WASIAT, HIBAH DAN HADIAH
A.
Pengertian Wasiat
Wasiat
menurut bahasa artinya menyambungkan, berasal dari kata washasy syai-a bikadzaa, artinya “ dia menyambungkan’’. Dikatakan
demikian karena seorang yang berwasiat berarti menyambungkan kebaikan dunianya
dengan kebaikan akhirat. Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan
dijalankan sesudah orang meninggal dunia[1]
Pendapat
lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati
kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus dilaksanakan para
penerima wasiat terhadap harta peninggalannya atau pesan lain diluar harta
peninggalan.[2]
Demi terjaminnya wasiat dikemudian hari, orang yang berwasiat hendaknya
menjadikan sebagai saksi sekurang-kurangnya dua orang yang adil. Wasiat sah
bila dilakukan oleh seorang mukallaf yang merdeka atas kehendak sendiri. Tidak
sah wasiat dilakukan anak kecil , orang gila dan budak sekalipun statusnya
makatab tanpa seizing dari tuannya, dan tidak sah pula dilakukan oleh orang
yang dipaksa[3]
Agar
wasiat yang disampaikan oleh pemberi wasiat mudah diamalkan.Orang yang diberi
wasiat harus jelas namanya, ciri-cirinya bahkan temoat tinggalnya. Karena jika
orang yang dimaksudkan tidak jelas
identitasnya, pelaksanaan wasiat akan menemukan kesulitan unutk melaksanakan
wasiat yang bersangkutan.[4]
B.
Dasar Hukum Wasiat
بِالْمَعْرُوفِ
الْمُتَّقِينَ عَلَى حَقًّا وَالأَقْرَبِينَ لِلْوَالِدَيْنِ الْوَصِيَّةُ خَيْرًا تَرَكَ إِنْ الْمَوْتُ أَحَدَكُمُ حَضَرَ إِذَا عَلَيْكُمْ كُتِبَ
Terjemahannya:
Diwajibkan atas
kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya
secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
C.
Rukun Dan Syarat Wasiat
Adapun
rukun wasiat terdiri atas:
1)
Orang
yang mewasiatkan (mushi)
2)
Orang
yang menerima wasiat (musha lah)
3)
Harta
yang diwasiatkan (musha bih)
4)
Lafal
ijab dan qabul (shighat)[5]
Sesuai dengan rukun wasiat tersebut,
maka beberapa syarat harus dipenuhi dalam pelaksanaan wasiat, yaitu:
1)
Syarat-syarat
orang yang berwasiat
a.
Orang
yang berwasiat merupakan pemilik sempurna terhadap harta yang diwasiatkan
b.
Orang
yang berwasiat haruslah orang yang cakap bertindak hukum (mumayiz), merdeka,
berakal (tidak gila) dan adil
c.
Wasiat
dilakukan secara sadar dan sukarela. Oleh sebab itu, orang yang dipaksa untuk
berwasiat atau tidak sengaja dalam berwasiat, wasiatnya tidak sah[6]
d.
berakal
sehat, dan tidak ada paksaan dari pihak lain
2)
Syarat
Penerima Wasiat
a.
Penerima
wasiat adalah orang yang ditunjukkan secara khusus bahwa ia berhak menerima
wasiat
b.
Penerima
wasiat mesti jelas identitasnya, sehingga wasiat dapat diberikan kepadanya[7]
HIBAH
A.
Pengertian hibah
Secara bahasa hibah berasal dari Bahasa Arab yaitu “wahaba” yang
berarti lewat satu tangan ketangan yang lain atau dengan arti kesadaran untuk
melakukan kebaikan.[8]
Setiap orang yang memiliki harta dan memberikannya kepada orang lain dengan
ikhlas dapat disebut dengan hibah.[9] Jadi
hibah merupakan tindakan memberikan sesuatu kepada orang lain selagi hidup sebagai
hak miliknya dalam keadaan sadar dan sehat, tanpa mengharapkan balasan. Apabila
mengharapkan balasan semata-mata dari Allah maka disebut sedekah, tp jika
bertujuan untuk memuliakan maka dinamakan hadiah/hibah.
B.
Rukun hibah
Adapun rukun hibah menurut jumhur ulama’
hampir sama dengan rukun jual beli, bedanya dalam jual beli subjeknya seorang
penjual dan pembeli sedangkan dalam hibah subjeknya adalah pemberi dan
penerima. Rukun hibah ada empat yaitu,
pemberi, penerima, barang hibah dan akad, yang dijelaskan sebagai berikut:[10]
1.
Pemberi
hibah, adalah pemilik sah barang yang akan dihibahkan, para ulama’ sepakat
bahwa seorang diperbolehkan berhibah, apabila barang yang akan dihibah
merupakan miliknya secara sah dan sempurna. Kemudian disyaratkan harus berakal,
baligh, sehat jasmani rohani dan cakap dalam bertransaksi.
2.
Penerima
hibah, adalah setiap orang baik perorangan maupun badan hukum yang layak
menerima barang hibah. Hibah boleh diberikan kepada ahli waris maupun bukan
ahli waris, muslim maupun non muslim, karena dalam Islam tidak ada batasan
untuk saling memberi (hibah). Tapi Seorang
penerima hibah juga diharuskan seperti pemberi hibah, yaitu harus berakal,
baligh, dan cakap bertransaksi. Jika penerima hibah belum cukup umur atau belum
cakap bertindak ketika melaksanakan transaksi maka anak tersebut dapat
diwakilkan oleh walinya.[11]
3.
Barang
atau harta hibah, segala sesuatu yang sah milik seseorang baik yang bergerak
maupun tidak bergerak. Bahkan dalam hibah diperbolehkan menghibahkan manfaat,
hasil suatu barang dan hutang. Adapun syarat-syarat dari barang hibah adalah:
1) barang hibah harus milik dari pihak pemberi secara sah dan sempurna. 2)
barang yang dihibahkan harus sudah wujud (ada). 3) diwajibkan berupa barang
yang boleh dimiliki oleh agama serta tidak membawa kemadharatan.
4.
Akad
(Ijab Kabul), dalam hibah akad boleh dilakukan dengan cara lisan, tertulis atau
isyarat asalkan semuanya mengandung arti beralihnya kepemilikan harta secara
cuma-cuma.
C. Hukum hibah
Dalam Al-Qur’an, Hadits
Nabi dan ijma’ sudah sangat jelas bahwa hukum dari hibah adalah sunah, karena
Allah menganjurkan para hambanya untuk saling memberi seperti yang telah
dijelaskan dalam fiman Allah surat Al-Baqarah ayat 177
وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي
الرِّقَابِ.............
Artinya: “memeberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orag yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya”
Dalam surat ini sudah jelas bahwa Allah telah
menganjurkan untuk memberi atau hibah, jadi hukum dari hibah adalah sunah.
Tetapi diharamkan bagi seorang pemberi menarik kembali barang atau harta hibah
yang telah diberikan kepada orang lain, kecuali penarikan hibah dari seorang
ayah kepada anaknya hal ini sesuai denga hadits nabi yaitu:
لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِىَ عَطِيَّةً
أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيهَا إِلاَّ الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِى وَلَدَهُ
Artinya: “tidak halal bagi seseorang memberikan suatu pemberian itu,
kecuali seorang ayah terhadap apa yang diberikan kepada anaknya”
Hadits ini menunjukkan bahwa haram hukumnya menarik kembali pemberian,
kecuali pembrian seorang ayah terhadap anaknya. Baginya diperbolehkan meminta
kembali apa-apa yang pernah diberikan kepada anaknya.[12]
D. Hikmah
Hibah memiliki beberapa hikmah, diantaranya adalah:
1) Menghidupkan
semangat kebersamaan dan tolong menolong.
2) Menumbuhkan
sikap demawan dan mengikis sifat bakhil.
3) Menimbulkan
sifat terpuji seperti saling menyayangi dan menghilangkan sifat tercela seperti
rakus dan lainnya.
4) Pemerataan
pendapatan sehingga menciptakan stabilitas sosial yang baik.
5) Tercapainya
keadilan dan kemakmuran yang merata.
HADIAH
A. Pengertian
Hadiah
Hadiah berasal dari kata Hadi (هادى) Maknanya berkisar pada dua hal.
Pertama, tampil ke depan memberi petunjuk. Dari sini lahir kata Hadi
yang bermakna penunjuk jalan, karena dia tampil di depan. Kedua, menyampaikan
dengan lemah lembut. Dari sini lahir kata hidayah ((ھدایة
yang merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati.[13]
Hadiah berasal dari bahasa Arab Hadiyah yang bermakna penyampaian
sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati, sedangkan menurut KBBI
hadiah merupakan pemberian (kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan).
Menurut istilah fiqh, hadiah merupakan pemindahan kepemilikan atas suatu harta
bukan hanya manfaatnya, kalau yang diberikan adalah manfaatnya sementara zatnya
tidak maka itu merupakan pinjaman. Penyerahan
hadiah harus dilakukan semasa masih hidup karena jika sudah mati maka merupakan
wasiat.
Hadiah merupakan pemindahan
pemilikan atas suatu harta dan bukan hanya manfaatnya. Kalau yang diberikan adalah manfaatnya sementara zatnya tidak maka itu merupakan pinjaman (i’ârah).
Karenanya hadiah haruslah merupakan pemindahan/penyerahan pemilikan atas suatu
harta kepada pihak lain. Penyerahan pemilikan itu harus dilakukan semasa masih hidup karena jika
sesudah mati maka merupakan wasiat. Di samping itu penyerahan
pemilikan yang merupakan hadiah itu harus tanpa kompensasi, karena jika dengan
kompensasi maka bukan hadiah melainkan jual-beli (al-bay’).
B. Dasar hukum
Dalil-dalil yang menjadi dasar disyariatkan
hadiah dapat dilihat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi serta Ijma’
Ulama’, adapun dasar dari Al-Qur’an adalah surat An-Nisa’ ayat 4
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya.”(QS. an-Nisa’ [4]: 4)
Sedangkan dari As-sunah adalah sebagai
berikut:
وعن ابي هريرةعن
النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قال: تهادواتحابّوا
Artinya:Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. bersabda, “Hendaklah kalian saling
memberi hadiah, agar kalian saling mencintai.”
Baik ayat maupun hadits di atas,
menurut jumhur ulama menunjukkan (hukum) anjuran untuk saling membantu antar sesame manusia. Oleh
sebab itu, Islam sangat menganjurkan seseorang yang mempunyai
kelebihan harta untuk menghibahkannya kepada yang memerlukannya.[14]
C. Syarat dan
Rukun hadiah
Rukun dan syarat yang terkandung dalam hadiah
dan harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
Pertama, adanya
al-‘âqidân, yaitu pihak pemberi hadiah (almuhdî) dan pihak yang
diberi hadiah (al-muhdâ ilayh). Al-Muhdî haruslahorang yang layak melakukan tasharruf, pemilik harta
yang dihadiahkan dan tidak dipaksa. Al-Muhdâ ilayh disyaratkan harus
benar-benar ada saat akad. Ia tidak harus orang yang layak melakukan tasharruf saat
akad hadiah itu.
Jika al-muhdâ ilayh masih kecil atau gila maka penerimaan hadiah diwakili
oleh wali atau mushi-nya.
Kedua, adanya ijab dan qabul. Hanya saja,
dalam hal ini tidak harus dalam bentuk redaksi (shighat) lafzhiyah. Hal itu karena pada masa Nabi saw., hadiah dikirimkan kepada Beliau dan Beliau menerimanya, juga Beliau
mengirimkan hadiah tanpa redaksi lafzhiyah. Fakta seperti itu menjadi fakta
umum pada masa itu dan setelahnya.
Ketiga, harta yang dihadiahkan (al-muhdâ). Al-Muhdâ (barang yang
dihadiahkan) disyaratkan harus jelas (ma‘lûm), harus milik al28 muhdî (pemberi hadiah), halal diperjualbelikan dan berada di tangan almuhdî atau bisa ia
serah terimakan saat akad. Menurut Imam Syafi’i dan banyak ulama
Syafi’iyah, barang itu haruslah barang bergerak, yaitu harus bisa
dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal itu karena seperti itulah
yang berlangsung pada masa Nabi saw, disamping tidak ada riwayat yang
menjelaskan adanya hadiah berupa rumah, tanah, dan lain-lain itu pada masa Nabi
saw. dan para Sahabat.
Di samping ketiga rukun itu ada syarat yang
harus terpenuhi sehingga hadiah itu sempurna, yaitu harus adaal-qabdh (serah
terima), yakni secara real harus ada penyerahan al-muhdâ kepada al-muhdâ
ilayh. Jika tidak ada ijab qabul secara lafzhiyah aka adanya al-qabdh
ini sudah dianggap cukup menunjukkan adanya pemindahan pemilihan itu. Penyerahan harta itu dianggap merupakan ijab dan penerimaan
hadiah oleh al-muhdâ
ilayh merupakan qabulnya. Untuk barang yang standarnya dengan
dihitung, ditakar atau ditimbang (al-ma’dûd wa al-makîl wa almawzûn) maka zat barang
itu sendiri yang harus diserahterimakan. Adapun harta selain al-ma’dûd wa al-makîl wa al-mawzûn seperti
pakaian, hewan, kendaraan, barang elektronik, dan sebagainya maka yang penting ada
penyerahan pemilikan atas barang itu kepada al-muhdâ ilayh dan qabdh-nya
cukup dengan menggesernya atau jika hewan dengan melangkahkannya, atau
semisalnya.
WASIAT WAJIBAH
Wasiat wajibah
secara etimologi adalah wasiat yang wajib. Sedangkan menurut terminologi wasiat wajibah adalah suatu tindakan
hakim peradilan atau lembaga yang mempunyai hak untuk mengambil sebagian harta
orang yang meninggal diberikan kepada orang tertentu (dalam keadaan tertentu)
walaupun orang yang meninggal tidak melakukan wasiat.[15] Istilah wasiat wajibah dipergunakan pertama
kali di Mesir melalui UU Hukum Waris 1946 untuk menegakkan keadilan dan
membantu cucu yang tidak memperoleh hak warisnya. ketentuan hukum ini
bermanfaat bagi anak anak dari anak laki laki yang meninggal atau anak laki-laki dari anak laki laki terus ke
bawah. Sedangkan untuk garis anak perempuan hanya berlaku untuk anak dari
anak perempuan saja tidak berlanjut sampai generasi selanjutnya. Pemberian
wasiat wajibah ini harus tidak melebihi dari sepertiga tirkah yaitu harta yang
ditinggalkan.
Terdapat dua
unsur penting yang membedakan antara wasiat biasa dan wasiat wajibah, yaitu:
1.
Wasiat
wajibah ditetapkan melalui ketetapan hukum dan perundang-undangan, sehingga
pelaksanaannya juga menurut perundang-undangan dan ketetapan hukum, tidak
bergantung pada ada atau tidak adanya wasiat dari pihak pewaris. Tentu saja
ketetapan ini sangat berbeda dengan wasiat biasa, dimana wasiat biasa sangat
bergantung pada adanya wasiat dari pihak pewaris. Dalam tata aturannya wasiat
wajibah mirip dengn tata cara kewarisan, seperti tidak dibutuhkan adanya ijab
qabul dan bersifat memaksa oleh peraturan perndang-undangan.
2.
Wasiat
di peruntukkan bagi saudara yang terdapat suatu halangan (syarak), atau karena
terdindingi oleh ahli waris yang lain, sehingga tidak berhak menerima warisan.
Berbeda dengan wasiat wajibah yang boleh siapa saja walaupun tidak ada hubungan
nasab.
Dalam perundang-undangan Mesir terdapat banyak pasal yang membahas
tentang wasiat wajibah, pokok kesimpulannya adalah wasiat wajibah berarti
pemberian wasiat yang diwajibkan oleh Undang-Undang yang diperuntukkan bagi
cucu yang orangtuanya meninggal, sedangkan kakek dan neneknya masih hidup, dan
dikemudian hari saat kakek dan nenek meninggal dunia tidak meninggalkan wasiat
untukya.
Wasiat wajibah yang dikenal di Indonesia hanya diperuntukkan untuk
anak angkat dan/atau orangtua angkat, sebagaimana yang tercantum dalam pasal
209 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
1.
Harta
peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176-193, sedangkan untuk
orangtua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta peninggalan anak angkatnya.
2.
Terhadap
anak angkat yang tidak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga
dari harta warisan orangtua angktnya.
Dapat diperhatikan bahwa pasal 209 KHI ini masih sangat belum
lengkap, sehingga masih memungkinkan terjadi polemik perdebatan. Meskipun
demikian tetapi pasal 209 ini harus ditafsirkan sebagai berikut:
1.
Seorang
anak angkat telah mempunyai hubungan kewarisan dengan orangtua kandungnya
maupun kerabat-kerabatnya.
2.
Orangtua
ankgkat hanya mungkin mendapatkan warisan anak angkatnya dengan cara wasiat
atau wasiat wajibah.
3.
Demikian
pula anak angkatnya hanya mungkin memperoleh harta warisan dari orangtua
angkatnya juga dengan cara wasiat atau wasiat wajibah.[16]
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Asmuni, Ringkasan
Fikih Lengkap. Jakarta: Darul Falah, 2005.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Fiqih Muamalat Sistem Transaksi dalam Fiqih Islam. Jakarta:
Amazah, 2010.
Hasan, Mustofa. Penghantar Hukum Keluarga. Bandung:
Pustaka Setia, 2011.
Karim, Helmi. Fiqih Muamalah. PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Muhibbin , Moh dan Abdul
Wahis. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Saebani, Beni Ahmad. Fiqih Mawaris. Bandung:
Pustaka Setia, 2009.
Sahabuddin et al., Ensiklopedia Al-Qur’an:
Kajian Kosa Kata. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Shomad ,Abd. Hukum Islam, Jakarta:
Kencana, 2010.
Usman, Rachmadi. Hukum Kewarisan Islam Dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Mandar Maju,
2009.
Usman, Suparman. Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Gaya
Media Pramata, 2002.
Zuhaili,
Wahbah. Fiqh Imam Syafi’i.
Jakarta: Almahira, 2000.
[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris ( Bandung: Pustaka Setia,
2009 ), h.343
[2] Moh Muhibbin dan Abdul Wahis, Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta: Sinar
Grafika, 2009 ), h. 145
[3] Abd Shomad, Hukum Islam ( Jakarta: Kencana, 2010 ), h.357
[4] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, Op.,Cit h. 345-346
[5] Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta: Sinar
Grafika, 2009 ), h. 147
[6] Ibid., h 148
[7]
Ibid., h 148
[8] Abdul Aziz
Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat Sistem Transaksi dalam Fiqih Islam (Jakarta:
Amazah, 2010), 435.
[9] Mustofa Hasan,
Penghantar Hukum Keluarga (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 361.
[10] Zainudin Ali, Hukum
Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 138.
[11] Helmi Karim, Fiqih
Muamalah ( PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 77.
[13]
Sahabuddin
et al., Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007),
261.
[15] Suparman Usman,
Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pramata, 2002)
hal 163.
[16]
Rachmadi Usman,
Hukum Kewarisan Islam Dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam, (Bandung:
Mandar Maju, 2009) hal 187.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat