Kamis, 09 November 2017

MAKALAH PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA



MAKALAH
PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

MATA KULIAH PERKEMBANGAN MANUSIA DAN SOSIALISASI

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Manusia sudah ditakdirkan sebagai makhluk sosial, dimana ia membutuhkan orang lain untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang utuh. Dalam perkembangannya, pendapat dan sikap manusia dapat berubah karena interaksi saling berpengaruh antar sesamanya maupun dalam proses sosialisasi.
Pada awal manusia dilahirkan, belum bersifat sosial, dalam artian belum memiliki kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan berinteraksi dengan orang lain diperoleh dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang disekitarnya.
Kebutuhan berinteraksi dengan orang lain telah dirasakan mulai usia enam bulan, dimana pada saat itu ia mampu mengenal manusia lain, terutama ibu dan anggota keluarga lainnya. Anak mulai mampu membedakan arti senyum dan perilaku sosial lainnya, seperti marah dan kasih sayang.
Dari hal-hal yang diuraikan diatas, maka kami ingin membuat makalah dengan judul ”Perkembangan Manusia dan Sosialisasi”.
B.  Rumusan Masalah
1.    Apa definisi perkembangan manusia dan sosialisasi?
2.    Bagaimana kualitas hidup dan perkembangan anak?
3.    Bagaimana tahapan perkembangan manusia?
C.  Tujuan
1.    Untuk mengetahui pengertian perkembangan manusia dan sosialisasi.
2.    Untuk mengetahui bagaimana kualitas hidup yang diinginkan dan mengetahui perkembangan anak.
3.    Untuk mengetahui tahapan perkembangan manusia.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Perkembangan Manusia Dan Sosialisasi.
1.    Pengertian Perkembangan Manusia
Perkembangan sendiri merupakan perubahan yang menyangkut aspek-aspek mental psikologis manusia, seperti perubahan-perubahan yang berkaitan dengan aspek pengetahuan, sifat sosial, moral, keyakinan agama, kecerdasan, dan sebagainya.[1]
Psikologi perkembangan adalah bidang psikologi yang menaruh perhatian pada perubahan dalam perilaku seiring berjalannya waktu. Saat kita kita tumbuh, kita tak sekedar hanya bisa lebih banyak hal, tapi melakukan cara-cara berbeda dalam titik perkembangan yang berbeda pula.
Menurut Ross Vasta dkk, psikologi perkembangan merupakan cabang psikologi yang mempelajari perubahan tingkah laku dan kemampuan sepanjang proses perkembangan individu dari masa konsepsi sampai mati.
Objek psikologi perkembangan ada 2 yaitu :
1)   Objek material psikologi perkembangan: Perilaku dan proses-proses mental manusia.
2)   Objek formal psikologi perkembangan : Perilaku dan proses-proses mental manusia ditinjau berdasarkan fase-fase perkembangannya.[2]
2.    Pengertian Sosialisasi
Secara umum, sosialisasi adalah proses belajar seseorang terhadap lingkungan  masyarakat di sekitar  tempat tinggalnya.
Menurut Hassan Shadily sosialisasi merupakan suatu proses saat seseorang mulai menerima dan menyesuaikan diri dengan adat istiadat suatu golongan sehingga lambat laun ia merasa bagian dari golongan tersebut.
Tujuan dari sosialisasi sendiri untuk menunjukkan dan mengajarkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat, Mengajarkan ketrampilan-ketrampilan atau teknik-teknik bertahan hidup, Memberikan identias sosial kepada anggota masyarakat.[3]
3.    Kualitas Hidup dan Perkembangan Anak
Kualitas hidup bukan hanya berbicara mengenai kebutuhan akan makanan, pakaian , dan tempat tinggal terpenuhi melainakan juga mengenai pendidikan dan perawatan kesehatan.[4]
Hubungan keluarga juga mempengaruhi bagaiamana kualitas hidup. Jika hubungan keluarga baik, harmonis tentunya akan berpengaruh terhadap kualitas hidup, begitu juga sebaliknya. Faktor ekonomi juga sangatlah memiliki pengaruh yang signifikan, misalnya keluarga itu miskin kebutuhan mengenai makanan, pendidikan akan juga terpengaruh juga.
4.    Perkembangan dan Sosialisasi Anak
Perkembangan dan sosialisasi anak bergantung pada orang-orang yang berinteraksi dengan anak,tempat di mana mereka menghabiskan waktu bersama, dan peran yang dimainkan anak-anak (Whiting & Whiting, 1975).Orang dewasa menugaskan anak untuk beberapa peran dan melarang orang lain. Misalnya, perbedaan lintas budaya dalam perilaku anak laki-laki dan anak perempuan mungkin sebagian karena peran berbeda yang ditugaskan kepada mereka oleh orang dewasa. Anak perempuan lebih cenderung untuk tetap dekat dengan rumah dan lebih banyak terlibat dalam aktivitas pengasuhan anak daripada mereka anak laki-laki (Whiting & Edwards, 1988). Bermain kasar dan kasar adalah aktivitas anak-anak yang umum budaya. Namun, di negara-negara Muslim tradisional, anak perempuan jarang didorong oleh orang tua mereka untuk terlibat dalam permainan seperti itu (Ahmed, 2002).
Tradisi budaya kolektivisme berkorelasi positif dengan gaya otoriter pengasuhan anak, yang didasarkan pada tuntutan ketat, kontrol perilaku, dan sanksi (Rudy & Grusec,2001). Dengan kata lain, dalam budaya kolektivis yang dominan kebanyakan orang tua mempraktikkan otoriter metode daripada yang mereka lakukan dalam budaya individualis. Tentu saja, kita juga harus mengerti kolektivisme, banyak faktor masyarakat berkontribusi terhadap metode otoriter, termasuk politik.[5]
Keyakinan orang tua kepada anak juga sangat mempengaruhi bagiamana anak itu dan berkembang dengan cara sosialisasi dengan teman sebayanya.
Pola sosialisasi juga sangat mempengaruhi perkembangan anak. Seperti orang tua yang menggunakan pola Sosialisasi Represif : Sosialisasi yang memberikan ancaman hukuman kepada seseorang yang tidak patuh. Contoh: orang tua memberikan hukuman fisik kepada anaknya yang nakal. Ataupun orang tua yang menggunakan pola Sosialisasi Partisipatoris : Sosialisasi yang memberikan imbalan atau hadiah kepada seseorang atas kepatuhan mereka. Contoh : anak yang berhasil meraih prestasi akan diberikan hadiah
Bentuk Sosisalisai ada 2, yaitu :
1)   Sosialisasi Primer: Terjadi saat seseorang masih kanak-kanak, bertujuan agar seseorang dapat diterima sebagai anggota dalam suatu masyarakat.
2)   Sosialisasi Sekunder: Terjadi pada seseorang yang telah diterima menjadi anggota suatu masyarakat, bertujuan agar seseorang ( khusunya anak-anak) belajar lebih dan memiliki lebih banyak pengetahuan.[6]

5.    Tahapan Perkembangan
1)   Psikologis Erik Erikson
Tahapan perkembangan menurut Erik Erikson memiliki bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :
a.    Tahap Oral ( 0-1 tahun )
Masa bayi ditandai adanya kecenderungan kepercayaan – kecurigaan. Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya.
b.    Tahap anus-otot ( 1-3 tahun )
Masa kanak-kanak awal ditandai adanya kecenderungan otonomi dan perasaan malu dan ragu- ragu. Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.
c.    Tahap bermain ( 3-5 tahun )
Masa pra sekolah ditandai adanya kecenderungan inisiatif dan kesalahan. Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.
d.    Tahap laten ( 5-12 tahun )
Masa Sekolah ditandai adanya kecenderungan kerajinan dan infrerioritas. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.
e.    Tahap remaja ( 13-20 tahun )
Masa Remaja ditandai adanya kecenderungan identitas dan kekacauan identitas. Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya.
f.     Tahap dewasa awal ( 20-30 tahun )
Masa Dewasa Awal ditandai adanya kecenderungan intim dan isolasi. Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif, dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.


g.    Tahap dewasa tengah ( 30-60 tahun )
Masa Dewasa ditandai adanya kecenderungan generativitas dan stagnasi. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan, sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia mengalami hambatan.
h.    Tahap usia senja ( 60-seterusnya )
Masa hari tua ditandai adanya kecenderungan integritas dan keputusasaan. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali menghantuinya.
2)   Tahap Perkembangan Kognitif Piaget
Piaget pernah melakukan penelitian mengenai fase-fase perkembangan dikaitkan dengan terjadinya perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar. Piaget membagi perkembangan menjadi 4 fase sebagai berikut:
·      Fase sensorik motoric (0-2 tahun). Aktivitas kognitif didasarkan pada pengalaman langsung panca indera. Aktivitas belum menggunakan bahasa. Pemahanan intelektual muncul diakhir fase.
·      Fase pra operasional (2-7 tahun). Anak tidak akan terikat lagi pada lingkungan sensori,kesanggupan menyimpan tanggapan bertambah besar. Anak suka meniru orang lain dan mampu menerima khayalan dan suka bercerita tentang hal-hal yang fantastis dan sebagainya.
·      Fase operasi konkret (7-11 tahun). Pada fase ini cara anak berpikir mulai logis. Bentuk aktivitas dapat ditentukan dengan peraturan yang berlaku. Anak masih berpikir harfiah sesuai dengan tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
·      Fase operasional formal (11-14 tahun). Dalam fase ini anak telah mampu mengembangkan pola-pola berpikir formal, telah mampu berpikir logis,rasional dan bahkan abstrak. Telah mampu menangkap arti simbolis, kiasan dan menyimpulkan suatu berita, dan sebagainya.[7]
3)   Tahap Perkembangan Moral Kohlberg
Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral berdasar teori Piaget, yaitu dengan pendekatan organismik (melalui tahap-tahap perkem-bangan yang memiliki urutan pasti dan berlaku secara universal). Selain itu Kohlberg juga menyelidiki struktur proses berpikir yang mendasari perilaku moral (moral behavior).
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan moralnya. Perkembangan Moral di bagi menjadi 3 tingkat, setiap tingkat di bagi menjadi 2 tahap yaitu :
1.    Tingkat Pra Konvensional (Moralitas Pra-Konvensional) à perilaku anak tunduk pada kendali eksternal:
Tahap 1:  Orientasi pada kepatuhan dan hukuman à anak melakukan sesuatu agar memperoleh hadiah (reward) dan tidak mendapat hukuman (punishment)
Tahap 2:  Relativistik Hedonism à anak tidak lagi secara mutlak tergantung aturan yang ada. Mereka mulai menyadari bahwa setiap kejadian bersifat relative, dan anak lebih berorientasi pada prinsip kesenangan. Menurut Mussen, dkk. Orientasi moral anak masih bersifat individualistis, egosentris dan konkrit.
2.    Tingkat Konvensional (Moralitas Konvensional) à fokusnya terletak pada kebutuhan social (konformitas).
Tahap 3: Orientasi mengenai anak yang baik à anak memperlihatkan perbuatan yang dapat dinilai oleh orang lain.
Tahap 4:  Mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas à menyadari kewajiban untuk melaksanakan norma-norma yang ada dan mempertahankan pentingnya keberadaan norma, artinya untuk dapat hidup secara harmonis, kelompok sosial harus menerima peraturan yang telah disepakati bersama dan melaksanakannya.
3.    Tingkat Post-Konvensional (Moralitas Post-konvensional) à individu mendasarkan penilaian moral pada prinsip yang benar secara inheren.
Tahap 5: Orientasi pada perjanjian antara individu dengan lingkungan sosialnya à pada tahap ini ada hubungan timbal balik antara individu dengan lingk sosialnya, artinya bila seseorang melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan tuntutan norma social, maka ia berharap akan mendapatkan perlindungan dari masyarakat.
Tahap  6: Prinsip Universal à pada tahap ini ada norma etik dan norma pribadi yang bersifat subjektif. Artinya: dalam hubungan antara seseorang dengan masyarakat ada unsur2 subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan/perilaku itu baik/tidak baik; bermoral/tidak bermoral. Disini dibutuhkan unsur etik/norma etik yang sifatnya universal sbg sumber utk menentukan suatu perilaku yang berhubungan dengan moralitas.


BAB III
PENUTUP

1.    Kesimpulan
Dari penjelasan diatas mengenai perkembangan manusia dan sosialisasi, dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan manusia tidak hanya mengenai perkembangan fisik saja, namun beberapa aspek menyangkut aspek-aspek mental psikologis manusia, seperti perubahan-perubahan yang berkaitan dengan aspek pengetahuan, sifat sosial, moral, keyakinan agama, kecerdasan, dan sebagainya.
Perkembangan sosialisasi manusia juga terjadi seiring berjalannya usia dengan berbagai tahapan perkembangan, seperti tahapan perkembangan psikologis, moral, dan juga kognitif.


DAFTAR PUSTAKA
Matsumoto, David. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Jogja: Pustaka Pelajar.
Shiraev, Eric. David A. Levy. 2010. Cross-Cultural Psychology: Critical Thinking and Temporary Applications. USA: Pearson.
Drs. Zulkifi L.1987. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.


[1] Drs. Zulkifli. (1987). Psikologi perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 4
[2] Matsumoto, David. (2004). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Jogja: Pustaka Pelajar. Hal. 100
[3] Ibid. Hal 110
[4] Eric B.Shiraev, David A. Levy. (2010).  Cross-Cultural Psychology: Critical Thinking and Temporary Applications. USA: Pearson. Hal. 196
[5] Ibid. Hal 196-197.
[6] Drs. Zulkifli. (1987). Psikologi perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 45
[7] Drs. Zulkifli. (1987). Psikologi perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Manfaat