Makalah Filsafat Umum "Kritisisme Immanuel Kant"
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. Yang telah melimpahkan rahmat, taufik
dan hidayah-Nya serta menganugerahkan tetesan ilmu, kesehatan dan kekuatan
untuk menulis makalah yang berjudul “Kritisisme”, dengan lumayan lancar.
Kami sangat bersyukur, karna dengan bimbingan sekaligus penyemangat
dari bapak dosen filsafat umun dan dari kedua orang tua kami, kami bisa
menyelesaikan penulisan makalah ini.
Sholawat serta salam kami curahkan kepada Nabi Muhammad Saw. beliau
adalah Nabi yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman yang
terang.
Filsafat merupakan cikal bakal atau induk dari ilmu pengetahuan,
juga merupakan metode berpikir. Karena inti dari filsafat adalah berpikir,
yakni berpikir yang kritis, rasional, analitis, sistematis, dan radikal, maka
banyak hal yang dijumpai dan dihadapi manusia yang perlu ditanyakan, diragukan,
kemudian dipikirkan.
Akhirul kalam, jika ada kesalahan di dalam makalah ini, itu sudah pasti,
karna kami masih belajar dan juga belum menguasai.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehadiran aliran rasionalisme dan empirisme
sangat bertolak belakang dati tujuan semula. Pasa satu sisi landasan berpikir
aliran rasionalisme yang bertolak dari rasio dan di lain sisi empirisme yang
lebih mendasarkan pada pengalaman seolah sudah sempurna, padahal kedua tawaran
tersebut bukan jawaban yang tepat. Tokoh yang paling menolak kedua pandangan di
atas adalah Immanuel Kant (1724-1804 M).
Kant berusaha menawarkan perspektif baru dan
berusaha mengadakan penyelesaian terhadap pertikaian itu dengan filsafatnya
yang dinamakan kritisme. Untuk itulah ia menulis tiga bukunya berjudul: Kritik
der Reinen Vernunft (kritik rasio murni), Kritik der Urteilskraft dan lainnya.
Bagi Kant, dalam pengenalan indriawi selalu sudah ada dua bentuk apriori, yaitu
ruang dan waktu. Kedua-duanya berakar dalam struktur subjrek sendiri. Memang
ada suatu realitas terlepas dari subjek yang mengindra, tetapi realitas tidak
pernah dikenalinya. Kita hanya mengenal gejala-gejala yang merupakan sintesis
antara yang di luar (aposteriori) dan ruang waktu (a priori).
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas,
pokok-okok yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana biografi Immanuel Kant?
2. Apa latar belakang pemikiran Immanuel Kant?
3. Apa pengetahuan sistem etika
immanuel kant?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendiri Kritisisme
Immanuel Kant lahir di Jerman, tepatnya di wilayah Konigsberg pada
22 April 1724 – 12 Februari 1804 M. Kant dikenal sebagai salah seorang filsuf
eksistensialsis Jerman yang berpengaruh dan produktif menulis banyak buku[1].
Filsuf ini hidup pada saat pencerahan sedang mekar-mekarnya di
Jerman. Kant tidak memiliki pengalaman yang penuh gejolak dan tantangan.
Sepanjang hidupnya tinggal dengan bersahaja di kota koenigsberg di Prusia
Timur. Di kota ini pula dia dilahirkan dalam sebuah keluarga yang sangat
dipengaruhi oleh pietisme. Kant diasuh denga nilai-nilai kerajinan, kejujuran
dan kesalehan yang ketat. Di usia tuanya Kant teringat penuh rasa terima kasih
kepada ibunya yang mendidiknya untuk jujur dan menghindari segala bentuk dusta.
Suasana pengasuhan pitistis ini besar pengaruhnya dalam pemikiran Kant yang
sangat menjunjung tinggi kewajiban.
Sewaktu studi di universitas kota Koenigsberg, Kant mempelajari
hamper semua mata kuliah aktu itu, dan dia mendapat pengaruh rasionalisme Wolff
melalui dosennya yang sangat dikaguminya. Dengan hak istimewa untuk meminjam
buku-buku dosennya ini, Kant dapat mempelajari fisika Newton dan system-sistem
metafisis dan logika yang dicapai sampai saat itu. Karena kekurangan uang, dia
jua bekerja sebagai Privatdozent (dosen lepas) untuk beberapa keluarga
kaya, masa kerjanya berlangsung dari tahun 1755-1770 M. dan dikenal sebagai
“periode pra-kritis” yang sangat dipengaruhi
oleh Leibniz dan Wolff.
Di tahun 1770 M. Kant dikukuhkan sebagai professor. Dapat
diperkirakan di sekitar tahun 60-an sampai 70-an, dia mulai meninggalkan sistem
filsafat Wolff dan Leibniz.
Periode saat Kant mengembangkan sistemnya sendiri, dalam kritik
der reinem vernunft (kritik atas rasio murni), disebut “periode kritis”,
dan ini berlangsung setelah tahun 70-an. Pada tanggal 12 Februari 1804, Kant
meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun[2].
B.
Sintesa Rasionalisme dan Empirisme
Aliran rasionalisme yang bertolak dari akal (rasio). Para filsuf
aliran ini berpendapat bahwa wujud hakiki adalah wujud yang kita
rasionalisasikan. Mereka juga berpendapat bahwa sumber dari pengetahuan yang meyakinkan
adalah akal, sedangkan pengetahuan persepsi (inderawi) tidak mencapai derajat pengetahuan yang
myakinkan.
Aliran empirisme yang bertolak dari persepsi dan pengalaman
inderawi, baik mereka yang memperluas kawasan pengetahuan manusia sehingga menjadikan
pengalaman inderawi dan keaktifan jiwa sebagai sumbernya.
Kedua aliran itu berbeda dalam titik tolak pijakan. Porsi perbedaan
antara kedua aliran ini semakin menajam pada abad ke-17 dan 18 M. kemudian
datanglah kritisisme yang diusung oleh Immanuel Kantyang menggabungkan kedua
aliran itu dan menggariskan satu filsafat uang menengahi akal dan pengalaman
inderawi. Filsafat ini tidak murni rasional dan juga tidak murni empiric, namun
menggabungkan antara unsur-unsur dari
kedua aliran. Akan tetapi mengapa filsafat ini dinamakn dengan filsafat
kritisisme?
Kritik adalah salah satu cara untuk memverifikasi berbagai pendapat
dan membebaskan berbagai pemikirandari keyakinan sebagai pemikiran-pemikiran
yang mantap tak berubah. Kritik juga merupakan satu jenis analisa, dimana
seorang pengritik akan menganalisa satu konsep (ide) atau ungkapan untuk
menjelaskan kebenaran dan kesalahan yang ada padanya[3].
Apa-apa yang bisa diketahui
manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra. Lain dari itu merupakan
“ilusi” saja, hanyalah ide. Semua yang dilakukan manusia harus bisa diangkat
menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperative
kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini
diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat
tidak akan jalan. Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya.
Inilah yang memutuskan pengharapan manusia. Ketiga pertanyaan di atas bisa
digabung dan ditambahkan menjadi pertanyaan keempat “Apa itu manusia.”
Belakangan, Immanuel Kant lebih dikenal sebagai tokoh kritisisme.
Filsafat kritis yang ditampilkannya bertujuan untuk menjembatani pertentangan
antara kaum rasionalisme dengan kaum empirisisme. Bagi kant, baik rasionalisme
maupun empiisme belum berhasil membimbing kita untuk memperoleh pengetahuan
yang pasti, berlaku umum dan terbukti dengan jelas. Kedua aliran itu memiliki
kelemahan yang justru merupakan kebaikan bagi kelanjutan masing-masing.
Bagi Kant, pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum rasionalisme
tecermin dalam putusan yang bersifat analistik-apriori yaitu suatu bentuk
putusan di mana predikat sudah termasuk dengan sendirinya kedalam subjek.
Sedangkan pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum empirisisime itu tecermin dalam
putusan yang bersifat sintetik-aposteriori, yaitu suatu bentuk putusan di mana
predikat belum termasuk ke dalam subjek.
Dengan melihat kebaikan sekaligus kelemahan yang terdapat di antara
dua putusan tersebut, kant memadukan keduanya
dalam suatu bentuk putusan
yang sintetik-apriori, yaitu suatu putusan yang bersifat umum universal dan
pasti. Kant menunjuk pada tiga bidang sebagai tahapan yang harus dilalui yakni
bidang indriawi, akal, dan rasio[4].
Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak benarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan
datang melalui indera. Akan tetapi, bila pengetahuan itu datang dari luar akal
murni, yang tidak bergantung pada pengalaman, bahkan tidak bergantung pada
indera, yang sebenarnya a priori, apakah ia juga tidak pasti
kebenarannya? Tidak mungkinkah dari sini muncul kebenaran yang mutlak, yang
dapat dipegang? Apakah tidak ada teori sains yang kuat seperti ini? Pertanyaannya
mesti mundu lebih dulu: apakah memang ada pengetahuan yang absolute itu, yang
mempunyai dasar a priori itu? Ada, kata Kant.
Kant memulainya dengan mempertanyakan apakah ada yang dapat kita
ketahui seandainya seluruh benda dan indera dibuang. Seandainya tidak ada benda
dan tidak ada alat pengindra, apakah ada sesuatu yang dapat kita ketahui? Di
sini buku Critique pertama membahas secara rinci cara manusia berpikir,
tentang asal-usul terbentuknya konsep, tentang struktur jiwa yang inheren tadi.
Ini, menurut Kant., adalah masalah-masalah metafisika yang besar. Pada
dasarnya, dalam buku ini Kant ingin membuat pembahasan yang lengkap dan tuntas
tentang itu karena ia melihat hal ini merupakan kunci setiap masalah
metafisika. Menurut hemat saya itu benar, untuk metafisika akal murni.
Pengalaman tidak lain adalah lapangan yang menghasilkan
pengetahuan. Pengalaman mengatakan kepada kita apa-nya, bukan apa ia
sesungguhnya. Jadi, pengalaman tidak menunjukan hakikat objek yang dialami.
Oleh karena itu, pengalaman tidak dapat menghasilkan kebenaran umum.
Memang pengalaman tidak bermaksud memberikan kebenaran umum; akal
kitalah yang biasanya ingin memperoleh kebenaran umum itu. Dari sini kita
mengetahui bahwa pengetahuan berdasarkan pengalaman selalu bersifat subyektif;
subyektifitas itu muncul dari berbagai sumber, dari objek itu dan dari subyek.
Di sini Kant mulai memperlihatkan apa yang di perjuamgkannya: kebenranan umum
harus bebas dari pengalaman, harus jelas dan pasti dengan sendirinya.
Maksudnya, pengetahuan yang umum, kebenaran yang umum, itu tetap benar, tidak
pedule apa pengalaman kita tentangnya kemudian. Kebenaran umum itu bahkan benar
sekalipun belum dialami.
Kebenaran pasti itu, kita proleh melalui struktur jiwa kita yang
inheren[5].
C.
Teori
Pengetahuan dan Sistem Etika Immanuel Kant
Immanuel Kant, berpendapat bahwa manusia tersusun dari dua
karakter, yakni inderawi dan rasional. Dengan karakter lahirnya,
manusia di alam semesta sama dengan benda lain. Oleh karena itu, dalam fenomena
empiriknya ia terikat oleh kecendrungan alamiah yang diwarisinya, serta terikat
oleh pengaruh-pengaruh material yang melingkupinya. Sebagaimana semua benda, ia pun tunduk
pada hukum-hukum alam dan tidak bisa lepas dari ikatannya.
Namun dengan karakter rasionalnya,
manusia tidak tunduk pada hukum-hukum alam, karena ia berafiliasi kepada alam
lain, yaitu alam hakikat yang disebutnya “alam segala sesuatu pada zatnya”,
bukan seperti yang tampak pada alam nyata-inderawi.
Kant membedakan antara dua
karakter dalam diri manusia. Ia menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk etis, bukan dalam kapasitasnya
sebagai makhluk alami, seperti benda-benda lain, namun dalam kapasitasnya
sebagai makhluk berakal yang bebas dari ikatan-ikatan inderawi.
Jadi, manusia adalah makhluk
merdeka dan kemerdekaan ini adalah status paling tinggi
dan menjadi sifat karakter intelektualnya. Oleh karena itu, manusia dapat
menilai apa yang dilihatnya, benar atau salah, baik atau buruk, kemudian
memilih apa yang dikerjakannya berdasarkan penilaian ini. Dalam kesempatan ini,
manusia merasa bahwa ia mengatasi semua makhluk alam dan mengetahui bahwa ia
melakukan apa yang wajib ia kerjakan sebagai makhluk yang berakal dan
berkehendak bebas.
Dengan demikian, kewajiban bisa
menjadi entitas manusiawi dalam kapasitasnya sebagai sesuatu yang muncul dari
akal dan kemerdekaan kehendak bagi manusia, dimana mereka terikat dalam satu
karakter, yakni karakter kemanusiaan. Maka komitmen terhadap kewajiban ini
bagaikan suatu kaidah umum (prinsip universal) bagi setiap manusia. Kant mampu
membuat kaidah-kaidah ini dalam model perintah mutlak yang mengambil formulasi
berikut:
“Berbuatlah sesuai dengan kaidah,
dimana pada saat yang sama, anda bisa menjadikannya sebagai undang-undang
umum.”
Artinya, ketika kita berbuat
sesuai dengan kemanusiaan kita, maka perbuatan kita mesti menjadi kaidah umum
yang diterapkan pada setiap manusia dan di setiap masa serta di semua kondisi,
tanpa melihat pertimbangan-pertimbangan individual dan sosial apapun.
Tujuan dari hukum ini adalah
penghormatan terhadap dimensi kemanusiaan sebagai tujuan yang ingin
direalisasikan dalam setiap perilaku etis yang muncul dari manusia manapun.
Oleh karena itu, Kant juga mengungkapkan formulasi berikut:
“Berbuatlah selalu dengan
menjadikan perilaku kemanusiaan yang tercermin dalam pribadi anda, atau pribadi
orang lain sebagai suatu tujuan dan jangan anda memperlakukannya semata-mata
sebagai sarana untuk merealisasikan tujuan lain”
Tegasnya bahwa ia menuntut kita agar perilaku kita dapat
diaplikasikan kepada semua orang dan dalam setiap kondisi. Hal itu mengarah
kepada realisasi tujuan yang menjadi ideal bagi setiap manusia, yaitu
penghormatan terhadap dimensi kemanusiaan, agar perilaku kita terlebih dahulu didasarkan pada kehendak merdeka yang
dibimbing oleh akal.
Kant menyebut kehendak merdeka
yang dibimbing oleh akal dengan sebutan akal praktis,
atau tegasnya bahwa ia adalah'akal yang mengatur perilaku praktis kita sesuai
dengan prinsip kewajiban terhadap dirinya, bukan sesuai dengan tujuan lain
yatig ingin kita wujudkan. Oleh karena itu, nilai perbuatan moral menurut Kant,
terkandung dalam millieunya[6].
BAB III
KESIMPULAN
Kritisisme Immanuel Kant sebearnya telah memadukan dua pendekatan dalam
mencari keberadaan sesuatu yang juga tentang subtansial dari sesuatu itu, Kant
seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran,
karena rasio tidak membuktikan, demikian juga pengalaman, tidak selalu
dijadikan tolak ukur, karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata, tapi
tidak real, yang demikian sukar untuk dinyatakan sebagai kebenaran.
Melalui pemahaman tersebut, rasionalisme dan empirisme harusnya bergabung
agar melahirkan suatu paradigma baru bahwa kebenaran empiris harus rasional
sebagaimana kebenaran rasional harus empiris.
DAFTAR PUSTAKA
Hardiman. Budi. F. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern.
Jakarta: Erlangga. 2011.
Ismail. Farid. Fu’ad dan Mutawali. Hamid. Abdul. Cepat Menguasai
Ilmu Filsafat. Yogyakarta: IRCiSoD. 2003.
Maksum. Ali. Pengantar Filsafat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media`
2012.
Tafsir. Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
1998.
[1] Ali Maksum, Pengantar
Filsafat (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 141-142.
[2] F. Budi
Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Jakarta:
Erlangga, 2011), 111-113.
[3] Fu’ad Farid
Ismail dan Abdul Hamid Mutawali, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), 93-94.
[4] Ali Maksum,
Pengantar Filsafat, 142-143.
[5] Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), 154-155.
[6] Fuad Farid dan
Abdul Hamid, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, 232-236.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat