KATA PENGANTAR
Dengan menyebut
nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, segala puji bagi Allah SWT.
Sholawat serta salam tetap kami haturkan kepada junjungan Nabi besar kita
Muhammad SAW. atas rahmat dan karunia Allah SWT, sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas Makalah Ulumul Qur’an yang bertema “QIRA’ATUL QUR’AN”. Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini banyak dukungan dari berbagai pihak baik, yang mana
dapat memotivasi kami untuk belajar Ulumul Qur’an.
Kami
ucapkan banyak terimakasih kepada pengampu kami, Bapak Dosen Dan kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari sempurna meskipun disertai dengan usaha dan upaya yang semaksimal mungkin. Oleh karena
itu, kami mengharapkan saran dan diterima dengan hati yang lapang.
Dan akhirnya kepada Allah SWT jualah segala usaha kami dan semoga
makalah sederhana ini bermanfaat bagi kita semua.
BAB I
PENDAHULUAN
Qira’at adalah perbedaan cara mengucapkan lafazh-lafazh
al-Qur’an. Setiap suku memiliki dialek (lahjah) yang khusus dan berbeda
dengan suku-suku lainnya. Perbedaan tersebut pastinya di karenakan faktor
kondisi alam, seperti letak geografis dan sosio culture pada
masing-masing suku. Oleh karena itu, disini perbedaan lahjah membawa
konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’āh) dalam melafalkan
al-Qur’an. Lahirnya macam-macam qira’āh ini tidak dapat dihindarkan
lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW membenarkan pelafalan al-Qur’an dengan
berbagai macam qira’āh. Sabdanya al-Qur’an itu diturunkan dengan
menggunakan tujuh huruf (unzila hadza al-Quran ‘ala sab’ah ahruf) dan
hadith-hadith lainnya yang sepadan dengannya. Bahasa yang digunakan dalam
al-Qur’an adalah bahasa Quraisy.
1. Apakah
pengertian dari Qira’at itu?
2. Bagaimana latar
belakang timbulnya perbedaan Qira’at?
3. Apa saja sebab
perbedaan Qira’at?
4. Apa saja
urgensi mempelajari Qira’at dan pengaruhnya dalam penetapan hukum?
5. Apa saja
macam-macam Qira’at?
Adapun maksud dan tujuan penulisan makalah ini untuk menyelesaikan tugas
mata kuliah Ulumul Qur’an, sekaligus untuk memperluas wawasan tentang Qira’at.
BAB II
PEMBAHASAN
Secara
etimologi, Al-Qira’āt : jama’ dari qira’āh
(قراءة (
bentuk masdar dari qara’ā (قرأ), sedangkan menurut terminologi salah satu madzab (aliran) pengucapan atau
pelafalan al-Qur’an seorang madzab qurro’ yang berbeda dengan madzab lainnya.[1]
Sebagaian ulama mendefisinikan qira’āh sebagai “ilmu tentang pengucapan kalimat-kalimat
al-Qur’an dengan berbagai macam variasinya dengan cara menyandarkan kepada
penutur asal dan aslinya secara mutawattir.[2]
Qira’āh sebenarnya telah muncul semenjak Nabi masih
ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’āh bukan merupakan disiplin
ilmu. Ketika Hisyam bin Hakim membaca surat Al-Furqan itu kurang benar,
kemudian Umar mendengar dan kurang puas, sehingga timbul lah sebuah perbedaan
dengan Umar bin Khattab. Lalu, Umar menyuruh Hisyam untuk menghadap Rasul dengan
membaca kembali surat tersebut dan Rasul bersabada:
هكاذا اُنزِلَتْ اِنَّ هذا القران اُنزِلَ على سبعة أحْرَف
فَاقْرَءُوْا مَاتيَسَّرَ مِنْه
Artinya: memang begitulah al-Quran diturunkan.
Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh apa
yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.
Timbulnya
penyebaran qira’āh dimulai pada masa tabiin, yaitu awal abad 11 H. Abu
Bakar Shidiq tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf yang selain yang telah disusun
Zaid bin Tsabit, seperti mushaf Ibn Mas’ud, Miqdad bin Umar dan lain-lain.
Mushaf-mushaf dari selain Zaid bn Tsabit tidak jauh berbeda dengan milik Zaid
bin Tsabit. Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke
berbagai juru melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yaitu timbulnya qira’āh
yang semakin beragam dan terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi dari
bangsa-bangsa bukan Arabin sehingga menimbulkan perbedaan qira’āh. [3] Kemudian
setelah mereka banyak qurra’ yang tersebar di negara-negara dan di belakang
mereka diikuti oleh segenap umat. Maka ketika itu muncullah imam yang
cendikiawan di dalam ijtihadnya membedakan antara shahih dan bathil, mengumpulkan huruf-huruf
dan qira’āt, menguatkan beberapa wajah dan riwayat, menjelaskan yang shahih dan
syadz (aneh).[4]
Di antara sebab-sebab munculnya beberapa qira’āt
yang berbeda adalah sebagai berikut:
1. Perbedaan qira’āt
Nabi. Artinya, dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, Nabi
memakai beberapa versi qira’āt. Misalnya dalam surat As-Sajdah ayat 17,
sebagai berikut:
فَلاَ تَعلَمُ نَفسٌ مَّااُخْفِي لَهُم مِن قُرَّاتٍ
اَعْيُنٍ
Qira’ah versi
mushaf Ustmani adalah :
فَلاَ تَعلَمُ نَفسٌ مَااُخْفِيَ لَهُم مِن قُرَّة اَعْيُنٍ
2. Pengakuan dari
Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku di kalangan kaum muslimin.
Hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam
al-Quran.
a. Ketika seorang
Hudzail membaca عَتّى
حِينٍ , padahal ia menghendaki حتى حين, Rasul pun memperbolehkannya sebab memang
begitulah orang Hudzail mengucapkannya.
b. Ketika orang
Tamim mengucapkan hamzah pada suatu kata yang tidak diucapkan orang Quraisy,
Rasul pun memperbolehkannya sebab memang demikianlah orang Tamim menggunakan
dan mengucapkannya.
3. Adanya riwayat
dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira’āt yang ada.
4. Adanya lahjah
atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.[5]
1. Urgensi
Mempelajari Qira’āt
a. Dapat
menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama. Misalnya, berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 12,
para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara
perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan
seibu saja. Dalam qira’āt Syadz, Sa’ad bin Abi
Waqqash memberi tambahan ungkapan “Min Umm” Sehingga ayat itu menjadi:
وَإِن
كَانَ رَجُل يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمرَأَةٌ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَو أُخت )من ام ) فَلِكُلِّ وَٰحِد مِّنهُمَا
ٱلسُّدُس.
Jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara
itu seperenam harta.[6]
b. Dapat
mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat
al-Maidah ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah berupa memerdekan
budak. Namun, tidak disebutkan apakah budaknya itu muslim atau nonmuslim. Hal
ini mengandung perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam qira’āt syadz, ayat itu
memperoleh tambahan mu’minatin. Dengan demikian menjadi:
فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِن
أَوسَطِ مَا تُطعِمُونَ أَهلِيكُمْ أَو
كِسوَتُهُم أَو تَحرِيرُ رَقَبَةٍ مؤمنةٍ.
“_maka
kiffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak mukmin ”.[7]
Tambahan kata “Mukminatin”
berfungsi men-tarjih pendapat sebagian ulama, antara lain As-Syafi’i, yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah,
sebagai salah satu alternatif bentuk kifaratnya.
c. Dapat
menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. Misalnya, dalam surat
al-Baqarah 2 ayat 222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan
hubungan seksual tatkala istrinya sedang haid, sebelumnya haidnya berakhir.
Sementara qira’āt yang membacanya dengan “yuththahirna”
(di dalam mushaf ‘Utsmani tertulis “yathhurna”), dapat dipahami bahwa
seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci
dan mandi.
d. Dapat
menunjukkan dua ketentuan hukum yang
berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya, yang terdapat dalam surat
al-Ma’idah 5 ayat. Ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu yang membaca “arjulakum”
dan yang membaca “arjulikum”. Perbedaan qira’at ini tentu
saja mengosekuensikan kesimpulan hukum yang berbeda.
e.
Dapat memberikan
penjelasan terhadap suatu kata di dalam al-Qur’an yang mungkin sulit dipahami
maknaya. Misalnya, di dalam surat al-Qari’ah 101 ayat 5, Allah berfirman:
وَتَكُونُ ٱلجِبَالُ كَٱلعِهنِ
ٱلمَنفُوشِ
Dalam sebuah qira’āt yang syadz dibaca:
وَتَكُونُ ٱلجِبَالُ كَٱلصوف ٱلمَنفُوشِ
2. Pengaruh Qira’at terhadap Istinbath Hukum
Perbedaan antara satu qira’āt dan qira’āt lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata,
susunan kalimat, i’rob, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan
ini sudah barang tentu membawa sedikit atau banyak, perbedaan kepada makna yang
selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang diistinbath dari padanya. Karena itu,
Al- Zarkasyi berkata:
أَنَّ بِاختِلاَفِ القِراءَتِ يَظْهَرُ الاختلاف فى الاَحكَامِ و
لهاذا بَنَى الُفُقَهَاءُ نَقضَ وُضوءِ الملْمُوس وَعَدَمَهُ على اختلاف القراءت فى (لَمَسْتُمْ)
و (لامستم) وكذالك جواز وطاء الحائظ عند الانقطاع وعدمه الى الغسل على اختلافهم فى
(حتى يطهرن)
Menurut qira’at Nafi’ dan Abu Amr dibacaحَتَّى يَطْهُرْنَ
Dan menurut qira’āt Hamzah dan Al-Kisai حَتَّى يَطَّهَّرْنَ
Qira’āt pertama dengan sukun ta’ dan dammah ha menunjukkan
larangan menggauli perempuan itu ketika haid. Ini berarti bahwa ia boleh di
campuri setelah terputusnya haid sekalipun sebelum mandi. Inilah
pendapat Abu hanifah. Sedangkan qira’āt kedua dengan tasydid ta dan ha menunjukkan adanya
perbuatan manusia dalam usaha menjadikan dirinya bersih.
Perbedaan antara qira’at لاَ مَسْتمُ النِساء dan juga mempengaruhi لَمَسْتُم النساءperbedaan dalam istimbat hukum. Menurut
madzhab Hanafi dan Maliki, semata-mata bersentuh antara laki-laki dan perempuan
tidak membatalkan wudhu. Sebab, menurut Hanafi, kata: لاَ
مَسْتمُ di
sini berarti jima’ dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan
perasaan nafsu. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i, bersentuhan semata akan
membatalkan wudhu.[9]
Dari segi
periwayatan atau sanadnya, qira’āt dibagi menjadi enam macam, yaitu:
1. Mutawattir,
yaitu qira’āt yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang mustahil
sepakat berbuat kebohongan pada qira’āt tersebut.
2. Mashyur, yaitu qira’āt
yang sanad dari periwayatannya shahih, tetapi tidak mencapai derajat mutawattir
dan sesuai tata bahasa Arab dan rashm Utsmani.
3. Ahad, yaitu qira’āt
yang shahih secara periwayatan tetapi menyalahi rashm Utsmani atau kaidah
bahasa Arab.
4. Syadz, yaitu qira’āt
yang sanadnya tidak shahih.
5. Maudu, yaitu qira’āt
yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sama sekali secara sanad.
6. Mudraj, yaitu qira’āt
yang menyertakan catatan tambahan ke dalamnya. Padahal tambahan tersebut adalah
merupakan hasil penafsiran.[10]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Qira’āt adalah ilmu yang mempelajari tentang pengucapan kalimat-kalimat di
dalam al-Qur’an dengan cara menyandarkan kepada penutur asal dan aslinya.
Timbulnya berbagai perbedaan di karenakan lahjah atau dialek dari
berbagai suku itu berbeda-beda, tetapi qira’āh diturunkan dengan tujuh
huruf. Jika ditinjau dari segi riwayatnya seperti dalam hadith, qira’āt mempunyai
enam macam, seperti Mutawattir, Masyhur, Shahih, Syadz, Maudu’ dan Mudraj.
Al-Qur’an dalam wujud mushaf yang dikenal dan dimiliki kaum muslim sekarang,
bukanlah merupakan satu-satunya versi, karena itu terdapat pula versi qira’āh
lainnya yang berbeda dengan versi qira’āh sebagaiman yang terbaca
dalam mushaf al-Qur’an yang kita miliki.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori. Ulumul
Qur’an. Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Anwar, Rosihon.
Ulumul Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Arifin, Zaenal
M. “Hakikat Qira’ah Al-Qur’an”. Ulumul Qur’an, (2015), Vol. 14: 72.
Qaththan, Al-Manna’.
Mabahith fil-Ulumil Qur’an.Riyadl: Kharomain, 1973.
Shobuni,
Muhammad Ali. At-tibyaan fil-Ulumil Qur’an. Beirut: Darul Mawahib Al-Islamiyah, 2016.
Syadali, Akhmad
dan Ahmad Rafi’i. Ulumul Qur’an 1. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat