Sabtu, 11 November 2017

INVERSTOR ALERGI TERHADAP PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH KARENA ISTILAH SULIT DIPAHAMI


Mata Kuliah Aspek Hukum Bank Islam


INVERSTOR ALERGI TERHADAP PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH KARENA ISTILAH SULIT DIPAHAMI
Bank syariah adalah bank bagi hasil yang mengedepankan konsep loss and profit sharing dalam pegembangan produknya. Dan dalam pengembangannya ia menggunakan konsep mua’malah islamiyah ala indonesia yang diijtihadkan MUI (Majelis Ulama’ Indonesia) melalui DSN (Dewan Syariah Nasional), lalu prakteknya diawasi oleh DPS (Dewan Pengawas Syariah) sehingga akan menciptakan suatu mekanisme perbankan yang diharapkan mampu memberi kemaslahatan objektif bagi umat seluruh alam. Namun fakta Pada saat ini adalah pemilik modal seperti alergi dengan perbankan syariah yang mengakibatkan pembiayaan berbasis syariah masih belum dilirik investor atau pemilik proyek. Pasalnya, istilah yang dipakai dalam syariah tersebut sulit dipahami secara luas oleh masyarakat. Dan kurangnya tenaga ahli yang benar-benar memahami perbankan syariah salah satunya adalah sengketa dimana penyelesaiannya di pengadilan agama bukan di pengadilan umum yang membuat investor kurang mempercayai dan kurang tertarik dalam perbankan syariah. Perkembangan bank syariah di Indonesia didominasi oleh produk jual beli terutama murabahah hal ini mengindikasikan bahwa ketertarikan nasabah pada perbankan syariah masih didominasi oleh faktor idealitas bukan objektifitas kualitasnya, hingga mereka lebih tertarik menggunakan pembiayaan jangka pendek yang beresiko lebih kecil dibandingkan mudharabah atau musyarakah yang bersifat jangka panjang. Mereka sama-sama menahan diri agar proyeknya tidak menggunakan pembiayaan dari perbankan syariah. Selain itu, perbankan syariah yang ada di Tanah Air mayoritas hanya bank buku 2. Akibatnya, mereka hanya bisa masuk pada proyek yang skalanya kecil.  Oleh sebab itu, industri perbankan membutuhan sosok pemimpin (leading sector) yang dari segi permodalan dan kapasitas memadai. Hal ini secara objektif kembali menunjukkan kelemahan bank syariah sebagai bank bagi hasil dalam mengaplikasikan dan mensosialisasikan produk-produknya. Hingga sekarang permasalahan-permasalahan klasik bank syariah seakan menemui jalan buntu dalam penyelesaiannya, karena dampak dari solusi-solusi yang pernah ditawarkan belum dapat dirasakan. Pencapaiannya baru sebatas memberi pengetahuan belum dapat menimbulkan kemauan yang objektif untuk melirik bank syariah sebagai media intermediasi uangnya karena itu timbul kesenjangan antara keinginan dan pemahaman. Disisi lain Kompetensi sumber daya insani perbankan syariah belum bisa dikatakan memadai untuk melakukan investasi pola bagi hasil yang diharapkan.[1]
Dari pemaparan diatas menjelaskan bahwa dari awal pertama kali bank syariah berdiri hingga sekarang perbankan syariah belum mendapatkan kepercayaan sepenuhnya mengenai investasi dan proyek pembangunan dalam sekala besar karena keterbatasan pada pengetahuan yang membuat anggapan bahwa perbankan syariah hanya digunakan oleh agama tertentu.[2]  Sebagian orang memang sudah tahu apa itu bank syariah namun  terdapat kekurangan dalam pemahaman tentang produk-produk yang terdapat dalam bank syariah serta minimnya edukasi yang mereka dapatkan memberikan persepsi yang berbeda mengenai produk bank syariah. Sehingga masyarakat dan para investor yang tidak tahu produk-produk bank syariah tentunya tidak akan berminat untuk menggunakan jasa bank syariah karena mereka menganggap bahwa fasilitas penunjang yang diberikan masih kalah dengan fasilitas yang ditawarkan oleh bank konvensional, saat ini sebagian besar masyarakat hanya melihat bahwa nilai tambah bank syariah adalah lebih halal dan selamat, lebih menjanjikan untuk kebaikan akhirat, dan juga lebih berorientasi pada menolong antar sesama dibandingkan dengan bank konvensional. Memang benar adanya akan hal yang di nilai oleh masyarakat. Namun, produk-produk bank syariah tidak kalah bersaing dengan bank konvensional. Yang tentunya pendapat dari masyarakat tidak sesuai dengan yang telah di sebutkan pada Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Perkembangan bank syariah di Indonesia didominasi oleh produk jual beli terutama murabahah yang berdasarkan data pada Februari 2007 menunjukkan pembiayaan dengan akad murabahah mencapai 62% dari total pembiayaan yang ada di perbankan syariah, sementara pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang diberikan hanya sekitar 30% dari total pembiayaan yang ada. Hal ini mengindikasikan bahwa ketertarikan nasabah pada perbankan syariah masih didominasi oleh faktor idealitas bukan objektifitas kualitasnya, hingga mereka lebih tertarik menggunakan pembiayaan jangka pendek yang beresiko lebih kecil dibandingkan mudharabah atau musyarakah yang bersifat jangka panjang. Yang dimana sesungguhnya konsep inti dari perbankan syariah adalah produk jangka panjangnya. Hal ini karena belum tepatnya kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam mendukung kemajuan dan pengembangan perbankan syariah di Indonesia, untuk itu perlu diadakanya pendekatan mua’malah islam yang sesuai dengan budaya rakyat indonesia tanpa harus keluar dari nash-nash agama, sehingga akan menghasilkan produk bank syariah baru yang benar-benar sesuai dengan budaya rakyat Indonesia. Karena berdasarkan data historis sistem perbankan syariah yang dianut Indonesia kini adalah hasil dari adopsi perbankan syariah yang ada di Malaysia, maka wajar jika ada ketidak cocokan budaya, oleh sebab itu masalah pengembangan produk perlu dikembalikan lagi kedalam konsep mu’amalah islam yang universal.[3] Belum tersebar luasnya kantor-kantor perbankan syariah, minimnya SDI (Sumber Daya Insani) yang paham akan praktisi bank syariah, baik sisi pengembangan bisnis maupun sisi syariah. Dengan kata lain belum terpenuhinya sumber daya insani yang mumpuni di bidang ekonomi syariah, sehingga dalam praktiknya perbankan syariah seringkali menyimpang dari prinsip syariah dimana praktisi hanya bisa menjelaskan apa yang mereka tahu tetapi tidak bisa menjawab apa yang ditanyakan oleh masyarakat karena belum memadainya sumber daya insani yang terdidik dan profesional, terutama teknis manajerial. Pasalnya meski tren pendidikan yang menawarkan program keuangan syariah, kursus-kursus khusus keuangan syariah, pendidikan keuangan syariah, serta seminar khusus keuangan syariah telah berkembang namun masih dinilai kurang karena pendidikan dan pelatihan yang diberikan hanya sesuai dengan kebutuhan. Hal ini terlihat dari hasil survei yang dilakukan Islamic Research and Training Institute (IRTI/anggota Islamic Development Bank) yang mengungkapkan bahwa level familiaritas responden terhadap konsep keuangan syariah, produk dan layanan industri jasa keuangan syariah masih sangat rendah. Sebanyak 90% dari responden yang mengikuti survei adalah lulusan SMA, dan pemegang gelar Diploma. Diketahui bahwa kebanyakan responden atau 1.730 dari 3.165 responden yang merupakan lulusan SMA hingga Pascasarjana menggunakan layanan jasa perbankan konvensional dan hanya 13% yang memiliki hubungan dengan bank syariah. Selain itu hanya 12,9% dari responden yang memiliki pengetahuan tentang keuangan syariah, dan 37,7% memiliki pengetahuan yang terbatas, sementara 30% tidak mengerti perbedaan antara keuangan syariah dan konvensional. Selanjutnya dalam permodalan perbankan syariah masih belum memadai dan biaya dana yang mahal yang berdampak pada keterbatasan segmen pembiayaan yang disebabkan karena para investor enggan bergabung karena belum dan tidak memahami istilah syariah. Selain itu, mayoritas perbankan syariah di Indonesia juga masih di level BUKU 2 sehingga mereka hanya bisa masuk pada proyek infrastruktur skala kecil. “Bank syariah yang ada di indonesia sebagian besar BUKU 2. Cuma satu yang BUKU 3 yaitu Bank Syariah Mandiri. Itu pun baru, jadi BUKU 3-nya tipis. Karena kebanyakan BUKU 2, jadi hanya bisa masuk dalam proyek kecil. Dan tidak bisa masuk dalam proyek infrastruktur. Dampaknya, secara umum bank syariah tidak se-efisien bank konvensional. Inovasi di bidang produk dan layanan pada bank syariah , pemasaran dan pengembangan bisnis yang dimiliki bank syariah masih lemah, dan kurang memadainya fasilitas atau infrastruktur teknologi informasi (IT), padahal hal tersebut merupakan prasyarat penting keberhasilan lembaga keuangan.[4] Dimana kemajuan tersebut akan membawa para investor untuk bergabung dan tertarik akan perbankan karena keberhasilan yang dicapai baik dalam IT maupun dalam pikiran masyarakat. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi dalam menunjang pengembangan yang dapat meningkatkan ketertarikan para investor untuk bergabung dengan perbankan syariah yang tentunya ketertarikan tersebut dengan diiringi permodalan yang memadai untuk pembangunan proyek-proyek yang besar. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ketidak tertarikan atau ke alergian para investor dengan perbankan syariah adalah karena minimya pengetahuan akan produk-produk yang ditawarkan dan label syariah yang dimana hal tersebut dianggap hanya digunakan oleh agama tertentu, saat ini sebagian besar masyarakat hanya melihat bahwa nilai tambah bank syariah adalah lebih halal dan selamat, lebih menjanjikan untuk kebaikan akhirat, dan juga lebih berorientasi pada menolong antar sesama dibandingkan dengan bank konvensional. Kurangnya dalam pemahaman tentang produk-produk yang terdapat dalam bank syariah serta minimnya edukasi yang mereka dapatkan memberikan persepsi yang berbeda mengenai produk bank syariah. Sehingga masyarakat dan para investor yang tidak tahu produk-produk bank syariah tentunya tidak akan berminat untuk menggunakan jasa bank syariah. Dan mereka beranggapan bahwa fasilitas penunjang yang diberikan masih kalah dengan fasilitas yang ditawarkan oleh bank konvensional. Dimana hal tersebut didukung dengan ketertarikan nasabah pada perbankan syariah masih didominasi oleh faktor idealitas bukan objektifitas kualitasnya, hingga mereka lebih tertarik menggunakan pembiayaan jangka pendek yang beresiko lebih kecil dibandingkan mudharabah atau musyarakah yang bersifat jangka panjang. ketidak cocokan budaya dimana hasil dari adopsi perbankan syariah yang ada di Malaysia maka wajar jika ada, oleh sebab itu masalah pengembangan produk perlu dikembalikan lagi kedalam konsep mu’amalah islam yang universal. Baik belum tersebar luasnya kantor-kantor perbankan syariah, minimnya SDI (Sumber Daya Insani) yang paham akan praktisi bank syariah, baik sisi pengembangan bisnis maupun sisi syariah, dan dalam permodalan perbankan syariah masih belum memadai dan biaya dana yang mahal yang berdampak pada keterbatasan segmen pembiayaan. Selain itu, mayoritas perbankan syariah di Indonesia juga masih di level BUKU 2 sehingga mereka hanya bisa masuk pada proyek infrastruktur skala kecil. Dampaknya, secara umum bank syariah tidak se-efisien bank konvensional. Kurangnya inovasi di bidang produk dan layanan pada bank syariah, pemasaran dan pengembangan bisnis yang dimiliki bank syariah masih lemah, dan kurang memadainya fasilitas atau infrastruktur teknologi informasi (IT), itulah yang membuat para investor enggan untuk bergabung pada perbankan syariah. Padahal hal tersebut merupakan prasyarat penting keberhasilan lembaga keuangan dan dalam menarik minat investor untuk bekerja sama dalam bidang perbankan syariah. Maka dengan itu, perbankan syariah harus meningkatkan kualitas SDI (Sumber Daya Insani) untuk meningkatkan inovasi produk dan untuk membuat masyarakat paham dan mengerti akan produk-produk yang ditawarkan dengan didukung teknologi informasi (IT) yang mumpuni. Dimana hal tersebut akan memperoleh keberhasilan dan meningkatkan daya saing lembaga keuangan yang berbasis syariah dan dapat menarik minat investor untuk bekerja sama dalam bidang perbankan syariah yang kemungkinan besar akan mengalahkan bank konvensional.


[1] https://ekbis.sindonews.com
[2] Amir, Mu’allim, “Persepsi Masyarakat Terhadap Lembaga Keuangan Syariah”dalam jurnal “AL-Mawarid” Edisi X Thaun 2003, 22-23
[3] Maulana Hamzah, Pengembangan Perbankan Syariah Secara Objektif Dan Rasional Dengan Pendekatan Mekanisme Pasar”, 26-27, dalam jurnal ekonomi islam La-Riba VOL. II, No. 1, juli 2008
[4] Aam Slamet Rusydiana, “Analisis Maslah Pengembangan Perbankan Syariah Di Indinesia: Aplikasimetode Analitic Network Process”, 241 dalam jurnal Jurnal bisnis dan managemen, VOL. 6, oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat