PA antara Tahun 1998 - sekarang
Mata kuliah PA di Indonesia
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warohmatullahiwabarokatuh.
Puji syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan
makalah Politik Hukum Islam’ dengan judul
“PA antara Tahun 1998 - sekarang”.
Tidak lupa
shalawat dan salam senantiasa kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW, semoga kelak mendapatkan syafaatnya di akhirat. Amiin.
Kami, sebagai tim penyusun
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam pembuatan
tugas ini, diantaranya:
1.
Dr. Ulin Na’mah M.HI., sebagai
dosen pembimbing yang telah membantu dan mengarahkan dalam penyusunan makalah.
2.
Pihak-pihak terkait yang turut
membantu dalam penyelesaian tugas ini.
Sebagai tim
penyusun, kami berharap semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan memacu
kreativitas, serta keterampilan para mahasiswa dalam menyusun makalah yang
berkualitas. Sehingga dapat mewariskan sebuah ilmu yang berguna bagi generasi
mendatang dan semoga pihak-pihak yang telah disebutkan di atas dapat menerima
manfaat dari penyusunan makalah ini.
Wassalamu’alaikum
warohmatullohiwabarokatuh.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan
agama adalah kekuatan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan
shodaqah diantara orang-orang Islam untuk menegakkan hukum dan keadailan.
Penyelenggaraan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama pada Tingkat
pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada Tingkat Banding. Sedangkan pada
tingkat kasasi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, sebagai pengadilan negara
tertinggi.
Tahapan akhir
dari babak sejarah bangsa Indonesia, yang sedang berjalan saat ini adalah era
Reformasi, tepatnya ketika tahun 1998
terjadi reformasi, yakni beralihnya Orde Baru ke Era Reformasi. Pengadilan
Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang diakui eksistensinya dalam
Undang-Undang No. 4 Tahun
2004 tentang kekuasaan kehakiman, merupakan lembaga peradilan khusus yang
ditunjukkan kepada umat Islam dengan lingkup kewenangan yang khusus pula, baik
perkaranya ataupun para pencari keadilannya.
B. Rumusan Masalah
A.
Bagaimana Peradilan Agama pada masa
Reformasi?
B.
Bagaimana Perkembangan peradilan
pada masa reformasi sampai sekarang?
C.
Bagaimana Pengangkatan dan
Pemberhentian Hakim Agung pada masa reformasi sampai sekarang
C. Tujuan Penulisan
A.
Untuk mendeskripsikan mengenai Peradilan
Agama pada masa era Reformasi.
B.
Untuk mengetahui Perkembangan
peradilan pada masa reformasi sampai sekarang.
C.
Untuk mengetahui Pengangkatan dan
Pemberhentian Hakim Agung pada masa reformasi sampai sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peradilan Agama pada masa Reformasi.
1. Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan Satu Atap
Reformasi di Indonesia
muncul akibat terjadinya krisis multidimensi yang menimpa sebagian besar
negara-negara di Asia Tenggara. Tidak segera diselesaikannya krisis tersebut,
muncullah gerakan reformasi tahun 1998. Meskipun awalnya reformasi terfokus
pada tatanan politik, akan tetapi tidak bisa dipisahkan dengan aspek hukum. Pergeseran
kekuasan dari rezim orde baru ke
pemerintahan orde reformasi, serta
membawa berbagai perubahan dalam ranah sosial, politik, dan hukum. Perubahan mendasar pada bidang hukum yaitu
dilakukannya amandemen atas UUD 1945.
Salah satu passal yang mengalami perubahan adalah pasal 24 ayat (2) UUD 1945
yang berbunyi : “ Penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh
Mahkamah Konstitusi”. Kemudian ketentuan konstitusi ditindaklanjuti dengan
lahirnya UU no. 35 tahun 1999 tentang sistem peradilan satu atap
selanjutnya UU no. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang mana hasil
perubahan atas UU no.14 Tahun 1970 tentang pokok–pokok kekuasaan kehakiman dan
UU no. 48 Tahun 2009 telah diamandemen atas UU no. 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman.[1]
Sesuai dengan tuntutan reformasi dalam ranah hukum, sekaligus wujud
nyata pengawalan terhadap perubahan
mendasar dalam sistem peradilan
yaitu dari sistem peradilan mendua
menjadi peradilan satu atap. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU no. 48 Tahun 2009, maka kewenangan dalam bidang
organisasi, administrasi dan finansial lembaga peradilan agama berpindah dari lembaga eksekutif, yaitu direktorat
pembina Peradilan Agama Departemen Agama kepada lembaga yudikatif yaitu
Mahkamah Agung. Adapun yang dimaksud dengan pemindahan kewenangan dalam bidang organisasi meliputi: kedudukan,
tugas, fungsi kewenangan dan struktur organisasi.
Pembinaan peradilan dalam sistem satu atap oleh Mahkamah Agung itu
merupakan upaya untuk mewujudkan
kemandirian kekuasaan kehakiman dan menciptakan putusan pengadilan yang tidak memihak (impartial). Dengan
lahirnya perundang-undangan maka, terdapat berbagai akibat hukum yang
bersinggung langsung dengan posisi Peradilan Agama. Pertama, secara organisatoris, administratif dan
finansial, badan peradilan agama berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Hal
ini mengandung bahwa peradilan Agama sejak proklamasi kemerdekaan RI berada
dibawah kekuasaan Departemen Agama,
bergeser dan beralih ke dalam wilayah kekuasaan Mahkamah Agung. Kedua,
sejak dikeluarkannya reformasi sistem hhukum dan peradilan, termasuk yang bersinggungan dengan pengalihan
organisasi, administrasi dan finansial badan Peradilan Agama menjadi satu atap
di bawah lingkungan Mahkamah Agung.
Berkenaan dengan kebijakan sistem peradilan satu atap itu,
maka dilakukan langkah adaptasi lainnya, terutama yang berkaitan dengan badan
peradilan agama. Maka dilakukannya amandemen sebanyak dua kali terhadap UU No.
7 Tahun 1989 tentang peradilan agama telah meletakan dasar kebijakan bahwa segala
urusan mengenai peradilan agama,
pengawasan tertinggi, baik menyangkut teknis yudisial maupun nonyudisial. Yaitu
urusan organisasi, administrasi dan finansial berada dibawah kekuasaan Mahkamah
Agung. Sedangkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim,
pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Dimana perubahan untuk memperkuat prinsip dasar dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,
yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip kebebasan hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip
integritas dan akuntabilitas hakim.
Secara umum perubahan kedua UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun
2006 tentang PeradilanAgama pada dasarnya
untuk mewujudkan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa,
yang dilakukan melalui penataan sistem
peradilan yang terpadu.[2]
2.
Asas Peradilan Agama
Dengan mencermati kandungan pasal-pasal yang
terdapat dalam UU No.7 tahun 1989 pasca
amandemen, baik melalui UU No.3 Tahun 2006 maupun UU No. 50 Tahun 2009
(amandemen ke 2) dapat di temukan beberapa asas yang belaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama, yakni:
a. Personalitas keislaman
Orang-orang yang bisa berperkara di lingkungan peradilan agama
hanyalah orang-orang yang beragama Islam saja. Pernyataan tersebut dijelaskan
dan dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 50 Tahun 2009 (amandemen ke-2 atas
UU No. 7 Tahun 1989) yang berbunyi: peradilan agama adalah peradilan bagi
orang-orang yang beragama Islam.
b. Pengadilan Tingkat
Pertama dan Ke Dua
Penyelesaian perkara di lingkungan peradilan
agama dilakukan oleh pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan
oleh pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 3 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No.3 Tahun 2006 yang
berbunyi kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh
pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama. Ketentuan Pasal 3 itu
dipertegaslagi dalam Pasal 6 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU
No. 50 Tahun 2009 yang berbunyi pengadilan terdiri dari pengadilan agama, yang
merupakan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi agama yang merupakan
pengadilan tingkat banding.
c. Wilayah Hukum Peradilan
Agama
Daerah hukum peradilan agama sebagai
pengadilan yang bertugas menyelesaikan perkara tingkat pertama adalah daerah
hukum ibu kota kabupaten atau pemerintah kota. Hal tersebut secara eksplisit
tertuang dalam Pasal 4 ayat 1 UU No.3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 yang
berbunyi pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah
hukumnya meliputi wilayah kabupaten / kota. Sedangkan daerah hukum pengadilan
tinggi agama sebagai pengadilan yang bertugas menyelesaikan perkara banding
adalah daerah hukum ibu kota provinsi dan daerah hukum yang meliputi wilayah
provinsi. Hal ini secara jelas terdapat dalam Pasal 4 ayat 2 UU No 3 Tahun 2006
jo UU No 50 Tahun 2009 yang berbunyi pengadilan tinggi agama berkedudukan di
ibukota provinsi dan daerah hkumnya meliputi wilayah provinsi.
d. Kewenangan Mengadili Perkara Tertentu
Kewenangan mengadili perkara dalam lingkungan
peradilan agama terbatas pada perkara-perkara tertentu. Kewenangan mengadili
perkara hanya bersifat khusus, yaitu meliputi hukum tertentu sebagaimana di
rumuskan dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 jo. Kemudian UU No. 50 Tahun 2009
itu merupakan perubahan di bidang yurisdiksi yang di berikan kepada pengadilan
dalam lingkungan peradilan agama. Pada awalnya kewenangan itu terbatas pada
bidang domestik (ahwal syakhsiyah) kemudian bergeser ke ranah yang lebih luas,
bidang domestik dan publik (muamalah), yakni di bidang zakat, infaq, dan
ekonomi syari’ah.
Perubahan itu
berkonsekuensi terhadap perluasan subjek hukum, tidak hanya orang tetapi juga
mencakup badan hukum. Di samping itu, peradilan agama juga di identifikasi
sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama islam mengenai perkara tertentu. Perkara tertentu dalam ketentuan
Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 jo. Kemudian adanya UU No. 50 Tahun 2009 itu
merupakan hasil perubahan dari “perkara perdata” sebagaimana di atur dalam UU
No. 7 Tahun 1989. Hal itu memberi peluang kepada pengadilan untuk memeriksa,
memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana (jinayah).[3]
~
Adapun beberapa kewenangan absolut
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yakni:
Bidang perkawinan, Bidang Waris, Bidang Wasiat, Bidang Hibah, Badan
Wakaf, Bidang Zakat, Bidang Infaq, Bidang Ekonomi syari’ah.
e. Kewenangan Mengadili
Sengketa Hak Milik
Kewenangan peradilan agama dalam menerima,
memeriksa, dan menyelesaikan perkara
diatur dalam pasal 50 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 2006 jo, UU No. 50Tahun
2009 dalam memeriksa perkara tersebut dirumuskan dalam pasal 50 terdapat kewenangan yang menuntut adanya penundaan
pemeriksaan dan yang menuntut adanya pemeriksaan dan perkara atau lebih secara sekaligus
·
Penundaan Memeriksa dan Mengadili
Secara eksplisit dirumuskan
dalam pasal 50 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006 jo, UU No. 50 Tahun 2009, yang
berbunyi dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa dalam perkara sebagaimana dimaksud
dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 jo, UU No. 50 Tahun 2009, khusus mengenai
objek sengketa tersebut harus diputus
lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum
·
Kewenangan Mengadili Sengketa Hak
Milik
Didalam pasal 50 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2006 jo, UU No. 50 Tahun 2009 dijelaskan bahwa apabila
terjadi sengketa hak milik sebagai
mana dimakasud pada ayat (1) yang subyek
hukumnya antara orang-orang yang beragama islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama
perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 jo, UU No. 50
Tahun 2009 perkara yang dimaksud meliputi : perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat infak, sodaqoh, dan ekonomi syari’ah. Dalam penjelasan atas UU No.
3 Tahun 2006 dikatakan bahwa ketentuan pasal 50
ayat (2) memberikan kewenangan kepada pengadilan agama untuk sekaligus
memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang
diatur dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun
2006 jo, dan UU No. 50 Tahun 2009 apabila subjek sengketa itu terjadi diantara orang orang yang beragama islam. Hal
seperti ini menghindari adanya upaya
memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya
sengketa milik atau keperdataan lainnya.
f. Mengadili Menurut Hukum dan Persamaan Hak
Keharusan mengadili menurut hukum dan persamaan hak dirumuskan dalam pasal 58
ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo, UU No.
3 Tahun 2006 jo, UU No. 50 Tahun 2009 dan pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004
yang berbunyi “pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Pertama, rumusan mengadili menurut hukum sebagaimana tercantum dalam pasal – pasal tersebut memberi pemahaman bahwa peradilan dalam melakukan pemeriksaan perkara harus
berpedoman dan berlandaskan pada aturan hukum yang berlaku yaitu
peraturan perundang – undangan yang sah
dan dibuat oleh lembaga yang kompoten.
Kedua,
rumusan mengadili “dengan tidak membeda – bedakan orang “ mengandung
pengertian bahwa setiap orang yang
mengajukan perkara kepengadilan dalam
lingkungan peradilan agama mempunyai hak dan kedudukan yang sama untuk memperoleh kebenaran dan
keadilan.[4]
B. Perkembangan peradilan pada masa reformasi sampai sekarang
Beberapa aspek
yang mengalami perubahan setelah peradilan agama disatuatapkan pada era
reformasi adalah menyangkut; status dan kedudukan, struktur organisasi, tugas
dan fungsi, sumber daya manusia, finansial dan sarana dan prasarana,
3.
Struktur Organisasi, Tugas, dan
Fungsi
Tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama
yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2005 tersebut, kemudian
diimplementasikan dengan surat Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomer:
MA/SEK/07/SK/III/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Mahkamah
Agung RI.
Dalam keputusan tersebut, ditentukan bahwa Direktorat Jenderal
Badan Peradilan Agama terdiri atas:
Sekretariat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.
Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama.
Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan Agama.
Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Agama.
4.
Sumber Daya Manusia
Tonggak awal berdirinya fondasi organisasi Peradilan Agama baru
dimulai tahun 2006. Yakni ketika status Badan Peradilan Agama yang awalnya
hanya direktorat kemudian meningkat menjadi Direktorat Jenderal setelah berada
di Mahkamah Agung. Pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama terdapat
pengembangan jabatan, baik jumlah maupun tingkat eselonnya. Peningkatan ini
disamping sebagai penopang pelaksanaan tugaas pokok dan fungsi organisasi, pada
saat bersamaan juga membuka peluang bagi pengembangan karir pegawai.
5.
Keadaan Finansial dan Sarana
Prasarana
Di era reformasi, anggaran untuk badan peradilan dilingkungan
Mahkamah Agung mengalami peningkatan seiring dengan upaya peningkatan pelayanan
publik dibidang hukum dan peradilan. Begitu juga anggaran untuk lingkungan
peradilan agama yang dipusatkan pada Dirjen Badilag mengalami peningkatan yang
signifikan bila dibandingkan dengan sebelum satu atap, terutama sejak tahun
2005, 2006 dan 2007. Meskipun penganggaran tersebut dipusatkan di Dirjen Badilag,
namun mulai dari perencanaan progam dan penentuan jumlah/alokasi anggaran
sampai pada pengelolaannya diserahkan langsung kepada masing-masing Pengadilan
Agama dan pengadilan tinggi agama, selain juga ada anggaran yang direncankan
dan dikelola pada sekertariat Dirjen Badilang dan pada masing-masing
direktorat.[5]
C. Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung pada masa reformasi sampai sekarang
1.
Syarat – syarat menjadi seorang hakim
Syarat - syarat menjadi
seorang hakim pada pengadilan agama, diatur dalam pasal 13 ayat (1) UU No. 50
Tahun 2009 yaitu:
Warga negara Indonesia, Beragama islam, Bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, Setia kepada pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Sarjana
syari’ah, sarjana hukum islam atau sarjana hukum yang menguasai hukum islam, Lulus
pendidikan Hakim, Mampu secara rohani dan jasmani, Berwibawa, jujur, adil dan
berkelakuan tidak tercela, Berusia palng rendah 25 tahun tidak pernag dijatuhi
pidana
2. Pengangkatan Hakim
Agung
Terdapat perbedaan antara pengangkatan hakim agung sebelum
reformasi dan setelah reformasi dengan amandemen UUD 1945. Pada masa orde lama
proses pengangkatan Hakim Agung melibatkan ketiga lembaga tinggi negara yaitu eksekutif (presiden dan menteri kehakiman, yudikatif, (MA) dan
legislatif ( (DPR). Aturan ini khususditetapkan bagi pemilihan hakim
hanya melibatkan pihak yudikatif
dan eksekutif. Dalam pasal 4-11 ayat 2 ditetapkan bahwa ketua, wakil,
ketua dan hakim Mahkamah Agung dipilih oleh presiden atas anjuran DPR dari
sekurang – kurangnya dua calon yang dipilih tiap-tiap pengangkatan.
a. Pengangkatah Hakim
Agung Pada Masa Orde lama
Pada masa orde lama pengankatan hakim meski melibatkan lembaga
lainnya seeperti DPR namun keputusan ahir tetap ditangan eksekutif
(presiden). Salah satu penyimpangan dan
polotisasi dalam pemilihan Hakim Agung
sekaligus memperlihatkan bahwasannya eksekutif (presiden) saat itu adalah badan
penentu akhir dengan diangkat dan ditetapkannya ketua Mahkamah Agung. Sebagai
penasihat hukum dengan pangkat menteri berdasarkan per. Pers 4/1962 UU 30masa
orde lama secara biroklasi Mahkamah
Agung telah kehilangan kebebasannya dan kemandiriannyadan sangat dimungkinkan
pengaruh dari eksekutif.
b. Pengangkatan Hakim
Agung Pada Masa Orde Baru
Hakim pengadilan Agama
selaku pejabat negara yang
melaksanakan sebagian tugas – tugas kekuasaan kehakiman ditingkat pertama,
diangkat oleh presiden atas usul ketua mahkamah Agung (Pasal 15 ayat (1) UU No.
50 Tahun 2009) dengan dilakukan melalui
proses selekse yang transparan,
akuntabel, dan partisipatif. (Pasal 3A
ayat (1) UU.No 50 Tahun 2009) yang secara bersama sama dilakukan oleh
mahkamah Agung. Pengangkatan hakim pada masa ini lebih terlihat simpel. Pasal
15 ayat (1) UU no. 7 Tahun 1989 pengankatan hakim harus dua kali tahapan, yaitu
tahapan usulan dari Menteri Agama dan
tahapan persetujuan oleh ketua mahkamah
Agung. Proses pengangkatan hakim melalui
sistem peradilan satu atap ini lebih
efektif dan efesien serta akan relatif lebih cepa tkarena hanya kepada presiden
oleh Ketua melalui satu tahapan usulan
langsung dan dari segi kualitas juga akan lebih unggul, karena prosesnya lebih
selektif dan transpalan, dengan
melibatkatkan dua lembaga tinngi negara
yang kompoten.
Dalam menjalankan tugas dan pokoknya seorang hakim memiliki sesuatu
hal yang dilarang oleh lembaga yaitu seorang hakim tidak boleh merangkap
jabatan-jabatan penting yang dapat menggagu konsentrasi sebagai pejabat negara
yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini diatur dalam pasal 17 ayat
(1) dan (2) UU nomor 3 Tahun 2006. Ayat (1) berbunyi “kecuali ditentukan lain
atau berdasarkan undang-undang hakim tidak boleh merangkap menjadi: pelaksanaan
putusan pengadilan, wali, pengampu, pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara
yang diperiksa olehnya, pengusaha, dll. Selanjutnya ayat (2) berbunyi “berbunyi
“hakim tidak boleh merangkap menjadi advokat”
3.
Pemberhentian Hakim Pengadilan
Terdapat
3 macam pemberhentuian hakim :
a.
Pemberhentian Dengan Hormat
Pasal 18 ayat (1) UU No. 50 Tahun 2009, pemberhentian ketua, wakil
ketua dan hakim pengadilan dengan hormat
dari jabatannya dikarenakan beberapa hal
:
Permintaan sendiri secara tertulis, Sakit rohani atau jasmani secara terus menerus, Telah
berumur 65 tahun, Merasa tidak cakap lagi dalam menjalankan tugasnya
b. Pemberhentian dengan
tidak hormat
Pemberhentian dengan tidak hormat ini
dikarenakaln beberapa hal yang mana
ketentuannya diatur dalam pasal 19 ayat (1) huruf a,b,c,d,e dan f UU No.
50 tahun 2009 yaitu:
Ø Dipidana penjara karena telah melakukan kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Ø Melalaikan
pekerjaan dan tanggung jawabnya secara berturut-turut selama 3 tahun
Ø Melanggar
sumpah atau janji jabatan.
Pemberhentian hakim pengadilan
dengan hormat dari jabatannya sebagai mana diatur dlam pasal 18 ayat (1) UU No.
50 Tahun 2009 dan pemberhentian hakim pengadilan dengan tidak hormat dari
jabatannya sebagamana diatur dalam pasal 19 ayat (1) UU No. 50 Tahun 2009. Ada
dua pendekatan yang dapat digunakan dalam hal
pemberhentian jabatan hakim tersebut.
Pertama, dengan pendekatan
bahwa hakimbukan jabatan dalam eksekutif. Peraturan perundang undangan bidang kepegawain menyebutkan bahwa hakim
bukan jabatan dalam eksekutif. Dengan begitu seorang hakim yang dierhentikan
dari jabatannya sebagai hakim tidak
serta merta diberhentikan sebagai pegawai negeri. Kedua, dengan pendekatan
status kepegawaian hakim dianggap melekat pada jabatannya sebagai hakim.
Pendekatan ini didasarkan kepada sistem rekrutmen hakim yang salah satu
persyaratannya menyatakan “ lulus
pendidikan hakim”. Dlam pasal13 ayat (1) huruf f UU No. 50 Tahun 2009
disebutkan bahwa salah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim adalah “lulus pendidikan
hakim hal ini menunjukan kepastian hukum
bahwa status kepegawaian hakim selaku pegawai negri “satu paket” dengan kata
lain status kepegawaian hakim melekat dengan jabatannya, sehingga statusnya
sebagai pegawai negeri dengan sebagai pejabat tidak dapat dipisahkan.
4. Mediasi di Pengadilan
Agama
Mediasi merupakan salah satu upaya
penyelesaian sengketa dimana para pihak yang berselisih atau bersengketa
bersepakat untuk menghadirkan pihak ketiga, guna bertindak sebagai mediator
(penengah). Mediasi juga dapat di artikan sebagai salah satu proses penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, dan digunakan juga oleh pengadilan sebagai proses
penyelesaian sengketa. Bentuk penyelesaian sengketa dengan cara mediasengketa
dengan cara mediasi yang sekarang di praktikkan ter-integrasi dengan proses
peradilan. Landasan yuridisnya diawali pada Tahun 2002 dan terus mengalami
perbaikan baik dalam proses maupun pelaksanaannya dengan (Perma) Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 dan (Perma) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Di Indonesia, pranata sosial hukum Islam dalam menyelesaikan
sengketa orang-oarang yang beragama Islam di luar pengadilan itu sudah dikenal
sejak Islam berkembang (sekitar abad ke-13). Karena itu, sampai saat ini
penyelesaian sengketa bagi komunitas Muslim dikenal melalui dua saluran, yakni:
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi) dan penyelesaian
sengketa di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan antara
lain melalui cara: negosiasi, mediasi, konsiliasi, persidangan mini, dan
ombudsman.
Di sini mediasi di posisikan sebagai salah satu upaya menyelesaikan
sengketa para pihak dengan menghadirkan pihak ketiga yang independen guna
bertindak sebagai mediator. Kehadiran mediasi dan bersinergi dengan pengadilan
itu memiliki legitimasi yang sangat kuat, karena secara spesipik didukung oleh
UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006, UU No. 50 Tahun 2009, dan UU No.
48 Tahun 2009. Meskipun penyelesaian melalui mediasi itu tidak akan menuntaskan
seluruh persoalan yang dihadapi pengadilan, tetapi paling tidak diharapkan
dapat mengurangi persoalan krusial yang terjadi selama ini.
Secara teoritis, penyelesaian sengketa melalui
mediasi di pengadilan agama membawa sejumlah keuntungan, diantaranya: perkara
dapat diselesaiakan dengan cepat dan biaya ringan; mengurangi kemacetan dan
penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan, sehingga penyelesaian
perkara tidak berlarut-larut; meningkatkan peran dan keterlibatan masyarakat
dalam proses penyelesaian perkara; memperlancar saluran keadilan pada
masyarakat; memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang
menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak secara sukarela;
lebih memungkinkan untuk terjadinya suatu kesepakatan, sehingga jalinan
kekeluargaan di antara pihak-pihak dapat dipelihara; dan mengurangi terjadinya
makelar kasus dalam pengadilan.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkembangan
peradilan di Indonesia pada masa orde
baru sangat berarti ketika diundangkan
dan diberlakukannya UU No. 14 Tahun 1970
dan UU No.1 Tahun 1989 diundangkan dan diberlakukan sehingga memberikan
tempat kepada Peradilan Agama di
Indonesia sebagai salah satu peradilan negara dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman. UU No. 1 Tahun 1974
emperbesar kekuasaan peradilan khususnya
dibidang perkawinan. Salah satu aspek yang terkait dengan perkembangan peradilan islam di
Indonesia yaitu dirumuskannya kompilasi
Hukum Islam ia merupakan bentuk penyelesaian masalah keragaman hukum substansial dalam
melaksanakan tugas dan wewenang peradilan
di bidang perkawinan, kewarisan, dan
perwakafan dikalangan orang-orang yang
beragama islam.
Rincian
mengenai kewenangan absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yaitu
mencakup kewarisan, perkawinan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak dan ekonomi
syari’ah. Asas-asas Peradilan Agama sejak amandemen orang orang yang berperkara
pada pengadilan yaitu orang-orang yang beragama Islam yang mana penyelesaian
perkara tersebut di pengadilan tingkat
pertama dan kedua. Wilayah yang berkuasa
dalam menerima, memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara disesuaikan dengan
kedudukan daerah hukumnya masing-masing.
Kewenagan mengadili dalam Peradilan Agama hanya perkara tertentu yaitu perkara
yang biasa terjadi pada masyarakat islam. Dalam mengadili sengketa Hak milik
kewenangan peradilan agama dalam menerima, memeriksa dan menyelesaikan perkara
dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 2006 jo, UU No. 50 Tahun 2009.
Dalam memeriksa perkara terdapat
kewenangan yang menuntut adanya
penundaan pemeriksaan dan penyelesaian dua perkara
Cik Hasan Bisri. Peradilan agama diIndonesia. Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada. 2003.
Jaenal Aripin. Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia.
Jakarta, Prenada media. 2013.
Jaenal Aripin. Peradilan Agama dalam
bingkai reformasi hukum di Indonesia. Jakarta, kencana Prenada Media Group.
2008.
Oyo Sunaryo Mukhlas. Perkembangan peradilan islam. Jakarta,
Ghalia Indonesia. 2011.
[2]
Ibid,. Hal. 152-154.
[3]
Jaenal Aripin.
Peradilan Agama dalam bingkai reformasi hukum di Indonesia. (Jakarta,
kencana Prenada Media Group, 2008). hal. 315.
[4]
Oyo Sunaryo Mukhlas,. hal. 156-160
[5] Jaenal Aripin. Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia. (Jakarta,
Prenada media. 2013). hal. 196
[6] Cik Hasan
Bisri. Peradilan agama diIndonesia. (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
2003). hal.122.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat