Makalah Akhlak
Tasawuf "Su’udzan dan Hasud"
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam adalah agama rahmatan lil
‘alamin yang mengajarkan pada umatnya untuk berbuat baik kepada Allah, sesama
muslim, alam dan dirinya sendiri.
Pada kesempatan ini, penulis akan membahas lebih
mendalam tentang berbuat baik kepada sesama muslim dan berbuat baik kepada diri
sendiri, yang mana keduanya berimbas pada berbuat baik kepada Allah. Kaitannya dengan berbuat
baik kepada sesama muslim, agar terciptanya kesatuan dan keutuhan salah satu
hal yang dapat dilakukan adalah berhusnudzan kepada sesama muslim. Sedangkan
kaitannya dengan berbuat baik kepada diri sendiri, hal yang dapat dilakukan
adalah menjaga kesehatan baik jasmani dan rohani. Namun, yang lebih utama adalah
menjaga kesehatan rohani. Agar kesehatan rohani dapat terjaga, maka diri
sendiri harus terbebas dari penyakit hati (hasud). Maka dari itu, penulis
membuat makalah agar pembaca dapat berhusnudzan kepada sesama umat muslim, dan
menjauhi hasud (dengki), yang mana kedua hal
tersebut dapat menjadi ladang untuk beribadah kepada-Nya.
B.
Rumusan
masalah
1. Apa pengertian dari hasud dan su’udzan?
2. Apa
saja bahaya dari hasud dan su’udzan?
3. Apa
saja sebab timbulnya hasud dan su’udzan?
4. Bagaimana cara mencegah hasud dan su’udzan?
5. Apa
saja imbalan dari menjauhi hasud?
6. Apa
saja obat dari hasud dan su’udzan?
7. Adakah hasud dan su’udzan yang
diperbolehkan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian hasud dan su’udzan
Menurut KBBI, hasud adalah dengki
atau iri hati. Hasud
merupakan penyakit jiwa yang memaksa penderitanya untuk membenci sesuatu yang
bermanfaat baginya dan mencintai sesuatu yang merugikannya[1].
Menurut istilah, hasud adalah perasaan tidak senang melihat orang lain
mendapatkan nikmat dari Allah Swt, bahkan berusaha dengan berbagai cara agar
yang mendapat nikmat tersebut kembali seperti semula. Kepuasannya tercapai
apabila tidak ada orang lain yang melebihinya dalam hal itu.
Kedengkian berarti menginginkan
hilangnya karunia dari seseorang atau menginginkan turunnya musibah atas diri
orang lain[2]
Dalam kitab tanbihul Ghafilin (1980:
237-238) diterangkan bahwa orang hasud itu telah ditentang oleh Allah Swt dalam
beberapa hal seperti:
1. Membenci nikmat Allah yang diberikan kepada
orang lain.
2. Tidak rela menerima pembagian karunia
Allah atas dirinya.
3. Pelit terhadap pemberian Allah. Dalam
artian jika bisa nikmat Allah jatuh pada dirinya, maka tidak perlu orang lain
meperolehnya. Kalaupun orang lain memperolehnya, diharapkan diharapkan dibawah
derajat dirinya
4. Mengikuti pengaruh iblis yang sangat
menghinakan diri sendiri[3]
Menurut bahasa, Su’udzan berasal dari bahasa
arab, yaitu as-suu’u dan Adz-dzonn. As-suu’u
artinya:
1) Semua yang buruk atau kebalikan dari yang
bagus
2) Semua yang menjadikan manusia takut, baik
dari urusan dunia maupun urusan akhirat.
Sedangkan Adz-dzonn
berarti:
1) Ragu
2) Menyangka
3) Tahu yang tidak yakin
4) Yakin
Sedangkan Su’udzan menurut istilah: prasangka yang menjadikan
seseorang mensifati orang lain dengan sifat yang tidak disukainya tanpa dalil.
B. Bahaya
dari Hasud dan su’udzan
Jika hati sudah terkena penyakit hasud (dengki), maka akan
segera menggerogoti anggota tubuh luarnya dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang
tidak baik kepada orang lain. Menjaga kesehatan hati lebih penting dari kesehatan
jasmani, sebab menurut al-Ghozali, penyakit anggota tubuh luar hanya akan
membuat hilangnya kehidupan dunia saja, sementara penyakit hati akan membuat
hilangnya kehidupan yang abadi.[4]
Abu Laits Asmarakandi (1980: 228)
mengatakan, tidak ada yang lebih jahat selain hasud. Beberapa bahaya yang dapat
ditimbulkan dari sifat hasud, antara lain sebagai berikut:
1. Kerisauan dan kegelisahan akibat kebencian
yang tak terputus-putus
2. Jika seseorang telah diketahui oleh
masyarakat bahawa ia memiliki sifat hasud, maka akan dijauhi oleh masyarakat
sekitar
3. Jauh dari rahmat Allah
4. Hancurnya kebaikan-kebaikan yang telah
dilakukan.
Nabi Muhammad Saw. bersabda:
"Jauhilah olehmu sifat dengki, karena sesungguhnya dengki itu memakan
kebaikan-kebaikan seperti api memakan kayu bakar”. (HR. Abu Dawud).
Sedangkan bahaya yang dapat ditimbulkan dari sikap su’udzan
bahwasannya dalam agama Su’udzan sangat dilarang karena
hukumnya haram, karena dapat meretakkan hubungan keharmonisan, baik kepada
kerabat, temana, sahabat atau dalam lingkungan masyarakat. Buruk sangka adalah
sifat yang dapat membuat seseorang menjadi curiga terhadap seseorang yang pada
akhirnya dirinya menjadi tidak nyaman pada seseorang.
Orang yang mempunyai sifat tersebut selalu
merasa dirinya terancam oleh sebuah bahaya, yang sebenarnya tidak akan terjadi.
Dengan dihantuinya fikiran seperti itu maka selalu dipenuhi oleh hal-hal yang
mencurigakan terhadap seseorang akhirnya perasaannya tidak akan pernah merasa
tenang.[5]
C.
Penyebab sifat
hasud dan su’udzan
Penyebab
utama dari penyakit hati (dengki) adalah dorongan hawa nafsu yang selalu mendorong
ke arah kejelekan, sebagaimana al- Qur’an surat Yusuf: 53[6]
Secara lebih spesifik, sifat hasud dapat
timbul dari diri kita disebabkan:
1. Membenci
kebaikan di antara kaum muslimin
2. Permusuhan
dan saling benci
3. Cinta dunia,
jabatan ,harta, kedudukan.
4. Tidak
mempercayai takdir yang telah ditetapkan oleh Allah[7]
Sedangkan
sebab-sebab su’udzan, diantaranya :
1. Niatan yang buruk
2. Tidak terbiasa dalam menggunakan kaidah
yang benar dalam menghukumi sesuatu. Kaidah tersebut adalah:
a. Melihat segala sesuatu dari lahiriyahnya
dan membiarkan batiniahnya menjadi urusan Allah.
b. Selalu mendasarkan atas bukti-bukti
c. Memastikan kebenaran bukti-bukti tersebut
d. Bukti-bukti tersebut tidak saling
bertentangan satu dengan yang lainnya.
3.
Lingkungan
yang buruk akhlaknya
4.
Mengikuti
hawa nafsu
5.
Terjatuh
dalam masalah syubhat
6.
Tidak
memperhatikan adab-adab Islam dalam berkomunikasi. Adab komunikasi adalah: i)
Tidak diperbolehkan berkomunikasi berdua dan lebih baik bertiga. ii)
Pembicaraan hendaknya dalam kebaikan dan ketaatan.
7.
Mengabaikan
masa kini yang baik dan hanya terpaku pada masa lalu yang buruk.[8]
D. Cara mencegah sifat hasud dan su’udzan
Rasulullah bersabda: “Ada tiga perkara
dimana tidak ada seorangpun yang tidak terlepas darinya, yaitu prasangka, rasa
sial, dan dengki. Dan aku akan memberikan jalan keluar bagimu dari semua itu ,
yaitu apabila timbul pada dirimu prasangka, janganlah dinyatakan, dan
bila timbul di hatimu rasa kecewa, jangan cepat dienyahkan dan bila timbul di
hatimu rasa dengki, janganlah diperturutkan!”.[9]
Ada
beberapa cara bagi kita untuk menghindari sifat hasud, diantaranya:
1.
Selalu meningkatkan iman kepada Allah SWT.
2.
Berupaya meningkatkan ketaqwaan Allah SWT.
3.
Mensyukuri nikmat Allah yang diberikan
kepada kita.
4.
Meningkatkan sifat qana'ah.
5.
Menyadari kedudukan harta dan jabatan
dalam kehidupan di dunia.
E.
Imbalan dari menjauhi sifat hasud dan su’udzan
Tatkala jiwa seseorang menolak sesuatu
yang dilarang Allah, karena takut kepada-Nya maka dia termasuk orang-orang yang
dikatakan Allah dalam firmannya: “Adapun orang yang takut atas kebesaran Allah,
dan jiwanya mencegah dari hawa nafsu, maka surga adalah tempat tinggal baginya”[10]
F.
Obat untuk sifat hasud dan su’udzan
Dalam munajat Nabi Musa, yang dilansir
yang dilansir dari Wahab dan dituturkan oleh Imam Ahmad dalam kitabnya pada bab
Zuhud, Allah Swt. berfirman, “Aku sunguh menjaga kekasih-Ku dari kenikmatan
dunia dan godaan-godaannya sebagaimana seorang penggembala menjaga untanya dari
memakan rerumputan yang dilarang. Aku akan menjauhkan kerusakan dari lingkungan
dan kehidupannya sebagaimana penggembala tadi yang menjauhkan hewan gembalaannya
dari sesuatu yang akan merusaknya. Hal itu bukan karena kecintaan mereka
terhadap-Ku, melainkan agar mereka menyempurnakan bagian mereka dari
kemuliaan-Ku dengan benar dan lengkap karena hal itu tidak akan didapatkan dari
dunia dan tidak akan didukung oleh hawa nafsu”. Oleh karena itu, obat penyakit
hati adalah dengan menghilangkan penyebab penyakit tersebut, atau bahkan
membuang kecintaan tercela itu dari hatinya.[11]
Menghilangkan penyebab penyakit iri hati,
dapat ditempuh dengan dua tahap. Pertama, berpaling sekuat tenaga dari tuntutan
hawa nafsu dan membersihkan hati dari kotoran-kotoran yang menghinggapinya.
Tahap ini disebut takhalli, yakni pengosongan diri dari kejelekan.
Kedua, meningkatkan ketakwaan kepada Allah dan membiasakan diri kita kepada
kebaikan. Tahap ini disebut dengan tahlili,
yakni menghiasi diri dengan kebaikan[12]
Al-Qur’an juga merupakan obat terhadap
penyakit yang ada dalam dada. Barang siapa yang dalam hatinya ada penyakit
keraguan dan syahwat, maka di dalamnya perlu penjelasan yang tidak
menyingkirkan kebenaran dari kebatilan. Hilangnya penyakit subhat itu dengan
kepastian, imajinasi, dan pengetahuan lantaran melihat sesuatu apa adanya
Cara
Mengatasi Su’udzan
a. Membangun aqidah yang benar yang berpegang
di atas prinsip husnudzon pada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin.
b. Melakukan tarbiyah dalam rangka
mengokohkan aqidah dalam diri
c. Membiasakan diri untuk komitmen dengan
adab-adab Islam di dalam menghukumi segala sesuatu.
d. Menjauhkan diri dari masalah-masalah
subhat
e. Berusaha untuk berada dalam lingkungan
yang baik
f.
Mujahadah
dan berusaha untuk mengendalikan hawa nafsu dan syahwat
g. Mempersepsikan manusia dengan realitas
sekarang dan bukan masa lalunya
h. Senantiasa membaca buku-buku sejarah
orang-orang yang shalih.
G.
Hasud dan su’udzan yang membawa diperbolehkan
Dari ibnu Umar r.a., Rasulullah bersabda:
“Tidak dibenarkan hasud, kecuali terhadap dua orang, yang pertama adalah seseorang yang dikaruniai oleh Allah kemampuan
membaca al-Qur’an, kemudian ia selalu sibuk dengannya siang dan malam, kedua
adalah seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah , kemudian ia menginfakkannya
siang dan malam”. (HR. Bukhari, tirmidzi, dan Nasa’i).
Secara umum, banyak disebutkan di dalam
al-Qur’an dan hadits tentang keburukan hasud yang hukumnya mutlak dilarang.
Sedangkan menurut hadits diatas, ada dua jenis orang, yang kita diperbolehkan
hasad kepadanya. Oleh karena itu, para ulama menjelaskan maksud hasud dalam hadits
ini dengan dua penafsiran:
1. Hasud dengan nama risyk yang dalam bahasa
arab disebut ghibthah (keinginan)
Adapun perbedaan antara hasad dan ghibthah
sebagai berikut:
a. Hasad
adalah apabila seseorang mengetahui ada orang lain yang mendapat suatu nikmat, ia ingin nikmat itu hilang dari orang tersebut, baik ia mendapatkannya atau tidak.
b. Ghitbah adalah jika seseorang menginginkan
nikmat yang dimiliki orang lain, tanpa menghendaki nikmat itu hilang dari orang
tersebut.
2. Maksud dari hadits diatas adalah
pengandaian, yakni seandainya hasud itu diperbolehkan, maka hasad terhadap dua
hal itu diperbolehkan[13]
Sedangkan
su’udzan yang diperbolehkan ialah:
1. Wajib su’udzan kepada orang kafir yang
terang-terangan dengan kekufurannya dan permusuhannya kepada Allah, Rasulullah
dan orang-orang Mukmin yang shaleh. Allah berfirman:
“Bagaimana
bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang
musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka
tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula
mengindahkan) perjanjian. mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang
hatinya menolak. dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (Tidak
menepati perjanjian).” (QS 9: 8).
2. Su’udzan
kepada orang Muslim yang dikenal terang-terangan berbuat maksiat, menghalangi
jalan Allah dan tidak komitmen terhadap Islam.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat
disimpulkan bahwa hasud merupakan keinginan hilangnya karunia dari seseorang
atau menginginkan turunnya musibah atas diri orang lain. Sedangkan su’udzan
adalah prasangka yang menjadikan seseorang mensifati orang lain dengan sifat
yang tidak disukainya tanpa dalil. Baik hasud maupun su’udzan dapat menimbulkan
kegelisahan dan dosa jika melakukan kedua hal tersebut. Secara umum, penyebab
hasud dan su’udzan adalah karena dorongan hawa nafsu yang tidak terkontrol.
Cara mencegah hasud dan su’udzan salah satunya adalah dengan meningkatkan
ketaqwaan kita kepada Allah. Menjauhi hasud dan su’udzan termasuk beberapa
amalan yang membantu kita masuk
ke surga. Ada beberapa kriteria tertentu yang membuat hasud dan su’udzan itu
diperbolehkan. Semoga makalah ini dapat mencapai tujuan utama penulis yakni
membuat pembaca agar menjauhi sifat hasud dan su’udzan.
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang
makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di
pertanggung jawabkan.
Daftar
pustaka
Syukur
Amin, Tasawuf Kontekstual, Yogyakarta:
pustaka pelajar, 2012
Taimiyah
Ibnu, Risalah tasawuf, Yogyakarta:
penerbit hikmah, 2012
Imam
al-Ghazali, kitabul arba’in fi ushuliddin, Surabaya: risalah gusti, 2014
http://alqur’anmulia.wordpress.com/tag/suudzon/.
Diakses pada tanggal 27 September
2017 pukul 20.30 WIB.
[1] Ibnu Taimiyah, Risalah tasawuf,(yogyakarta: penerbit hikmah),
h159
[2] Imam al-Ghazali, kitabul arba’in fi ushuliddin, (Surabaya:
risalah gusti), h 140
[3] Atox, sifat-sifat tercela,http://masatox-education.blogspot.co.id/2012/01/bab-x-sifat-sifat-tercela-akhlakul.html, diakses pada 16 sept 2017
[4] Amin syukur, Tasawuf Kontekstual, (yogyakarta: pustaka
pelajar), h220
[6] Amin syukur, Tasawuf Kontekstual, (yogyakarta: pustaka
pelajar), h220
[7] Syifa zakiyyah, penyebab sifat hasad, http://googleweblight.com/?lite_url=http://syifadzakiyyah.blogspot.com/2013/11/sebab-sebab-munculnya-sifat-hasad-dan.html, diakses pada 16 september 2017
[8] http://alqur’anmulia.wordpress.com/tag/suudzon/.
Diakses pada tanggal 27 September
2017 pukul 20.30 WIB.
[9] Imam al-Ghazali, kitabul arba’in fi ushuliddin, (Surabaya:
risalah gusti), h 140
[10] Ibnu Taimiyah, Risalah tasawuf,(yogyakarta: penerbit hikmah), h
164
[11] Ibid, h160
[12] Amin syukur, Tasawuf Kontekstual, (yogyakarta: pustaka
pelajar), h 221
[13] Mozaik, Sikap iri yang diperbolehkan, http://m.inilah.com/news/detail/2296731/sikap-iri-yang-diperbolehkan-oleh-rasulullah, diakses pada 16 september 2017
[14] http://alqur’anmulia.wordpress.com/tag/suudzon/.
Diakses pada tanggal 27 September
2017 pukul 20.30 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat