BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Umat Islam secara umum sangatlah
penting untuk berkomunikasi dan berinteraksi antara satu dengan yang lain.
Indonesia sangat kaya dan beragam bahasa yang digunakan dalam berbicara
meliputi: bahasa Indonesia, bahasa Arab, bahasa Inggris, Melayu, dan
sebagainnya. Namun sebagai penganut agama Islam sangat penting membaca,
mengetahui dan memahami bahasa Arab baik subtansinya dari al-Qur’an, hadis nabi
maupun kitab agama lain.
Oleh karena itu, hadirnya bahasa Arab merupakan
bahasa yang berbentuk konsonan berbeda dengan bahasa Indonesia yang meliputi
konsonan dan vokal. Belajar bahasa Arab dapat memberikan kemaslahatan umat
Islam dan memberikan kemudahan dalam memahami ilmu tafsir dan ilmu lain. Sejak
abad ke XV Hijriah suatu abad yang diyakini dan diharapkan menjadi awal
kebangkitan umat Islam dan seiring dengan disuarakannya kebangkitan Islam itu,
kebutuhan akan kemampuan berbahasa Arab semaking dirasakan oleh kaum muslim,
khususnya di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka penulis mengemukakan sebuah masalah pokok yaitu bagaimana mengetahui
jumlah fi’liyah dalam penguasaan bahasa Arab. Merujuk pada masalah pokok di
atas, penulis menganggap perlu adanya submasalah yang dijadikan sebagai sentral
dalam pembahasan makalah ini yaitu:
1. Apa itu jumlah fi’liyah?
2. Apa
pengertian fail?
3. Apa
pengertian naibul fail (pemgganti fail) ?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui jumlah fi’liyah.
2.
Untuk mengetahui fail itu apa.
3.
Untuk mengetahui naibul fail itu apa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian jumlah fi’liyah (kalimat
verbal)
Jumlah fi’liyah menurut bahasa terbagi menjadi dua kalimat, yaitu: jumlah yang
artinya kalimat dan fi’liyah diambil dari kata fi’il dan ya’ nisbah. Adapun
fi’il (kata kerja)artinya al-hads (kejadian, peristiwa) dan menurut istilah
artinya kata yang menunjukkan suatu makna dan terikat dengan tiga masa yaitu
masa lampau, sekarang dan yang akan datang[1].
Sedangkan menurut istilah jumlah fi’liyah adalah:
هي التي تبدأ بفعل وتكون مركبة من فعل
وفاعل أو من فعل ونائب فاعل[2]
Jumlah fi’liyah adalah kalimat yang dimulai (diawali) dengan
fi’il (predikat) dan tersusun dari fi’il dan fa’il (subjek) atau fi’il(kata kerja) dan
naibul al-fa’il.
B. Kaidah-kaidah tentang al-jumlah
al-fi’liyah ( الجملة الفعلية )
Kaidah-kaidahnya terdiri dari fi’il
dan fa’il yang terkadang membutuhkan maf’ul yang disebut sebagai fi’il
muta’addi dan terkadang pula tidak membutuhkannya yang disebut sebagai fi’il
laazim karena maf’ul bukanlah syarat mutlak terbentuknya jumlah fi’liyah. Juga terdiri
dari fi’il dan naibul fa’il, fi’ilnya dinamakan sebagai fi’il
majhul(intransitive).
Selanjutnya
kita akan mencoba membedah mengenai fa’il dan naibul fa’il yang keduanya erat
kaitannya dengan jumlah fi’liyah
.
A.
FA’IL
Pengertian
fa’il (subjek) adalah isim yang menunjukkan
orang yang mengerjakan suatu pekerjaan dan kedudukannya dalam I’rab adalah marfu’[3]. Sedangkan
menurut Ibnu Aajurum didalam bab al-fa’il mengartikan fa’il menurut istilah
adalah isim marfu’ yang fi’ilnya disebutkan sebelumnya. Kemudian dijelaskan
oleh Muhyiyuddin bin Abdul Hamid didalam kitabnya At-tuhfah As-saniyah
bahwasannya fa’il secara global (umum) terbagi menjadi dua, yaitu: Isim Sharih
dan isim muawwal bi ash-sharih.
1. Isim Sharih terbagi menjadi dua,
yaitu:
a.
Isim dzahir
Ialah
isim yang menunjukkan maknanya tanpa membutuhkan qarinah (indikasi yang lain)[4],
misalnya:
الفعل المضارع
|
الفعل الماضي
|
يجلس أحمد
|
جلس أحمد
|
يجلس الصديقان
|
جلس الصديقان
|
يجلس المسلمون
|
جلس السلمون
|
يجلس الأصدقاء
|
جلس الأصدقاء
|
تقوم المسلمة
|
قامت المسلمة
|
تقوم المسلمتان
|
قامت المسلمتان
|
تقوم المسلمات
|
قامت المسلمات
|
تسافر الزنايت
|
سافرت الزنايت
|
b.
Isim mudhmar
Ialah
isim (kata benda) yang tidak menunjukkan maksudnya melainkan dengan bantuan
qarinah (indikasi) takallum, khithab dan ghaibah.
Terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Baariz
Terdiri dari dua macam, yaitu:
a) Muttasil
b) Munfasil
2) Mustatir
Terbagi
menjadi dua, yaitu:
a) Jawazan
b) Wujuban
2. Isim Muawwal bi Ash-sharih (isim
yang dita’wil dengan isim yang sharih)
Misalnya:
يسرني أن
تتبسم
يسرني تبسمك
B.
NAIBUL FA’IL
Ialah
Isim marfu’ yang tidak disebutkan fa’ilnya[5].
Dalam suatu jumlah (kalimat) seharusnya membutuhkan fi’il
(predikat), fa’il (subjek)
dan maf’ul bih (objek).
Akan tetapi, dalam pembahasan ini, kita hanya menggunakan fi’il (predikat) dan
naibul fa’il (pengganti fa’il). Maka jumlah (kalimat) aktif yang memenuhi tiga
syarat diatas diubah menjadi jumlah (kalimat) pasif yang tidak disebutkan
fa’ilnya. Adapun fi’il (subjek) yang digunakan dalam jumlah (kalimat) pasif adalah fi’il
majhul dan kaidahnya
sebagai berikut:
فـإن كان الفعل ماضيا ضم أوله وكسر ما قبل آخره وإن كان مضارعا
ضم أوله وفتح ما قبل آخره[6]
Jika fi’il madhi maka huruf yang pertamanya didhammahkan
dan huruf sebelum akhirnya dikasrahkan. Adapun untuk fi’il mudhari’ maka huruf
yang pertama didhammahkan dan difathahkan hurufnya sebelum akhirnya.
Contoh dari
fi’il madhi yang didhammahkan huruf pertamanya dan dikasrahkan huruf sebelum
akhirnya adalah
فُتِح الباب
قُتِل الكافرون
قُرِأت الرسالة
كُتِبت الرسائل
Kaidah ini ditambah oleh Fu’ad Ni’mah didalam kitabnnya
Mukhtashor qawa’id al-lughah al-‘arabiyah di juz pertama halaman 48
yaitu:
Jika suatu fi’il didahului dengan ta’
maka huruf yang kedua didhammahkan seperti halnya ta’ Misalnya:
تسلمت سعاد الجائزة : تُسُلِّمت الجائزةُ
Jika huruf
sebelum akhir adalah alif maka alif tersebut diubah menjadi ya’ dan huruf
sebelum ya’ tersebut dikasrahkan[7].
Misalnya:
قال محمد الحق
: قِيل الحقّ
Kemudian contoh fi’il mudhari’ yang huruf pertamanya didhammahkan dan huruf
yang sebelum akhir difathahkan adalah:
يفتح محمد
الباب
: يُفتَح الباب
يقتل المسلمون الكافرين :
يُقتَل الكافرون
تقرأ عائشة
الرسالة : تُقرَأ
الرسالة
يكتب محمد
الرسائل : تُكتَب الرسائل
Ditambahkan oleh Fu’ad Ni’mah bahwasannya jika huruf sebelum akhirnya adalah
huruf ya’ atau wawu maka huruf tersebut diubah menjadi alif. Misalnya:
يبيع الفلاح
القطن :
يبَاع القطن
يصوم المسلمون رمضان :
يصَام رمضان
Macam-macam naibul fa’il:
Menurut Ash-shanhaji didalam matan Al-Aajurumiyah, naibul
fa’il terbagi menjadi dua macam yaitu dhahir dan mudhmar[8].
Sedangkan menurut Fu’ad Ni’mah naibul fa’il terbagi menjadi empat, yaitu:
isim mu’rab, isim mabni, mashdar muawwal dan masdar sharih (dzarfu muttasharif
/ jar dan majrur)[9].
BAB III
PENUTUP
Dari makalah yang telah kami susun ini, besar harapan kami agar bermanfaat bagi
semua kalangan, baik kalangan mahasiswa ataupun umat muslim di Negara kita ini.
Wallahua’lam bi ash-shawab
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maqthari, Muhammad Ash-Shaghir bin Qa’id. Al-Hulalu
adz-dzahabiyah ‘ala at-tuhfah as-saniyah. 2007. San’a: Maktabah Al-Imam
Al-Albani.
Fida’, Abu. Mumti’ah al-aajurumiyah ma’a ats-tsamru
ad-daani. 2010. San’a: Dar al-atsar.
Abdul Hamid, Muhyiyuddin, At-tuhfah as-saniyah. 2010.
Jogjakarta: Media hidayah.
Fuadz, Nikmah. Mulakhas Qawaid Al-lughah Al-‘arabiyah.
Beirut: Dar Ast-staqafah Al-islamiyah.
Al-Hamid, Abdullah, dkk. Silsilah ta’lim al-lughah
al-‘arabiyah al-mustawa ats-tsani. Jakarta: jami’ah ad-da’wah wa at-ta’lim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat