Makalah Filsafat
Islam "AKHLAK MENURUT IBNU
MISKAWAIH"
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Etika dan jiwa merupakan salah satu pokok
bahasan dalam filsafat. Etika merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar
ia berhasil sebagai manusia. Karena itu tidak mengherankan bahwa hampir semua
filsuf besar juga menulis dalam bidang etika. Mengapa etika dan jiwa dibahas
dalam filsafat dan disepakati merupakan cabang filsafat, etika dalam cabang
filsafat tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana
manusia harus bertindak, tetapi tindakan manusia itu, keadaan manusia itu
sendiri dimaknai dengan jiwa, berarti etika dan jiwa merupakan dua hal yang
saling berkaitan. Bahkan dipahami bahwasanya etika lahir dari jiwa.
Tidak lama menjelang Islam lahir, agama
Masehi telah memiliki kekuatan politik yang begitu besar di bawah kaisar
Yustinius di Konstantinopel. Dengan kekuasaannya agama ini kemudian melarang
kepada publik agar tidak mempelajari filsafat, karena ajarannya dianggap
bertentangan dengan ajaran agama. Sebagai akibat dari kebijakan inilah maka
beberapa ahli pikir yang merasa terbelenggu kebebasannya dalam mengekspresikan
pemikiran-pemikirannya melakukan eksodus ke Persia. Sebaliknya, Maha raja
Persia dengan sukarela menerimanya untuk tinggal di dalam daerah kekuasaannya,
sehingga wajar apabila tidak lama berselang kemudian berdirilahpusat-pusat
studi filsafat di daerah yang baru tersebut. Salah satu diantaranya di kota
Jundishapur yang letaknya tidak jauh dari Baghdad yang didirikan pada tahun 762
M.[1]
Di saat Islam lahir, segera setelah itu
agama ini menguasai daerah tersebut. Dengan dikuasainya daerah tersebut di
bawah kekuasaan Islam, terlebih pada masakekuasaan Islam di bawah Bani Abbas
(al-Ma’mun dan sesudahnya) munculah pemikiran-pemikiran baru sebagai akibat
dari adanya pergumulan dan interaksi antara kedua budaya tersebut.[2]
Maka munculah sejarah beberapa ilmuwan dan filosof Islam yang cukup fenomenal
dan populer. Ia dikenal bukan hanya di dunia Muslim, tetapi juga di dunia Barat
dan salah satunya adalah Ibnu Miskawaih.
Ibnu Miskawaih dikenal tidak hanya dalam
bidang filsafatnya melainkan juga dalam bidang disiplin keilmuan lainnya,
seperti sejarah dan sastra Arab. Bahkan melalui salah satu master piece-nya
yang berjudul Tahżīb al-Akhlāq wa Tatkhīr al-A’rāq namanya menjadi
semakin populer di berbagai belahan dunia. Oleh karena itu, dalam kesempatan
ini penulis memandang perlu untuk menampilkan sosok Ibnu Miskawaih tersebut
dengan stressing kajian pada telaah pemikirannya tentang filsafat al-nafs
dan al-akhlak-nya.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Ibnu Miskawaih?
2. Apa saja Karya Ibnu Miskawaih?
3. Bagaimana konsep pemikiran akhlak Ibnu
Miskawaih?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi dan Riwayat pendidikan Ibnu Miskawaih
a.
Biografi Ibnu Miskawaih
Nama
lengkap Ibnu Miskawaih adalah abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Miskawaih.
Ia lahir di Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam Iran sekarang) pada tahun
320 H/ 932 M dan wafat pada usia lanjut
di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup
pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi
di Baghdad (320-450 H/ 932-1062 M) yang sebagian besar permukaannya bermazhab
Syi’ah.
Puncak
prestasi kekuasaan Bani Buwaih adalah pada mas’Adhud Al-Daulah yang berkuasa
tahun 367-372 H, perhatiannya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan
kesusastraan amat besar, sehingga pada masa ini Miskawaih memperoleh
kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah dan pada masa ini
jugalah Miskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuan dan pujangga. Tetapi
keberhasilan politik dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu tidak
dibarengi dengan ketinggian akhlak, bahkan dilanda kemerosotan akhlak secara
umum, baik dikalangan elite, menengah dan bawah. Tampaknya hal inilah yang
memotivasi Miskawaih untuk memusatkan perhatiannya pada etika Islam.
