Minggu, 29 Oktober 2017

Makalah Kritisisme Immanuel Kant



Makalah Filsafat Umum "Kritisisme Immanuel Kant"
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. Yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya serta menganugerahkan tetesan ilmu, kesehatan dan kekuatan untuk menulis makalah yang berjudul “Kritisisme”, dengan lumayan lancar.
Kami sangat bersyukur, karna dengan bimbingan sekaligus penyemangat dari bapak dosen filsafat umun dan dari kedua orang tua kami, kami bisa menyelesaikan penulisan makalah ini.
Sholawat serta salam kami curahkan kepada Nabi Muhammad Saw. beliau adalah Nabi yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang.
Filsafat merupakan cikal bakal atau induk dari ilmu pengetahuan, juga merupakan metode berpikir. Karena inti dari filsafat adalah berpikir, yakni berpikir yang kritis, rasional, analitis, sistematis, dan radikal, maka banyak hal yang dijumpai dan dihadapi manusia yang perlu ditanyakan, diragukan, kemudian dipikirkan.
Akhirul kalam, jika ada kesalahan di dalam makalah ini, itu sudah pasti, karna kami masih belajar dan juga belum menguasai.



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kehadiran aliran rasionalisme dan empirisme sangat bertolak belakang dati tujuan semula. Pasa satu sisi landasan berpikir aliran rasionalisme yang bertolak dari rasio dan di lain sisi empirisme yang lebih mendasarkan pada pengalaman seolah sudah sempurna, padahal kedua tawaran tersebut bukan jawaban yang tepat. Tokoh yang paling menolak kedua pandangan di atas adalah Immanuel Kant (1724-1804 M).
Kant berusaha menawarkan perspektif baru dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakan kritisme. Untuk itulah ia menulis tiga bukunya berjudul: Kritik der Reinen Vernunft (kritik rasio murni), Kritik der Urteilskraft dan lainnya. Bagi Kant, dalam pengenalan indriawi selalu sudah ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Kedua-duanya berakar dalam struktur subjrek sendiri. Memang ada suatu realitas terlepas dari subjek yang mengindra, tetapi realitas tidak pernah dikenalinya. Kita hanya mengenal gejala-gejala yang merupakan sintesis antara yang di luar (aposteriori) dan ruang waktu (a priori).
B.     Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, pokok-okok yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana biografi Immanuel Kant?
2.      Apa latar belakang pemikiran Immanuel Kant?
3.      Apa  pengetahuan sistem etika immanuel kant?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pendiri Kritisisme
Immanuel Kant lahir di Jerman, tepatnya di wilayah Konigsberg pada 22 April 1724 – 12 Februari 1804 M. Kant dikenal sebagai salah seorang filsuf eksistensialsis Jerman yang berpengaruh dan produktif menulis banyak buku[1].
Filsuf ini hidup pada saat pencerahan sedang mekar-mekarnya di Jerman. Kant tidak memiliki pengalaman yang penuh gejolak dan tantangan. Sepanjang hidupnya tinggal dengan bersahaja di kota koenigsberg di Prusia Timur. Di kota ini pula dia dilahirkan dalam sebuah keluarga yang sangat dipengaruhi oleh pietisme. Kant diasuh denga nilai-nilai kerajinan, kejujuran dan kesalehan yang ketat. Di usia tuanya Kant teringat penuh rasa terima kasih kepada ibunya yang mendidiknya untuk jujur dan menghindari segala bentuk dusta. Suasana pengasuhan pitistis ini besar pengaruhnya dalam pemikiran Kant yang sangat menjunjung tinggi kewajiban.
Sewaktu studi di universitas kota Koenigsberg, Kant mempelajari hamper semua mata kuliah aktu itu, dan dia mendapat pengaruh rasionalisme Wolff melalui dosennya yang sangat dikaguminya. Dengan hak istimewa untuk meminjam buku-buku dosennya ini, Kant dapat mempelajari fisika Newton dan system-sistem metafisis dan logika yang dicapai sampai saat itu. Karena kekurangan uang, dia jua bekerja sebagai Privatdozent (dosen lepas) untuk beberapa keluarga kaya, masa kerjanya berlangsung dari tahun 1755-1770 M. dan dikenal sebagai “periode pra-kritis” yang sangat dipengaruhi  oleh Leibniz dan Wolff.
Di tahun 1770 M. Kant dikukuhkan sebagai professor. Dapat diperkirakan di sekitar tahun 60-an sampai 70-an, dia mulai meninggalkan sistem filsafat Wolff dan Leibniz.
Periode saat Kant mengembangkan sistemnya sendiri, dalam kritik der reinem vernunft (kritik atas rasio murni), disebut “periode kritis”, dan ini berlangsung setelah tahun 70-an. Pada tanggal 12 Februari 1804, Kant meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun[2].

B.     Sintesa Rasionalisme dan Empirisme
Aliran rasionalisme yang bertolak dari akal (rasio). Para filsuf aliran ini berpendapat bahwa wujud hakiki adalah wujud yang kita rasionalisasikan. Mereka juga berpendapat bahwa sumber dari pengetahuan yang meyakinkan adalah akal, sedangkan pengetahuan persepsi (inderawi)  tidak mencapai derajat pengetahuan yang myakinkan.
Aliran empirisme yang bertolak dari persepsi dan pengalaman inderawi, baik mereka yang memperluas kawasan pengetahuan manusia sehingga menjadikan pengalaman inderawi dan keaktifan jiwa sebagai sumbernya.
Kedua aliran itu berbeda dalam titik tolak pijakan. Porsi perbedaan antara kedua aliran ini semakin menajam pada abad ke-17 dan 18 M. kemudian datanglah kritisisme yang diusung oleh Immanuel Kantyang menggabungkan kedua aliran itu dan menggariskan satu filsafat uang menengahi akal dan pengalaman inderawi. Filsafat ini tidak murni rasional dan juga tidak murni empiric, namun menggabungkan antara unsur-unsur  dari kedua aliran. Akan tetapi mengapa filsafat ini dinamakn dengan filsafat kritisisme?
Kritik adalah salah satu cara untuk memverifikasi berbagai pendapat dan membebaskan berbagai pemikirandari keyakinan sebagai pemikiran-pemikiran yang mantap tak berubah. Kritik juga merupakan satu jenis analisa, dimana seorang pengritik akan menganalisa satu konsep (ide) atau ungkapan untuk menjelaskan kebenaran dan kesalahan yang ada padanya[3].
 Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra. Lain dari itu merupakan “ilusi” saja, hanyalah ide. Semua yang dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperative kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan. Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya. Inilah yang memutuskan pengharapan manusia. Ketiga pertanyaan di atas bisa digabung dan ditambahkan menjadi pertanyaan keempat “Apa itu manusia.”
Belakangan, Immanuel Kant lebih dikenal sebagai tokoh kritisisme. Filsafat kritis yang ditampilkannya bertujuan untuk menjembatani pertentangan antara kaum rasionalisme dengan kaum empirisisme. Bagi kant, baik rasionalisme maupun empiisme belum berhasil membimbing kita untuk memperoleh pengetahuan yang pasti, berlaku umum dan terbukti dengan jelas. Kedua aliran itu memiliki kelemahan yang justru merupakan kebaikan bagi kelanjutan masing-masing.
Bagi Kant, pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum rasionalisme tecermin dalam putusan yang bersifat analistik-apriori yaitu suatu bentuk putusan di mana predikat sudah termasuk dengan sendirinya kedalam subjek. Sedangkan pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum empirisisime itu tecermin dalam putusan yang bersifat sintetik-aposteriori, yaitu suatu bentuk putusan di mana predikat belum termasuk ke dalam subjek.
Dengan melihat kebaikan sekaligus kelemahan yang terdapat di antara dua putusan tersebut, kant memadukan keduanya
 dalam suatu bentuk putusan yang sintetik-apriori, yaitu suatu putusan yang bersifat umum universal dan pasti. Kant menunjuk pada tiga bidang sebagai tahapan yang harus dilalui yakni bidang indriawi, akal, dan rasio[4].
Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak benarnya memang  tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui indera. Akan tetapi, bila pengetahuan itu datang dari luar akal murni, yang tidak bergantung pada pengalaman, bahkan tidak bergantung pada indera, yang sebenarnya a priori, apakah ia juga tidak pasti kebenarannya? Tidak mungkinkah dari sini muncul kebenaran yang mutlak, yang dapat dipegang? Apakah tidak ada teori sains yang kuat seperti ini? Pertanyaannya mesti mundu lebih dulu: apakah memang ada pengetahuan yang absolute itu, yang mempunyai dasar a priori itu? Ada, kata Kant.
Kant memulainya dengan mempertanyakan apakah ada yang dapat kita ketahui seandainya seluruh benda dan indera dibuang. Seandainya tidak ada benda dan tidak ada alat pengindra, apakah ada sesuatu yang dapat kita ketahui? Di sini buku Critique pertama membahas secara rinci cara manusia berpikir, tentang asal-usul terbentuknya konsep, tentang struktur jiwa yang inheren tadi. Ini, menurut Kant., adalah masalah-masalah metafisika yang besar. Pada dasarnya, dalam buku ini Kant ingin membuat pembahasan yang lengkap dan tuntas tentang itu karena ia melihat hal ini merupakan kunci setiap masalah metafisika. Menurut hemat saya itu benar, untuk metafisika akal murni.
Pengalaman tidak lain adalah lapangan yang menghasilkan pengetahuan. Pengalaman mengatakan kepada kita apa-nya, bukan apa ia sesungguhnya. Jadi, pengalaman tidak menunjukan hakikat objek yang dialami. Oleh karena itu, pengalaman tidak dapat menghasilkan kebenaran umum.
                                                                        
Memang pengalaman tidak bermaksud memberikan kebenaran umum; akal kitalah yang biasanya ingin memperoleh kebenaran umum itu. Dari sini kita mengetahui bahwa pengetahuan berdasarkan pengalaman selalu bersifat subyektif; subyektifitas itu muncul dari berbagai sumber, dari objek itu dan dari subyek. Di sini Kant mulai memperlihatkan apa yang di perjuamgkannya: kebenranan umum harus bebas dari pengalaman, harus jelas dan pasti dengan sendirinya. Maksudnya, pengetahuan yang umum, kebenaran yang umum, itu tetap benar, tidak pedule apa pengalaman kita tentangnya kemudian. Kebenaran umum itu bahkan benar sekalipun belum dialami.
Kebenaran pasti itu, kita proleh melalui struktur jiwa kita yang inheren[5].

C.     Teori Pengetahuan dan Sistem Etika Immanuel Kant
Immanuel Kant, berpendapat bahwa manusia tersusun dari dua karakter, yakni inderawi dan rasional. Dengan karakter lahirnya, manusia di alam semesta sama dengan benda lain. Oleh karena itu, dalam fenomena empiriknya ia terikat oleh kecendrungan alamiah yang diwarisinya, serta terikat oleh pengaruh-pengaruh material yang melingkupinya. Sebagaimana semua benda, ia pun tunduk pada hukum-hukum alam dan tidak bisa lepas dari ikatannya.
Namun dengan karakter rasionalnya, manusia tidak tunduk pada hukum-hukum alam, karena ia berafiliasi kepada alam lain, yaitu alam hakikat yang disebutnya “alam segala sesuatu pada zatnya”, bukan seperti yang tampak pada alam nyata-inderawi.
Kant membedakan antara dua karakter dalam diri manusia. Ia menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk etis, bukan dalam kapasitasnya sebagai makhluk alami, seperti benda-benda lain, namun dalam kapasitasnya sebagai makhluk berakal yang bebas dari ikatan-ikatan inderawi.
Jadi, manusia adalah makhluk merdeka dan kemerdekaan ini adalah status paling tinggi dan menjadi sifat karakter intele­ktualnya. Oleh karena itu, manusia dapat menilai apa yang dili­hatnya, benar atau salah, baik atau buruk, kemudian memilih apa yang dikerjakannya berdasarkan penilaian ini. Dalam kesem­patan ini, manusia merasa bahwa ia mengatasi semua makhluk alam dan mengetahui bahwa ia melakukan apa yang wajib ia kerjakan sebagai makhluk yang berakal dan berkehendak bebas.
Dengan demikian, kewajiban bisa menjadi entitas manusiawi dalam kapasitasnya sebagai sesuatu yang muncul dari akal dan kemerdekaan kehendak bagi manusia, dimana mereka terikat dalam satu karakter, yakni karakter kemanusiaan. Maka komit­men terhadap kewajiban ini bagaikan suatu kaidah umum (prin­sip universal) bagi setiap manusia. Kant mampu membuat kaidah-kaidah ini dalam model perintah mut­lak yang mengambil formulasi berikut:
“Berbuatlah sesuai dengan kaidah, dimana pada saat yang sama, anda bisa menjadikannya sebagai undang-undang umum.”
Artinya, ketika kita berbuat sesuai dengan kemanusiaan kita, maka perbuatan kita mesti menjadi kaidah umum yang diterap­kan pada setiap manusia dan di setiap masa serta di semua kon­disi, tanpa melihat pertimbangan-pertimbangan individual dan sosial apapun.
Tujuan dari hukum ini adalah penghormatan terhadap di­mensi kemanusiaan sebagai tujuan yang ingin direalisasikan dalam setiap perilaku etis yang muncul dari manusia manapun. Oleh karena itu, Kant juga mengungkapkan formulasi berikut:
“Berbuatlah selalu dengan menjadikan perilaku kemanusiaan yang tercermin dalam pribadi anda, atau pribadi orang lain sebagai suatu tujuan dan jangan anda memperlakukannya se­mata-mata sebagai sarana untuk merealisasikan tujuan lain”
Tegasnya bahwa ia menuntut kita agar perilaku kita dapat diaplikasikan kepada semua orang dan dalam setiap kondisi. Hal itu mengarah kepada realisasi tujuan yang menjadi ideal bagi setiap manusia, yaitu penghormatan terhadap dimensi kemanusiaan, agar perilaku kita terlebih dahulu didasarkan pada ke­hendak merdeka yang dibimbing oleh akal.
Kant menyebut kehendak merdeka yang dibimbing oleh akal dengan sebutan akal praktis, atau tegasnya bahwa ia adalah'akal yang mengatur perilaku praktis kita sesuai dengan prinsip ke­wajiban terhadap dirinya, bukan sesuai dengan tujuan lain yatig ingin kita wujudkan. Oleh karena itu, nilai perbuatan moral menurut Kant, terkandung dalam millieunya[6].



BAB III
KESIMPULAN

Kritisisme Immanuel Kant sebearnya telah memadukan dua pendekatan dalam mencari keberadaan sesuatu yang juga tentang subtansial dari sesuatu itu, Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian juga pengalaman, tidak selalu dijadikan tolak ukur, karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata, tapi tidak real, yang demikian sukar untuk dinyatakan sebagai kebenaran.
Melalui pemahaman tersebut, rasionalisme dan empirisme harusnya bergabung agar melahirkan suatu paradigma baru bahwa kebenaran empiris harus rasional sebagaimana kebenaran rasional harus empiris.



DAFTAR PUSTAKA

Hardiman. Budi. F. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Jakarta: Erlangga. 2011.
Ismail. Farid. Fu’ad dan Mutawali. Hamid. Abdul. Cepat Menguasai Ilmu Filsafat. Yogyakarta: IRCiSoD. 2003.
Maksum. Ali. Pengantar Filsafat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media` 2012.
Tafsir. Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1998.








[1] Ali Maksum, Pengantar Filsafat (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 141-142.
[2] F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Jakarta: Erlangga, 2011), 111-113.
[3] Fu’ad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawali, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), 93-94.
[4] Ali Maksum, Pengantar Filsafat, 142-143.
[5] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), 154-155.
[6] Fuad Farid dan Abdul Hamid, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, 232-236.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat