TUJUAN HUKUMAN DAN TERAPI SOSIAL
Mata Kuliah Fiqh
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap Negara tentunya mempunyai hukum
masing-masing untuk menangani kasus-kasus kejahatan yang terjadi di
negaranya. Setiap kasus kejahatan tentunya berbeda-beda hukumannya. oleh sebab itu, untuk mengetahuinya kita perlu mempelajari setiap hukuman
yang masih berlaku serta tujuan diadakannya sebuah hukuman itu.
Dalam
lingkup hukuman tak lepas pula tentang setiap terapi yang digunakannya, terapi
itu meliputi berbagai jenis dan bertujuan untuk menyembuhkan pelaku hukuman.
Maka dari
itu, disini kita akan membahas mengenai
tujuan hukuman serta terapi sosial secara lebih mendalam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari hukuman?
2. Apa saja macam-macam hukuman?
3. Apa saja syarat-syarat hukuman?
4. Bagaimana tujuan hukuman dalam hukum islam?
5. Bagaimana tujuan hukuman dalam hukum positif?
6. Bagaimana kolerasi antara hukuman dengan terapi sosial?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari
hukuman.
2. Mengetahui apa saja macam-macam hukuman.
3. Mengetahui apa saja syarat-syarat hukuman.
4. Mengetahui tujuan hukuman dalam hukum islam.
5. Mengetahui tujuan hukuman dalam hukum positif.
6. Mengetahui kolerasi antara hukuman dengan terapi sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukuman
Hukuman dalam
bahasa Arab ’uqubah. Lafadz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata ((عقب bersinonim (خلفه وجاء بعقبه)
yang
artinya mengiringi dan datang dibelakangnya. Dari pengertian tersbut
dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia mengiringi perbutan dan
dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan.
Dalam bahasa Indonesia, hukuman diartikan sebagai
“siksa dan sebagainya", atau "keputusan yang dijatuhkan oleh hakim”.
Hukum
Islam dapat dipahami sebagai sebuah hukum yang beersumber dari ajaran syari’at
Islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Secara sederhana hukum dapat dipahami
sebagai seperangkat aturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia
dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang
tumbuh dan berkembang dimasyarakat maupun sebuah ketentuan yang ditetapkan oleh
penguasa.[1]
Menurut Sudarto seperti yang dikutip oleh Mustafa
Abdullah dan Ruben Ahmad, pengertian pidana adalah penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu. Sedangkan menurut Roeslan Saleh yang juga di kutip oleh Mustafa
Abdullah, pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang
dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
Wirjono Prodjodikoro rnengemukakan bahwa pidana
berarti yang dipidanakan, yaitu yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal
yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas
dapat diambil intisari bahwa hukuman atau pidana adalah suatu penderitaan atau
nestapa, atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan yang diberikan dengan
sengaja oleh badan yang berwenang kepada seseorang yang cakap menurut hukum
yang telah melakukan perbuatan atau peristiwa.[2]
B. Macam-macam Hukuman
1. Berdasarkan pertalian hukuman yang satu dengan yang lain ada 4 jenis hukuman yaitu :
a) Hukuman Pokok
Hukuman utama yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan. Dalam hal ini hakim hanya memberikan hukuman kepada si pelaku kejahatan hanya sesuai dengan nashnya. Seperti Hukuman mati bagi orang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja.
b) Hukuman Pengganti
Hukuman yang diterapkan sebagai pengganti karena hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan kkarena suatu hal. Seperti hukuman diyat dijatuhkan kepada pelaku pembunuhan sengaja, yang dimaafkan oleh keluarga korban.
c) Hukuman Tambahan
Suatu hukuman yang menyertai hukuman pokok tanpa adanya keputusan hakim. Seperti seorang yang membunuh pewaris, dia tidak akan mendapat warisan dari harta si terbunuh (hukuman tambahan)
d) Hukuman Pelengkap
Suatu tambahan hukuman pokok melalui keputusan hakim sendiri. Seperti pemecatan terhadap pegawai PNS yang telah melakukan kejahatan.
2.
Berdasarkan kewenangan hakim dalam
memutuskan perkara ada 2 jenis hukuman yaitu :
a)
Hukuman yang bersifat
terbatas berdasarkan hukuman yang telah
ditetukan besar kecilnya. Dalam hal ini hakim tidaak bisa menentukan
(menambah/mengurangi) hukuman tersebut atau menggantinya dengan hukuman lain.
Seperti hukum dera bagi pezina 100 kali.
b) Hukuman
yang memiliki alternatif untuk dipilih antara batas tertinggi dan batas terendah. Dalam hal ini hakim dapat
memilih jenis hukuman yang dianggap mencerminkan keadilan bagi terdakwa. Namun
hukuman-hukuman ini masih dalam kelompok ta’zir.
3.
Berdasarkan dari segi besarnya hukuman ada 2 jenis yaitu:
a.
Hukuman yang telah ditentukan macam dan
besarnya. Dimana hakim harus
melaksanakannya tanpa ditambah atau dikurangi sedikitpun dalam hukuman
tersebut.
b.
Hukuman yang diserahkan kepada hakim
untuk dipilihnya dari sekumpulan
hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syara’ agar bisa disesuaikan dengan
keadaan pembuat dan perbuatannya.
4.
Berdasarkan dari segi
dilakukannya hukuman ada 3 jenis hukuman
diantaranya adalah :
a.
Hukuman badan,
yaitu yang dijatuhkan atas badan seperti hukuman mati, dera, penjara, dsb.
b.
Hukuman jiwa,
yaitu yang dikenakan atas jiwa seseorang bukan badannya, seperti ancaman,
peringatan, dan teguran.
c.
Hukuman-harta,
yaitu yag dikenakan terhadap harta seseorang seperti diyat, denda, dan
perampasan harta.
5.
Berdasarkan dari segi macamnya jarimah yang
diancam ada 4 jenis hukuman
yaitu:
a.
Hukuman hudud, yaitu hukuman yang
ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud.
b.
Hukuman diyat-qisas, yaitu yang
ditetapkan atas jarimah-jarimah diyat-qisas.
c.
Hukuman kafarat, yaitu yang ditetapkan
untuk sebagai jarimah qisas dan diyat dan beberapa jarimah ta’zir.
d.
Hukuman ta’zir, yaitu yang ditetapkan
untuk jarimah-jarimah ta’zir.[3]
C. Syarat-syarat Hukuman
Agar hukuman itu diakui keberadaannya maka harus dipenuhi tiga
syarat. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Hukuman
Harus ada Dasarnya dari Syara’
Hukum dianggap mempunyai dasar (Syar'iyah) apabila ia didasarkan
kepada sumber-sumber syara’. seperti Alquran, As-Sunnah. Ijma’ atau
undang-undang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri) seperti dalam
hukuman ta’zir. Dalam hal hukuman ditetapkan oleh Ulil amri maka disyaratkan tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syara’. Apabila bertentangan tentu
hukuman tersebut menjadi batal. Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak boleh
menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia berkeyakinan
bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama daripada hukuman yang telah
ditetapkan.
2.
Hukuman
Harus Bersifat Pribadi (Perorangan)
Hukum disyariatkan harus bersifat pribadi atau perorangan. Ini
mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan
tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini
telah dibicarakan berkaitan dengan masalah pertanggung jawaban.
3.
Hukuman
Harus Berlaku Umum
Selain dua syarat yang disebutkan diatas, hukuman juga disyaratkan
harus berlaku umum. Ini berarti hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa
adanya diskriminasi, apa pun pangkat, jabatan, status dan kedudukannya. Didepan
hukum semua orang statusnya sama, tidak ada perbedaan antara yang kaya dan
miskin, antara pejabat dengan rakyat biasa, antara bangsawan dengan rakyat
jelata.[4]
D. Tujuan Hukuman Dalam Hukum Islam[5]
1.
Pencegahan serta Pembalasan
(ar-radhu waz zahru)
Pencegahan berarti suatu hukuman yang dijatuhkan kepada
seseorang. Dan dalam hal ini si pemberi hukuman bertujuan untuk memberi suatu
pandangan kepada orang lain bahwasannya apabila
orang lain melakukan kejahatan yang sama dengan apa yang dilakukan oleh
pelaku kejahatan tersebut maka dia akan merasa ridak ingin melakukan kejahatan
yang sama, karena dia tidak ingin mendapatkan hukuman yang sama, Ini merupakan
pencegahan kolektif. Sedangkan untuk
pencegahan khusus yaitu tercegahya seorang pelaku kejahatan
untuk tidak melakukan kejahatan lagi melalui penderitaan akibat dipidana atau
timbul dari kesadaran pribadi selama menjalani hukuman.[6]
Sedangkan Pembalasan merupakan hukuman yang dijatuhkan oleh seseorang agar
pelaku kejahatan merasakan akibatnya apabila dia melakukan kejahatan.
Yang berarti bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum harus
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas.
2.
Perbaikan serta Pengajaran (al-ishlah wat tahdzib)
Perbaikan berarti memberikan hukuman dengan tujuan
memperbaiki pelaku kejahatan, baik dalam
bentuk nilai moral maupun yang lainnya. Dan dengan ini pelaku kejahatan tidak
akan mengulangi perbuatan yang sama yang melanggar hukum. Dan hukuman ini
diterapkan sebagai suatu usaha untuk mengubah sikap dan perilaku dari pelaku.
Pengajaran berarti Hukuman yang diberikan kepada pelaku pada dasarnya juga
sebagai uaya mendidikya agar menjadi orang yang baik dan menjadi anggota
masyarakat yang baik pula. Dimana realisasi dalam pengajaran disini adalah
dengan cara mengajarkan bahwa perbuatan
yang dilakukannya itu telah mengganggu hak orang lain, baik itu material maupun
non material dan merupakan suatu pemerkosaan terhadap hak orang lain.
E. Tujuan Hukuman Dalam Hukum Positif
Sebelum timbulnya teori terbaru tentang tujuan
hukuman, hukum positif telah mengalami
beberapa fase, fase-fase tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Fase Balasan Perseorangan
Pada fase ini, hukuman berda di tangan perseorangan yang
bertindak atas
dasar perassaan hendak menjaga diri mereka dari penyerangan dan dasar naluri hendak membalas orang yang menyerangnya.
dasar perassaan hendak menjaga diri mereka dari penyerangan dan dasar naluri hendak membalas orang yang menyerangnya.
2.
Fase Balasan Tuhan dan Balasan Umum
Adapun yang
dimaksud dengan balasan Tuhan adalah bahwa orang yang
berbuat harus menebus kesalahannya, sedangkan balasan umum adalah agar orang yang berbuat merasa jera dan orang lain pun tidak berani meniru perbuatannya. Hukuman yang didasarkan atas balasan ini tidak lepas dari unsur-unsur negatif seperti berlebihan dan melampaui batas dalam memberikan hukuman.
berbuat harus menebus kesalahannya, sedangkan balasan umum adalah agar orang yang berbuat merasa jera dan orang lain pun tidak berani meniru perbuatannya. Hukuman yang didasarkan atas balasan ini tidak lepas dari unsur-unsur negatif seperti berlebihan dan melampaui batas dalam memberikan hukuman.
3.
Fase Kemanusiaan
Pada fase kamanusiaan prinsip-prinsip keadilan dan kasih
sayang dalam
mendidik dan memperbaiki diri orang yang berbuat telah mulai dipakai. Bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pelaku merupakan tujuan utama. Pada fase tersebut muncul teori dari sarjana Italia Becaria yang mengatakan bahwa suatu hukuman harus dibatasi dengan batas-batas keadilan dan kepentingan sosial.
mendidik dan memperbaiki diri orang yang berbuat telah mulai dipakai. Bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pelaku merupakan tujuan utama. Pada fase tersebut muncul teori dari sarjana Italia Becaria yang mengatakan bahwa suatu hukuman harus dibatasi dengan batas-batas keadilan dan kepentingan sosial.
4.
Fase Keilmuan
Pada fase ini munculah aliran Italia yang didasarkan kepada
tiga pikiran yaitu sebagai
berikut:
a)
Hukuman mempunyai tujuan
dan tugas ilmiah yang melindungi
masyarakat dari perbuatan-perbuatan jarimah dengan cara pencegahan.
masyarakat dari perbuatan-perbuatan jarimah dengan cara pencegahan.
b)
macam, masa, dan bentuk
hukuman bukanlah aturan-aturan abstrak yang mengharuskan
diperlakukannya perbuatan-perbuatan hukuman dalam tingkatan dan keadaan yang sama. Bessarnya hukuman juga harus memperhatikan berbagai faktor seperti
keadaan pelaku. Faktor-faktor yang mendorongnya
dan keadaannya dimana hukuman itu terjadi.
c)
Kegiatan seseorang dalam memerangi hukuman, selain
ditunjukan
kepada para pelakunya juga harus ditunjukan untuk menanggulangi sebabsebab dan faktor-faktor yang menimbulkan hukuman tersebut.[7]
kepada para pelakunya juga harus ditunjukan untuk menanggulangi sebabsebab dan faktor-faktor yang menimbulkan hukuman tersebut.[7]
F. Kolerasi Hukuman Dan Terapi Sosial
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, maka perlu
terbentuknnya hukum sebagai sosial control dan terapi sosial masyarakat, yaitu
sehingga tercapainya keserasian antara stabilitas, dengan perubahan masyarakat.
Salah satu adannya hukum adalah menjadikan remidial (terapi sosial) yang
artinnya dapat mengembalikan situasi pada keadaan semula. Dengan cara masing-
masing pihak yang bersengketa mencari upaya untuk menyelesaikan secara
kompromistis.[8]
Karena
dengan diadakannya hukuman serta terapi sosial ini akan menjadikan sipelaku
jera untuk
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian
hukuman adalah suatu bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya
melanggar ketentuan hukum syara’ atau pembalasan perbuatan jahat, pencegahan
secara umum, dan pencegahan secara khusus serta perlindungan terhadap hak-hak
si korban kejahatan.
Hukuman memiliki beberapa macam serta syarat yang bertujuan untuk membuat sipelaku kejahatan
menyadari kesalahannya. Karena hal tersebutlah munculah sebuah terapi yang bisa
mengembalikan jiwa sosialnya seperti semula, atau sering disebut dengan terapi
sosial. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kembali jiwa kemanusiaannya yang
hilang karena sering melakukan tindakan kejahatan.
Maka dari
itu hubungan antara tujuan hukuman dengan terapi sosial ini sangat penting dan
tidak bisa dipisahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqh
Jinayah).
Hanafi,
Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam.
Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Imron,
Ali. Membumikan Asas Hukum Islam di
Indonesia. Semarang:
Pustaka Pelajar, 2015.
Munajat, Makhrus. Hukum Pidana Islan Di Indonesia. Yogyakarta: Teras,2009.
Muslich,
Ahmad Wardi. Pengantar
dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Soekanto, Soerdjono. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2002.
[1]Ali Imron, Membumikan Asas Hukum Islam
di Indonesia,(Semarang: Pustaka Pelajar,2015),29.
[2]
Ahmad
Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 140-141.
[3]
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum
Pidana Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 285-287.
[7]
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum
Pidana Islam, 281-284.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga Manfaat