MAKALAH PRAKTIK IBADAH "SHOLAT GERHANA"
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tidak
ada suatu kejadian diantara sekian banyak yang ditampakkan Allah dihadapan
hambanya. Melainkan agar kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari
kekuasaan Allah Aza Wa jalla yang ditampakkan tersebut. Yang pada akhirnya kita
diminta untuk mawas diri dan melakukan muhasabah.
Dianta
bukti kekuasaan Allah ialah terjadinya gerhana. Sebuah kejadian besar yang
banyak dianggap remeh manusia. Paahal rasulullah justru memperingatkan umatnya
untuk kembali ingat dan menegakkan salat, memperbanyak dzikir, istigfar, doa,
sedekah dan amal sholih tatkala terjadi pristiwa gerhana.
A.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan sholat gerhana?
2. Bagaimana
hukum sholat gerhana?
3. Kapan
waktu dilaksanakannya sholat gerhana?
4. Kapan
waktu sholat gerhana usai?
5. Apa
saja amalan yang dapat dilaksanakan pada sholat gerhana?
6. Bagaimana
tata cara sholat gerhana?
B. Tujuan Masalah
1. Untuk
mengetahu apa yang dimaksud dengan gerhana.
2. Untuk
mengetahui hukum sholat gerhana.
3. Untuk
mengetahui waktu dilaksanakannya sholat gerhana.
4. Untuk
mengetahui waktu sholat gerhana usai.
5. Untuk
mengetahui amalan yang dilakukan dalam sholat gerhana.
6. Untuk
mengetahui tata cara sholat gerhana.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sholat Gerhana
Dalam istilah fuqaha dinamakan kusuf. Yaitu
hilangnya cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya, dan perubahan
cahaya yang mengarah ke warna hitam atau gelap. Kalimat khusuf semakna
dengan kusuf. Ada pula yang mengatakan kusuf adalah gerhana
matahari, sedangkan khusuf adalah gerhana bulan. Pemilahan ini lebih masyhur
menurut bahasa. Jadi, shalat gerhana, ialah shalat yang dikerjakan dengan tata
cara dan gerakan tertentu, ketika hilang cahaya matahari atau bulan atau hilang
sebagiannya.[1]
B.
Hukum Sholat Gerhana
Jumhur ulama’ berpendapat, shalat gerhana
hukumnya sunnah muakkadah. Abu ‘Awanah Rahimahullah menegaskan
wajibnya shalat gerhana matahari. Demikian pula riwayat dari Abu
Hanifah Rahimahullah, beliau memiliki pendapat yang sama. Diriwayatkan
dari Imam Malik, bahwa beliau menempatkannya seperti shalat Jum’at. Demikian
pula Ibnu Qudamah Rahimahullah berpendapat, bahwa shalat gerhana
hukumnya sunnah muakkadah.
Adapun yang lebih kuat, ialah pendapat yang mengatakan
wajib, berdasarkan perintah yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Imam asy-Syaukani juga menguatkan pendapat ini. Demikian pula Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah dan
Syaikh al-Albâni Rahimahullah. Dan Syaikh Muhammad bin Shalih
‘Utsaimin Rahimahullah berkata: “Sebagian ulama berpendapat, shalat
gerhana wajib hukumnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam (jika kalian melihat, maka shalatlah—muttafaqun ‘alaih). Sesungguhnya,
gerhana merupakan peristiwa yang menakutkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam berkhutbah dengan khutbah yang agung, menjelaskan tentang surga dan
neraka. Semua itu menjadi satu alasan kuat wajibnya perkara ini, kalaupun kita
katakan hukumnya sunnah
tatkala kita melihat banyak orang yang meninggalkannya,
sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sangat menekankan
tentang kejadian ini, kemudian tidak ada dosa sama sekali tatkala orang lain
mulai berani meninggalkannya. Maka, pendapat ini perlu ditilik ulang,
bagaimana bisa dikatakan sesuatu yang menakutkan kemudian dengan sengaja kita
meninggalkannya? Bahkan seolah hanya kejadian biasa saja? Dimanakah rasa takut?
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan wajib, memiliki
argumen sangat kuat. Sehingga jika ada manusia yang melihat gerhana matahari
atau bulan, lalu tidak peduli sama sekali, masing-masing sibuk dengan
dagangannya, masing-masing sibuk dengan hal sia-sia, sibuk di ladang; semua itu
dikhawatirkan menjadi sebab turunnya adzab Allah, yang kita diperintahkan untuk
mewaspdainya. Maka pendapat yang mengatakan wajib memiliki argumen lebih kuat
daripada yang mengatakan sunnah.
Dan Asy-Syaikh
Ibnu Al-Utsaimin pun menyatakan, “Jika kita mengatakan hukumnya wajib, maka
yang nampak wajibnya adalah wajib kifayah.”
Adapun shalat
gerhana bulan, terdapat dua pendapat yang berbeda darikalangan ulama.[2]
Pendapat pertama. Sunnah
muakkadah, dan dilakukan secara berjama’ah seperti halnya shalat gerhana
matahari. Demikian ini pendapat Imam asy- Syâfi’i, Ahmad, Dawud Ibnu Hazm. Dan
pendapat senada juga datang dari ‘Atha, Hasan, an-Nakha`i, Ishâq dan riwayat
dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu. Dalil mereka: “Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya,
keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula
karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka
berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai terang kembali.” (Muttafqun
‘alaihi).[3]
Pendapat kedua. Tidak
dilakukan secara berjama’ah. Demikian ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Mâlik.
Dalilnya, bahwa pada umumnya, pelaksanaan shalat gerhana bulan pada malam hari
lebih berat dari pada pelaksanaannya saat siang hari. Sementara itu belum ada
riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam menunaikannya secara berjama’ah, padahal kejadian gerhana bulan
lebih sering dari pada kejadian gerhana matahari.
Manakah pendapat yang kuat? Dalam hal ini, ialah pendapat
pertama, karena NabiShallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kepada
umatnya untuk menunaikan keduanya tanpa ada pengecualian antara yang satu
dengan lainnya (gerhana matahari dan bulan). Sebagaimana di dalam hadits
disebutkan, “Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju
masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri
dalam shaf di belakangya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibnu Qudamah Rahimahullah juga berkata, “Sunnah
yang diajarkan, ialah menunaikan shalat gerhana berjama’ah di masjid
sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, walaupun
boleh juga dilakukan sendiri-sendiri,namun pelaksanaannya dengan berjama’ah
lebih afdhal (lebih baik). Karena yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam ialah dengan berjama’ah.
Sehingga,
dengan demikian, sunnah yang telah diajarkan ialah menunaikannya di masjid.”
C. Waktu Sholat Gerhana
Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan
sampai gerhana tersebut berakhir. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, “Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka
berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai kembali terang.”(Muttafaqun
‘alaihi).[4]
D. Waktu Sholat Gerhana Dianggap Usai
Shalat gerhana
matahari tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang
seperti sediakala, dan (2) gerhana terjadi tatkala matahari terbenam. Demikian
pula halnya dengan shalat gerhana bulan, tidak ditunaikan jika telah muncul dua
perkara, yaitu (1) terang seperti sediakala, dan (2) saat terbit matahari.[5]
E. Amalan amalan Yang Dapat Dikerjakan Saat
Gerhana
1.
Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal
shalih. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,“Oleh karena
itu, bila kaliannya melihat, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat
dan bersedekahlah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
2.
Keluar menuju
masjid untuk menunaikan shalat gerhana berjama’ah, sebagaimana disebutkan dalam
hadits,“Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju masjid,
kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf
di belakangnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
3.
Wanita keluar
untuk ikut serta menunaikan shalat gerhana, sebagaimana dalam hadits Asma’
binti Abu Bakr Radhiallahu’anhuma berkata,“Aku mendatangi ‘Aisyah
istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala terjadi gerhana matahari. Aku
melihat orang-orang berdiri menunaikan shalat, demikian pula ‘Aisyah aku
melihatnya shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi)Jika dikhawatirkan akan terjadi
fitnah, maka hendaknya para wanita mengerjakan shalat gerhana ini sendiri-sendiri
di rumah mereka berdasarkan keumuman perintah mengerjakan shalat gerhana.
4.
Shalat gerhana
(matahari dan bulan) tanpa adzan dan iqamah, akan tetapi diseru untuk shalat
pada malam dan siang dengan ucapan “ash-shalatu jami’ah” (shalat akan
didirikan), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin
‘Amr Radhiallahu’anhuma, ia berkata: Ketika terjadi gerhana matahari pada
zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diserukan “ash-shalatu
jami’ah” (sesungguhnya shalat akan didirikan). (HR Bukhari)
5.
Khutbah
setelah shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
‘AisyahRadhiallahu’anha berkata: Sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, tatkala selesai shalat, dia berdiri menghadap manusia lalu
berkhutbah. (HR Bukhari)
F. Tata Cara Sholat Gerhana
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa shalat
gerhana dua raka’at. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam hal tata
cara pelaksanaannya. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama. Imam Malik,
Syafi’i, dan Ahmad, mereka berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at.
Pada setiap raka’at ada dua kali berdiri, dua kali membaca, dua ruku’ dan dua
sujud. Pendapat ini berdasarkan beberapa hadits, di antaranya hadits Ibnu
‘Abbas Radhiallahu’anhu, ia berkata, “Telah terjadi gerhana matahari
pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka beliau shalat dan
orang-orang ikut shalat bersamanya. Beliau berdiri sangat lama (seperti)
membaca surat al-Baqarah, kemudian ruku’ dan sangat lama ruku’nya, lalu
berdiri, lama sekali berdirinya namun berdiri yang kedua lebih pendek dari
berdiri yang pertama, kemudian ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua
lebih pendek dari ruku’ pertama.” (Muttafaqun ‘alaihi).[6]
Hadits kedua,
dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melaksanakan shalat ketika terjadi gerhana
matahari. Rasulullah berdiri kemudian bertakbir kemudian membaca, panjang
sekali bacaannya, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, kemudian
mengangkat kepalanya (i’tidal) seraya mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah,”
kemudian berdiri sebagaimana berdiri yang pertama, kemudian membaca, panjang
sekali bacaannya namun bacaan yang kedua lebih pendek dari bacaan yang pertama,
kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, namun lebih pendek dari ruku’ yang
pertama, kemudian sujud, panjang sekali sujudnya, kemudian dia berbuat pada
raka’at yang kedua sebagimana yang dilakukan pada raka’at pertama, kemudian
salam” (Muttafaqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Abu Hanifah
berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at, dan setiap raka’at satu
kali berdiri, satu ruku dan dua sujud seperti halnya shalat sunnah lainnya.
Dalil yang disebutkan Abu Hanifah dan yang senada dengannya, ialah hadits Abu
Bakrah, ia berkata: “Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka Rasulullah keluar dari rumahnya seraya
menyeret selendangnya sampai akhirnya tiba di masjid. Orang-orang pun ikut
melakukan apa yang dilakukannya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam shalat bersama mereka dua raka’at.” (HR Bukhari, an-Nasa‘i).
Dari pendapat di atas, pendapat yang kuat ialah pendapat
pertama (jumhur ulama’), berdasarkan beberapa hadits shahih yang menjelaskan
hal itu. Karena pendapat Abu Hanifah Rahimahullah dan orang-orang
yang sependapat dengannya, riwayat yang mereka sebutkan bersifat mutlak (umum),
sedangkan riwayat yang dijadikan dalil oleh jumhur (mayoritas) ulama adalah
muqayyad.
Ringkasan tata
cara shalat gerhana sebagai berikut.
1.
Bertakbir,
membaca doa iftitah, ta’awudz, membaca surat al-Fatihah, dan membaca surat
panjang, seperti al-Baqarah.
2.
Ruku’ dengan
ruku’ yang panjang.
3.
Bangkit
dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: sami’allhu liman hamidah.
4.
Tidak sujud
(setelah bangkit dari ruku’), akan tetapi membaca surat al-Fatihah dan surat
yang lebih ringan dari yang pertama.
5.
Kemudian ruku’
lagi dengan ruku’ yang panjang, hanya saja lebih ringan dari ruku’ yang
pertama.
6.
Bangkit dari
ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: sami’allahu liman hamidah.
7.
Kemudian
sujud, lalu duduk antara dua sujud, lalu sujud lagi.
8.
Kemudian
berdiri ke raka’at kedua, dan selanjutnya melakukan seperti yang dilakukan pada
raka’at pertama.dan sesudah itu sunnah pula imam dan khatib
berkhutbah sebagaimana khutbah jumat.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Shalat kusufain ialah shalat dua gerhana, yakni shalat
karena gerhana bulan dan gerhana matahari.Kalau gerhana bulan kita lakukan
shalat khusuf, dan kalau gerhana matahari kita lakukan shalat kusuf, kedua
shalat ini hukumnya sunnah muakkad.
Waktu melaksanakan shalat gerhana matahari yaitu dari
timbul gerhana itu sampai matahari kembali sebagaimana biasa, atau sampai
terbenam.sedang shalat gerhana bulan waktunya mulai mulai terjadinya gerhana
itu sampai terbit kembali atau sampai bulan nampak utuh.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’ITuntunan Sholat. Semarang: PT.Karya Toha Putra. 2009.
http://d1.islamhouse.com/data/id/ih_articels.
Hadi, noer. Memahami fiqih. Jakarta: Erlangga, 2009. 72
izin copas ya
BalasHapusterima kasih cukup membantu. tolong di lanjutkan lagi amalan seperti ini sahabat
BalasHapus