Pada
zaman raja ‘Adhudiddaulah, Ibu Miskawaih juga mendapat kepercayaan besar dari
raja karena diangkat sebagai penjaga (khazin) perpustakaannya yang besar,
disamping sebagai penyimpanan rahasianya dan utusannya ke pihak-pihak yang
diperlukan.[3]
Sepanjang
hidupnya Ibnu Miskawaih dikenal sebagai orang yang sangat commited dengan konsep yang ditulisnya tentang akhlak Artinya
antara teori yang dikedepankan dengan tindakan praktisnya slalu sejalan. Bahkan
melalui salah satu karyanya yang berjudul Tahzib
al-akhlak yang kemudian menjadi master
piece-nya, dan nama Ibnu Miskawaih menjadi lebih terkenal.[4]
b.
Riwayat Pendidikan Miskawaih
Dari
segi latar belakang pendidikannya tidak dijumpai data sejarah yang rinci. Namun
dijumpai keterangan bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil
al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari
Abu Tayyib.[5]
Ibnu Miskawaih lebih terkenal dalam bidang filsafat dibandingkan dengan ilmu
yang lain, apalagi karya beliau yang sangat terkenal adalah tentang pendidikan
dan akhlak. Sehingga beliau lebih banyak menghabiskan waktunya untuk memikir
dan belajar secara otodidak tanpa harus berguru kepada yang ahlinya.
Dalam
bidang pekerjaan Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekertaris, pustakawan,
dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwahi. Selain akrab dengan penguasa, ia
juga banyak bergaul dengan ilmuan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibn ‘Adi
dan Ibn Sina. Selain itu Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar
yang kemansyhurannya melebihi para pendahulunya, at-Thabari (w. 310 H/ 923 M)
selanjutnya juga ia dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian
Ibnu Miskawaih dalam berbagai bidang ilmu tersebut antara lain dibuktikan
dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.[6]
Ibnu
Miskawaih seorang yang tekun dalam melakukan percobaan-percobaan untuk
mendapatkan ilmu-ilmu baru. Selain itu beliau dipercayakan oleh penguasa untuk
mengajari dan mendidik anak-anak penjabat pemerintah, hal itu tentu menunjukkan
bahwa Ibnu Miskawaih dikenal keilmuannya oleh masyarakat luas ketika itu.
Ibnu
Miskawaih juga digelari sebagai Guru ketiga (al-Mualimin al-Tsalits) setelah
al-Farabi yang digelari guru kedua (al Mualimin al-Tsani) sedangkan yang
dianggap guru pertama (al-Mualimin al-Awwal) adalah Aristoteles. Sebagai Bapak
Etika Islam beliau telah merumuskan dasar-dasar etika dalam kitabnya Tabdzib al-akhlak wa Tathir al-A’raq
(pendidikan budi dan pembersihan akhlak). Sementara itu sumber filsafat etika
Ibnu Miskawaih berasal dari filsafat Yunani, peradapan Persia, ajaran Syariat
Islam, dan pengalaman pribadi.[7] Ibnu
Miskawaih adalah seorang teoritis dalam hal-hal akhlak artinya ia telah
mengupas filsafat akhlaqiyah secara analisa pengetahuan. Ini tidaklah berarti
bahwa Ibnu Miskawaih tidak berakhlak, hanya saja persoalannya ditinjau dari
segi pengetahuan semata-mata.
B.
Hasil Karya Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih selain dikenal sebagai
pemikir (filosuf), ia juga dikenal sebagai penulis produktif. Dalam buku The History of the Muslim Philosophy seperti
yang dikutip oleh Sirajuddin Zar disebutkan beberapa tulisannya sebagai berikut
:
a. Al Fauz al Akbar (tentang etika)
b. Al Fauz al-Asghar (tentang ketuhanan,
jiwa, kenabian, dan metafisika)
c. Tajarib al Umam (sebuah sejarah tentang
banjir besar yang ia tulis pada tahun 369 H/ 979 M)
d. Uns al Farid (koleksi anekdot, syair,
peribahasa, dan kata-kata hikmah)
e. Tartib al Sa’adat (tentang akhlak dan
politik)
f.
Al-Mustaufa
(tentang syair-syair pilihan)
g. Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
h. Al-Jami’ (tentang Ketabiban)
i.
Al-Adwiyah
(tentang obat-obatan)
j.
Kitab
al-Ashribah (tentang minuman)
k. Tahzib al-Akhlak
l.
Al-Siyar
(tentang tingkah laku kehidupan)
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip
oleh Abuddin Nata, bahwa semua karya Ibnu Miskawaih tidak luput dari
kepentingan filsafat dan akhlak. Sehubungan dengan itu Ibnu Miskawaih dikenal
sebagai moralis.[8]
C. Pemikiran Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih juga digelari sebagai guru
yang ketiga sesudah Aristoteles sebagai guru pertama dan Al-Farabi sebagai guru
yang kedua. Ibnu Maskawaih dianggap sebagai guru etika salah satunya adalah
karangan beliau yang berjudul Tahzibul Akhlak (Pendidikan Budi) yang sudah
dipakai oleh para pakar Pendidikan Agama Islam untuk dijadikan teori terutama
tentang adab manusia. Sementara itu sumber filsafat etika Ibnu Miskawaih
berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan
pengalaman pribadi. Dalam menjelaskan etika islam menurut Ibnu Miskawaih,
yaitu:
a. Pengertian Akhlak
Menurut
Ibnu Miskawaih, akhlak itu merupakan bentuk jamak dari khuluq,
االخلق
حال للنفس دا عيةلها الى أفعالها من غير فكر و لاروية
Artinya: keadaan jiwa yang mengajak atau
mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan
diperhitungkan sebelum-nya.[9]
Dengan kata lain akhlak adalah keadaan
jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan. Sikap jiwa
atau keadaan jiwa seperti ini terbagi menjadi dua; ada yang berasal dari watak
(bawaan) atau fitrah sejak kecil dan ada pula yang berasal dari kebiasaan
latihan.[10]
Dengan demikian, manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawaan
fitrahnya yang tidak baik menjadi baik.
Ibnu Miskawaih memandang manusia adalah
makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki
daya pikir dan manusia juga sebagai makhluk yang memiliki macam-macam daya.
Ibnu Miskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan
adanya kekuatan berpikir yang menjadi sumber tingkah laku, yang selalu mengarah
kepada kebaikan.
Mengawali pembahasan tentang akhlak, Ibnu
Miskawaih membahas atau memberi beberapa prinsip dasar tentang akhlak, yakni:[11]
1. Tujuan ilmu akhlak adalah membawa manusia
kepada kesempurnaan. Kesempurnaan manusia terletak pada pemikiran dan amal
perbuatan, yaitu kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan amal. Tugas ilmu akhlak
terbatas pada sisi amal perbuatan saja.
2. Kelezatan indrawi hanya sesuai dengan
hewan tidak dengan manusia. Bagi manusia kelezatan akal adalah yang lebih
sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Anak-anak harus di didik sesuai
dengan akhlak yang mulia, dimulai dengan jiwa keinginan, lalu jiwa marah, dan
akhirnya jiwa berpikir. Rencana pendidikan juga dimulai dengan adab makan,
minum, berpakaian (jiwa keinginan), lalu sifat-sifat berani dan daya tahan
(jiwa marah), dan akhirnya sifat bernalar, sehingga akal dapat mendominasi
segala tingkahlaku (jiwa pikir).
b. Keutamaan (Fadhilah)
Ibnu
Miskawaih menyebutkan adanya tiga macam kekuatan jiwa, yaitu bahimiyah
dan syahwiyah (kebinatangan atau nafsu syahwat) yang mengejar
kelezatan-kelezatan jasmani, sabu’iyah (binatang buas) yang bertumpu
pada lemarahan dan keberanian, dan nathiqah yang selalu berpikir tentang
hakikat segala sesuatu. Tiga kekuatan itu saling berdesak dan berebut posisi,
jika dapat terjadi keselarasan dalam perimbangan posisi ketiganya, maka
tercapailah keutamaan dan kebajikan pada manusia.
Atas
dasar adanya tiga macam kekuatan jiwa manusia itu dapat disebutkan adanya tiga
macam keutamaan cabang yang berpokok pada keutamaan-keutamaan dasar itu.
Keselarasan antara tiga keutamaan dasar itu menimbulkan keutamaan lain, yang
merupakan kesempurnaan ketiga keutamaan dasar tersebut.
Keutamaan
jiwa itu ada empat macam, yaitu hikmah (wisdom) adalah keutamaan jiwa
cerdas, ‘iffah (kesucian) adalah keutamaan nafsu syahwat, syaja’ah
(keberanian) adalah keutamaan jiwa ghadhabiyah (sabu’iyah), dan ‘adalah
(keadilan) adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari kumpulan tiga macam
keutamaan tersebut di saat terjadi keselaran antara keutamaan-keutamaan itu dan
tunduk kepada kekuatan sehat, hingga masing-masing kekuatan itu tidak menuntut
kepuasan sejalan dengan wataknya, dan dengan demikian orang akan dapat bersikap
adil terhadap dirinya sendiri, juga terhadap orang lain.[12]
c. Kebahagiaan (Sa’adah)
Ibnu
Miskawaih membedakan antara al-khair (kebaikan) dengan al-sa’adah
(kebahagiaan). Dimana kebaikan menjadi tujuan semua orang: kebaikan umum bagi
seluruh manusia dalam kedudukan sebagai manusia. Sedangkan kebahagiaan adalah
kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum, tetapi relatif tergantung kepada
orang per orang.[13]
Ada dua pandangan pokok tentang kebahagiaan (sa`adah). Yang pertama
diwakili oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami
kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih
berhubungan dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua
dipelopori oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati
di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja, kebahagiaan
berbeda menurut masing-masing orang seperti orang miskin memandang kebahagiaan
itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.
Ibnu Miskawaih mencoba
mengompromikan kedua pandangan yang berlawanan itu. Menurutnya, karena pada
diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi
keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi
sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang bersifat
benda mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan
jiwanya menuju ke hadirat Allah swt. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar
manusia menuju derajat malaikat.
d. Cinta (Mahabbah)
Ibnu
Miskawaih memberikan perhatian khusus kepada cinta sebagai salah satu unsur
dari etika. Menurutnya cinta ada dua macam; cinta kepada Allah, dan cinta
kepada manusia, terutama cinta seorang murid pada gurunya. Cinta yang tinggi
nilainya adalah cinta kepada Allah, tetapi cinta tipe ini hanya dapat dicapai
oleh sedikit orang. Cinta kepada sesama manusia ada kesamaan antara cinta anak
kepada orang tua dan cinta murid kepada guru, tetapi cinta murid kepada guru
dipandang lebih mulia dan lebih berperan. Guru adalah bapak rohani bagi
murid-muridnya. Gurulah yang mendidik murid-muridnya untuk dapat memiliki
keutamaan yang sempurna. Kemuliaan guru terhadap muridnya ibarat kemuliaan
rohani terhadap jasmani.[14]
e. Pendidikan Akhlak
Dalam
karangan-karangan beliau banyak menunjukkan hal-hal yang sifatnya material
dalam kontek moral seperti pokok pendidikan akhlaknya ketika mengangkat
persoalan-persoalan yang wajib bagi kebutuhan manusia dan jiwa sebagai hal
wajib akan menentukan perubahan psikologis ketika terjadi interaksi sesama
manusia.[15] Dari
beberapa uraian diatas memberikan konsekwensi logis, dimana seluruh materi
pendidikan pada umumnya merupakan hal yang wajib dipelajari didalam pendidikan
moral atau akhlak, seharusnya ilmu-ilmu yang diajarkan dalam proses pendidikan
moral tidak hanya diperuntukkan sebagai tujuan akademik semata tetapi akan
lebih bermamfaat ketika hal-hal yang bersifat subtansial/esensial
dipenerapannya dalam hubungan sosial.
Dapat disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain: hikmah, berani,
dan murah yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifat keempat akan
timbul darinya, yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah
bodoh, rakus, penakut, dan zalim.
Tujuan pendidikan
akhlak yang dirumuskan Ibnu Miskawaih memang terlihat mengarah kepada
terciptanya manusia agar sebagai filosuf. Karena itu Ibnu Miskawaih memberikan
uraian tentang sejumlah ilmu yang dapat di pelajari agar menjadi seorang
filosuf. Ilmu tersebut ialah:
1.
Matematika
2.
Logika dan
3.
Ilmu
kealaman
Jadi, jika
dianalisa dengan secara seksama, bahwa berbagai ilmu pendidikan yang diajarkan
Ibnu Miskawaih dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata-mata
karena ilmu itu sendiri atau tujuan akademik tetapi kepada tujuan yang
lebih pokok yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi
akhlak yang mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu
seseorang maka akan semakin tinggi pula akhlaknya.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Ibnu
Miskawaih adalah abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Miskawaih. Lahir di
Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam Iran sekarang) pada tahun 320 H/ 932 M
dan wafat pada usia lanjut di Isfahan
pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M.
2.
Ibnu
Miskawaih hidup pada masa pemerintahan
dinasti Buwaihi di Baghdad (320-450 H/ 932-1062 M) yang sebagian besar
permukaannya bermazhab Syi’ah. Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekertaris,
pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwahi.
3.
Ibnu
Miskawaih juga digelari sebagai guru yang ketiga sesudah Aristoteles sebagai
guru pertama dan Al-Farabi sebagai guru yang kedua. Ibnu Maskawaih dianggap
sebagai guru etika salah satunya adalah karangan beliau yang berjudul Tahzibul
Akhlak (Pendidikan Budi)
4.
Menurut
Ibnu Miskawaih, akhlak itu merupakan bentuk jamak dari khuluq. keadaan jiwa
yang mengajak atau mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan
tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelum-nya.
5.
Dengan
kata lain akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong timbulnya
perbuatan-perbuatan secara spontan. Sikap jiwa atau keadaan jiwa seperti ini
terbagi menjadi dua; ada yang berasal dari watak (bawaan) atau fitrah sejak
kecil dan ada pula yang berasal dari kebiasaan latihan
6.
Ibnu
Miskawaih menyebutkan adanya tiga macam kekuatan jiwa, yaitu bahimiyah
dan syahwiyah (kebinatangan atau nafsu syahwat) yang mengejar
kelezatan-kelezatan jasmani, sabu’iyah (binatang buas) yang bertumpu
pada lemarahan dan keberanian, dan nathiqah yang selalu berpikir tentang
hakikat segala sesuatu.
7.
Ibnu
Miskawaih membedakan antara al-khair (kebaikan) dengan al-sa’adah
(kebahagiaan). Dimana kebaikan menjadi tujuan semua orang: kebaikan umum bagi
seluruh manusia dalam kedudukan sebagai manusia. Sedangkan kebahagiaan adalah
kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum, tetapi relatif tergantung kepada
orang per orang.
8.
Ibnu
Miskawaih memberikan perhatian khusus kepada cinta sebagai salah satu unsur
dari etika. Menurutnya cinta ada dua macam; cinta kepada Allah, dan cinta
kepada manusia, terutama cinta seorang murid pada gurunya. Cinta yang tinggi
nilainya adalah cinta kepada Allah.
9.
Apabila sifat hikmah, berani, dan murah yang apabila ketiga sifat utama ini
selaras, maka sifat keempat akan timbul darinya, yakni keadilan. Sedangkan
apabila sifat bodoh, rakus, penakut maka akan timbul kedzaliman
10. Ibnu Miskawaih berpendapat setiap ilmu membawa misi
akhlak yang mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu
seseorang maka akan semakin tinggi pula akhlaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Daudy,
Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986
Madkur, Ibrahim, Filsafat Islam
Metode dan Penerapan, terj. Yudian Wahyudi dan Ahmad Hakim al-Mudzakir,Jil.
I, Jakarta: Rajawali, 1991
Miskawaih, Ibn, Tahzib Al Aklaq wa
Tathhir A’raq, Kairo: Muassasat AlKhaniji, 1967
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Fajar Interpratama
Offset, 2005
Mustofa, A, Filsafat Islam,
Bandung: Pustaka Setia, 1997
Mustofa, A, Filsafat Islam,
Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasution, Harun, Falsafat dan
Mistisis mendalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003
[1] Harun
Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm 11
[2] Ibrahim
Madkur, Filsafat Islam Metode dan
penerapan, (terjemahan Yudian Wahyudi dan Ahmad Hakil al-Mudzakir, jilid i,
Jakarta: Rajawali, 1991), hlm 12
[3] Ahmad Daudy, Kuliah
Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm 56
[4] Ibid, hlm 58
[5] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri
Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003), hlm 05
[6] Ibid, hlm 06
[7] Muhaimin, Kawasan
dan Wawasan Studi Islam. (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2005), hlm
327-328
[8] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm
06
[9] Ibn Miskawaih, Tahzib Al Aklaq wa Tathhir
A`raq, (Kairo: Muassasat AlKhaniji, 1967), hlm 9.
[10] A.Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2004), hlm 177.
[11] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986),
hlm 62.
[12] A. Mustofa,
Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm 178-179
[13] A.Mustofa, Filsafat
Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm 179.
[14] A. Mustofa,
Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm 180-181
[15] Abuddin Nata, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 13.
[16] Abuddin Nata, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm 94.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat