menerimanya untuk tinggal di dalam daerah kekuasaannya, sehingga wajar apabila tidak lama berselang kemudian berdirilahpusat-pusat studi filsafat di daerah yang baru tersebut. Salah satu diantaranya di kota Jundishapur yang letaknya tidak jauh dari Baghdad yang didirikan pada tahun 762 M.[1]
Di saat Islam lahir, segera setelah itu agama ini menguasai daerah tersebut. Dengan dikuasainya daerah tersebut di bawah kekuasaan Islam, terlebih pada masakekuasaan Islam di bawah Bani Abbas (al-Ma’mun dan sesudahnya) munculah pemikiran-pemikiran baru sebagai akibat dari adanya pergumulan dan interaksi antara kedua budaya tersebut.[2] Maka munculah sejarah beberapa ilmuwan dan filosof Islam yang cukup fenomenal dan populer. Ia dikenal bukan hanya di dunia Muslim, tetapi juga di dunia Barat dan salah satunya adalah Ibnu Miskawaih.
Ibnu Miskawaih dikenal tidak hanya dalam bidang filsafatnya melainkan juga dalam bidang disiplin keilmuan lainnya, seperti sejarah dan sastra Arab. Bahkan melalui salah satu master piece-nya yang berjudul Tahżīb al-Akhlāq wa Tatkhīr al-A’rāq namanya menjadi semakin populer di berbagai belahan dunia. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis memandang perlu untuk menampilkan sosok Ibnu Miskawaih tersebut dengan stressing kajian pada telaah pemikirannya tentang filsafat al-nafs dan al-akhlak-nya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi Ibnu Miskawaih?
2.      Apa saja Karya Ibnu Miskawaih?
3.      Bagaimana konsep pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih?





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi dan Riwayat pendidikan Ibnu Miskawaih
a.      Biografi Ibnu Miskawaih
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Miskawaih. Ia lahir di Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam Iran sekarang) pada tahun 320 H/ 932 M dan  wafat pada usia lanjut di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan  dinasti Buwaihi di Baghdad (320-450 H/ 932-1062 M) yang sebagian besar permukaannya bermazhab Syi’ah.
Puncak prestasi kekuasaan Bani Buwaih adalah pada mas’Adhud Al-Daulah yang berkuasa tahun 367-372 H, perhatiannya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan amat besar, sehingga pada masa ini Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah dan pada masa ini jugalah Miskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuan dan pujangga. Tetapi keberhasilan politik dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu tidak dibarengi dengan ketinggian akhlak, bahkan dilanda kemerosotan akhlak secara umum, baik dikalangan elite, menengah dan bawah. Tampaknya hal inilah yang memotivasi Miskawaih untuk memusatkan perhatiannya pada etika Islam.
Pada zaman raja ‘Adhudiddaulah, Ibu Miskawaih juga mendapat kepercayaan besar dari raja karena diangkat sebagai penjaga (khazin) perpustakaannya yang besar, disamping sebagai penyimpanan rahasianya dan utusannya ke pihak-pihak yang diperlukan.[3]
Sepanjang hidupnya Ibnu Miskawaih dikenal sebagai orang yang sangat commited dengan konsep yang ditulisnya tentang akhlak Artinya antara teori yang dikedepankan dengan tindakan praktisnya slalu sejalan. Bahkan melalui salah satu karyanya yang berjudul Tahzib al-akhlak yang kemudian menjadi master piece-nya, dan nama Ibnu Miskawaih menjadi lebih terkenal.[4]
b.      Riwayat Pendidikan Miskawaih
Dari segi latar belakang pendidikannya tidak dijumpai data sejarah yang rinci. Namun dijumpai keterangan bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari Abu Tayyib.[5] Ibnu Miskawaih lebih terkenal dalam bidang filsafat dibandingkan dengan ilmu yang lain, apalagi karya beliau yang sangat terkenal adalah tentang pendidikan dan akhlak. Sehingga beliau lebih banyak menghabiskan waktunya untuk memikir dan belajar secara otodidak tanpa harus berguru kepada yang ahlinya.
Dalam bidang pekerjaan Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekertaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwahi. Selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak bergaul dengan ilmuan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibn ‘Adi dan Ibn Sina. Selain itu Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemansyhurannya melebihi para pendahulunya, at-Thabari (w. 310 H/ 923 M) selanjutnya juga ia dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dalam berbagai bidang ilmu tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.[6]
Ibnu Miskawaih seorang yang tekun dalam melakukan percobaan-percobaan untuk mendapatkan ilmu-ilmu baru. Selain itu beliau dipercayakan oleh penguasa untuk mengajari dan mendidik anak-anak penjabat pemerintah, hal itu tentu menunjukkan bahwa Ibnu Miskawaih dikenal keilmuannya oleh masyarakat luas ketika itu.
Ibnu Miskawaih juga digelari sebagai Guru ketiga (al-Mualimin al-Tsalits) setelah al-Farabi yang digelari guru kedua (al Mualimin al-Tsani) sedangkan yang dianggap guru pertama (al-Mualimin al-Awwal) adalah Aristoteles. Sebagai Bapak Etika Islam beliau telah merumuskan dasar-dasar etika dalam kitabnya Tabdzib al-akhlak wa Tathir al-A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlak). Sementara itu sumber filsafat etika Ibnu Miskawaih berasal dari filsafat Yunani, peradapan Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi.[7] Ibnu Miskawaih adalah seorang teoritis dalam hal-hal akhlak artinya ia telah mengupas filsafat akhlaqiyah secara analisa pengetahuan. Ini tidaklah berarti bahwa Ibnu Miskawaih tidak berakhlak, hanya saja persoalannya ditinjau dari segi pengetahuan semata-mata.
B.     Hasil Karya Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih selain dikenal sebagai pemikir (filosuf), ia juga dikenal sebagai penulis produktif. Dalam buku The History of the Muslim Philosophy seperti yang dikutip oleh Sirajuddin Zar disebutkan beberapa tulisannya sebagai berikut :
a.       Al Fauz al Akbar (tentang etika)
b.      Al Fauz al-Asghar (tentang ketuhanan, jiwa, kenabian, dan metafisika)
c.       Tajarib al Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ia tulis pada tahun 369 H/ 979 M)
d.      Uns al Farid (koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah)
e.       Tartib al Sa’adat (tentang akhlak dan politik)
f.        Al-Mustaufa (tentang syair-syair pilihan)
g.      Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
h.      Al-Jami’ (tentang Ketabiban)
i.        Al-Adwiyah (tentang obat-obatan)
j.        Kitab al-Ashribah (tentang minuman)
k.      Tahzib al-Akhlak
l.        Al-Siyar (tentang tingkah laku kehidupan)
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa semua karya Ibnu Miskawaih tidak luput dari kepentingan filsafat dan akhlak. Sehubungan dengan itu Ibnu Miskawaih dikenal sebagai moralis.[8]
C.    Pemikiran Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih juga digelari sebagai guru yang ketiga sesudah Aristoteles sebagai guru pertama dan Al-Farabi sebagai guru yang kedua. Ibnu Maskawaih dianggap sebagai guru etika salah satunya adalah karangan beliau yang berjudul Tahzibul Akhlak (Pendidikan Budi) yang sudah dipakai oleh para pakar Pendidikan Agama Islam untuk dijadikan teori terutama tentang adab manusia. Sementara itu sumber filsafat etika Ibnu Miskawaih berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi. Dalam menjelaskan etika islam menurut Ibnu Miskawaih, yaitu:
a.       Pengertian Akhlak
Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak itu merupakan bentuk jamak dari khuluq,
 االخلق حال للنفس دا عيةلها الى أفعالها من غير فكر و لاروية
Artinya: keadaan jiwa yang mengajak atau mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelum-nya.[9]
Dengan kata lain akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan. Sikap jiwa atau keadaan jiwa seperti ini terbagi menjadi dua; ada yang berasal dari watak (bawaan) atau fitrah sejak kecil dan ada pula yang berasal dari kebiasaan latihan.[10] Dengan demikian, manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawaan fitrahnya yang tidak baik menjadi baik.
Ibnu Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai makhluk yang memiliki macam-macam daya. Ibnu Miskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berpikir yang menjadi sumber tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan.
Mengawali pembahasan tentang akhlak, Ibnu Miskawaih membahas atau memberi beberapa prinsip dasar tentang akhlak, yakni:[11]
1.      Tujuan ilmu akhlak adalah membawa manusia kepada kesempurnaan. Kesempurnaan manusia terletak pada pemikiran dan amal perbuatan, yaitu kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan amal. Tugas ilmu akhlak terbatas pada sisi amal perbuatan saja.
2.      Kelezatan indrawi hanya sesuai dengan hewan tidak dengan manusia. Bagi manusia kelezatan akal adalah yang lebih sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Anak-anak harus di didik sesuai dengan akhlak yang mulia, dimulai dengan jiwa keinginan, lalu jiwa marah, dan akhirnya jiwa berpikir. Rencana pendidikan juga dimulai dengan adab makan, minum, berpakaian (jiwa keinginan), lalu sifat-sifat berani dan daya tahan (jiwa marah), dan akhirnya sifat bernalar, sehingga akal dapat mendominasi segala tingkahlaku (jiwa pikir).
b.      Keutamaan (Fadhilah)
Ibnu Miskawaih menyebutkan adanya tiga macam kekuatan jiwa, yaitu bahimiyah dan syahwiyah (kebinatangan atau nafsu syahwat) yang mengejar kelezatan-kelezatan jasmani, sabu’iyah (binatang buas) yang bertumpu pada lemarahan dan keberanian, dan nathiqah yang selalu berpikir tentang hakikat segala sesuatu. Tiga kekuatan itu saling berdesak dan berebut posisi, jika dapat terjadi keselarasan dalam perimbangan posisi ketiganya, maka tercapailah keutamaan dan kebajikan pada manusia.
Atas dasar adanya tiga macam kekuatan jiwa manusia itu dapat disebutkan adanya tiga macam keutamaan cabang yang berpokok pada keutamaan-keutamaan dasar itu. Keselarasan antara tiga keutamaan dasar itu menimbulkan keutamaan lain, yang merupakan kesempurnaan ketiga keutamaan dasar tersebut.
Keutamaan jiwa itu ada empat macam, yaitu hikmah (wisdom) adalah keutamaan jiwa cerdas, ‘iffah (kesucian) adalah keutamaan nafsu syahwat, syaja’ah (keberanian) adalah keutamaan jiwa ghadhabiyah (sabu’iyah), dan ‘adalah (keadilan) adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari kumpulan tiga macam keutamaan tersebut di saat terjadi keselaran antara keutamaan-keutamaan itu dan tunduk kepada kekuatan sehat, hingga masing-masing kekuatan itu tidak menuntut kepuasan sejalan dengan wataknya, dan dengan demikian orang akan dapat bersikap adil terhadap dirinya sendiri, juga terhadap orang lain.[12]
c.       Kebahagiaan (Sa’adah)
Ibnu Miskawaih membedakan antara al-khair (kebaikan) dengan al-sa’adah (kebahagiaan). Dimana kebaikan menjadi tujuan semua orang: kebaikan umum bagi seluruh manusia dalam kedudukan sebagai manusia. Sedangkan kebahagiaan adalah kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum, tetapi relatif tergantung kepada orang per orang.[13]
Ada dua pandangan pokok tentang kebahagiaan (sa`adah). Yang pertama diwakili oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih berhubungan dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua dipelopori oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja, kebahagiaan berbeda menurut masing-masing orang seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.
Ibnu Miskawaih mencoba mengompromikan kedua pandangan yang berlawanan itu. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah swt. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia menuju derajat malaikat.
d.      Cinta (Mahabbah)
Ibnu Miskawaih memberikan perhatian khusus kepada cinta sebagai salah satu unsur dari etika. Menurutnya cinta ada dua macam; cinta kepada Allah, dan cinta kepada manusia, terutama cinta seorang murid pada gurunya. Cinta yang tinggi nilainya adalah cinta kepada Allah, tetapi cinta tipe ini hanya dapat dicapai oleh sedikit orang. Cinta kepada sesama manusia ada kesamaan antara cinta anak kepada orang tua dan cinta murid kepada guru, tetapi cinta murid kepada guru dipandang lebih mulia dan lebih berperan. Guru adalah bapak rohani bagi murid-muridnya. Gurulah yang mendidik murid-muridnya untuk dapat memiliki keutamaan yang sempurna. Kemuliaan guru terhadap muridnya ibarat kemuliaan rohani terhadap jasmani.[14]
e.       Pendidikan Akhlak
Dalam karangan-karangan beliau banyak menunjukkan hal-hal yang sifatnya material dalam kontek moral seperti pokok pendidikan akhlaknya ketika mengangkat persoalan-persoalan yang wajib bagi kebutuhan manusia dan jiwa sebagai hal wajib akan menentukan perubahan psikologis ketika terjadi interaksi sesama manusia.[15] Dari beberapa uraian diatas memberikan konsekwensi logis, dimana seluruh materi pendidikan pada umumnya merupakan hal yang wajib dipelajari didalam pendidikan moral atau akhlak, seharusnya ilmu-ilmu yang diajarkan dalam proses pendidikan moral tidak hanya diperuntukkan sebagai tujuan akademik semata tetapi akan lebih bermamfaat ketika hal-hal yang bersifat subtansial/esensial dipenerapannya dalam hubungan sosial.
Dapat disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain: hikmah, berani, dan murah yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifat keempat akan timbul darinya, yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh, rakus, penakut, dan zalim.
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibnu Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia agar sebagai filosuf. Karena itu Ibnu Miskawaih memberikan uraian tentang sejumlah ilmu yang dapat di pelajari agar menjadi seorang filosuf. Ilmu tersebut ialah:
1.      Matematika
2.      Logika dan
3.      Ilmu kealaman
Jadi, jika dianalisa dengan secara seksama, bahwa berbagai ilmu pendidikan yang diajarkan Ibnu Miskawaih dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu itu sendiri atau tujuan akademik tetapi  kepada tujuan yang lebih pokok yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka akan semakin tinggi pula akhlaknya.[16]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Ibnu Miskawaih adalah abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Miskawaih. Lahir di Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam Iran sekarang) pada tahun 320 H/ 932 M dan  wafat pada usia lanjut di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M.
2.      Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan  dinasti Buwaihi di Baghdad (320-450 H/ 932-1062 M) yang sebagian besar permukaannya bermazhab Syi’ah. Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekertaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwahi.
3.      Ibnu Miskawaih juga digelari sebagai guru yang ketiga sesudah Aristoteles sebagai guru pertama dan Al-Farabi sebagai guru yang kedua. Ibnu Maskawaih dianggap sebagai guru etika salah satunya adalah karangan beliau yang berjudul Tahzibul Akhlak (Pendidikan Budi)
4.      Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak itu merupakan bentuk jamak dari khuluq. keadaan jiwa yang mengajak atau mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelum-nya.
5.      Dengan kata lain akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan. Sikap jiwa atau keadaan jiwa seperti ini terbagi menjadi dua; ada yang berasal dari watak (bawaan) atau fitrah sejak kecil dan ada pula yang berasal dari kebiasaan latihan
6.      Ibnu Miskawaih menyebutkan adanya tiga macam kekuatan jiwa, yaitu bahimiyah dan syahwiyah (kebinatangan atau nafsu syahwat) yang mengejar kelezatan-kelezatan jasmani, sabu’iyah (binatang buas) yang bertumpu pada lemarahan dan keberanian, dan nathiqah yang selalu berpikir tentang hakikat segala sesuatu.
7.      Ibnu Miskawaih membedakan antara al-khair (kebaikan) dengan al-sa’adah (kebahagiaan). Dimana kebaikan menjadi tujuan semua orang: kebaikan umum bagi seluruh manusia dalam kedudukan sebagai manusia. Sedangkan kebahagiaan adalah kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum, tetapi relatif tergantung kepada orang per orang.
8.      Ibnu Miskawaih memberikan perhatian khusus kepada cinta sebagai salah satu unsur dari etika. Menurutnya cinta ada dua macam; cinta kepada Allah, dan cinta kepada manusia, terutama cinta seorang murid pada gurunya. Cinta yang tinggi nilainya adalah cinta kepada Allah.
9.      Apabila sifat hikmah, berani, dan murah yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifat keempat akan timbul darinya, yakni keadilan. Sedangkan apabila sifat bodoh, rakus, penakut maka akan timbul kedzaliman
10.  Ibnu Miskawaih berpendapat setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka akan semakin tinggi pula akhlaknya.












DAFTAR PUSTAKA
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986
Madkur, Ibrahim, Filsafat Islam Metode dan Penerapan, terj. Yudian Wahyudi dan Ahmad Hakim al-Mudzakir,Jil. I, Jakarta: Rajawali, 1991
Miskawaih, Ibn, Tahzib Al Aklaq wa Tathhir A’raq, Kairo: Muassasat AlKhaniji, 1967
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2005
Mustofa, A, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Mustofa, A, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisis mendalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003


[1] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm 11
[2] Ibrahim Madkur, Filsafat Islam Metode dan penerapan, (terjemahan Yudian Wahyudi dan Ahmad Hakil al-Mudzakir, jilid i, Jakarta: Rajawali, 1991), hlm 12
[3] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm 56
[4] Ibid, hlm 58
[5] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 05
[6] Ibid, hlm 06
[7] Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam. (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2005), hlm 327-328
[8] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm 06
[9]  Ibn Miskawaih, Tahzib Al Aklaq wa Tathhir A`raq, (Kairo: Muassasat AlKhaniji, 1967), hlm 9.
[10]  A.Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm 177.
[11]  Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm 62.
[12] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm 178-179
[13] A.Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm 179.
[14] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm 180-181
[15] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 13.
[16] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm 94.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat