Minggu, 05 November 2017

MAKALAH SEJARAH POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA MASA PENJAJAHAN BELANDA



SEJARAH POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA MASA PENJAJAHAN BELANDA
Makalah Politik Hukum Islam di Indonesia

Kata Pengantar


Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Bijaksana. Berkat anugrah kesehatan, kelonggaran, dan kemampuan yang di berikan-Nya, kami dapat menyeleseikan tugas ini. Kahadirat kembali kami haturkan di tengah kegiatan kita di kampus umumnya serta kegiatan belajar di dalam kelas khususnya semoga menjadi lebih menyenangkan dan lebih termotivasi dengan tugas ini.
Hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Begitu salah satu prinsip atau kredo yang kami pegang dalam tugas ini. Prinsip tersebut membuat kami tergerak untuk senantiasa melakukan perubahan bobot atau kualitas tugas ini, kami berharap kepada dosen pengampu yang senantiasa membimbing kami semoga tugas yang kami kerjakan sesuai dengan apa yang di inginkanya.
Penulisan makalah ini dapat terselesaikan dengan referensi dari buku yang telah dipercaya sumbernya dan dari internet. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, dosen pengampu dan teman – teman. Telah banyak memberikan dukungan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.

                                                                

BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsure yang paling mayoritas. Bahkan disebut sebagai komunitas muslim terbesar dalam satu Negara dalam tataran dunia Islam Internasional. Karena itu sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam ditengah-tengah mayoritas penduduk yang memeluk Islam dalam satu Negara. Seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslim Indonesia terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air, pertanyaan seperti ini dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak Islam hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat dalam mendekatkan bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai benturan dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika. Dalam makalah ini penulis memfokuskan pada satu permasalahan yakni, kondisi politik Hukum Islam pada masa penjajahan belanda.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejarah politik hukum Islam pada masa VOC?
2.      Bagaimana sejarah zaman pemerintahan kolonial Belanda/disela Inggris?

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui sejarah politik hukum Islam pada masa VOC
2.      Untuk mengetahui sejarah zaman pemerintahan kolonial Belanda/disela Inggris

BAB II

PEMBAHASAN


A.    Sejarah Politik Hukum Islam Pada Masa VOC

Belanda kali pertama datang ke Indonesia semula bertujuan untuk mengembangkan usaha perdagangan, khususnya ingin mendapatkan rempah-rempah yang harganya sangat mahal di Eropa, secara terdapat Perseroan Amsterdam mengirim armada kapal datangnya ke Indonesia.
1.      Pertama, pada tahin 1595 dibawah pimpinan Cornelis de Houtman.
2.      Kedua, pada tahun 1598 di bawah pimpinan Van Nede, Van Warwick
3.      Ketiga, pada tahun 1599 di bawah pimpinan van det hagen
4.      Keempat, pada tahun 1600 di bawah pimpinan Van Neci
Tahun-tahun awal abad ke-17 hingga akhir abad ke-18 ditandai dengan toleransi dari pihak Belanda terhadao hukum Islam, pada saat dimana Kompeni Dagang Hindia Belanda, VOC lebih disibukkan dengan tugas-tugas ekspedisi pengambilan komoditi pertanian dari negeri jajahan. Selanjutnya periode kedua ditandai dengan transfer kekuasaan VOC kepada pemerintah Kerajaan Belanda, suatu proses yang mendorong semakin berkembangnya kebijaksanaan yang sifatnya intervensionis dalam area hukum Islam dan hukum dat setempat.
Untuk memantapkan pelaksanaan fungsinya, baik sebagai pedagang atau sebagai badan pemerintahan, VOC mempergunakan hukum Belanda yang dibawanya. Kemudian VOC membentuk badan-badan peradilan untuk bangsa Indonesia. Semula hukum yang diterapkan ialah hukum Eropa (Belanda). Ternyata kebijaksanaan ini tidak dapat dilaksanakan, karena bertentangan dengan kesadaran hukum yang hidup dikalangan masyarakat.
Di dalam praktek susunan badan peradilan yang disandarkan pada hukum Belanda tidak dapat berjalan, maka VOC membiarkan lembaga-lembaga yang asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. Kemudian VOC mengeluarkan “Statuta Batavia” pada tahun 1642. Yang isinya penegasan mengenai soal hukum kewarisan orang Indonesia yang beragama Islam, harus dipergunakan hukum kewarisan Islam.
Sebagai tindak lanjut Statuta Belanda VOC memerintahkan DW. Freijer untuk menyusun kitab hukum yang dikena dengan sebutan Compendium Freijer, kitab hukum Compendium Freijer ini diakui VOC dan diterapkan dengan bentuk peraturan Resolutie der Indische Regeering pada tanggal 25 Mei 1760. Kitab hukum ini merupakan kumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Sejak itu Compendium dijadikan rujukan hukum oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dlam kalangan masyarakat Islam di daerah yang dikuasai oleh VOC.
Di samping melakukan perdagangan dan pelayaran, VOC juga diberi hak untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik dalam rangka menunjang usaha pedagangannya. Pada perkembagannya, maksud VOC yang semula hanya untuk berdagang kemudian berubah haluan menjadi maksud politik, yakni ingin menguasai kepulauan Indonesia sehingga kehadiran VOC di Indonesia memiliki dua fungsi, pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintah.
Dalam melaksanakan fungsi pertama untuk berdagang, VOC bermaksud menetapkan prinsip monopoli. Prinsip monopoli tersebut tentu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut masyarakat adat secara tradisional yang lebih mengutamakan kebersamaan dan gotong royong atau prinsip kekeluargaan. Oleh karena itu, timbul redaksi yang keras dari masyarakat, kemudian muncul perlawanan dan sikap benci dari masyarakat pribumi. Akibat sifat negatif dari masyarakat disertai dengan pengelolaan yang tidak profesional, VOC gagal dalam mengembangkan dagangnya. Pada tahun 1798 VOC secara resmi dibubarkan.
Mengingat misi perdagangannya tidak berhasil, untuk memperkuat misi politik VOC membentuk lembaga-lembaga peradilan di daerah-daerah yang dikuasainya, misalnya di daerah Batavia dibentuk peradilan bernama "College Van Schepenen". Selain bertugas di bidang peradilan, badan ini juga bertugas di bidang pemerintahan dan kepolisian dalam kota. Badan ini akhirnya disebut "Schepenbanki".
Pendirian badan peradilan juga dilakukan di Priagan, Cirebon, dan Timur Lut pantai Jawa. Dalam praktiknya, karena itu VOC membiarkan lembaga peradilan asli/peradilan adat untuk tetap berjalan seperti biasanya. Kenyataan membuktikan bahwa peradilan asli berjalan secara efektif sehingga masyarakat berbondong-bondong untuk mencari peradilan di peradilan-peradilan adat tersebut.
Berdasarkan kenyataan seperti itu, VOC berpikir agar perjalanan peradilan-peradilan asli itu tidak liar dan menyimpang dari misi VOC perlu dibuat suatu kitab hukum sebagai pedoman bagi hakim untuk memutuskan suatu perkara. Pada tahun 1642 terbentuklah “Statuta Btavia”  yang berlaku untuk masyarakat Batavia (sekarang Jakarta) dan sekitarnya. Dalam Statuta Batavia disebutkan bahwa mengenai warisan orang-orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam, yaitu hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.
Keadaan hukum Islam pada zaman VOC  dapat dikatakan lebih maju daripada sebelumnya. Karena telah terhimpun dalam beberapa kitab hukum. Meskipun, hal itu merupakan siasat VOC agar tetap diakui keberadaanya oleh masyarakt pribumi. Sebagai akibat dari siasat VOC itu hukum Islam masih  tetap teralas, bersatu, dan hidup berdampingan dengan hukum adat.[1]

B.     Sejarah Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda/Disela Inggris

1.      Rekayasa kolonial tentang berlakunya hukum Islam di Indonesia

Dengan bubarnya VOC pada pergantian abad ke 18, kekuasaan Indonesia secara resmi dipindahkan ketangan pemerintahan kolonial Belanda. Sejak pemerintahan kolonial Belanda berkuasa di Indonesia, sikapnya terhadap hukum islam mulai berubah. Sikap yang semula toleran terhadap berlakunya hukum Islam bagi pribumi, secara berangsur-angsur mulai di batasi. Perubahan sikap itu didasari oleh pemikiran bahwa jika berlakuknya hukum Islam dibiarkan berlangsung bagi pribumi, maka dikhawatirkan akan membentuk kekuatan tersendiri diantara kaum pribumi yang akhirnya kekuatan itu dipakai untuk mencapai kemerdekaan.
Pada masa pemerintahan Daendels (nama lengkapnya, Mr. Herman Willem Daendels) mulai tahun 1807, ia banyak melakukan perubahan  di bidang pemerintahan termasuk di bidang peradilan. Di bidang peradilan misalnya, akan diterapkan secara konsenkuen isi "Charter" atau "Regering Reglement" untuk daerah-daerah jajahan Asia. Isinya antara lain bahwa susunan peradilan untuk Bumi Putra akan tetap mengikuti hukum serta  adat. Mereka dan Pemerintahan Hindia Belanda menjaga dengan alat-alat perlengkapan yang ada guna pelaksanaan peradilan tersebut. Namun, ketentuan dalam "Charter" tersebut tidak pernah berlaku. Dengan demikian, masyarakat pribumi tetap mempertahankan hukum mereka sehari-hari, yakni hukum Islam dan hukum adat secara bersama-sama.
Memperhatiakn kenyataan seperti itu Daendels mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa perihal (hukum) agama orang jawa tidak boleh diganggu. Selain itu, hak-hak penghulu mereka untuk memutus beberapa macam perkara tentang perkawinan dan kewarisan harus diakui oleh adat kekuasaan kedudukan para penghulu sebagai tenaga ahli hukum Islam, yakni asli oarng Jawa dalam susunan sebagai penasihat dalam suatu masalah atau perkara.
Pada masa inggris berkuasa (1811-1816), pemerintahan Raffles (lengkapnya Sir Thomas Stamford Raffles)  juga telah melakukan perubahan-perubahan di bidang pemerintahan, termasuk dibidang peradilan. Di bidang susunan peradilan misalnya, telah dikeluarkan maklumat tanggal 27 Januari 1812. Isinya yakni “Susuanan peradilan untuk bangsa Eropa belaku untuk bangsa Indonesia yang tinggal di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman kota-kota dan sekitarnya”. Namun, seperti halnya masa pemerintahan Deandels, ketentuan dalam maklumat itu pun tidak berjalan. Akhirnya Raffles membiarkan (tetap) berlakunya hukum Islam bagi pribumi.
Setelah Indonesia dikembalikan oleh inggris kepada Belanda berdasarkan konvensi yang ditandatanggani di London pada tanggal 13 Agustus 1814, pemerintah Kolonial Belanda membuat suatu perundang-undang tersebut mengakibatkan pemerintah, susunan peradilan, pertanian, dan perdangangan dalam daerah jajahannya di Asia. Undang-undang tersebut mengakibatkan perubahan dihampir semua bidang hukum yang akan merugikan perkembangan hukum Islam selanjutnya.
Untuk membatasi ruang gerak ulama dalam mengembangkan hukum Islam, dikeluarkan Keputusan Raja tanggal 4 februari 1859 No.78 yang menugaskan kepada Gubernur jendral untuk mencapai masalah agama.bahkan, harus mengawasi gerak-gerik para ulama apabila dipandang perlu demi kepentingan ketertiban keamanan.
Dalam tahun 1859, pemerintah Belanda mengeluarkan suatu ordonasi yang mengatur masalah ibadah haji lebih ketat dari sebelumnya. Diduga ordonasi itu diilhami oleh kekhawatiran pemerintah kolonial akan timbulnya pemberontakan, sebagaiman terjadi di Inggris pada tahun 1857. Dengan pengawasan yang ketat terhadap ruang gerak ulama dan peraturan yang membatasi pribumi untuk berangkat haji ke Tanah Suci sudah tentu akan berpengaruh terhadap ruang gerak berlakunya hukum Islam juga.
Bersama dengan berlakunya ordonasi itu, pemerintah kolonial Belanda juga tengah gencar-gencarnya melaksanakan misi kristenisasi untuk mengubah agama penduduk yang mula Islam menjadi pemeluk Kristen. Dengan masuknya orang-orang pribumi dari Islan ke Kristen harapnya akan menguntungkan hubungan agama mereka dengan agama pemerintahanya. Setelah mereka masuk Kristen akan menjadi warga negara yang loyal lahir batin. Harapnya Kolonoal Belanda ini meleset. Keislaman masyarakat pribumi bukan menipis, tetapi justru semakin bertambah tingkat ketaatannya kepada hukum Islam. mereka menganggap bahwa gerakan kristenisasi menjadi suatu tantangan yang harus dilawan.
Pemerintah kolonial Belanda ingin segera mengubah tatanan hukum Indonesia menjadi tatanan hukum Belanda. Sikap ini dikenal dengan politik hukum yang sadar terhadap  Indonesia. Artinya, penataan hukum Indonesia menjadi hukum Belanda itu dilakukan dengan kesadaran. Untuk melaksanakan  tugas itu pemerintahan Belanda membentuk suatu komisi  dibawah ketua Mr.Scholten Van Dad Haarlem. Tugasnya antara lain melakukan penyesuaian undang-undang Belanda dengan keadan-keadaan riil dan stratrgis di Hindia Belanda.
Dalam upaya penataan hukum tersebut, langkah awal yang dilakukan ketua komisi yaitu menulis nota kepada pemerintah Belanda. Isinya antara lain bahwa untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, mungkin juga perlawanan. Jika diadakan pelanggaran terhadap orang bimi putra dan agama Islam, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya.  Agar mereka dapat tinggal tetap dalam lingkungan(Hukum) agama mereka seta dat-istiadat mereka.

2.      Pengaruh politik Islam Scouck Hurgronje terhadap perkembangan hukum Islam di tanah air

Kedatangan Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang penasehat pemerintah Hindia Belanda sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan hukum Islam pada masa-masa berikutnya. Meskipun Snouck Hurgronje berpendapat musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai (hukum) agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Namun, mereka tidak rela jika dibidang hukum masyarakat pribumi diberi kebebasan untuk menjalankan hukum (Islam-nya). Karena itu, ia ingin mempertentangkan antara hukum Islam di satu pihak dengan hukum adat di pihak lain.
Untuk melaksanakan maksud itu, Snouck Hurgronje menulis buku sebagai hasil penelitiannya “De Atjehers” untuk daerah Aceh dan “De Gajoland” untuk tanah Gajo. Dalam kedua buku itu, ia buat tesis bahwa hukum yang berlaku di kedua daerah itu yakni hukum adat, bukan hukum Islam. Dalam hukum adat itu telah masuk pengaruh hukum Islam, tetapi pengaruh itu baru memiliki kekuatan hukum kalau telah benar diterima oleh hukum adat. Tesis ini kemudian dikenal dengan teori “Receptie”.
Teori Receptie tersebut dikembangkan secara ilmiah oleh para sarjana Belanda yang terkenal,  yaitu sebagai berikut:
1.      Mr. Van Ossenbruggen dalam bukunya Oorrsprong en eerste Outwikkeling Van het testeer en Voogdijrecht.
2.      Mr. I.A. Nederburgh dalam bukunya Wet en Adat.
3.      Mr. J, Van Vollen Hoven dalam bukunya Het Adat Recht Van Recht Van Ned Judie.
4.      Mr. Piepers dalam Tijdschrift Van Ned Indie.
5.      Mr. WB. Bergma sebagai ketua Komisi Penelitin Hukum Tanah di Jawa dan Madura.
Akhirnya, teori itu mempunyai pengaruh yang sangat kuat dan luas terhadap para sarjana hukum, bahkan pengaryh itu masih terasa hungga sekarang. Melalui teori Receptie-nya , Snouck Hurgronje hendak menentang terhadap teori Receptie in Complexu-Nya Van den Berg.
Di samping menggencarkan teori Receptie-Nya, Snouck Hurgronje juga menerapkan sikap politik Islamnya yang mempersempit peluang bagi orang Islam untuk bangkit menyingkirkan penjajah. Sikap politik itu sebagai berikut:
a.       Dalam bidang ibadah (hubungan dengan Tuhannya), pemerintah Hindia Belanda memberikan kebebasan kepada orang-orang Islam Indonesia untuk melakukannya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah.
b.      Dalam urusan mu’amalah (hubungan antar sesama manusia), pemerintah Hindia Belanda harus menghormati lembaga-lembaga yang telah ada sambil memberikan kesempatan kepada orang-orang Islam beralih ke lembaga-lembaga Belanda secara beransur-ansur.
c.       Dalam bidang politik, pemerintah Hindia Belanda tidak memberikan peluang kepada orang – orang Islam untuk melakukan gerakan pan-Islam.
Alasan pemerintah kolonial menghapus kewenangan peradilan agama dalam hal waris itu selain menghilangkan proses peradilan kembar yang memakan waktu dan biaya, juga didasarkan pada pertimbangan berikut:
1.      Hukum waris Islam bertentangan dengan kenyataan masyarakat di Jawa dan Madura.
2.      Peradilan agama sebenarnya berasal dari peradilan raja-raja dulu.
3.      Keputusan tetap terasa asing dari praktik pewarisan serta berdasarkan hukum rakyat atau sebagainya.
Bersamaan dengan gerakan politik Islamnya itu, pemerintah kolonial Belanda juga melakukan tindakan – tindakan lain untuk lebih mempercepat upaya kristenisasinya. Tindakan itu antara lain sebagai berikut:
a.       Mengadakan pengejaran dan penangkapan terhadap para ulama yang tidak mau berkompromi dengan pemerintah kolonial karena dirasakan ulama seperti itulah yang sangat membahayakan kepentingan kolonial.
b.      Melakukan pembuangan terhadap para Syekh (pemimpin Tarekat) beserta pengikut-pengikutnya. Mereka menganggap bahwa syekh – syekh dan para pengikut-pengikutnya itu merupakan musuh-musuh yang sangat berbahaya bagi kekuasaan Belanda, sekurang kurangnya sama bahayanya dengan orang-orang golongan Sanusi terhadap kekuatan kekuasaan Prancis Aljazair.
c.       Tidak mengirimkn pegawai Muslim ke daerah-daerah yang belum Islam dan dilarang untuk memperkenalkan peraturan-peraturan dan kebiasaan Islam. Tindakan terakhir itu, dituangkan dalam peraturan pemerintah kolonial tahun 1889.
Kebijakan berikutnya, setelah terjadi peristiwa Cilegon 1888, pendidikan agama Islam di sekolah- sekolah diawasi dengan ketat, karena pemberontakan para petani di Banten ditengarai sebagai gerakan yang dimotori oleh para haji dan guru agama di Pulau Jawa. Untuk mlegalisasi gerakan kolonial itu, pada tahun 1905 keluarlah peraturan tentang pendidikan Agama Islam yang disebut “Ordonansi Guru” yang dinyatakan berlaku untuk Jawa dan Madura, kecuali Yogyakarta dan Solo.
Karena keberadaan ulama, terutama di pedesaan yang mayoritas dirasakan membahayakan pemerintah kolonial, maka dilakukan depolitisasi ulama desa. Ulama desa dibuat agar tidak menegtahui tentang politik, dan struktur pemerintahan di atanya. Hubungan mereka dengan kalangan priyayi atau bangsawan di atasnya diputuskan secara langsung. Mereka diadu domba satu sama lain dengan memunculkan isu-isu yang emmancing mereka agar berselisih. Akibatnya, para ulama tidak bersatu. Bahkan, terdapat ulama bayaran yang dipersenjatai untuk menyerang ulama-ulama militan. Tercatat sebagai ulama bayaran tersebut, yakni Teuku Uma.
Pembatasan kekuasaan pengadilan agama terutama pencabutan kewenangan di bidang kewarisan menimbulkan reaksi negatif dari orang-orang Islam serta para penghulu. Reaksi terhadap Stbl 1937 No.116 itu dilakukan dengan membentuk “Perhimpunan penghulu dan pegawainya” (PPDP). Pada kongkres pertama di Surakarta tanggal 16 Mei 1937, PPDP memutuskan untuk menyampaikan surat permohonan agar Stbl 1937 No.116 dicabut. Alasan pencabutan itu antara lain sebagai berikut:
1.      Hukum adat sifatnya tidak tetap dan menurut keadaan, waktu, dan tempat. Sedangkan hukum Islam tetap menurut al-Qur’an dan Hadits.
2.      Orang-orang Islam yang menerima putusn hukum adat dalam masalah waris dianggap telah mengingkari agamanya.
3.      Bagi pengadilan, pencabutan perkara waris tidak memberikan perbaikan.
4.      Kedudukan penghulu, baik di dalam maupun di luar pengadilan yaitu sebagai kepala agama. Karena itu, soal Stbl 1937 No.116 tidak bisa terlepas dari soal agama.
5.      Pembagian waris menurut Hukum Fara’id telah berlaku beratus tahun di Indonesia sebagai diarahkan pada upaya pelumpuhan dan penghambatan bagi pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Upaya-upaya itu sebagai berikut:
a.       Tidak memasukkan masalah hudud dan qishas dalam lapangan hukum pidana. Hukum pidana yang berlaku langsung dioper dari Wet Boek Van Strafrecht (dari Nederland).
b.      Ajaran Islam yang menyangkut hukum tata negara tidak boleh diajarkan.
c.       Mempersempit hukum Mu’amalah yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Khusus hukum kewarisan diusahakan tidak berlaku.
Langkah – langkah yang ditempuh agar hukum kewarisan Islam tidak berlaku, yakni sebagai berikut:
1.      Menanggalkan wewenang pengadilan agama di Jawa dan Kalimantan Selatan untuk mengadili masalah waris.
2.      Memberi wewenang memeriksa masalah waris kepada Landraad.
3.      Melarang penyelesaian dengan hukum Islam, jika di tempat perkara tidak diketahui ketentuan hukum adatnya.
Di samping itu, langkah yang lebih nyata dari pemerintah Hindia Belanda untuk menghambat berlakunya hukum islam melalui peradilan agama yaitu diadakannya lembaga “Executoire Verklairing”. Artinya, setiap putusan peradilan agama baru mempunyai kekuatan hukum apabila mendapatkan pernyataan dapat dijadikan Landraad (pengadilan negeri). Ini berarti bahwa pemerintah kolonial ingin menempatkan kedudukan peradilan agama berada di bawah kedudukan peradilan umum (Landraad). Cara tersebut tentu sangat tidak menguntungkan bagi perkembangannya hukum Islam di dunia peradilan.
Penyelesaian yang diberikan pengadilan agama ada dua macam:
Pertama dalan bentuk fatwa waris, bagi masalah kewarisan yang di dalamnya tidak mengandung persengketaan fatwa ini tidak ada dasar hukum pengaturannya. Ia tumbuh dan berkembang, dari kebiasaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Mula – mula tidak mempunyai bentuk, kemudian fatwa itu dibuat secara tertulis dan disebut Surat Keterangan Ahli Waris atau Surat Keterangan tentang pembagian harta warisan dengan perdamaian.
Fatwa waris biasanya tidak hanya berisi tentang sapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing – masing. Jika diminta oleh para ahli waris, maka hakim pengadilan agama juga dapat membantu mereka untuk melaksanakan pembagian waris secara detail termasuk perkara hibah dan wasiat.
Meskipun fatwa waris yang dikeluarkan pengadilan agama tidak memiliki pijakan hukum, namun dalam kenyataannya sejak laa fatwa waris ini diterima oleh para notaris dan para hakim pengadilan negeri sebagai alat bukti yang sah. Begitu pula pejabat pendaftaran tanah pada kantor agraria (sekarang kantor pertanahan) menggunakan fatwa waris sebagai bukti pemilikan. Engan demikian, meskipun dibuat tanpa pijakan ketentuan hukum yang berlaku namun fatwa jenis pertama ini daya mengikatnya diakui secara materiil.
Kedua , fatwa waris yang di dalamnya mengandung persengketaan. Menurut ketentuan yang berlaku, setelah perkara ini masuk ke pengadilan agama harus segera diteruskan ke pengadilan negeri untuk diputuskan. Namun dalam praktiknya, hakim pengadilan agama sering memutuskan sendiri prkara ini. Putusannya sama-sama berbentuk fatwa. Bedanya untuk jenis ini, ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Uniknya, fatwa ini sering dipahami masyarakat sebagai keputusan yang dipatuhi dengan penuh kesadaran oleh semua pihak.

3.      Rekayasa kolonial Belanda dibidang perundang-undangan

Di bidang perundang–undangan, pemerintah Hindia Belanda membuat langkah untuk mengubah perundang–undangan yang ada dengan cara sistematis, halus, dan berangsur-angsur agar tidak mudah diketahui. Perubahan – perubahan itu dapat diketahui dari redaksi/susunan/pilihan kata dalam perundang – undangan yang diubah.
Perubahan–perubahan redaksional itu secara garis besarnya sebagai berikut:
1.      Regeering Reglement Stbl 1855:2 pasal 75 ayat (3) ... Hakim Bumi Putra harus meperlakukan undang – undang (peraturan) agama instelling dan kebiasaan (adat) penduduk asli, sejauh tidak bertentangan dengan asas – asas kepatutan dan di akui umum.
2.      Regeering Reglement Stbl 1907:204 memperlunak ketentuan pasal 75 pada Stbl 1855:2 ... mengenai persoalan yang terjadi sesama Bumi Putra, orang Timur Asing, dan yang masuk di dalamnya, diikuti peraturan yang berkenaan dengan agama dan kebiasaan mereka.
3.      Pasal 75 R.R. diperbaiki lagi dengan Stbl 1919:621 ... diikuti peraturan – peraturan yang berkenaan dengan agama dan kebiasaan mereka.
4.      Ketentuan pasal 134 LS (Indische StaatsRegeling) yang sama bunyinya dengan pasal 78 R.R Stbl 1855 dan R.R 1907 serta R.R 1919.
Ketentuan pasal 134 ayat (2) I.S tersebut jelas bahwa hukum Islam ditempatkan di bawah hukum adat. Hukum Islam baru berlaku bagi pribumi, apabila diterima oleh hukum adat. Ketentuan itu dimaksudkan oleh pemerintah kolonial untuk mencabut hukum Islam dari tata hukum Hindia Belanda. Ketentuan pasal 134 ayat (2)I.S. itulah yang menjadi landasan formal berlakunya teori Receptie. Sejak saat itulah masyarakat Indonesia yang mempunyai hubungan dengan masalah-masalah hukum mulai merasakan pengaruh teori Receptie yang kuat. Seakan – akan, masyarakat Indonesia telah merasakan sesuatu yang benar dan biasa bahwa hukum Islam itu bukan hukum di Indonesia. Telah tertanam pada pikiran orang bahwa yang berlaku adalah hukuma adat dan hukum islam bari menjadi hukum, apabila telah menjadi hukum adat.
Peraturan tersebut bukan pencabutan terhadap hukum islam secara keseluruhan. Peraturan ini hanya mencabut berlakunya hukum Islam dari lingkungan peradilan umum. Sedangkan hukum Islam di masyarakat tetap merupakan hukum yang hidup dan dipatuhi.[2]

 


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Belanda kali pertama datang ke Indonesia semula bertujuan untuk mengembangkan usaha perdagangan, khususnya ingin mendapatkan rempah-rempah. Di samping melakukan perdagangan dan pelayaran, VOC juga diberi hak untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik dalam rangka menunjang usaha pedagangannya. Dalam melaksanakan fungsi pertama untuk berdagang, VOC bermaksud menetapkan prinsip monopoli.
Dengan bubarnya VOC pada pergantian abad ke 18, kekuasaan Indonesia secara resmi dipindahkan ketangan pemerintahan kolonial Belanda. Sejak pemerintahan kolonial Belanda berkuasa di Indonesia, sikapnya terhadap hukum islam mulai berubah. Sikap yang semula toleran terhadap berlakunya hukum Islam bagi pribumi, secara berangsur-angsur mulai di batasi.


DAFTAR PUSTAKA

Sumitro, Warkum. Hukum Islam di Tengah Dinamika Sosial Politik di Indonesia (Malang: Setara Press, 2016).
Ghofur, Abdul. Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002).


[1] Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002), hal: 116.
[2] Warkum Sumitro, Hukum Islam di Tengah Dinamika Sosial Politik di Indonesia (Malang: Setara Press, 2016), hal: 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat