Senin, 06 November 2017

Makalah Peradilan Agama Tahun 1998 - Sekarang



PA antara Tahun 1998 - sekarang
Mata kuliah PA di Indonesia

KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum warohmatullahiwabarokatuh.
Puji syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah Politik Hukum Islam’ dengan judul PA antara Tahun 1998 - sekarang”.
            Tidak lupa shalawat dan salam senantiasa kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, semoga kelak mendapatkan syafaatnya di akhirat. Amiin.
           Kami, sebagai tim penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam pembuatan tugas ini, diantaranya:
1.      Dr. Ulin Na’mah M.HI., sebagai dosen pembimbing yang telah membantu dan mengarahkan dalam penyusunan makalah.
2.      Pihak-pihak terkait yang turut membantu dalam penyelesaian tugas ini.
Sebagai tim penyusun, kami berharap semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan memacu kreativitas, serta keterampilan para mahasiswa dalam menyusun makalah yang berkualitas. Sehingga dapat mewariskan sebuah ilmu yang berguna bagi generasi mendatang dan semoga pihak-pihak yang telah disebutkan di atas dapat menerima manfaat dari penyusunan makalah ini.
Wassalamu’alaikum warohmatullohiwabarokatuh.
 
 

BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Peradilan agama adalah kekuatan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqah diantara orang-orang Islam untuk menegakkan hukum dan keadailan. Penyelenggaraan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama pada Tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada Tingkat Banding. Sedangkan pada tingkat kasasi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, sebagai pengadilan negara tertinggi.
Tahapan akhir dari babak sejarah bangsa Indonesia, yang sedang berjalan saat ini adalah era Reformasi, tepatnya ketika tahun 1998 terjadi reformasi, yakni beralihnya Orde Baru ke Era Reformasi. Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang diakui eksistensinya dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, merupakan lembaga peradilan khusus yang ditunjukkan kepada umat Islam dengan lingkup kewenangan yang khusus pula, baik perkaranya ataupun para pencari keadilannya.

B.     Rumusan Masalah

A.    Bagaimana Peradilan Agama pada masa Reformasi?
B.     Bagaimana Perkembangan peradilan pada masa reformasi sampai sekarang?
C.     Bagaimana Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung pada masa reformasi sampai sekarang

C.    Tujuan Penulisan

A.    Untuk mendeskripsikan mengenai Peradilan Agama pada masa era Reformasi.
B.     Untuk mengetahui Perkembangan peradilan pada masa reformasi sampai sekarang.
C.     Untuk mengetahui Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung pada masa reformasi sampai sekarang.

BAB II

PEMBAHASAN


A.    Peradilan Agama pada masa Reformasi.

1.    Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan Satu Atap

Reformasi di Indonesia muncul akibat terjadinya krisis multidimensi yang menimpa sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara. Tidak segera diselesaikannya krisis tersebut, muncullah gerakan reformasi tahun 1998. Meskipun awalnya reformasi terfokus pada tatanan politik, akan tetapi tidak bisa dipisahkan dengan aspek hukum. Pergeseran kekuasan  dari rezim orde baru ke pemerintahan orde reformasi,  serta membawa berbagai perubahan dalam ranah sosial, politik, dan hukum.  Perubahan mendasar pada bidang hukum yaitu dilakukannya amandemen  atas UUD 1945. Salah satu passal yang mengalami perubahan adalah pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : “ Penyelenggaraan kekuasaan  kehakiman dilakukan oleh  Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan  Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh Mahkamah Konstitusi”. Kemudian ketentuan konstitusi ditindaklanjuti  dengan  lahirnya UU no. 35 tahun 1999 tentang sistem peradilan satu atap selanjutnya UU no. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang mana hasil perubahan atas UU no.14 Tahun 1970 tentang pokok–pokok kekuasaan kehakiman dan UU no. 48 Tahun 2009 telah diamandemen atas UU no. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.[1]
Sesuai dengan tuntutan  reformasi dalam ranah hukum, sekaligus wujud nyata pengawalan  terhadap perubahan mendasar  dalam sistem peradilan yaitu  dari sistem peradilan mendua menjadi peradilan satu atap. Berdasarkan ketentuan  Pasal 21 ayat (1) UU no. 48  Tahun 2009, maka kewenangan dalam bidang organisasi, administrasi dan finansial lembaga peradilan agama berpindah  dari lembaga eksekutif, yaitu direktorat pembina Peradilan Agama Departemen Agama kepada lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Agung. Adapun yang dimaksud dengan pemindahan kewenangan  dalam bidang organisasi meliputi: kedudukan, tugas, fungsi kewenangan  dan struktur organisasi.
Pembinaan peradilan dalam  sistem satu atap oleh Mahkamah Agung itu merupakan upaya  untuk mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman dan menciptakan putusan pengadilan  yang tidak memihak (impartial). Dengan lahirnya perundang-undangan maka, terdapat berbagai akibat hukum yang bersinggung langsung dengan posisi Peradilan Agama. Pertama,  secara organisatoris, administratif dan finansial, badan peradilan agama berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Hal ini mengandung bahwa peradilan Agama sejak proklamasi kemerdekaan RI berada dibawah kekuasaan Departemen Agama,  bergeser dan beralih ke dalam wilayah kekuasaan Mahkamah Agung. Kedua, sejak dikeluarkannya reformasi sistem hhukum dan peradilan,  termasuk yang bersinggungan dengan pengalihan organisasi, administrasi dan finansial badan Peradilan Agama menjadi satu atap di bawah lingkungan Mahkamah Agung.
Berkenaan dengan  kebijakan sistem peradilan satu atap itu, maka dilakukan langkah adaptasi lainnya, terutama yang berkaitan dengan badan peradilan agama. Maka dilakukannya amandemen sebanyak dua kali terhadap UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama telah meletakan dasar kebijakan bahwa  segala  urusan mengenai  peradilan agama, pengawasan tertinggi, baik menyangkut teknis yudisial maupun nonyudisial. Yaitu urusan organisasi, administrasi dan finansial berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,  serta perilaku hakim, pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Dimana perubahan  untuk memperkuat prinsip dasar  dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip kebebasan  hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas dan akuntabilitas hakim.
Secara umum perubahan kedua UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006  tentang PeradilanAgama pada dasarnya untuk mewujudkan  penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan  sistem peradilan yang terpadu.[2]

2.    Asas Peradilan Agama
Dengan mencermati kandungan pasal-pasal yang terdapat dalam   UU No.7 tahun 1989 pasca amandemen, baik melalui UU No.3 Tahun 2006 maupun UU No. 50 Tahun 2009 (amandemen ke 2) dapat di temukan beberapa asas yang belaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, yakni:
a.  Personalitas keislaman
Orang-orang yang bisa berperkara di lingkungan peradilan agama hanyalah orang-orang yang beragama Islam saja. Pernyataan tersebut dijelaskan dan dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 50 Tahun 2009 (amandemen ke-2 atas UU No. 7 Tahun 1989) yang berbunyi: peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
b.  Pengadilan Tingkat Pertama dan Ke Dua
Penyelesaian perkara di lingkungan peradilan agama dilakukan oleh pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan oleh pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No.3 Tahun 2006 yang berbunyi kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama. Ketentuan Pasal 3 itu dipertegaslagi dalam Pasal 6 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 yang berbunyi pengadilan terdiri dari pengadilan agama, yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi agama yang merupakan pengadilan tingkat banding.
c.  Wilayah Hukum Peradilan Agama
Daerah hukum peradilan agama sebagai pengadilan yang bertugas menyelesaikan perkara tingkat pertama adalah daerah hukum ibu kota kabupaten atau pemerintah kota. Hal tersebut secara eksplisit tertuang dalam Pasal 4 ayat 1 UU No.3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 yang berbunyi pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten / kota. Sedangkan daerah hukum pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan yang bertugas menyelesaikan perkara banding adalah daerah hukum ibu kota provinsi dan daerah hukum yang meliputi wilayah provinsi. Hal ini secara jelas terdapat dalam Pasal 4 ayat 2 UU No 3 Tahun 2006 jo UU No 50 Tahun 2009 yang berbunyi pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hkumnya meliputi wilayah provinsi.
d. Kewenangan Mengadili Perkara Tertentu
Kewenangan mengadili perkara dalam lingkungan peradilan agama terbatas pada perkara-perkara tertentu. Kewenangan mengadili perkara hanya bersifat khusus, yaitu meliputi hukum tertentu sebagaimana di rumuskan dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 jo. Kemudian UU No. 50 Tahun 2009 itu merupakan perubahan di bidang yurisdiksi yang di berikan kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Pada awalnya kewenangan itu terbatas pada bidang domestik (ahwal syakhsiyah) kemudian bergeser ke ranah yang lebih luas, bidang domestik dan publik (muamalah), yakni di bidang zakat, infaq, dan ekonomi syari’ah.
Perubahan itu berkonsekuensi terhadap perluasan subjek hukum, tidak hanya orang tetapi juga mencakup badan hukum. Di samping itu, peradilan agama juga di identifikasi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara tertentu. Perkara tertentu dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 jo. Kemudian adanya UU No. 50 Tahun 2009 itu merupakan hasil perubahan dari “perkara perdata” sebagaimana di atur dalam UU No. 7 Tahun 1989. Hal itu memberi peluang kepada pengadilan untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana (jinayah).[3]
~          Adapun beberapa kewenangan absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yakni:
Bidang perkawinan, Bidang Waris, Bidang Wasiat, Bidang Hibah, Badan Wakaf, Bidang Zakat, Bidang Infaq, Bidang Ekonomi syari’ah.
e.   Kewenangan Mengadili Sengketa  Hak Milik
Kewenangan peradilan agama dalam menerima, memeriksa, dan menyelesaikan  perkara diatur dalam pasal 50 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 2006 jo, UU No. 50Tahun 2009 dalam memeriksa perkara tersebut dirumuskan dalam pasal 50 terdapat  kewenangan yang menuntut adanya penundaan pemeriksaan dan yang menuntut adanya pemeriksaan dan perkara atau lebih  secara sekaligus
·                     Penundaan Memeriksa dan Mengadili
Secara eksplisit  dirumuskan dalam pasal 50 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006 jo, UU No. 50 Tahun 2009, yang berbunyi dalam hal terjadi sengketa hak milik atau  sengketa dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 jo, UU No. 50 Tahun 2009, khusus mengenai objek sengketa tersebut  harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan  peradilan umum
·                     Kewenangan Mengadili Sengketa Hak Milik
Didalam pasal 50 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2006 jo,  UU No. 50 Tahun 2009 dijelaskan bahwa apabila terjadi sengketa  hak milik sebagai mana  dimakasud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama islam, objek sengketa tersebut  diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 jo, UU No. 50 Tahun 2009 perkara yang dimaksud meliputi : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat infak, sodaqoh, dan ekonomi syari’ah. Dalam penjelasan atas UU No. 3 Tahun 2006 dikatakan bahwa ketentuan pasal 50  ayat (2) memberikan kewenangan kepada pengadilan agama untuk sekaligus memutuskan  sengketa milik  atau keperdataan lain  yang terkait dengan objek sengketa yang diatur  dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 jo, dan UU No. 50 Tahun 2009 apabila subjek sengketa itu terjadi  diantara orang orang yang beragama islam. Hal seperti ini  menghindari adanya upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan  lainnya.
f.     Mengadili Menurut Hukum dan Persamaan Hak
Keharusan mengadili menurut hukum  dan persamaan hak dirumuskan dalam pasal 58 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo,  UU No. 3 Tahun 2006 jo, UU No. 50 Tahun 2009 dan pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi “pengadilan mengadili  menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Pertama,  rumusan mengadili  menurut hukum sebagaimana tercantum  dalam pasal – pasal tersebut  memberi pemahaman bahwa peradilan  dalam melakukan pemeriksaan  perkara harus  berpedoman dan berlandaskan pada aturan hukum yang berlaku yaitu peraturan perundang – undangan yang sah  dan dibuat oleh lembaga yang kompoten.
Kedua,  rumusan mengadili “dengan tidak membeda – bedakan orang “ mengandung pengertian bahwa  setiap orang yang mengajukan perkara  kepengadilan dalam lingkungan peradilan agama mempunyai hak dan kedudukan  yang sama untuk memperoleh kebenaran dan keadilan.[4]

B.     Perkembangan peradilan pada masa reformasi sampai sekarang

Beberapa aspek yang mengalami perubahan setelah peradilan agama disatuatapkan pada era reformasi adalah menyangkut; status dan kedudukan, struktur organisasi, tugas dan fungsi, sumber daya manusia, finansial dan sarana dan prasarana,
3.        Struktur Organisasi, Tugas, dan Fungsi
Tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2005 tersebut, kemudian diimplementasikan dengan surat Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomer: MA/SEK/07/SK/III/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Mahkamah Agung RI.
Dalam keputusan tersebut, ditentukan bahwa Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama terdiri atas:
Sekretariat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.
Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama.
Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan Agama.
Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Agama.

4.        Sumber Daya Manusia
Tonggak awal berdirinya fondasi organisasi Peradilan Agama baru dimulai tahun 2006. Yakni ketika status Badan Peradilan Agama yang awalnya hanya direktorat kemudian meningkat menjadi Direktorat Jenderal setelah berada di Mahkamah Agung. Pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama terdapat pengembangan jabatan, baik jumlah maupun tingkat eselonnya. Peningkatan ini disamping sebagai penopang pelaksanaan tugaas pokok dan fungsi organisasi, pada saat bersamaan juga membuka peluang bagi pengembangan karir pegawai.

5.        Keadaan Finansial dan Sarana Prasarana
Di era reformasi, anggaran untuk badan peradilan dilingkungan Mahkamah Agung mengalami peningkatan seiring dengan upaya peningkatan pelayanan publik dibidang hukum dan peradilan. Begitu juga anggaran untuk lingkungan peradilan agama yang dipusatkan pada Dirjen Badilag mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan sebelum satu atap, terutama sejak tahun 2005, 2006 dan 2007. Meskipun penganggaran tersebut dipusatkan di Dirjen Badilag, namun mulai dari perencanaan progam dan penentuan jumlah/alokasi anggaran sampai pada pengelolaannya diserahkan langsung kepada masing-masing Pengadilan Agama dan pengadilan tinggi agama, selain juga ada anggaran yang direncankan dan dikelola pada sekertariat Dirjen Badilang dan pada masing-masing direktorat.[5]

C.    Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung pada masa reformasi sampai sekarang

1.        Syarat – syarat menjadi seorang hakim
Syarat -  syarat menjadi seorang hakim pada pengadilan agama, diatur dalam pasal 13 ayat (1) UU No. 50 Tahun 2009 yaitu:
Warga negara Indonesia, Beragama islam, Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Setia kepada pancasila dan Undang – Undang Dasar  Negara Republik Indonesia tahun 1945, Sarjana syari’ah, sarjana hukum islam atau sarjana hukum yang menguasai hukum islam, Lulus pendidikan Hakim, Mampu secara rohani dan jasmani, Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela, Berusia palng rendah 25 tahun tidak pernag dijatuhi pidana
2.        Pengangkatan Hakim Agung
Terdapat perbedaan antara pengangkatan hakim agung sebelum reformasi dan setelah reformasi dengan amandemen UUD 1945. Pada masa orde lama proses pengangkatan Hakim Agung melibatkan ketiga lembaga  tinggi negara yaitu eksekutif (presiden  dan menteri kehakiman, yudikatif, (MA) dan legislatif ( (DPR). Aturan ini khususditetapkan bagi pemilihan  hakim  hanya melibatkan pihak yudikatif  dan eksekutif. Dalam pasal 4-11 ayat 2 ditetapkan bahwa ketua, wakil, ketua dan hakim Mahkamah Agung dipilih oleh presiden atas anjuran DPR dari sekurang – kurangnya dua calon yang dipilih tiap-tiap pengangkatan.
a.         Pengangkatah Hakim Agung Pada Masa Orde lama
Pada masa orde lama pengankatan hakim meski melibatkan lembaga lainnya seeperti  DPR namun  keputusan ahir tetap ditangan eksekutif (presiden). Salah satu penyimpangan  dan polotisasi  dalam pemilihan Hakim Agung sekaligus memperlihatkan bahwasannya eksekutif (presiden) saat itu adalah badan penentu akhir dengan diangkat dan ditetapkannya ketua Mahkamah Agung. Sebagai penasihat hukum dengan pangkat menteri berdasarkan per. Pers 4/1962 UU 30masa orde lama secara biroklasi  Mahkamah Agung telah kehilangan kebebasannya dan kemandiriannyadan sangat dimungkinkan pengaruh dari eksekutif.
b.        Pengangkatan Hakim Agung Pada Masa Orde Baru
Hakim pengadilan Agama  selaku pejabat negara  yang melaksanakan sebagian tugas – tugas kekuasaan kehakiman ditingkat pertama, diangkat oleh presiden atas usul ketua mahkamah Agung (Pasal 15 ayat (1) UU No. 50  Tahun 2009) dengan dilakukan melalui proses  selekse yang transparan, akuntabel,  dan partisipatif. (Pasal 3A ayat (1)  UU.No 50 Tahun  2009) yang secara bersama sama dilakukan oleh mahkamah Agung. Pengangkatan hakim pada masa ini lebih terlihat simpel. Pasal 15 ayat (1) UU no. 7 Tahun 1989 pengankatan hakim harus dua kali tahapan, yaitu tahapan usulan dari Menteri Agama  dan tahapan persetujuan  oleh ketua mahkamah Agung. Proses pengangkatan  hakim melalui sistem peradilan   satu atap ini lebih efektif dan efesien serta akan relatif lebih cepa tkarena hanya kepada presiden oleh Ketua melalui satu tahapan  usulan langsung dan dari segi kualitas juga akan lebih unggul, karena prosesnya lebih selektif  dan transpalan, dengan melibatkatkan  dua lembaga tinngi negara yang kompoten.
Dalam menjalankan tugas dan pokoknya seorang hakim memiliki sesuatu hal yang dilarang oleh lembaga yaitu seorang hakim tidak boleh merangkap jabatan-jabatan penting yang dapat menggagu konsentrasi sebagai pejabat negara yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini diatur dalam pasal 17 ayat (1) dan (2) UU nomor 3 Tahun 2006. Ayat (1) berbunyi “kecuali ditentukan lain atau berdasarkan undang-undang hakim tidak boleh merangkap menjadi: pelaksanaan putusan pengadilan, wali, pengampu, pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya, pengusaha, dll. Selanjutnya ayat (2) berbunyi “berbunyi “hakim tidak boleh merangkap menjadi advokat”

3.        Pemberhentian Hakim Pengadilan
Terdapat  3 macam  pemberhentuian hakim :
a.       Pemberhentian Dengan Hormat
Pasal 18 ayat (1) UU No. 50 Tahun 2009, pemberhentian ketua, wakil ketua dan hakim pengadilan  dengan hormat dari jabatannya  dikarenakan beberapa hal :
Permintaan sendiri secara tertulis, Sakit rohani  atau jasmani secara terus menerus, Telah berumur 65 tahun, Merasa tidak cakap lagi dalam menjalankan tugasnya
b.      Pemberhentian dengan tidak hormat
Pemberhentian dengan tidak hormat ini dikarenakaln beberapa hal  yang mana ketentuannya diatur dalam pasal 19 ayat (1) huruf a,b,c,d,e dan f UU No. 50  tahun 2009 yaitu:
Ø  Dipidana  penjara karena telah melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan  yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Ø  Melakukan perbuatan tercela[6]
Ø  Melalaikan pekerjaan dan tanggung jawabnya secara berturut-turut selama 3 tahun
Ø  Melanggar sumpah atau janji jabatan.
Pemberhentian hakim pengadilan dengan hormat dari jabatannya sebagai mana diatur dlam pasal 18 ayat (1) UU No. 50 Tahun 2009 dan pemberhentian hakim pengadilan dengan tidak hormat dari jabatannya sebagamana diatur dalam pasal 19 ayat (1) UU No. 50 Tahun 2009. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam hal  pemberhentian jabatan hakim tersebut.
Pertama,  dengan pendekatan bahwa hakimbukan jabatan dalam eksekutif. Peraturan perundang undangan  bidang kepegawain menyebutkan bahwa hakim bukan jabatan dalam eksekutif. Dengan begitu seorang hakim yang dierhentikan dari jabatannya sebagai hakim  tidak serta merta diberhentikan sebagai pegawai negeri. Kedua, dengan pendekatan status kepegawaian hakim dianggap melekat pada jabatannya sebagai hakim. Pendekatan ini didasarkan kepada sistem rekrutmen hakim yang salah satu persyaratannya  menyatakan “ lulus pendidikan hakim”. Dlam pasal13 ayat (1) huruf f UU No. 50 Tahun 2009 disebutkan bahwa salah satu syarat untuk dapat diangkat  menjadi hakim adalah “lulus pendidikan hakim  hal ini menunjukan kepastian hukum bahwa status kepegawaian hakim selaku pegawai negri “satu paket” dengan kata lain status kepegawaian hakim melekat dengan jabatannya, sehingga statusnya sebagai pegawai negeri dengan sebagai pejabat tidak dapat dipisahkan.
4.    Mediasi di Pengadilan Agama
Mediasi merupakan salah satu upaya penyelesaian sengketa dimana para pihak yang berselisih atau bersengketa bersepakat untuk menghadirkan pihak ketiga, guna bertindak sebagai mediator (penengah). Mediasi juga dapat di artikan sebagai salah satu proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan digunakan juga oleh pengadilan sebagai proses penyelesaian sengketa. Bentuk penyelesaian sengketa dengan cara mediasengketa dengan cara mediasi yang sekarang di praktikkan ter-integrasi dengan proses peradilan. Landasan yuridisnya diawali pada Tahun 2002 dan terus mengalami perbaikan baik dalam proses maupun pelaksanaannya dengan (Perma) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 dan (Perma) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Di Indonesia, pranata sosial hukum Islam dalam menyelesaikan sengketa orang-oarang yang beragama Islam di luar pengadilan itu sudah dikenal sejak Islam berkembang (sekitar abad ke-13). Karena itu, sampai saat ini penyelesaian sengketa bagi komunitas Muslim dikenal melalui dua saluran, yakni: penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi) dan penyelesaian sengketa di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan antara lain melalui cara: negosiasi, mediasi, konsiliasi, persidangan mini, dan ombudsman.
Di sini mediasi di posisikan sebagai salah satu upaya menyelesaikan sengketa para pihak dengan menghadirkan pihak ketiga yang independen guna bertindak sebagai mediator. Kehadiran mediasi dan bersinergi dengan pengadilan itu memiliki legitimasi yang sangat kuat, karena secara spesipik didukung oleh UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006, UU No. 50 Tahun 2009, dan UU No. 48 Tahun 2009. Meskipun penyelesaian melalui mediasi itu tidak akan menuntaskan seluruh persoalan yang dihadapi pengadilan, tetapi paling tidak diharapkan dapat mengurangi persoalan krusial yang terjadi selama ini.
Secara teoritis, penyelesaian sengketa melalui mediasi di pengadilan agama membawa sejumlah keuntungan, diantaranya: perkara dapat diselesaiakan dengan cepat dan biaya ringan; mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan, sehingga penyelesaian perkara tidak berlarut-larut; meningkatkan peran dan keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara; memperlancar saluran keadilan pada masyarakat; memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak secara sukarela; lebih memungkinkan untuk terjadinya suatu kesepakatan, sehingga jalinan kekeluargaan di antara pihak-pihak dapat dipelihara; dan mengurangi terjadinya makelar kasus dalam pengadilan.[7]

BAB III

PENUTUP


Kesimpulan

Perkembangan peradilan  di Indonesia pada masa orde baru sangat berarti  ketika diundangkan dan diberlakukannya UU  No. 14 Tahun 1970 dan UU No.1 Tahun 1989 diundangkan dan diberlakukan sehingga memberikan tempat  kepada Peradilan Agama di Indonesia sebagai salah satu peradilan negara dalam melaksanakan  kekuasaan kehakiman. UU No. 1 Tahun 1974 emperbesar kekuasaan  peradilan khususnya dibidang perkawinan. Salah satu aspek yang terkait  dengan perkembangan peradilan islam di Indonesia  yaitu dirumuskannya  kompilasi  Hukum Islam ia merupakan bentuk penyelesaian  masalah keragaman hukum substansial dalam melaksanakan tugas dan wewenang  peradilan di bidang perkawinan, kewarisan,  dan perwakafan dikalangan orang-orang  yang beragama islam.
Rincian mengenai kewenangan absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yaitu mencakup kewarisan, perkawinan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak dan ekonomi syari’ah. Asas-asas Peradilan Agama sejak amandemen orang orang yang berperkara pada pengadilan yaitu orang-orang yang beragama Islam yang mana penyelesaian perkara tersebut  di pengadilan tingkat pertama dan kedua.  Wilayah yang berkuasa dalam menerima, memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara disesuaikan dengan kedudukan  daerah hukumnya masing-masing. Kewenagan mengadili dalam Peradilan Agama hanya perkara tertentu yaitu perkara yang biasa terjadi pada masyarakat islam. Dalam mengadili sengketa Hak milik kewenangan peradilan agama dalam menerima, memeriksa dan menyelesaikan perkara dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 2006 jo, UU No. 50 Tahun 2009. Dalam memeriksa perkara  terdapat kewenangan  yang menuntut adanya penundaan pemeriksaan dan penyelesaian dua perkara



          DAFTAR PUSTAKA




Cik Hasan Bisri. Peradilan agama diIndonesia. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. 2003.
Jaenal Aripin. Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta, Prenada media. 2013.
Jaenal Aripin. Peradilan Agama dalam bingkai reformasi hukum di Indonesia. Jakarta, kencana Prenada Media Group. 2008.
Oyo Sunaryo Mukhlas. Perkembangan peradilan islam. Jakarta, Ghalia Indonesia. 2011.


[1] Oyo Sunaryo Mukhlas. Perkembangan peradilan islam. (Jakarta, Ghalia Indonesia:2011), hal. 151.
[2] Ibid,. Hal. 152-154.
[3] Jaenal Aripin. Peradilan Agama dalam bingkai reformasi hukum di Indonesia. (Jakarta, kencana Prenada Media Group, 2008). hal. 315.

[4] Oyo Sunaryo Mukhlas,. hal. 156-160
[5] Jaenal Aripin. Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia. (Jakarta, Prenada media. 2013). hal. 196
[6] Cik Hasan Bisri. Peradilan agama diIndonesia. (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. 2003). hal.122.

[7] Oyo Sunaryo Mukhlas,. hal. 233.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat