SEJARAH POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA MASA
PENJAJAHAN BELANDA
Makalah Politik Hukum Islam di Indonesia
Kata Pengantar
Puji
syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Bijaksana. Berkat
anugrah kesehatan, kelonggaran, dan kemampuan yang di berikan-Nya, kami dapat
menyeleseikan tugas ini. Kahadirat kembali kami haturkan di tengah kegiatan
kita di kampus umumnya serta kegiatan belajar di dalam kelas khususnya semoga
menjadi lebih menyenangkan dan lebih termotivasi dengan tugas ini.
Hari
ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini.
Begitu salah satu prinsip atau kredo yang kami pegang dalam tugas ini. Prinsip
tersebut membuat kami tergerak untuk senantiasa melakukan perubahan bobot atau
kualitas tugas ini, kami berharap kepada dosen pengampu yang senantiasa
membimbing kami semoga tugas yang kami kerjakan sesuai dengan apa yang di
inginkanya.
Penulisan
makalah ini dapat terselesaikan dengan referensi dari buku yang telah dipercaya
sumbernya dan dari internet. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada kedua orang tua, dosen pengampu dan teman – teman. Telah banyak
memberikan dukungan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia
adalah unsure yang paling mayoritas. Bahkan disebut sebagai komunitas muslim
terbesar dalam satu Negara dalam tataran dunia Islam Internasional. Karena itu
sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam
ditengah-tengah mayoritas penduduk yang memeluk Islam dalam satu Negara.
Seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslim Indonesia terhadap penerapan
hukum Islam di Tanah Air, pertanyaan seperti ini dapat dijawab dengan
memaparkan sejarah hukum Islam sejak Islam hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian sejarah hukum Islam di Indonesia
juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus
untuk menentukan strategi yang tepat dalam mendekatkan bangsa ini dengan hukum
Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai benturan dengan tradisi yang
sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik kenegaraan,
serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Islam Indonesia
terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang.
Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat
bukanlah proses yang dapat selesai seketika. Dalam makalah ini penulis
memfokuskan pada satu permasalahan yakni, kondisi politik Hukum Islam pada masa
penjajahan belanda.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah politik hukum
Islam pada masa VOC?
2. Bagaimana sejarah zaman
pemerintahan kolonial Belanda/disela Inggris?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui sejarah politik hukum Islam
pada masa VOC
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Politik Hukum Islam Pada Masa VOC
Belanda
kali pertama datang ke Indonesia semula bertujuan untuk mengembangkan usaha
perdagangan, khususnya ingin mendapatkan rempah-rempah yang harganya sangat
mahal di Eropa, secara terdapat Perseroan Amsterdam mengirim armada kapal
datangnya ke Indonesia.
1. Pertama, pada tahin 1595 dibawah pimpinan
Cornelis de Houtman.
2. Kedua, pada tahun 1598 di bawah pimpinan Van
Nede, Van Warwick
3. Ketiga, pada tahun 1599 di bawah pimpinan van
det hagen
4. Keempat, pada tahun 1600 di bawah pimpinan
Van Neci
Tahun-tahun awal abad ke-17 hingga akhir abad ke-18
ditandai dengan toleransi dari pihak Belanda terhadao hukum Islam, pada saat
dimana Kompeni Dagang Hindia Belanda, VOC lebih disibukkan dengan tugas-tugas
ekspedisi pengambilan komoditi pertanian dari negeri jajahan. Selanjutnya
periode kedua ditandai dengan transfer kekuasaan VOC kepada pemerintah Kerajaan
Belanda, suatu proses yang mendorong semakin berkembangnya kebijaksanaan yang
sifatnya intervensionis dalam area hukum Islam dan hukum dat setempat.
Untuk memantapkan pelaksanaan fungsinya, baik sebagai
pedagang atau sebagai badan pemerintahan, VOC mempergunakan hukum Belanda yang
dibawanya. Kemudian VOC membentuk badan-badan peradilan untuk bangsa Indonesia.
Semula hukum yang diterapkan ialah hukum Eropa (Belanda). Ternyata
kebijaksanaan ini tidak dapat dilaksanakan, karena bertentangan dengan
kesadaran hukum yang hidup dikalangan masyarakat.
Di dalam praktek susunan badan peradilan yang disandarkan
pada hukum Belanda tidak dapat berjalan, maka VOC membiarkan lembaga-lembaga
yang asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya.
Kemudian VOC mengeluarkan “Statuta Batavia” pada tahun 1642. Yang isinya
penegasan mengenai soal hukum kewarisan orang Indonesia yang beragama Islam,
harus dipergunakan hukum kewarisan Islam.
Sebagai tindak lanjut Statuta Belanda VOC memerintahkan
DW. Freijer untuk menyusun kitab hukum yang dikena dengan sebutan Compendium
Freijer, kitab hukum Compendium Freijer ini diakui VOC dan diterapkan dengan
bentuk peraturan Resolutie der Indische Regeering pada tanggal 25 Mei 1760.
Kitab hukum ini merupakan kumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan
Islam. Sejak itu Compendium dijadikan rujukan hukum oleh pengadilan dalam
menyelesaikan sengketa yang terjadi dlam kalangan masyarakat Islam di daerah
yang dikuasai oleh VOC.
Di samping melakukan perdagangan dan pelayaran, VOC juga
diberi hak untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik dalam rangka menunjang
usaha pedagangannya. Pada perkembagannya, maksud VOC yang semula hanya untuk berdagang
kemudian berubah haluan menjadi maksud politik, yakni ingin menguasai kepulauan
Indonesia sehingga kehadiran VOC di Indonesia memiliki dua fungsi, pertama
sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintah.
Dalam melaksanakan fungsi pertama untuk berdagang, VOC
bermaksud menetapkan prinsip monopoli. Prinsip monopoli tersebut tentu tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut masyarakat adat secara tradisional
yang lebih mengutamakan kebersamaan dan gotong royong atau prinsip
kekeluargaan. Oleh karena itu, timbul redaksi yang keras dari masyarakat,
kemudian muncul perlawanan dan sikap benci dari masyarakat pribumi. Akibat
sifat negatif dari masyarakat disertai dengan pengelolaan yang tidak
profesional, VOC gagal dalam mengembangkan dagangnya. Pada tahun 1798 VOC
secara resmi dibubarkan.
Mengingat misi perdagangannya tidak berhasil, untuk
memperkuat misi politik VOC membentuk lembaga-lembaga peradilan di
daerah-daerah yang dikuasainya, misalnya di daerah Batavia dibentuk peradilan
bernama "College Van Schepenen". Selain bertugas di bidang peradilan,
badan ini juga bertugas di bidang pemerintahan dan kepolisian dalam kota. Badan
ini akhirnya disebut "Schepenbanki".
Pendirian badan peradilan juga dilakukan di Priagan,
Cirebon, dan Timur Lut pantai Jawa. Dalam praktiknya, karena itu VOC membiarkan
lembaga peradilan asli/peradilan adat untuk tetap berjalan seperti biasanya.
Kenyataan membuktikan bahwa peradilan asli berjalan secara efektif sehingga
masyarakat berbondong-bondong untuk mencari peradilan di peradilan-peradilan
adat tersebut.
Berdasarkan kenyataan seperti itu, VOC berpikir agar
perjalanan peradilan-peradilan asli itu tidak liar dan menyimpang dari misi VOC
perlu dibuat suatu kitab hukum sebagai pedoman bagi hakim untuk memutuskan
suatu perkara. Pada tahun 1642 terbentuklah “Statuta Btavia” yang berlaku untuk masyarakat Batavia
(sekarang Jakarta) dan sekitarnya. Dalam Statuta Batavia disebutkan bahwa
mengenai warisan orang-orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan
hukum Islam, yaitu hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.
Keadaan
hukum Islam pada zaman VOC dapat
dikatakan lebih maju daripada sebelumnya. Karena telah terhimpun dalam beberapa
kitab hukum. Meskipun, hal itu merupakan siasat VOC agar tetap diakui
keberadaanya oleh masyarakt pribumi. Sebagai akibat dari siasat VOC itu hukum
Islam masih tetap teralas, bersatu, dan
hidup berdampingan dengan hukum adat.[1]
B. Sejarah Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda/Disela Inggris
1. Rekayasa kolonial tentang berlakunya hukum Islam di Indonesia
Dengan bubarnya VOC pada pergantian abad ke
18, kekuasaan Indonesia secara resmi dipindahkan ketangan pemerintahan kolonial
Belanda. Sejak pemerintahan kolonial Belanda berkuasa di Indonesia, sikapnya
terhadap hukum islam mulai berubah. Sikap yang semula toleran terhadap
berlakunya hukum Islam bagi pribumi, secara berangsur-angsur mulai di batasi.
Perubahan sikap itu didasari oleh pemikiran bahwa jika berlakuknya hukum Islam
dibiarkan berlangsung bagi pribumi, maka dikhawatirkan akan membentuk kekuatan
tersendiri diantara kaum pribumi yang akhirnya kekuatan itu dipakai untuk
mencapai kemerdekaan.
Pada masa
pemerintahan Daendels (nama lengkapnya, Mr. Herman Willem Daendels) mulai tahun
1807, ia banyak melakukan perubahan di
bidang pemerintahan termasuk di bidang peradilan. Di bidang peradilan misalnya,
akan diterapkan secara konsenkuen isi "Charter" atau "Regering
Reglement" untuk daerah-daerah jajahan Asia. Isinya antara lain bahwa
susunan peradilan untuk Bumi Putra akan tetap mengikuti hukum serta adat. Mereka dan Pemerintahan Hindia Belanda
menjaga dengan alat-alat perlengkapan yang ada guna pelaksanaan peradilan
tersebut. Namun, ketentuan dalam "Charter" tersebut tidak pernah
berlaku. Dengan demikian, masyarakat pribumi tetap mempertahankan hukum mereka
sehari-hari, yakni hukum Islam dan hukum adat secara bersama-sama.
Memperhatiakn
kenyataan seperti itu Daendels mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa
perihal (hukum) agama orang jawa tidak boleh diganggu. Selain itu, hak-hak
penghulu mereka untuk memutus beberapa macam perkara tentang perkawinan dan
kewarisan harus diakui oleh adat kekuasaan kedudukan para penghulu sebagai tenaga
ahli hukum Islam, yakni asli oarng Jawa dalam susunan sebagai penasihat dalam
suatu masalah atau perkara.
Pada masa inggris
berkuasa (1811-1816), pemerintahan Raffles (lengkapnya Sir Thomas Stamford
Raffles) juga telah melakukan
perubahan-perubahan di bidang pemerintahan, termasuk dibidang peradilan. Di
bidang susunan peradilan misalnya, telah dikeluarkan maklumat tanggal 27
Januari 1812. Isinya yakni “Susuanan peradilan untuk bangsa Eropa belaku untuk
bangsa Indonesia yang tinggal di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman kota-kota
dan sekitarnya”. Namun, seperti halnya masa pemerintahan Deandels, ketentuan
dalam maklumat itu pun tidak berjalan. Akhirnya Raffles membiarkan (tetap)
berlakunya hukum Islam bagi pribumi.
Setelah Indonesia
dikembalikan oleh inggris kepada Belanda berdasarkan konvensi yang
ditandatanggani di London pada tanggal 13 Agustus 1814, pemerintah Kolonial
Belanda membuat suatu perundang-undang tersebut mengakibatkan pemerintah,
susunan peradilan, pertanian, dan perdangangan dalam daerah jajahannya di Asia.
Undang-undang tersebut mengakibatkan perubahan dihampir semua bidang hukum yang
akan merugikan perkembangan hukum Islam selanjutnya.
Untuk membatasi ruang
gerak ulama dalam mengembangkan hukum Islam, dikeluarkan Keputusan Raja tanggal
4 februari 1859 No.78 yang menugaskan kepada Gubernur jendral untuk mencapai
masalah agama.bahkan, harus mengawasi gerak-gerik para ulama apabila dipandang
perlu demi kepentingan ketertiban keamanan.
Dalam tahun 1859,
pemerintah Belanda mengeluarkan suatu ordonasi yang mengatur masalah ibadah
haji lebih ketat dari sebelumnya. Diduga ordonasi itu diilhami oleh
kekhawatiran pemerintah kolonial akan timbulnya pemberontakan, sebagaiman
terjadi di Inggris pada tahun 1857. Dengan pengawasan yang ketat terhadap ruang
gerak ulama dan peraturan yang membatasi pribumi untuk berangkat haji ke Tanah
Suci sudah tentu akan berpengaruh terhadap ruang gerak berlakunya hukum Islam
juga.
Bersama dengan
berlakunya ordonasi itu, pemerintah kolonial Belanda juga tengah
gencar-gencarnya melaksanakan misi kristenisasi untuk mengubah agama penduduk
yang mula Islam menjadi pemeluk Kristen. Dengan masuknya orang-orang pribumi
dari Islan ke Kristen harapnya akan menguntungkan hubungan agama mereka dengan
agama pemerintahanya. Setelah mereka masuk Kristen akan menjadi warga negara
yang loyal lahir batin. Harapnya Kolonoal Belanda ini meleset. Keislaman
masyarakat pribumi bukan menipis, tetapi justru semakin bertambah tingkat
ketaatannya kepada hukum Islam. mereka menganggap bahwa gerakan kristenisasi
menjadi suatu tantangan yang harus dilawan.
Pemerintah kolonial
Belanda ingin segera mengubah tatanan hukum Indonesia menjadi tatanan hukum
Belanda. Sikap ini dikenal dengan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia. Artinya, penataan hukum Indonesia
menjadi hukum Belanda itu dilakukan dengan kesadaran. Untuk melaksanakan tugas itu pemerintahan Belanda membentuk
suatu komisi dibawah ketua Mr.Scholten
Van Dad Haarlem. Tugasnya antara lain melakukan penyesuaian undang-undang
Belanda dengan keadan-keadaan riil dan stratrgis di Hindia Belanda.
Dalam upaya penataan hukum tersebut, langkah
awal yang dilakukan ketua komisi yaitu menulis nota kepada pemerintah Belanda.
Isinya antara lain bahwa untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak
menyenangkan, mungkin juga perlawanan. Jika diadakan pelanggaran terhadap orang
bimi putra dan agama Islam, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya. Agar mereka dapat tinggal tetap dalam
lingkungan(Hukum) agama mereka seta dat-istiadat mereka.
2. Pengaruh politik Islam Scouck Hurgronje terhadap perkembangan hukum Islam di tanah air
Kedatangan
Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang penasehat pemerintah Hindia
Belanda sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan hukum Islam pada masa-masa
berikutnya. Meskipun Snouck Hurgronje berpendapat musuh kolonialisme bukanlah
Islam sebagai (hukum) agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Namun,
mereka tidak rela jika dibidang hukum masyarakat pribumi diberi kebebasan untuk
menjalankan hukum (Islam-nya). Karena itu, ia ingin mempertentangkan antara
hukum Islam di satu pihak dengan hukum adat di pihak lain.
Untuk melaksanakan maksud itu, Snouck Hurgronje menulis
buku sebagai hasil penelitiannya “De Atjehers” untuk daerah Aceh dan “De
Gajoland” untuk tanah Gajo. Dalam kedua buku itu, ia buat tesis bahwa hukum
yang berlaku di kedua daerah itu yakni hukum adat, bukan hukum Islam. Dalam
hukum adat itu telah masuk pengaruh hukum Islam, tetapi pengaruh itu baru
memiliki kekuatan hukum kalau telah benar diterima oleh hukum adat. Tesis ini
kemudian dikenal dengan teori “Receptie”.
Teori Receptie tersebut dikembangkan secara ilmiah
oleh para sarjana Belanda yang terkenal,
yaitu sebagai berikut:
1. Mr. Van Ossenbruggen dalam bukunya Oorrsprong en
eerste Outwikkeling Van het testeer en Voogdijrecht.
2. Mr. I.A. Nederburgh dalam bukunya Wet en Adat.
3. Mr. J, Van Vollen Hoven dalam bukunya Het Adat Recht
Van Recht Van Ned Judie.
4. Mr. Piepers dalam Tijdschrift Van Ned Indie.
5. Mr. WB. Bergma sebagai ketua Komisi Penelitin Hukum Tanah
di Jawa dan Madura.
Akhirnya, teori itu mempunyai pengaruh yang sangat kuat
dan luas terhadap para sarjana hukum, bahkan pengaryh itu masih terasa hungga
sekarang. Melalui teori Receptie-nya , Snouck Hurgronje hendak menentang
terhadap teori Receptie in Complexu-Nya Van den Berg.
Di samping menggencarkan teori Receptie-Nya,
Snouck Hurgronje juga menerapkan sikap politik Islamnya yang mempersempit
peluang bagi orang Islam untuk bangkit menyingkirkan penjajah. Sikap politik
itu sebagai berikut:
a.
Dalam bidang
ibadah (hubungan dengan Tuhannya), pemerintah Hindia Belanda memberikan
kebebasan kepada orang-orang Islam Indonesia untuk melakukannya sepanjang tidak
mengganggu kekuasaan pemerintah.
b.
Dalam urusan mu’amalah
(hubungan antar sesama manusia), pemerintah Hindia Belanda harus
menghormati lembaga-lembaga yang telah ada sambil memberikan kesempatan kepada
orang-orang Islam beralih ke lembaga-lembaga Belanda secara beransur-ansur.
c.
Dalam bidang
politik, pemerintah Hindia Belanda tidak memberikan peluang kepada orang –
orang Islam untuk melakukan gerakan pan-Islam.
Alasan pemerintah kolonial menghapus kewenangan peradilan
agama dalam hal waris itu selain menghilangkan proses peradilan kembar yang
memakan waktu dan biaya, juga didasarkan pada pertimbangan berikut:
1.
Hukum waris
Islam bertentangan dengan kenyataan masyarakat di Jawa dan Madura.
2.
Peradilan
agama sebenarnya berasal dari peradilan raja-raja dulu.
3.
Keputusan
tetap terasa asing dari praktik pewarisan serta berdasarkan hukum rakyat atau sebagainya.
Bersamaan dengan gerakan politik Islamnya itu, pemerintah
kolonial Belanda juga melakukan tindakan – tindakan lain untuk lebih
mempercepat upaya kristenisasinya. Tindakan itu antara lain sebagai berikut:
a.
Mengadakan
pengejaran dan penangkapan terhadap para ulama yang tidak mau berkompromi
dengan pemerintah kolonial karena dirasakan ulama seperti itulah yang sangat
membahayakan kepentingan kolonial.
b.
Melakukan
pembuangan terhadap para Syekh (pemimpin Tarekat) beserta pengikut-pengikutnya.
Mereka menganggap bahwa syekh – syekh dan para pengikut-pengikutnya itu
merupakan musuh-musuh yang sangat berbahaya bagi kekuasaan Belanda, sekurang
kurangnya sama bahayanya dengan orang-orang golongan Sanusi terhadap kekuatan
kekuasaan Prancis Aljazair.
c.
Tidak mengirimkn
pegawai Muslim ke daerah-daerah yang belum Islam dan dilarang untuk
memperkenalkan peraturan-peraturan dan kebiasaan Islam. Tindakan terakhir itu,
dituangkan dalam peraturan pemerintah kolonial tahun 1889.
Kebijakan berikutnya, setelah terjadi peristiwa Cilegon
1888, pendidikan agama Islam di sekolah- sekolah diawasi dengan ketat, karena
pemberontakan para petani di Banten ditengarai sebagai gerakan yang dimotori
oleh para haji dan guru agama di Pulau Jawa. Untuk mlegalisasi gerakan kolonial
itu, pada tahun 1905 keluarlah peraturan tentang pendidikan Agama Islam yang
disebut “Ordonansi Guru” yang dinyatakan berlaku untuk Jawa dan Madura,
kecuali Yogyakarta dan Solo.
Karena keberadaan ulama, terutama di pedesaan yang
mayoritas dirasakan membahayakan pemerintah kolonial, maka dilakukan
depolitisasi ulama desa. Ulama desa dibuat agar tidak menegtahui tentang
politik, dan struktur pemerintahan di atanya. Hubungan mereka dengan kalangan
priyayi atau bangsawan di atasnya diputuskan secara langsung. Mereka diadu
domba satu sama lain dengan memunculkan isu-isu yang emmancing mereka agar
berselisih. Akibatnya, para ulama tidak bersatu. Bahkan, terdapat ulama bayaran
yang dipersenjatai untuk menyerang ulama-ulama militan. Tercatat sebagai ulama
bayaran tersebut, yakni Teuku Uma.
Pembatasan kekuasaan pengadilan agama terutama pencabutan
kewenangan di bidang kewarisan menimbulkan reaksi negatif dari orang-orang
Islam serta para penghulu. Reaksi terhadap Stbl 1937 No.116 itu dilakukan
dengan membentuk “Perhimpunan penghulu dan pegawainya” (PPDP). Pada kongkres
pertama di Surakarta tanggal 16 Mei 1937, PPDP memutuskan untuk menyampaikan
surat permohonan agar Stbl 1937 No.116 dicabut. Alasan pencabutan itu antara
lain sebagai berikut:
1.
Hukum adat
sifatnya tidak tetap dan menurut keadaan, waktu, dan tempat. Sedangkan hukum
Islam tetap menurut al-Qur’an dan Hadits.
2.
Orang-orang
Islam yang menerima putusn hukum adat dalam masalah waris dianggap telah
mengingkari agamanya.
3.
Bagi
pengadilan, pencabutan perkara waris tidak memberikan perbaikan.
4.
Kedudukan
penghulu, baik di dalam maupun di luar pengadilan yaitu sebagai kepala agama.
Karena itu, soal Stbl 1937 No.116 tidak bisa terlepas dari soal agama.
5.
Pembagian
waris menurut Hukum Fara’id telah berlaku beratus tahun di Indonesia sebagai
diarahkan pada upaya pelumpuhan dan penghambatan bagi pelaksanaan hukum Islam
di Indonesia. Upaya-upaya itu sebagai berikut:
a.
Tidak
memasukkan masalah hudud dan qishas dalam lapangan hukum pidana.
Hukum pidana yang berlaku langsung dioper dari Wet Boek Van Strafrecht (dari
Nederland).
b.
Ajaran Islam
yang menyangkut hukum tata negara tidak boleh diajarkan.
c.
Mempersempit
hukum Mu’amalah yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan.
Khusus hukum kewarisan diusahakan tidak berlaku.
Langkah – langkah yang ditempuh agar hukum kewarisan
Islam tidak berlaku, yakni sebagai berikut:
1.
Menanggalkan
wewenang pengadilan agama di Jawa dan Kalimantan Selatan untuk mengadili
masalah waris.
2.
Memberi
wewenang memeriksa masalah waris kepada Landraad.
3.
Melarang penyelesaian
dengan hukum Islam, jika di tempat perkara tidak diketahui ketentuan hukum
adatnya.
Di samping itu, langkah yang lebih nyata dari pemerintah
Hindia Belanda untuk menghambat berlakunya hukum islam melalui peradilan agama
yaitu diadakannya lembaga “Executoire Verklairing”. Artinya, setiap
putusan peradilan agama baru mempunyai kekuatan hukum apabila mendapatkan
pernyataan dapat dijadikan Landraad (pengadilan negeri). Ini berarti
bahwa pemerintah kolonial ingin menempatkan kedudukan peradilan agama berada di
bawah kedudukan peradilan umum (Landraad). Cara tersebut tentu sangat
tidak menguntungkan bagi perkembangannya hukum Islam di dunia peradilan.
Penyelesaian yang diberikan pengadilan agama ada dua
macam:
Pertama dalan bentuk fatwa waris, bagi
masalah kewarisan yang di dalamnya tidak mengandung persengketaan fatwa ini
tidak ada dasar hukum pengaturannya. Ia tumbuh dan berkembang, dari kebiasaan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Mula – mula tidak mempunyai bentuk,
kemudian fatwa itu dibuat secara tertulis dan disebut Surat Keterangan Ahli
Waris atau Surat Keterangan tentang pembagian harta warisan dengan perdamaian.
Fatwa waris biasanya tidak hanya berisi tentang sapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing – masing. Jika diminta oleh
para ahli waris, maka hakim pengadilan agama juga dapat membantu mereka untuk
melaksanakan pembagian waris secara detail termasuk perkara hibah dan wasiat.
Meskipun fatwa waris yang dikeluarkan pengadilan agama
tidak memiliki pijakan hukum, namun dalam kenyataannya sejak laa fatwa waris
ini diterima oleh para notaris dan para hakim pengadilan negeri sebagai alat
bukti yang sah. Begitu pula pejabat pendaftaran tanah pada kantor agraria
(sekarang kantor pertanahan) menggunakan fatwa waris sebagai bukti pemilikan.
Engan demikian, meskipun dibuat tanpa pijakan ketentuan hukum yang berlaku
namun fatwa jenis pertama ini daya mengikatnya diakui secara materiil.
Kedua , fatwa waris yang di dalamnya
mengandung persengketaan. Menurut ketentuan yang berlaku, setelah perkara ini
masuk ke pengadilan agama harus segera diteruskan ke pengadilan negeri untuk
diputuskan. Namun dalam praktiknya, hakim pengadilan agama sering memutuskan
sendiri prkara ini. Putusannya sama-sama berbentuk fatwa. Bedanya untuk jenis
ini, ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Uniknya, fatwa ini sering
dipahami masyarakat sebagai keputusan yang dipatuhi dengan penuh kesadaran oleh
semua pihak.
3. Rekayasa kolonial Belanda dibidang perundang-undangan
Di bidang
perundang–undangan, pemerintah Hindia Belanda membuat langkah untuk mengubah
perundang–undangan yang ada dengan cara sistematis, halus, dan berangsur-angsur
agar tidak mudah diketahui. Perubahan – perubahan itu dapat diketahui dari
redaksi/susunan/pilihan kata dalam perundang – undangan yang diubah.
Perubahan–perubahan redaksional itu secara garis besarnya
sebagai berikut:
1.
Regeering
Reglement Stbl 1855:2 pasal 75 ayat (3) ... Hakim Bumi Putra harus
meperlakukan undang – undang (peraturan) agama instelling dan kebiasaan
(adat) penduduk asli, sejauh tidak bertentangan dengan asas – asas kepatutan
dan di akui umum.
2.
Regeering
Reglement Stbl 1907:204 memperlunak ketentuan pasal 75 pada Stbl
1855:2 ... mengenai persoalan yang terjadi sesama Bumi Putra, orang Timur
Asing, dan yang masuk di dalamnya, diikuti peraturan yang berkenaan dengan
agama dan kebiasaan mereka.
3.
Pasal 75 R.R.
diperbaiki lagi dengan Stbl 1919:621 ... diikuti peraturan – peraturan yang
berkenaan dengan agama dan kebiasaan mereka.
4.
Ketentuan
pasal 134 LS (Indische StaatsRegeling) yang sama bunyinya dengan pasal
78 R.R Stbl 1855 dan R.R 1907 serta R.R 1919.
Ketentuan pasal 134 ayat (2) I.S tersebut jelas bahwa
hukum Islam ditempatkan di bawah hukum adat. Hukum Islam baru berlaku bagi
pribumi, apabila diterima oleh hukum adat. Ketentuan itu dimaksudkan oleh
pemerintah kolonial untuk mencabut hukum Islam dari tata hukum Hindia Belanda.
Ketentuan pasal 134 ayat (2)I.S. itulah yang menjadi landasan formal berlakunya
teori Receptie. Sejak saat itulah masyarakat Indonesia yang mempunyai
hubungan dengan masalah-masalah hukum mulai merasakan pengaruh teori Receptie
yang kuat. Seakan – akan, masyarakat Indonesia telah merasakan sesuatu yang
benar dan biasa bahwa hukum Islam itu bukan hukum di Indonesia. Telah tertanam
pada pikiran orang bahwa yang berlaku adalah hukuma adat dan hukum islam bari
menjadi hukum, apabila telah menjadi hukum adat.
Peraturan
tersebut bukan pencabutan terhadap hukum islam secara keseluruhan. Peraturan
ini hanya mencabut berlakunya hukum Islam dari lingkungan peradilan umum.
Sedangkan hukum Islam di masyarakat tetap merupakan hukum yang hidup dan
dipatuhi.[2]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Belanda kali pertama datang ke Indonesia
semula bertujuan untuk mengembangkan usaha perdagangan, khususnya ingin
mendapatkan rempah-rempah. Di samping melakukan perdagangan dan pelayaran, VOC
juga diberi hak untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik dalam rangka
menunjang usaha pedagangannya. Dalam melaksanakan fungsi pertama untuk
berdagang, VOC bermaksud menetapkan prinsip monopoli.
Dengan bubarnya VOC pada pergantian abad ke
18, kekuasaan Indonesia secara resmi dipindahkan ketangan pemerintahan kolonial
Belanda. Sejak pemerintahan kolonial Belanda berkuasa di Indonesia, sikapnya
terhadap hukum islam mulai berubah. Sikap yang semula toleran terhadap
berlakunya hukum Islam bagi pribumi, secara berangsur-angsur mulai di batasi.
DAFTAR PUSTAKA
Sumitro,
Warkum. Hukum Islam di Tengah Dinamika Sosial Politik di Indonesia
(Malang: Setara Press, 2016).
Ghofur,
Abdul. Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset, 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat