Minggu, 29 Oktober 2017

Makalah Studi Qur’an "QIRA’ATUL QURAN"




KATA PENGANTAR


Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, segala puji bagi Allah SWT. Sholawat serta salam tetap kami haturkan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad SAW. atas rahmat dan karunia Allah SWT, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Makalah Ulumul Qur’an yang bertema “QIRA’ATUL QUR’AN”. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak dukungan dari berbagai pihak baik, yang mana dapat memotivasi kami untuk belajar Ulumul Qur’an.
            Kami ucapkan banyak terimakasih kepada pengampu kami, Bapak Dosen Dan kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna meskipun disertai dengan usaha dan upaya yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan diterima dengan hati yang lapang.
Dan akhirnya kepada Allah SWT jualah segala usaha kami dan semoga makalah sederhana ini bermanfaat bagi kita semua.


BAB I

PENDAHULUAN

Qira’at adalah perbedaan cara mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an. Setiap suku memiliki dialek (lahjah) yang khusus dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan tersebut pastinya di karenakan faktor kondisi alam, seperti letak geografis dan sosio culture pada masing-masing suku. Oleh karena itu, disini perbedaan lahjah membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’āh) dalam melafalkan al-Qur’an. Lahirnya macam-macam qira’āh ini tidak dapat dihindarkan lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW membenarkan pelafalan al-Qur’an dengan berbagai macam qira’āh. Sabdanya al-Qur’an itu diturunkan dengan menggunakan tujuh huruf (unzila hadza al-Quran ‘ala sab’ah ahruf) dan hadith-hadith lainnya yang sepadan dengannya. Bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an adalah bahasa Quraisy.
1.      Apakah pengertian dari Qira’at itu?
2.      Bagaimana latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at?
3.      Apa saja sebab perbedaan Qira’at?
4.      Apa saja urgensi mempelajari Qira’at dan pengaruhnya dalam penetapan hukum?
5.      Apa saja macam-macam Qira’at?
Adapun maksud dan tujuan penulisan makalah ini untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Ulumul Qur’an, sekaligus untuk memperluas wawasan tentang Qira’at.




BAB II

PEMBAHASAN

Secara etimologi, Al-Qira’āt : jama’ dari qira’āh (قراءة ( bentuk masdar dari qara’ā (قرأ), sedangkan menurut terminologi  salah satu madzab (aliran) pengucapan atau pelafalan al-Qur’an seorang madzab qurro’ yang berbeda dengan madzab lainnya.[1] Sebagaian ulama mendefisinikan qira’āh sebagai “ilmu tentang pengucapan kalimat-kalimat al-Qur’an dengan berbagai macam variasinya dengan cara menyandarkan kepada penutur asal dan aslinya secara mutawattir.[2]
Qira’āh sebenarnya telah muncul semenjak Nabi masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’āh bukan merupakan disiplin ilmu. Ketika Hisyam bin Hakim membaca surat Al-Furqan itu kurang benar, kemudian Umar mendengar dan kurang puas, sehingga timbul lah sebuah perbedaan dengan Umar bin Khattab. Lalu, Umar menyuruh Hisyam untuk menghadap Rasul dengan membaca kembali surat tersebut dan Rasul bersabada:
هكاذا اُنزِلَتْ اِنَّ هذا القران اُنزِلَ على سبعة أحْرَف فَاقْرَءُوْا مَاتيَسَّرَ مِنْه
Artinya: memang begitulah al-Quran diturunkan. Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.
      Timbulnya penyebaran qira’āh dimulai pada masa tabiin, yaitu awal abad 11 H. Abu Bakar Shidiq tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf yang selain yang telah disusun Zaid bin Tsabit, seperti mushaf Ibn Mas’ud, Miqdad bin Umar dan lain-lain. Mushaf-mushaf dari selain Zaid bn Tsabit tidak jauh berbeda dengan milik Zaid bin Tsabit. Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai juru melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yaitu timbulnya qira’āh yang semakin beragam dan terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi dari bangsa-bangsa bukan Arabin sehingga menimbulkan perbedaan qira’āh. [3] Kemudian setelah mereka banyak qurra’ yang tersebar di negara-negara dan di belakang mereka diikuti oleh segenap umat. Maka ketika itu muncullah imam yang cendikiawan di dalam ijtihadnya membedakan antara  shahih dan bathil, mengumpulkan huruf-huruf dan qira’āt, menguatkan beberapa wajah dan riwayat, menjelaskan yang shahih dan syadz (aneh).[4]
Di antara sebab-sebab munculnya beberapa qira’āt yang berbeda adalah sebagai berikut:
1.      Perbedaan qira’āt Nabi. Artinya, dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, Nabi memakai beberapa versi qira’āt. Misalnya dalam surat As-Sajdah ayat 17, sebagai berikut:
فَلاَ تَعلَمُ نَفسٌ مَّااُخْفِي لَهُم مِن قُرَّاتٍ اَعْيُنٍ                                   
Qira’ah  versi mushaf Ustmani adalah :
فَلاَ تَعلَمُ نَفسٌ مَااُخْفِيَ لَهُم مِن قُرَّة اَعْيُنٍ                                                        
2.      Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku di kalangan kaum muslimin. Hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam al-Quran.
a.       Ketika seorang Hudzail membaca عَتّى حِينٍ , padahal ia menghendaki حتى حين, Rasul pun memperbolehkannya sebab memang begitulah orang Hudzail mengucapkannya.
b.      Ketika orang Tamim mengucapkan hamzah pada suatu kata yang tidak diucapkan orang Quraisy, Rasul pun memperbolehkannya sebab memang demikianlah orang Tamim menggunakan dan mengucapkannya.
3.      Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira’āt yang ada.
4.      Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.[5]
1.      Urgensi Mempelajari Qira’āt
a.       Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama.  Misalnya, berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 12, para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Dalam qira’āt Syadz, Sa’ad bin Abi Waqqash memberi tambahan ungkapan “Min Umm” Sehingga ayat itu menjadi:
                                                                                                
وَإِن كَانَ رَجُل يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمرَأَةٌ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَو أُخت )من ام ) فَلِكُلِّ وَٰحِد مِّنهُمَا ٱلسُّدُس.
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.[6]
b.      Dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat al-Maidah ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah berupa memerdekan budak. Namun, tidak disebutkan apakah budaknya itu muslim atau nonmuslim. Hal ini mengandung perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam qira’āt syadz, ayat itu memperoleh tambahan mu’minatin. Dengan demikian menjadi:

فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِن أَوسَطِ مَا تُطعِمُونَ أَهلِيكُمْ أَو كِسوَتُهُم أَو          تَحرِيرُ رَقَبَةٍ مؤمنةٍ.
“_maka kiffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak mukmin ”.[7]
Tambahan kata “Mukminatin” berfungsi men-tarjih pendapat sebagian ulama, antara lain As-Syafi’i, yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu alternatif bentuk kifaratnya.
c.       Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. Misalnya, dalam surat al-Baqarah 2 ayat 222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan seksual tatkala istrinya sedang haid, sebelumnya haidnya berakhir. Sementara qira’āt yang membacanya dengan “yuththahirna” (di dalam mushaf ‘Utsmani tertulis “yathhurna”), dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d.      Dapat menunjukkan  dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya, yang terdapat dalam surat al-Ma’idah 5 ayat. Ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu yang membaca “arjulakum” dan yang membaca “arjulikum”. Perbedaan qira’at ini tentu saja mengosekuensikan kesimpulan hukum yang berbeda.
e.       Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam al-Qur’an yang mungkin sulit dipahami maknaya. Misalnya, di dalam surat al-Qari’ah 101 ayat 5, Allah berfirman:
وَتَكُونُ ٱلجِبَالُ كَٱلعِهنِ ٱلمَنفُوشِ
Dalam sebuah qira’āt yang syadz dibaca:
وَتَكُونُ ٱلجِبَالُ كَٱلصوف ٱلمَنفُوشِ
Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata kata“al-ihn” adalah“al’shuf.”[8]
2.      Pengaruh Qira’at terhadap Istinbath Hukum
Perbedaan antara satu qira’āt dan qira’āt lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i’rob, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini sudah barang tentu membawa sedikit atau banyak, perbedaan kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang diistinbath dari padanya. Karena itu, Al- Zarkasyi berkata:
أَنَّ بِاختِلاَفِ القِراءَتِ يَظْهَرُ الاختلاف فى الاَحكَامِ و لهاذا بَنَى الُفُقَهَاءُ نَقضَ وُضوءِ الملْمُوس وَعَدَمَهُ      على اختلاف القراءت فى (لَمَسْتُمْ) و (لامستم) وكذالك جواز وطاء الحائظ عند الانقطاع وعدمه الى الغسل على اختلافهم فى (حتى يطهرن)
Menurut qira’at Nafi’ dan Abu Amr dibacaحَتَّى يَطْهُرْنَ               
Dan menurut qira’āt Hamzah dan Al-Kisai حَتَّى يَطَّهَّرْنَ                             
Qira’āt pertama dengan sukun ta’ dan dammah ha menunjukkan larangan menggauli perempuan itu ketika haid. Ini berarti bahwa ia boleh di campuri setelah terputusnya haid sekalipun sebelum mandi. Inilah pendapat Abu hanifah. Sedangkan qira’āt kedua dengan tasydid ta dan ha menunjukkan adanya perbuatan manusia dalam usaha menjadikan dirinya bersih.
Perbedaan antara qira’at لاَ مَسْتمُ النِساء dan juga mempengaruhi   لَمَسْتُم النساءperbedaan dalam istimbat hukum. Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, semata-mata bersentuh antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu. Sebab, menurut Hanafi, kata: لاَ مَسْتمُ di sini berarti jima’ dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan perasaan nafsu. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i, bersentuhan semata akan membatalkan wudhu.[9]
Dari segi periwayatan atau sanadnya, qira’āt dibagi menjadi enam macam, yaitu:
1.      Mutawattir, yaitu qira’āt yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang mustahil sepakat berbuat kebohongan pada qira’āt tersebut.
2.      Mashyur, yaitu qira’āt yang sanad dari periwayatannya shahih, tetapi tidak mencapai derajat mutawattir dan sesuai tata bahasa Arab dan rashm Utsmani.
3.      Ahad, yaitu qira’āt yang shahih secara periwayatan tetapi menyalahi rashm Utsmani atau kaidah bahasa Arab.
4.      Syadz, yaitu qira’āt yang sanadnya tidak shahih.
5.      Maudu, yaitu qira’āt yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sama sekali secara sanad.
6.      Mudraj, yaitu qira’āt yang menyertakan catatan tambahan ke dalamnya. Padahal tambahan tersebut adalah merupakan hasil penafsiran.[10]



 

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN


Qira’āt adalah ilmu yang mempelajari tentang pengucapan kalimat-kalimat di dalam al-Qur’an dengan cara menyandarkan kepada penutur asal dan aslinya. Timbulnya berbagai perbedaan di karenakan lahjah atau dialek dari berbagai suku itu berbeda-beda, tetapi qira’āh diturunkan dengan tujuh huruf. Jika ditinjau dari segi riwayatnya seperti dalam hadith, qira’āt mempunyai enam macam, seperti Mutawattir, Masyhur, Shahih, Syadz, Maudu’ dan Mudraj. Al-Qur’an dalam wujud mushaf yang dikenal dan dimiliki kaum muslim sekarang, bukanlah merupakan satu-satunya versi, karena itu terdapat pula versi qira’āh lainnya yang berbeda dengan versi qira’āh sebagaiman yang terbaca dalam mushaf al-Qur’an yang kita miliki.




DAFTAR PUSTAKA

           
Anshori. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Anwar, Rosihon. Ulumul Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Arifin, Zaenal M. “Hakikat Qira’ah Al-Qur’an”. Ulumul Qur’an, (2015), Vol. 14: 72.
Qaththan, Al-Manna’. Mabahith fil-Ulumil Qur’an.Riyadl: Kharomain, 1973.
Shobuni, Muhammad Ali. At-tibyaan fil-Ulumil Qur’an. Beirut: Darul Mawahib               Al-Islamiyah, 2016.
Syadali, Akhmad dan Ahmad Rafi’i. Ulumul Qur’an 1. Bandung: Pustaka Setia,    2000.




[1] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fil-Ulumil Qur’an (Riyadl: Kharomain, 1973), 170.
[2] Anshori, Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Press, 2013), Cet. 1, 143.
[3] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Cet. 2, 122-124.
[4] Muhammad Ali As-Shobuni, At-Tibyan  fil-Ulumil Qur’an (Beirut: Darul Mawahib Al-Islamiyah, 2016), 253.
[5] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an  (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Cet. 2, 148-149.
[6] QS. An Nisa (4): 12.
[7] QS. Al Maidah (5): 89.
[8] Ibid,.155-157.
[9] Akhmad Syadali dan Ahmad Rafi’i. Ulumul Qur’an 1 (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 232-234.
[10] M. Zaenal Arifin, “Hakikat Qira’ah Al-Qur’an” , Emprisme Vol.14, No.1 (Januari 2015), 72.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat