Selasa, 07 November 2017

WASIAT, HIBAH DAN HADIAH



WASIAT, HIBAH DAN HADIAH
A.    Pengertian Wasiat
Wasiat menurut bahasa artinya menyambungkan, berasal dari kata washasy syai-a bikadzaa, artinya “ dia menyambungkan’’. Dikatakan demikian karena seorang yang berwasiat berarti menyambungkan kebaikan dunianya dengan kebaikan akhirat. Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang meninggal dunia[1]
Pendapat lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus dilaksanakan para penerima wasiat terhadap harta peninggalannya atau pesan lain diluar harta peninggalan.[2] Demi terjaminnya wasiat dikemudian hari, orang yang berwasiat hendaknya menjadikan sebagai saksi sekurang-kurangnya dua orang yang adil. Wasiat sah bila dilakukan oleh seorang mukallaf yang merdeka atas kehendak sendiri. Tidak sah wasiat dilakukan anak kecil , orang gila dan budak sekalipun statusnya makatab tanpa seizing dari tuannya, dan tidak sah pula dilakukan oleh orang yang dipaksa[3]
Agar wasiat yang disampaikan oleh pemberi wasiat mudah diamalkan.Orang yang diberi wasiat harus jelas namanya, ciri-cirinya bahkan temoat tinggalnya. Karena jika orang yang dimaksudkan  tidak jelas identitasnya, pelaksanaan wasiat akan menemukan kesulitan unutk melaksanakan wasiat yang bersangkutan.[4]
B.     Dasar Hukum Wasiat
بِالْمَعْرُوفِ الْمُتَّقِينَ عَلَى حَقًّا  وَالأَقْرَبِينَ لِلْوَالِدَيْنِ الْوَصِيَّةُ خَيْرًا تَرَكَ إِنْ الْمَوْتُ أَحَدَكُمُ حَضَرَ إِذَا عَلَيْكُمْ كُتِبَ
            Terjemahannya:
            Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
C.    Rukun Dan Syarat Wasiat
Adapun  rukun    wasiat terdiri atas:
1)      Orang yang mewasiatkan (mushi)
2)      Orang yang menerima wasiat (musha lah)
3)      Harta yang diwasiatkan (musha bih)
4)      Lafal ijab dan qabul (shighat)[5]
Sesuai dengan rukun wasiat tersebut, maka beberapa syarat harus dipenuhi dalam pelaksanaan wasiat, yaitu:
1)      Syarat-syarat orang yang berwasiat
a.    Orang yang berwasiat merupakan pemilik sempurna terhadap harta yang diwasiatkan
b.    Orang yang berwasiat haruslah orang yang cakap bertindak hukum (mumayiz), merdeka, berakal (tidak gila) dan adil
c.    Wasiat dilakukan secara sadar dan sukarela. Oleh sebab itu, orang yang dipaksa untuk berwasiat atau tidak sengaja dalam berwasiat,  wasiatnya tidak sah[6]
d.    berakal sehat, dan tidak ada paksaan dari pihak lain
2)      Syarat Penerima Wasiat
a.    Penerima wasiat adalah orang yang ditunjukkan secara khusus bahwa ia berhak menerima wasiat
b.    Penerima wasiat mesti jelas identitasnya, sehingga wasiat dapat diberikan kepadanya[7]

HIBAH
A.    Pengertian hibah
Secara bahasa hibah berasal dari Bahasa Arab yaitu “wahaba” yang berarti lewat satu tangan ketangan yang lain atau dengan arti kesadaran untuk melakukan kebaikan.[8] Setiap orang yang memiliki harta dan memberikannya kepada orang lain dengan ikhlas dapat disebut dengan hibah.[9] Jadi hibah merupakan tindakan memberikan sesuatu kepada orang lain selagi hidup sebagai hak miliknya dalam keadaan sadar dan sehat, tanpa mengharapkan balasan. Apabila mengharapkan balasan semata-mata dari Allah maka disebut sedekah, tp jika bertujuan untuk memuliakan maka dinamakan hadiah/hibah.  
B.     Rukun hibah
Adapun rukun hibah menurut jumhur ulama’ hampir sama dengan rukun jual beli, bedanya dalam jual beli subjeknya seorang penjual dan pembeli sedangkan dalam hibah subjeknya adalah pemberi dan penerima. Rukun hibah ada empat yaitu, pemberi, penerima, barang hibah dan akad, yang dijelaskan sebagai berikut:[10]
1.      Pemberi hibah, adalah pemilik sah barang yang akan dihibahkan, para ulama’ sepakat bahwa seorang diperbolehkan berhibah, apabila barang yang akan dihibah merupakan miliknya secara sah dan sempurna. Kemudian disyaratkan harus berakal, baligh, sehat jasmani rohani dan cakap dalam bertransaksi.
2.      Penerima hibah, adalah setiap orang baik perorangan maupun badan hukum yang layak menerima barang hibah. Hibah boleh diberikan kepada ahli waris maupun bukan ahli waris, muslim maupun non muslim, karena dalam Islam tidak ada batasan untuk saling memberi (hibah). Tapi  Seorang penerima hibah juga diharuskan seperti pemberi hibah, yaitu harus berakal, baligh, dan cakap bertransaksi. Jika penerima hibah belum cukup umur atau belum cakap bertindak ketika melaksanakan transaksi maka anak tersebut dapat diwakilkan oleh walinya.[11]
3.      Barang atau harta hibah, segala sesuatu yang sah milik seseorang baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Bahkan dalam hibah diperbolehkan menghibahkan manfaat, hasil suatu barang dan hutang. Adapun syarat-syarat dari barang hibah adalah: 1) barang hibah harus milik dari pihak pemberi secara sah dan sempurna. 2) barang yang dihibahkan harus sudah wujud (ada). 3) diwajibkan berupa barang yang boleh dimiliki oleh agama serta tidak membawa kemadharatan.
4.      Akad (Ijab Kabul), dalam hibah akad boleh dilakukan dengan cara lisan, tertulis atau isyarat asalkan semuanya mengandung arti beralihnya kepemilikan harta secara cuma-cuma.
C.    Hukum hibah
            Dalam Al-Qur’an, Hadits Nabi dan ijma’ sudah sangat jelas bahwa hukum dari hibah adalah sunah, karena Allah menganjurkan para hambanya untuk saling memberi seperti yang telah dijelaskan dalam fiman Allah surat Al-Baqarah ayat 177
وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ.............
Artinya: “memeberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orag yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya”
Dalam surat ini sudah jelas bahwa Allah telah menganjurkan untuk memberi atau hibah, jadi hukum dari hibah adalah sunah. Tetapi diharamkan bagi seorang pemberi menarik kembali barang atau harta hibah yang telah diberikan kepada orang lain, kecuali penarikan hibah dari seorang ayah kepada anaknya hal ini sesuai denga hadits nabi yaitu:
لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِىَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيهَا إِلاَّ الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِى وَلَدَهُ
Artinya: “tidak halal bagi seseorang memberikan suatu pemberian itu, kecuali seorang ayah terhadap apa yang diberikan kepada anaknya”
Hadits ini menunjukkan bahwa haram hukumnya menarik kembali pemberian, kecuali pembrian seorang ayah terhadap anaknya. Baginya diperbolehkan meminta kembali apa-apa yang pernah diberikan kepada anaknya.[12]
D.    Hikmah
Hibah memiliki beberapa hikmah, diantaranya adalah:
1)      Menghidupkan semangat kebersamaan dan tolong menolong.
2)      Menumbuhkan sikap demawan dan mengikis sifat bakhil.
3)      Menimbulkan sifat terpuji seperti saling menyayangi dan menghilangkan sifat tercela seperti rakus dan lainnya.
4)      Pemerataan pendapatan sehingga menciptakan stabilitas sosial yang baik.
5)      Tercapainya keadilan dan kemakmuran yang merata.
HADIAH
A.    Pengertian Hadiah
Hadiah berasal dari kata Hadi (هادى) Maknanya berkisar pada dua hal. Pertama, tampil ke depan memberi petunjuk. Dari sini lahir kata Hadi yang bermakna penunjuk jalan, karena dia tampil di depan. Kedua, menyampaikan dengan lemah lembut. Dari sini lahir kata hidayah ((ھدایة yang merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati.[13] Hadiah berasal dari bahasa Arab Hadiyah yang bermakna penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati, sedangkan menurut KBBI hadiah merupakan pemberian (kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan). Menurut istilah fiqh, hadiah merupakan pemindahan kepemilikan atas suatu harta bukan hanya manfaatnya, kalau yang diberikan adalah manfaatnya sementara zatnya tidak maka itu merupakan pinjaman. Penyerahan hadiah harus dilakukan semasa masih hidup karena jika sudah mati maka merupakan wasiat.
 Hadiah merupakan pemindahan pemilikan atas suatu harta dan bukan hanya manfaatnya. Kalau yang diberikan adalah manfaatnya sementara zatnya tidak maka itu merupakan pinjaman (i’ârah). Karenanya hadiah haruslah merupakan pemindahan/penyerahan pemilikan atas suatu harta kepada pihak lain. Penyerahan pemilikan itu harus dilakukan semasa masih hidup karena jika sesudah mati maka merupakan wasiat. Di samping itu penyerahan pemilikan yang merupakan hadiah itu harus tanpa kompensasi, karena jika dengan kompensasi maka bukan hadiah melainkan jual-beli (al-bay’).
B.     Dasar hukum
Dalil-dalil yang menjadi dasar disyariatkan hadiah dapat dilihat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi serta Ijma’ Ulama’, adapun dasar dari Al-Qur’an adalah surat An-Nisa’ ayat 4
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”(QS. an-Nisa’ [4]: 4)
Sedangkan dari As-sunah adalah sebagai berikut:
وعن ابي هريرةعن النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قال: تهادواتحابّوا
Artinya:Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. bersabda, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, agar kalian saling mencintai.”
Baik ayat maupun hadits di atas, menurut jumhur ulama menunjukkan (hukum) anjuran untuk saling membantu antar sesame manusia. Oleh sebab itu, Islam sangat menganjurkan seseorang yang mempunyai kelebihan harta untuk menghibahkannya kepada yang memerlukannya.[14]
C.    Syarat dan Rukun hadiah
Rukun dan syarat yang terkandung dalam hadiah dan harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
Pertama, adanya al-‘âqidân, yaitu pihak pemberi hadiah (almuhdî) dan pihak yang diberi hadiah (al-muhdâ ilayh). Al-Muhdî haruslahorang yang layak melakukan tasharruf, pemilik harta yang dihadiahkan dan tidak dipaksa. Al-Muhdâ ilayh disyaratkan harus benar-benar ada saat akad. Ia tidak harus orang yang layak melakukan tasharruf saat akad hadiah itu. Jika al-muhdâ ilayh masih kecil atau gila maka penerimaan hadiah diwakili oleh wali atau mushi-nya.
Kedua, adanya ijab dan qabul. Hanya saja, dalam hal ini tidak harus dalam bentuk redaksi (shighat) lafzhiyah. Hal itu karena pada masa Nabi saw., hadiah dikirimkan kepada Beliau dan Beliau menerimanya, juga Beliau mengirimkan hadiah tanpa redaksi lafzhiyah. Fakta seperti itu menjadi fakta umum pada masa itu dan setelahnya.
Ketiga, harta yang dihadiahkan (al-muhdâ). Al-Muhdâ (barang yang dihadiahkan) disyaratkan harus jelas (ma‘lûm), harus milik al28 muhdî (pemberi hadiah), halal diperjualbelikan dan berada di tangan almuhdî atau bisa ia serah terimakan saat akad. Menurut Imam Syafi’i dan banyak ulama Syafi’iyah, barang itu haruslah barang bergerak, yaitu harus bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal itu karena seperti itulah yang berlangsung pada masa Nabi saw, disamping tidak ada riwayat yang menjelaskan adanya hadiah berupa rumah, tanah, dan lain-lain itu pada masa Nabi saw. dan para Sahabat.
Di samping ketiga rukun itu ada syarat yang harus terpenuhi sehingga hadiah itu sempurna, yaitu harus adaal-qabdh (serah terima), yakni secara real harus ada penyerahan al-muhdâ kepada al-muhdâ ilayh. Jika tidak ada ijab qabul secara lafzhiyah aka adanya al-qabdh ini sudah dianggap cukup menunjukkan adanya pemindahan pemilihan itu. Penyerahan harta itu dianggap merupakan ijab dan penerimaan hadiah oleh al-muhdâ ilayh merupakan qabulnya. Untuk barang yang standarnya dengan dihitung, ditakar atau ditimbang (al-ma’dûd wa al-makîl wa almawzûn) maka zat barang itu sendiri yang harus diserahterimakan. Adapun harta selain al-ma’dûd wa al-makîl wa al-mawzûn seperti pakaian, hewan, kendaraan, barang elektronik, dan sebagainya maka yang penting ada penyerahan pemilikan atas barang itu kepada al-muhdâ ilayh dan qabdh-nya cukup dengan menggesernya atau jika hewan dengan melangkahkannya, atau semisalnya.

WASIAT WAJIBAH
Wasiat wajibah secara etimologi adalah wasiat yang wajib. Sedangkan menurut terminologi wasiat wajibah adalah suatu tindakan hakim peradilan atau lembaga yang mempunyai hak untuk mengambil sebagian harta orang yang meninggal diberikan kepada orang tertentu (dalam keadaan tertentu) walaupun orang yang meninggal tidak melakukan wasiat.[15] Istilah wasiat wajibah dipergunakan pertama kali di Mesir melalui UU Hukum Waris 1946 untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yang tidak memperoleh hak warisnya. ketentuan hukum ini bermanfaat bagi anak anak dari anak laki laki yang meninggal atau  anak laki-laki dari anak laki laki terus ke bawah. Sedangkan untuk garis anak perempuan hanya berlaku untuk anak dari anak perempuan saja tidak berlanjut sampai generasi selanjutnya. Pemberian wasiat wajibah ini harus tidak melebihi dari sepertiga tirkah yaitu harta yang ditinggalkan.
Terdapat dua unsur penting yang membedakan antara wasiat biasa dan wasiat wajibah, yaitu:
1.    Wasiat wajibah ditetapkan melalui ketetapan hukum dan perundang-undangan, sehingga pelaksanaannya juga menurut perundang-undangan dan ketetapan hukum, tidak bergantung pada ada atau tidak adanya wasiat dari pihak pewaris. Tentu saja ketetapan ini sangat berbeda dengan wasiat biasa, dimana wasiat biasa sangat bergantung pada adanya wasiat dari pihak pewaris. Dalam tata aturannya wasiat wajibah mirip dengn tata cara kewarisan, seperti tidak dibutuhkan adanya ijab qabul dan bersifat memaksa oleh peraturan perndang-undangan.
2.    Wasiat di peruntukkan bagi saudara yang terdapat suatu halangan (syarak), atau karena terdindingi oleh ahli waris yang lain, sehingga tidak berhak menerima warisan. Berbeda dengan wasiat wajibah yang boleh siapa saja walaupun tidak ada hubungan nasab.
Dalam perundang-undangan Mesir terdapat banyak pasal yang membahas tentang wasiat wajibah, pokok kesimpulannya adalah wasiat wajibah berarti pemberian wasiat yang diwajibkan oleh Undang-Undang yang diperuntukkan bagi cucu yang orangtuanya meninggal, sedangkan kakek dan neneknya masih hidup, dan dikemudian hari saat kakek dan nenek meninggal dunia tidak meninggalkan wasiat untukya.
Wasiat wajibah yang dikenal di Indonesia hanya diperuntukkan untuk anak angkat dan/atau orangtua angkat, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:

1.    Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176-193, sedangkan untuk orangtua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta peninggalan anak angkatnya.
2.    Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan orangtua angktnya.
Dapat diperhatikan bahwa pasal 209 KHI ini masih sangat belum lengkap, sehingga masih memungkinkan terjadi polemik perdebatan. Meskipun demikian tetapi pasal 209 ini harus ditafsirkan sebagai berikut:
1.    Seorang anak angkat telah mempunyai hubungan kewarisan dengan orangtua kandungnya maupun kerabat-kerabatnya.
2.    Orangtua ankgkat hanya mungkin mendapatkan warisan anak angkatnya dengan cara wasiat atau wasiat wajibah.
3.    Demikian pula anak angkatnya hanya mungkin memperoleh harta warisan dari orangtua angkatnya juga dengan cara wasiat atau wasiat wajibah.[16]




DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Asmuni, Ringkasan Fikih Lengkap. Jakarta: Darul Falah, 2005.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Fiqih Muamalat Sistem Transaksi dalam Fiqih Islam. Jakarta: Amazah, 2010.
Hasan, Mustofa. Penghantar Hukum Keluarga. Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Karim, Helmi. Fiqih Muamalah.  PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Muhibbin , Moh dan Abdul Wahis. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Saebani, Beni Ahmad. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Sahabuddin et al., Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Shomad ,Abd. Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2010.
Usman, Rachmadi. Hukum Kewarisan Islam Dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Mandar Maju, 2009.
Usman, Suparman. Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Gaya Media Pramata, 2002.
Zuhaili, Wahbah.  Fiqh Imam Syafi’i. Jakarta: Almahira, 2000.




[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris ( Bandung: Pustaka Setia, 2009 ), h.343
[2] Moh Muhibbin dan Abdul Wahis, Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta: Sinar Grafika, 2009 ), h. 145
[3] Abd Shomad, Hukum Islam ( Jakarta: Kencana, 2010 ), h.357
[4] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, Op.,Cit h. 345-346
[5] Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta: Sinar Grafika, 2009 ), h. 147
[6] Ibid., h 148
[7] Ibid., h 148
[8] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat Sistem Transaksi dalam Fiqih Islam (Jakarta: Amazah, 2010), 435.
[9] Mustofa Hasan, Penghantar Hukum Keluarga (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 361.
[10] Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 138.
[11] Helmi Karim, Fiqih Muamalah ( PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 77.
[12] Asmuni, Ringkasan Fikih Lengkap (Jakarta: Darul Falah, 2005), 697.
[13] Sahabuddin et al., Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 261.
[14] Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2000), 324.
[15] Suparman Usman, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pramata, 2002) hal 163.
[16] Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam Dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2009) hal 187.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat